Penerapan kebijakan legislasi/pelacakan kematian dalam penundaan eksekusi juga masih bermasalah, seperti terpidana mati kasus teroris Amrozi CS yang melakukan tindak pidana (criminal event) pada tahun 2000, namun kemudian divonis berdasarkan hukum. TIDAK. 15 Tahun 2003. Mereka mengatakan bahwa sistem pidana (the punishment system) “peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sanksi dan hukuman pidana” (the statutory rule berkaitan dengan sanksi dan hukuman pidana) adalah.2. Dalam upaya menentukan besar atau lamanya ancaman pidana, para pencipta konsep tersebut hanya dihadapkan pada dua sistem alternatif, yaitu: pendekatan absolut dan pendekatan relatif. 4 Yang pertama dimaksudkan bahwa untuk setiap tindak pidana mempunyai ciri tersendiri” bobot/kualitas” yang akan ditentukan, yaitu dengan menentukan ancaman pidana maksimal (dapat juga ancaman minimal) untuk setiap tindak pidana.
Menurut Colin Howard, penentuan pidana maksimum bagi setiap tindak pidana dikenal juga dengan istilah “sistem tidak terbatas” atau “sistem maksimum”.5 Dapat juga disebut dengan sistem atau pendekatan tradisional, karena dapat digunakan dalam perumusan pidana. kode etik berbagai negara, termasuk dalam praktik perundang-undangan di Indonesia. Kedua, pendekatan sistem atau relatif yaitu tidak ditentukan bobotnya terhadap setiap tindak pidana. Sebaliknya pada sistem kedua (pendekatan relatif), permasalahan atau aspek negatif dari sistem pertama untuk menentukan bobot/kualitas tindak pidana dapat diatasi dengan lebih baik, karena tingkat berat ringannya suatu delik “relatif”.
POLA PEMIDANAAN DALAM SISTEM PEMIDANAAN Penerapan sistem absolut (sistem
Kebijakan legislatif
61 Alumni Barda Nawawi Arief “Kebijakan Hukum Pidana”, Bandung, 2006.h.217 Penerapan sanksi pidana dapat dianggap sebagai proses penerapan kebijakan dalam tiga tahap: tahap penetapan tindak pidana oleh pembentuk undang-undang 2 tahap penetapan tindak pidana oleh pembentuk undang-undang. penerbitan atau penjatuhan pidana oleh pengadilan 3 .derajat pelaksanaan pidana oleh aparat penegak hukum. Kebijakan legislatif dalam pemberantasan kejahatan, baik melalui pencegahan kejahatan maupun pengendalian perilaku dan penegakan hukum melalui sanksi. Kebijakan pidana adalah organisasi rasional dari respon sosial terhadap kejahatan". Kebijakan pidana adalah organisasi rasional dari respon sosial terhadap kejahatan).
Kedudukan hukum pidana dalam kebijakan perundang-undangan – kebijakan perlindungan sosial (konsep integrasi pidana dan non pidana) ditegaskan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa jika hukum pidana dalam . sebuah sistem yang seluruh perhatiannya tertuju pada pelestarian identitas budaya dan perlindungan hak asasi manusia". Terjemahan Lihat juga Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Pemberantasan Kejahatan dengan Penjara, Badan Penerbit UNDIP 1994. Terjemahan Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Pemberantasan Kejahatan dengan penjara, Badan Penerbit UNDIP 1994.p.20.
Sistem Peradilan Pidana
Kurangnya kondisi hukum yang baik menjadi salah satu faktor timbulnya kejahatan, antara lain dikemukakan oleh J.E. Berdasarkan kenyataan bahwa kejahatan ditentukan oleh hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukumlah yang menimbulkan kejahatan. Undang-undang memberikan kewenangan dan dasar legitimasi kepada aparat penegak hukum untuk menyatakan apakah perbuatan seseorang merupakan suatu tindak pidana atau tidak.
