B. POLA PEMIDANAAN DALAM SISTEM PEMIDANAAN Penerapan sistem absolut (sistem
2. Sistem Peradilan Pidana
W. Clifford mengemukakan, bahwa meningkatnya kejahatan telah cukup untuk menarik perhatian pada tidak efisiennya struktur peradilan pidana yang sekarang ada sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan 85 . Pernyataan serupa dikemukakan oleh Johannes Andenaes, bahwa "semakin tinggi dan meningkatnya angka rata-rata
85 W. Clifford, Reform in Criminal Justice in Asia and the /-ar fui.st, Resource Material Series No. 6, 1973, UNAFEI, h. 10. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.196
"The rises in crime have eufficeint to attract attention to the inefficiency ol' the present criminal justice .structure as a mechanism for crime prevention”
kejahatan, merupakan bukti kegagalan atau ketidakmampuan (impotensi) sistem yang ada sekarang"86.
Dikemukakan Manuel Lopez-Rev, seorang Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi Illionis, dalam ceramahnya pada Kongres PBB ke IV mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, mengemukakan bahwa
"sistem pidana saat ini tidak cocok dengan perkembangan masyarakat sekarang dan masa yang akan datang, yaitu pada umumnya telah usang dan jelas tidak adil; dan bahwa secara keseluruhan hal itu merupakan faktor yang menunjang peningkatan kejahatan"87.
Ketidakberhasilan sistem peradilan pidana (SPP) menekan pertumbuhan dan peningkatan kejahatan oleh La- Patra dilihat sebagai salah satu faktor timbulnya kritik yang keras terhadap setiap unsur dari SPP, dengan menyatakan bahwa "every element ol the criminal justice (in America) has come under harsh criticism.”88
Masalah perundang-undangan sebagai bagian dari masalah SPP. Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-
86 Johannes Andenaes. Punishment and Deterrence, 1974, h. 169. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.196
"It is sometimes said that the high incidence of crime, or the rising crime rate, is evidence of the futility or impotence of the present system”
87 Fourth United Nation Congress, Report, h. 38: Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.196
"the penal system of the current time did not correspond to current and future evaluation of society; that is, in general, obsolete and manifestly unjust; and that, as a whole, it was a contributing factor to the increase of crime".
88 J.W.La-Patra, Analyzing the Criminal Justice System, 1978. Lihat juga Muladi
& Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.196-197
undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana "in abstracto" yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum "in concreto".
Kebijakan legislatif atau kebijakan perundang- undangan, secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan, bahkan dapat dikatakan sebagai langkah awal.
Secara garis besar, perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam perundang-undangan itu meliputi :89
a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan- perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;
b. Perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya;
c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.
Dengan demikian undang-undang dapat dikatakan membentuk ruang lingkup beroperasinya SPP.90
Mengingat kebijakan perundang-undangan merupakan tahap awal dari perencanaan penanggulangan
89 J.W.La-Patra, Analyzing the Criminal Justice System, 1978. Lihat juga Muladi
& Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.196-197
90 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.198
kejahatan, maka wajarlah apabila kebijakan legislatif merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal/ crime policy). Menurut La-Patra, "Crime Policy" dikatakan efektif apabila mampu mengurangi kejahatan (reducing crime), baik dalam arti mampu melakukan pencegahan kejahatan (prevention of crime) maupun dalam arti mampu melakukan perbaikan terhadap sipelaku kejahatan itu sendiri (rehabilitation of criminals).91
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa apabila ternyata kejahatan tidak berkurang tetapi malahan meningkat, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai suatu petunjuk atau indikator tidak tepatnya lagi kebijakan legislatif atau perundang-undangan yang ada, terlebih apabila perundang-undangan itu sendiri yang menjadi faktor timbulnya kejahatan.
Kurang baiknya kondisi undang-undang sebagai salah satu faktor timbulnya kejahatan, antara lain dikemukakan oleh J.E. Sahetapy bahwa, walaupun di samping itu dikemukakan pula adanya faktor lain, yaitu pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen dan sikap atau tindak tanduk dari para penegak hukum92.
Dikemukakan Middendorf, bahwa keseluruhan efektivitas peradilan pidana bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu: adanya undang-undang yang baik (good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick
91 Ibid J.W.La-Patra, 1978.h.42. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori- Teori dan Kebijakan Pidana, Op.Cit.h.198
92 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. CV. Rajawali, Jakarta, 1982, h. 128
and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing).93
Kebijakan perundang-undangan yang sering mendapat sorotan ialah kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kejahatan atau sering disebiit kebijakan kriminalisasi. Bertolak dari kenyataan bahwa kejahatan ditentukan oleh UU maka dapat dikatakan undang-undang-lah yang menciptakan kejahatan. Undang- undang memberikan kewenangan dan dasar legitimasi kepada penegak hukum untuk menyatakan apakah perbuatan seseorang merupakan kejahatan atau tidak.
