• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkup Tindak Pidana yang Diancam Pidana Mati

Dalam dokumen MARS PUBLISHER (Halaman 86-142)

A. Kebijakan Legislasi

2. Lingkup Tindak Pidana yang Diancam Pidana Mati

Berdasarkan hasil penelusuran peraturan perundang- undangan, dapat diperoleh gambaran mengenai perturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana

146 J.E.Jonkers. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Bina Aksara, 1987.h.27

Kebijakan Formulasi Pidana Mati

Aturan/ Pedoman Pemidanaan Lingkup Tindak Pidana

yang Diancam Pidana Mati

Kesimpulan Teori & analisis

Gambar Skema Pembahasan dan Analisis Kebijakan Formulasi Pidana Mati

mati147. Keseluruhan perundang-undangan tersebut yang di dalamnya ada pasal-pasal memuat jenis tindak pidana (stratbaarfeit) yang diancam pidana mati. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.148

Tabel 3 Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Jenis Tindak Pidana yang Diancam Pidana Mati di Indonesia

147 Perundang-undangan (KUHP dan UU di luar KUHP) mengatur jenis tindak pidana yang diancam pidana mati di Indonesia, meliputi :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. KUHP Militer

3. Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api

4. Penpres No. 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan

5. Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi

6. UU No. 11 Pnps Tahun 1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversif 7. UU No. 31 Pnps Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga

Atom

8. UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan

9. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

10. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, telah diubah menjadi UU No.35 Tahun 2009

11. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi 12. UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

13. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 14. UU No.9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Senjata Kimia.

15. UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika

148 Hasil penulusuran peraturan perundang-undangan di Indonesia

No. Peraturan Perundang- Undangan

Pasal ∑

Tindak Pidana 1 KUHP Pasal 104, 111 ayat (2),

124, 140 ayat (3), 340, 365 ayat (4), 444, 124 bis, 127,129, 368 ayat (2)

11

2 KUHP Militer Pasal 64, 65, 67, 68, Pasal 73 ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4, Pasal 74 ke-1 dan ke-2, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 89 ke-1 dan ke-2, Pasal 109 ke-1 dan ke-2, Pasal 114 ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1) ke-1 dan ke-2, Pasal 137 ayat (1) dan (2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 ayat (2)

16

3 UU No. 12/ 1951 tentang Senjata Api

Pasal 1 ayat (1) 1

4 Penpres No. 5/

1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung

dalam hal

Pasal 2 1

memperberat ancaman hukuman

terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan 5 Perpu No. 21/

1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman

Terhadap Tindak Pidana Ekonomi

Pasal 1 ayat (1) dan (2) 1

6 UU No. 11 Pnps/1964

tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversif

Pasal 1 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan (2)

2

7 UU No. 31 Pnps/1964

tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Tenaga Atom

Pasal 23

8 UU No.4/1976 tentang

Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal

Pasal 3, Pasal 479 huruf (k) dan (o)

2

Dalam KUHP bertalian dengan Perluasan

Berlakunya Ketentuan Perundang-

Undangan Pidana Kejahatan

Penerbangan dan Kejahatan

Terhadap

Sarana/Prasarana Penerbangan 9 UU No. 5/ 1997

tentang

Psikotropika (UU Psikotropika)

Pasal 59 ayat (2) 1

10 UU No. 22/ 1997 tentang Narkotika diubah menjadi UU No.35/2009 (UU Narkotika)

Pasal 80 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 82 ayat (1), (2) dan (3)

2

11 UU No. 31/ 1999 tentang

Pemberantasan Korupsi (UUPTPK)

Pasal 2 ayat (2) 1

12 UU 26/ 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia (PHAM)

Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)

4

13 UU No. 15/ 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PTPT)

Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.

