Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menghasilkan karya ilmiah ini. Hingga saat ini, sistem penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam pemetaan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk geologi. Berdasarkan keterkaitan antara ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kebumian (Earth science) dengan objek-objek yang ada di lapangan, terlihat bahwa sistem penginderaan jauh tidak hanya dapat digunakan untuk menginterpretasikan objek-objek yang ada di permukaan bumi, namun juga untuk formasi geologi, termasuk sumber daya mineral atau minyak bumi. sumber yang terletak di bawah permukaan.
Salah satu kendala dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah sangat terbatasnya informasi mengenai geologi mengenai sistem penginderaan jauh. Dengan selesainya artikel ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian UMA, Ir. Secara konvensional, pemetaan geologi lebih didasarkan pada pengamatan lapangan secara intensif dengan menggunakan peta topografi (Unesco, 1975).
Tanda-tanda geologi seperti sambungan atau kelurusan, dll. mungkin tampak lebih jelas pada gambar. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, citra udara atau satelit kini telah menjadi alat standar dalam penelitian geologi (Gastellu-Etchegorry, Van Der Meer Mohr, Handayana dan Surjanto, 1988). Di Indonesia kegiatan penginderaan jauh yang paling menggembirakan dilakukan pada bidang geologi, geomorfologi, vulkanologi dan eksplorasi mineral dengan intensitas sebesar 27,5% dari seluruh wilayah kegiatan (Darrnoyuwono, 1980).
Sejak tahun 1940an, penggunaan foto udara interpretatif untuk pengkajian dan pemetaan geologi telah menyebar luas seiring dengan berkembangnya teknik perekaman data permukaan tanah melalui satelit, metode dan teknik pemetaan geologi telah menggunakan berbagai macam gambar baik dari segi spasial, spektral, dan spektral. digital.
METODE PENGINDERAAN JAUH DALAM PEMETAAN GEOLOGI
Hubungan antara vegetasi dengan lingkungannya digunakan untuk mengidentifikasi jenis vegetasi yang berasosiasi dengan satuan dasar batuan dan sisa rekahan tertentu, untuk mengenali pola sebaran vegetasi yang menunjukkan urutan stratigrafi padatan batuan dan struktur ekologi. Selain itu, hubungan ini juga digunakan untuk mengidentifikasi berbagai jenis tanaman yang berasosiasi dengan batuan termineralisasi (Cole, 1984 dalam Gastellu-Etchegorry, dkk, 1988). Analisis geomorfologi lanskap, yang mencakup pengenalan pola dan klasifikasi bentuk lahan dengan gambaran singkat, dapat memberikan informasi yang lebih berguna tentang batuan dan struktur geologi.
Jika penafsirannya mempunyai prinsip-prinsip pengetahuan terkait geomorfologi dan struktur geologi, maka analisis citra visual merupakan cara yang efektif dan efisien untuk mengekstraksi informasi geologi dari citra. Hasilnya akan bergantung pada apakah terdapat hubungan antara fenomena geomorfologi dan distribusi spasial parameter kepadatan. Deteksi merupakan suatu proses selektif, dimana peneliti memilih objek yang akan diamati dan mencoba membedakan sasaran (objek) dengan latar belakangnya.
Dengan pemilihan (segmentasi) gambar asli, area atau unit yang terkait dengan formasi geologi berbeda ditandai dan dibatasi. Hal ini hanya mungkin terjadi jika unit-unit tersebut mempunyai karakteristik yang dapat dibedakan dalam nada, tekstur, pola, bentuk dan orientasi. Korelasi dapat bervariasi dari tidak mungkin hingga sangat dapat diandalkan, bergantung pada tipe medan dan konfigurasi geologi.
Gejala karakteristik didefinisikan sebagai gejala yang secara unik berhubungan dengan satu dan hanya satu manifestasi geologi. Misalnya saja adanya sinkhole dan karst yang merupakan gejala khas yang secara jelas menunjukkan adanya batuan. Dalam upaya mengaitkan fenomena-fenomena karakteristik dengan satuan geologi, maka perumusan kelas atau kelas-kelas satuan geologi yang berkaitan harus dilakukan secara cermat.