Dalam batas. pengertian yang demikian, maka sebenarnya tidaklah dapat dikatakan bahwa undang-undang merupakan faktor kriminogen. Artinya, undang-undang bukan faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan, tetapi hanya sebagai salah satu faktor yang menyebabkan perbuatan seseorang "dinyatakan" atau "dicap" sebagai kejahatan.
Dalam kaitan itu, Clayton A. Hartjen 94 mengemukakan bahwa hukum bukanlah penyebab kejahatan, walaupun demikian, diragukan bahwa perilaku dapat diberi cap kejahatan tanpa hukum. Namun demikian dalam hal-hal tertentu, undang-undang dapat dilihat sebagai faktor kriminogen dan viktimogen.
93 Middendorff, Punishment For & Against, The State Police School in Freiburg Germany. 1971. h. 22. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.200
94 Clayton A. Hartjen, op. cit., h..10. 13) Sixth UN Congress, h. 45. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.201
"Law is not a cause of crime, even though it is doubtful that behavior could be labeled criminal without the law".
Salah satu laporan Kongres PBB ke VI mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders95, khususnya yang membicarakan "Crime trends and Crime Prevention Strategies", dikemukakan antara lain bahwa tidak adanya konsistensi antara undang-undang dengan kenyataan merupakan faktor kriminogen; semakin jauh undang-undang bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidupdi dalam masyarakat, maka semakin besar ketidakpercayaan akan keefektifan sistem hukum itu.
Faktor kriminogen dapat mencakup pengertian yang sangat luas, yakni ketidaksesuaian itu tidak hanya berarti tidak sesuai dan tidak responsif lagi terhadap problem- problem sosial atau terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan pembangunan saat ini.Ketidaksesuaian atau diskrepansi yang terlalu besar antara undang-undang dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat itulah yang dapat menyebabkan undang-undang itu disfungsional dan pada akhirnya dapat menjadi faktor kriminogen.
Kemungkinan laindari kebijakan perundang- undangan sebagai faktor kriminogen dan viktimogen, ialah yang berhubungan dengan penyalahgunaan undang-undang atau penerapan undang-undangyang tidak pada tempatnya.
Undang-undang di samping merupakan sarana untuk mengatur masyarakat, juga bermaksud mengatur dan
95 Six UN Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.201, Laporan Kongres PBB ke VI menyatakan berikut.
"Often, lack of consistency between laws, and reality was criminogenic ; the farther the law was removed from the feeling and the values shared by the community, the greater was the lack of confidence and trust in the efficacy of the legal system”
membatasi kewenangan pejabat penegak hukum. Oleh karena itu, apabila pengalokasian wewenang atau kekuasaan oleh undang-undang itu disalahgunakan atau diterapkan tidak pada tempatnya, maka wajar dapat menjadi faktor kriminogen dan sekaligus viktimogen. Kebijakan perundang- undangan yang tidak direncanakan secara-rasional dapat menjadi faktor timbulnya kejahatan dan meningkatnya kejahatan.96
Adanya hubungan antara peningkatan kejahatan dengan tidak rasionalnya kebijakan perundang-undangan pidana, terlihat pula dalam pandangan John Kaplan yang dihubungkan dengan pendapat Edward M. Kennedy.
Menurut John Kaplan, salah satu aspek yang paling kacau dari peraturan pemidanaan ialah kondisi KUHP itu sendiri.97
Di kebanyakan negara, sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional. Hal inilah yang merupakan salah satu pendukung utama adanya perbedaan perlakuan terhadap para pelanggar yang kesalahannya sebanding 98 . Dengan demikian, apabila kebijakan pemidanaan yang tertuang dalam KUHP tidak terencana dengan baik atau menurut istilah John Kaplan "tanpa suatu landasan yang rasional", maka hal demikian dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana.99
96 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.204
97 Ibid
98 John Kaplan, Criminal Justice, Introductory Cases and Materials. The Foundation Press California. 1968.h.443. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.205-206
99 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h. 205
Akibat dari disparitas pidana yang mencolok ini, menurut Edward M. Kennedy, ialah: (a) dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang a da; (b) gagal mencegah terjadinya tindak pidana; (c) mendorong aktivitas (meningkatnya) kejahatan; dan (d) merintangi tindakan- tindakan perbaikan terhadap para pelanggar 100.
Dari uraian pendapat ahli di atas, jelaslah bahwa hubungan antara ketidakrasionalan perundang-undangan (dalam sistem pemidanaannya) dengan adanya disparitas pidana dan meningkatnya aktivitas kejahatan. Terjadinya disparitas pidana tidak dapat dilepaskan dari sistem perumusan dan pengancaman pidana dalam perundang- undangan yang ada.