Artinya hukum bukanlah faktor yang membuat seseorang melakukan suatu tindak pidana, melainkan hanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang “menyatakan” atau “menandai” tindak pidana tersebut. Namun dalam kasus tertentu, undang-undang dapat dianggap sebagai faktor kriminogenik dan faktor vicinomogenik. Salah satu laporan kongres PBB tentang pencegahan kejahatan dan penanganan pelaku kejahatan, yang secara khusus membahas “tren kejahatan dan strategi pencegahan kejahatan”, juga menyatakan bahwa ketidaksesuaian antara hukum dan kenyataan merupakan faktor kriminogenik. ; Semakin benar gerak nyata dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka semakin besar pula ketidakpercayaan terhadap efektifitas sistem hukum.
Kemungkinan lain kebijakan legislasi sebagai faktor kriminogenik dan viktimogenik adalah terkait dengan penyalahgunaan hukum atau penerapan hukum yang tidak tepat. 95 Kongres PBB Keenam tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar, Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Kriminal, Alumni Bandung, 1994.p.201, Laporan Kongres PBB VI menyatakan sebagai berikut. Oleh karena itu, apabila pemberian wewenang atau kekuasaan oleh undang-undang disalahgunakan atau digunakan secara tidak tepat, maka wajar jika dapat menjadi faktor kriminogenik sekaligus menjadi korban.
Kebijakan legislatif yang tidak direncanakan secara rasional dapat menjadi faktor munculnya kejahatan dan peningkatan kejahatan.96. Orang dapat melakukan kejahatan atau mengulanginya tanpa ada kaitannya dengan ada atau tidaknya undang-undang atau kejahatan yang dikenakan. Menurut Marc Ancel, kejahatan sebagai “masalah kemanusiaan dan sosial” tidak mudah untuk dipaksakan masuk ke dalam rumusan suatu peraturan hukum.
Hal ini tidak berarti bahwa hakim pidana tidak mengambil keputusan berdasarkan hukum dan harus menolak kejahatan.
Kebijakan Legislasi
Kebijakan Formulasi Pidana Mati
Lingkup Tindak Pidana yang Diancam Pidana Mati
Semua undang-undang tersebut memuat pasal-pasal yang memuat jenis-jenis tindak pidana (stratbaarfeit) yang diancam dengan pidana mati. 147 Peraturan Perundang-undangan (KUHP dan Non-KUHP) mengatur jenis-jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati di Indonesia, antara lain: Berdasarkan seluruh pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat sekitar 59 jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. .
Jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati juga tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (UUTPK), sebagaimana telah direvisi dan diubah dengan UU Nomor 31. Tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dalam Pasal 8 UUPT170 merupakan jenis tindak pidana. berkomitmen dengan. Ketentuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dalam Pasal 27 UUPBKSK sebenarnya merupakan tindak pidana yang mengandung unsur kesengajaan (seperti kesengajaan mengembangkan, memproduksi, memperoleh dan/atau menimbun senjata kimia, memindahkan senjata kimia baik langsung maupun tidak langsung). senjata kimia kepada siapa pun yang menggunakan senjata kimia, terlibat dalam persiapan militer atau dengan cara apa pun membantu dan/atau membujuk pihak lain yang terlibat dalam penggunaan bahan dan senjata kimia).
Jenis kejahatan yang diancam dengan hukuman mati pada Pasal 133(1) 3, dalam UU Narkotika185, merupakan tindak pidana yang berupa Jenis-jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dalam UU Narkotika pasal 144 subbab hukuman mati. Cakupan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati juga cenderung meluas atau dipertahankan baik dalam undang-undang pidana maupun non-pidana.
Adapun rumusan kebijakan mengenai tindak pidana perompakan (kapal, pesawat udara) yang diancam dengan pidana mati juga tampak serupa dengan rumusan kebijakan pidana mati dalam UU Terorisme. Fenomena menarik yang juga dicermati dalam KUHP adalah kebijakan rumusan tindak pidana makar yang diancam dengan pidana mati. Pidana mati cenderung bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati pada setiap ketentuan pidana.
Hal ini sangat terlihat dari minimnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang korupsi. Jika prinsip ini dikroscek maka akan banyak jenis kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dan perlu dikaji ulang. Sebab diantara jenis-jenis kebijakan yang merancang pidana mati terhadap jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati sulit untuk dipahami dan dilaksanakan.