Hal ini terjadi karena mekanisme ingatan penerjemah yang sudah sangat familiar dengan beberapa gejala geologi. Bagian proses identifikasi ini sangat berguna dan banyak kaitannya dengan proses berpikir secara umum. Bukti eksternal disebut juga data pendukung yang dapat diperoleh baik dari penelitian lapangan maupun dari sumber informasi yang ada seperti peta dan laporan.
INTERPRET ASI DAN IDENTIFIKASI SATUAN GEOLOGI
Gastellu-Ethegorry, dkk (1988) menyatakan bahwa ciri-ciri geologi dasar seperti lintasan litologi, formasi litologi, kemiringan, sesar, dan struktur cincin dicirikan oleh ekspresi dan bentuk geomorfologi tertentu. Hal yang sedikit berbeda dilakukan oleh Hartono dan Baharuddin (1987) dalam pemetaan medan vulkanik Kuarter kompleks Gunung Willis dengan menggunakan foto udara. Unit yang berbeda didasarkan pada warna abu-abu, tekstur, tingkat erosi, pola drainase, bentuk dan warna struktur internal, dll.
Dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa interpretasi citra untuk mengidentifikasi unit dan struktur geologi dilakukan dengan menelusuri topografi, pola drainase, pola erosi, nada, penggunaan lahan dan fitur geomorfik lainnya. Untuk memetakan kondisi geologi suatu wilayah, terlebih dahulu harus mengetahui atau menentukan satuan geologi mana yang akan dipetakan. Dari berbagai literatur, unit geologi yang teridentifikasi tampak sangat bervariasi pada tingkat skala pemetaan yang sama.
Batuan beku dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu batuan beku intrusif dan batuan beku ekstrusif (Lillesand dan Kiefer, 1979). Sedangkan tujuan interpretasi foto udara oleh Lueder (1959) menunjukkan bahwa batuan beku tersebut terbagi menjadi batuan intrusif dan plutonik (granitoid dan porfiritik). felsitik. tekstur eukristalin, batuan berkhasiat seperti kaca, seluler dan sebagainya) yang mempunyai tekstur diskristal dan batuan aliran yang bersifat fragmentaris (breksi, tufa dan abu). Dengan tujuan untuk mengidentifikasi batuan beku intrusif, Lillesand dan Kiefer (1979) menyajikan semacam panduan atau kunci interpretasi, khususnya untuk batuan granit yang merupakan kelompok terbesar dalam kelompok batuan tersebut.
Sedangkan Leuder (1959) menyatakan bahwa badan batuan granit pada umumnya dicirikan oleh batas-batas melengkung yang halus dan berukuran besar (kecuali pada sesar). Menurut Lillesand dan Kiefer (1979), batuan ini terdapat di permukaan bumi dan tersebar sekitar 75%, sedangkan batuan beku 20% dan batuan metamorf 5%. Ciri-ciri dasar kenampakan batuan sedimen dalam foto udara adalah lapisan, komposisi, dan ketahanan terhadap erosi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Lillesand dan Kiefer (1979) yang menyatakan bahwa identifikasi batuan metamorf sangat sulit dan tidak stabil. Hanya beberapa jenis batuan metamorf yang telah didekati untuk interpretasi foto udara, yaitu batu tulis, serpentin, dan kuarsa. Perhatian terhadap penelitian batuan metamorf dalam kaitannya dengan foto udara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jenis batuan lainnya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, ciri atau satuan geologi tersebut sangat bergantung pada tujuan pemetaan, skala pemetaan, dan kondisi lingkungan. Sedangkan kondisi lingkungan mempengaruhi kreativitas penerjemah/peneliti dalam membuat satuan peta geologi yang perlu dibuat.