Undang-undang dapat merupakan sumber tidak langsung terjadinya disparitas pemidanaan, dan apabila hal ini berakibat pada timbulnya sikap apatis, sinis dan ketidakpuasan warga masyarakat dengan melakukan perbuatan main hakim sendiri atau mengadakan reaksi langsung terhadap sipelaku tindak pidana dan aparat penegak hukum, maka undang-undang yang menjadi sumber tidak langsung terjadinya disparitas pidana itupun dapat dikatakan menjadi sumber tidak langsung timbulnya tindak pidana lain. Dengan perkataan lain, dapat menjadi faktor kriminogen.
Kebijakan perundang-undangan yang dibicarakan di atas berhubungan dengan ukuran lamanya pidana atau
"strafmaat". Kebijakan perundang-undangan di bidang jenis
100 Edward M. Kennedy.Toward a New System of Criminal Sentencing Law with Order. The American Law Review, No.4.Vol.16.1979.h.363. Lihat Muladi &
Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h. 205
pidana (strafsoort) yang dapat juga dilihat sebagai faktor kriminogen ialah yang berhubungan dengan pidana penjara.
Pidana penjara saat ini sedang mengalami "masa krisis" karena termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai. Banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya. Kritik dan sorotan tajam terhadap pidana penjara ini tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres Internasional.101
Dalam salah satu laporan Kongres PBB kelima tahun 1975 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.102
Malahan ditegaskan pula, bahwa mekanisme kepenjaraan mempunyai pengaruh yang kondusif untuk timbulnya kejahatan dan dalam hal-hal tertentu betul-betul menciptakan karir penjahat103. Ini berarti pidana penjara dapat menjadi faktor kriminogen.
Banyaknya sorotan dan kritik tajam menyebabkan banyak negara cenderung untuk menghindari, mengurangi atau membatasi penggunaan pidana penjara. Jadi ada kecenderungan untuk mengembangkan kebijakan yang
101 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.207
102 Sixth United Nations Congress, Report, 1981, h 11. Lihat juga Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,1994.h.207
103 Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia Jakarta, 1984 h. 19
selektif dan limitatif dalam penggunaan pidana penjara.
Kecenderungan untuk menempuh kebijakan yang selektif dan limitatif itu terlihat misalnya dalam laporan Kongres PBB kelima dan keenam104. Sehubungan dengan kebijakan untuk membatasi pidana penjara tersebut,. Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pembentuk undang-undang seharusnya berhemat dengan jenis pidana penjara tersebut105.
Kenyataan kebijakan perundang-undangan di Indonesia, menurut Barda Nawawi Arief, terlalu banyak faktor kondusif di dalam kebijakan perundang-undangan pidana di Indonesia yang memberi peluang dan memperbesar kemungkinan dijatuhkannya pidana penjara.106
104 Five &Sixth United Nations Congress, Report, 1981, h. 11.
Kongres PBB kelima yang antara lain dinyatakan104. :
"As a matter of public policy, the use of imprisonment should be restricted to those offenders who needed to be neutralized in the interest of public safety and for the protection of society".
Salah satu pertimbangan resolusi Kongres PBB keenam mengenai "Alternatives to imprisonment", antara Iain dinyatakan : "Imprisonment should be imposed only as a sanction of last resort, . . . In principle, imprisonment should not be imposed on petty offenders".
105 Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia Jakarta, 1984 h. 19
106 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana.2006. h.207
Faktor-faktor kondusif yang kurang menunjang kebijakan selektif dan Limitatif itu antara lain:
a. pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak diancamkan dalam perumusan delik kejahatan dan sebagian besar di antaranya dirumuskan secara imperatif, baik dengan perumusan tunggal maupun dengan perumusan kumulatif;
b. tidak ada ketentuan perundang-undangan sebagai katup pengaman (veiligheidsklep) yang memberi pedoman dan kewenangan kepada hakim untuk menghindari, membatasi atau memperlunak penerapan pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif;
c. lemahnya ketentuan mengenai pidana bersyarat sehingga kurang dapat mengatasi sifat kaku dari sis tern perumusan pidana penjara secara impe- ratif;
Dijelaskan Barda Nawawi Arief bahwa, dapat diperkirakan, banyaknya orang yang dijatuhi pidana penjara bukan semata-mata karena yang bersangkutan memang patut dijatuhi pidana penjara, tetapi justru karena lemahnya kebijakan perundang-undangan yang berhubungan dengan sistem pidana dan pemidanaan, khususnya mengenai pidana penjara. Apabila dalam hal-hal tertentu, pidana penjara dapat dikatakan sebagai faktor kriminogen maka kebijakan perundang-undangan yang menyebabkan banyaknya orang dimasukkan ke penjara dapat pula dilihat sebagai faktor kriminogen dan sekaligus viktimogen.107
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan legislatif termasuk yang menyangkut kebijakan formulasi pidana mati pada KUHP dan UU di luar KUHP yang memuat jenis tindak pidana yang diancam pidana mati memerlukan peninjauan kembali untuk dapat menjadi sarana hukum yang efektif terutama dalam konstruksi kebijakan penundaan eksekusi pidana mati.