Pedoman Pemidanaan
34; bobot/kualitas sendiri”, yaitu dengan menentukan risiko pidana maksimum (atau mungkin minimum) untuk setiap kejahatan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hukuman mati termasuk dalam sanksi kejahatan yang dianggap “sangat serius”, apa saja parameternya?, yang digunakan untuk mengukur derajat keseriusan, pengurangan pidana dalam hal: 1. seseorang yang melakukan tindak pidana dan pada saat itu berumur 12 tahun atau lebih, tetapi masih di bawah 18 tahun;
Artinya, terpidana mati yang telah dijatuhi hukuman mati juga berhak mendapat pengurangan setelah melakukan tindak pidana. Mitigasi pidana adalah pengurangan sebesar 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimum atau minimum, khusus untuk tindak pidana tertentu. Untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dan seumur hidup, pidananya paling lama 15 (lima belas) tahun penjara.
Dalam Pasal 53 dan 133 RKUHP juga ditegaskan bahwa untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, ancaman pidananya paling lama 15 (lima belas) tahun penjara. Adapun mengenai alasan-alasan pemberatan pidana atas pengulangan suatu tindak pidana (repetition), diatur dalam Peraturan Umum Buku I. Pengulangan tindak pidana terjadi apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak: a.
Pertanyaan atau permasalahan sebenarnya adalah, dengan cara apa, kepada siapa, kapan dan mengapa suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, “bisa alternatifnya” penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Masalah lainnya adalah bahwa pembuat undang-undang nampaknya semakin tertarik untuk memperluas cakupan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati (lihat Tabel 3), karena khawatir bahwa tujuan dari hukuman ini akan terabaikan. Sebabnya, karena tidak sedikit tindak pidana dalam kebijakan rumusan pidana (mati) yang diancam dengan pidana mati.
Dalam rancangan konsep KUHP dirumuskan dalam pedoman pemidanaan, yang mengatur bahwa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan dampak tindak pidana tersebut terhadap korban atau keluarga korban merupakan hal-hal yang patut menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. hukuman.
Penundaan Pidana Mati dan Alternatif
Dengan kata lain, terpidana mati akan menghadapi penundaan eksekusi tanpa kepastian hukum karena menunggu persetujuan dan keputusan penolakan grasi. Huruf f Ius Constituendum menegaskan, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan sepuluh tahun. Artinya, masa percobaan hukuman mati ditentukan oleh ada tidaknya reaksi masyarakat.
Artinya, perlindungan hukum atau kepastian hukum dalam pelaksanaan pidana mati memerlukan adanya alternatif. Selain itu, poin g Ius Constituendum menyebutkan, apabila terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman. . Penekanan huruf i dalam Ius Constituendum adalah apabila pidana mati tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sepuluh tahun setelah permohonan grasi ditolak, bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan surat keputusan. Menteri Kehakiman.
Merujuk pada Ius Constituendum, maka kebijakan rumusan pidana mati terhadap jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati harus diperhatikan dengan mempertimbangkan alternatif pidana yang mengalami penangguhan eksekusi, dan konsep masa percobaan harus mencakup mekanisme, standar. atau kriteria yang dijelaskan. untuk mengevaluasi alternatif kriminal. 2 Tahun 1964 yaitu hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak mati, dan cara itulah yang berlaku hingga saat ini. Penulis berpendapat, jika pembentuk undang-undang mampu menyelesaikan masalah ini, maka hukuman mati tidak akan pernah ada dalam KUHP dan UU.
Meski pembahasannya tidak mendalam, karena berbentuk ceramah singkat yang kemudian dibukukan dengan judul Masalah Hukuman Mati, namun jelas posisinya menentang hukuman mati. Penekanannya adalah hukuman mati sebagai alat kepentingan politik tirani penguasa untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan. Apakah hukuman mati dalam negara Pancasila juga dilaksanakan dalam bayang-bayang hukum dan semboyan keadilan?
Melihat kondisi tersebut, berarti hukuman mati harus mencerminkan karakter dan kepribadian bangsa Indonesia.
Kebijakan Aplikasi dan Eksekusi