PEMETAAN GEOLOGI DAN CITRA PENGINDERAAN JAUH
Citra satelit seperti ERST-1, Landsat, Spot dan lain-lain telah banyak digunakan untuk keperluan pemetaan geologi. Menurut d'Audretsch (1978), keunggulan citra satelit adalah tampilannya yang ringkas sehingga mengarah pada identifikasi struktur utama dan jalur yang dapat mengarah pada penemuan deposit mineral atau sumur minyak. Dari berbagai literatur tampak belum ada penjelasan yang jelas mengenai hubungan antara skala peta geologi dengan informasi yang dikandungnya dan sistem penginderaan jauh yang digunakan.
Informasi berskala besar disajikan berdasarkan penelitian dan pemetaan terperinci, menggunakan semua bahan arsip yang tersedia, pekerjaan geofisika dan eksplorasi bawah tanah yang sistematis, serta hasil uji laboratorium. Dalam hal ini, sifat fisikokimia semua unit dan batu perlu ditunjukkan pada peta. Pada peta berukuran sedang, tujuannya adalah untuk memberikan informasi yang mencakup banyak aspek geologi teknik untuk berbagai keperluan perencanaan dan teknik.
Sedangkan yang terkandung dalam bentuk kompleks litologi atau tipe litologi seperti kompleks batupasir dengan jenis batupasir berkapur, batulempung, dan batulanau. Sedangkan peta skala kecil didasarkan pada komplikasi, literatur, dan dokumen/arsip yang tersedia. Informasi dalam peta skala kecil berupa sebaran dan sifat kompleks lithovasial dan thogenetik batuan.
Jika pemetaan geologi dikaitkan dengan teknik penginderaan jauh seperti yang telah disampaikan sebelumnya, maka tidak semua citra dapat digunakan untuk pemetaan geologi. Rangers (1979) menyatakan bahwa hasil terbaik dalam hal informasi yang berguna diharapkan diperoleh dari gambar yang dapat diamati secara stereoskopis, mempunyai skala yang relatif besar, reduksi yang baik, dan geometri yang baik. Pada Tabel 1 disajikan hubungan aspek citra dengan sistem penginderaan jauh dalam kaitannya dengan informasi yang dapat diperoleh.
Meskipun radar sering dikatakan sangat baik dalam pencitraan struktur, informasi lainnya sangat buruk. Berdasarkan karakteristik hubungan tersebut, diharapkan penggunaan kombinasi peta yang berbeda akan semakin meningkatkan kualitas informasi yang diharapkan. Lebih lanjut Rangers (1979) menyatakan bahwa urutan informasi dari yang terbaik hingga yang terburuk pada skala gambar 1 10.
KESIMPULAN
Interpretasi dan identifikasi fenomena geologi pada citra penginderaan jauh terutama berkaitan dengan prinsip geomorfologi dan bentuk tertentu. Dalam hal ini, interpretasi dan identifikasi objek geologi dilacak melalui pengamatan ciri topografi, pola drainase, pola erosi, nada, penggunaan lahan, dan ciri geomorfik lainnya. Beberapa jenis yang dapat digunakan antara lain fotografi udara hitam putih, inframerah, warna, radar, dan pencitraan presisi.
Foto udara hitam putih memberikan informasi geologi yang lebih baik dibandingkan dengan aspek citra (skala, resolusi, lokasi, geometri, relief dan informasi spektral), sehingga diharapkan peringkat informasi foto udara > Satelit MSS >.
DAFTAR PUSTAKA
Di daerah kering, medannya agak bersinggungan dengan lereng sungai/dinding parit yang curam dan berhubungan dengan curah hujan yang tinggi. Di daerah lembab, perbedaan topografi antara medan dengan jenis batuan yang berbeda kurang terlihat dibandingkan di daerah beriklim kering. Batupasir yang berlapis horizontal di atas serpih terkadang disalahartikan dengan lempengan basal di atas serpih.
Sungai sekunder mengalir di sepanjang lereng yang terjal dan terjal serta bergabung dengan sungai utama secara tegak lurus.