Sistem peradilan pidana sangat rawan faktor kriminogen dan viktimogen serta disparitas, dan oleh karenanya, dalam konstruksi kebijakan penundaan eksekusi pidana mati perlu dihindarkan hal-hal tersebut.
d. lemahnya kebijakan legislatif dalam mengefektifkan pidana denda yang sering dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara;
e. tidak adanya pedoman penjatuhan pidana penjara yang dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan;
f. tidak ada ketentuan yang memberi kewenangan kepada hakim untuk merubah atau menghentikan sama sekali pelaksanaan putusan pidana penjara yang telah berkekuatan tetap.
107 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana.Alumni, Bandung,2006.h.121
BAB IV
KETERKAITAN PEMIDANAAN DENGAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Pendekatan pemidanaan dan penanggulangan kejahatan dalam penegakan hukum pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda tetapi tak terpisahkan. Dikatakan berbeda sebab mempunyai wilayah kajian masing-masing dan juga sering digunakan sendiri-sendiri. Dikatakan tak terpisahkan sebab keduanya saling ketergantungan dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apa pun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.108 Dalam kaitan itu Schultz menyatakan, naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.109
Perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, juga karena masih diragukannya atau
108 Rubin, dikutip dalam H. D. Hart (ed.), Punishment: For and Against, New York, 1971, h. 21. Lihat juga Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.99
109 Schult dikutip dalam Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.99, mengenai “ no matter what the nature of this sentences, whether it be punitive or rehabilitative, it we will have little or no effect on the crime problem.
dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.110
Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.111
Middendorf menyatakan, bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari "general deterrence" karena mekanisme pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebisaaan-kebisaaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.112
Praktiknya, sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian
110 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.101
111 Johannes Andenaes, Punishment and Deterrence, The University of Michigan Press, 1974. Lihat juga The General Part Of The Criminal Law of Norway,1965.h.346. Lihat Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.99
112 Middendorff, Punishment For & Against, The State Police School in Freiburg Germany. 1971. Lihat juga Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.99
si Pelanggar karena tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan jumlah lamanya pidana.Akhirnya ditegaskan bahwa " masih sangat sedikit mengetahui tentang apa yang membuat seorang terpidana kembali melakukan atau tidak melakukan aktivitas kejahatan".
Donald R. Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan, bahwa efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial. Kebisaaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dan kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia dari pada sanksi hukum.113 R. Hood dan R. Sparks menyatakan, bahwa beberapa aspek lain dari "general prevention", yang sulit untuk diteliti seperti pelaksanaan atau penegakan nilai-nilai sosial (reinforcing social values), penguatan kesadaran umum(strengthening the common conscience), mengatasi rasa takut atau ketakutan (alleviating fear) dan memberikan jaminan secara komunal (providing a sense of communal security).114
Karl O. Christiansen menyatakan bahwa :115
113 Donald R. Taft and Ralph W. England, Criminology, 1964, h. 315. Lihat juga Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.99-100
114 R. Hood & R. Sparks, Key Issues in Criminology, 1967, h. 173. Lihat juga Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.100. Beberapa aspek lain dari "general prevention", menurutR. Hood & R. Sparks seperti "reinforcing social values",
"strengthening the common conscience", "alleviating fear" dan "providing a sense of communal security" sulit untuk diteliti
115 Karl O. Christiansen, The Interaction of Criminal Policy and the State of The Crime, Criminology between the rule of law and the outlaws, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, Tokyo, 1974. Some Considerations on the Possibility
Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh ("general prevention".) terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening the collective colidarity), menegaskan kembali/ memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya."
Khususnya mengenai pengaruh dari pidana penjara, diketahui pengaruhnya terhadap si pelanggar, tetapi pengaruhnya terhadap masyarakat secara keseluruhan ("general prevention") merupakan "terra incognita", suatu wilayah yang tidak diketahui ("unknown territory').116
Menurut S. R. Brody, dari sembilan penelitian (mengenai pemidanaan) yang diamatinya, lima di antaranya menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani di dalam penjara tampaknya tidak berpengaruh pada adanya penghukuman kembali (reconviction).117
of a Rational Criminal Policy, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, Tokyo, 1974. Lihat juga Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif dalam Pennggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Cet.III. UNDIP .2000. h.100.
116 Barda Nawawi Arief. 2000. Op.Cit. h.101.
117 S. R. Brody.The Effectivenes of Sentencing. Her Majesty’s Stationary Office, London.1976.h.39 Lihat juga Barda Nawawi Arief, 2000.h.105