7

14 UU No. 9/ 2008 tentang

Penggunaan

Bahan Kimia dan Senjata Kimia (PBKSK)

Pasal 27 1

15 UU No.35/2009 tentang Narkotika

Pasal 113, 114, 116, 118, 119, 121, 132, 133, 144

9

Jumlah 59 59

Tabel tersebut memberikan gambaran mengenai peraturan perundang-undangan (2 KUHP, 11 Undang- Undang, 1 Penetapan Presiden (Penpres) dan 1 Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang memuat ancaman pidana mati. Berdasarkan keseluruhan pasal pada peraturan perundang-undangan tersebut terdapat sekitar 59 jenis tindak pidana yang diancamkan pidana mati.

Pidana mati di Indonesia memperoleh dasar pembenarannya melalui pengaturannya di dalam Pasal 10 KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu bentuk ancaman pidana pokok. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 KUHP149, yang kemudian mengalami

149 Pasal 11 KUHP :

Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri

pengenyampingan berlakunya berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No.2 Tahun 1964150 .

Secara umum, di dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, yaitu:Pasal 104 KUHP151 mengenai tindak pidana makar terhadap Presiden dan wakil Presiden; Pasal 111 ayat (2) KUHP152mengenai tindak pidana membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang;Pasal 124 ayat (3) KUHP153mengenai tindak pidana membantu musuh waktu perang;Pasal 124 bis KUHP 154 mengenai tindak pidana menyebabkan atau

150Penetapan Presiden (Penpres) No.2 Tahun 1964dijadikan undang-undang dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1969) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

151 Pasal 104 KUHP :

Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

152 Pasal 111 ayat (2) KUHP :

Jika permusuhan atau perang sungguh terjadi, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

153 Pasal 124 ayat (3) KUHP :

Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika: Ke-1: memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat penghubung, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun angkatan laut, angkatan darat ataupun bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu usaha untuk menggenangi air atau bangunan tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang.

154 Pasal 124 bis KUHP :

Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika: menyebabkan atau

memudahkan atau menganjurkan huru-hara; Pasal 140 ayat (3) KUHP155mengenai tindak pidana makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat mati;Pasal 340 KUHP156 mengenai tindak pidana pembunuhan berencana;Pasal 365 ayat (4) KUHP157mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian;Pasal 444 KUHP 158 mengenai tindak pidana pembajakan di laut, di pesisir, dan di sungai yang mengakibatkan kematian;Pasal 479 k ayat (2) KUHP159 mengenai tindak pidana pembajakan pesawat udara;Pasal

memperlancar timbulnya huru hara, pemberontakan atau desersi di kalangan angkatan perang.

155 Pasal 140 ayat (3) KUHP :

Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana dan berakibat maut, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

156 Pasal 340 KUHP :

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

157 Pasal 365 ayat (4) KUHP :

Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam non.1 dan 3.

158 Pasal 444 KUHP :

Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam dalam Pasal 438-441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

159 Pasal 479 k ayat (2) KUHP :

Jika perbuatan itu menyebabkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

479 o ayat (2) KUHP160 mengenai tindak pidana melakukan perbuatan kekerasan dalam pesawat apabila mengakibatkan hancurnya pesawat atau matinya orang.

Mencermati ketentuan tindak pidana yang diancam pidana mati dalam KUHP, tergambar tiga karakateristik umum yang paling menonjol, yaitu: tindak pidana politik, militer dan tindak pidana pembunuhan. Karakteristik tindak pidana politik dan militer yang diancam pidana mati seperti makar terhadap presiden dan wakil presiden, membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, membantu musuh waktu perang, menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan huru-hara, makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat mati).

Sedangkan karakteristik tindak pidana pembunuhan yang diancam pidana mati seperti pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian, pembajakan (di laut, di pesisir, dan di sungai) yang mengakibatkan kematian, pembajakan pesawat udara dan melakukan perbuatan kekerasan dalam pesawat apabila mengakibatkan hancurnya pesawat atau matinya orang.

Karakteristik tindak pidana lainnya yang diancam pidana mati yang juga tersirat pada KUHP tersebut di atas adalah tindak pidana terorisme, karena adanya indikasi- indikasi bernuangsa teror (menakut-nakuti), serangan dengan kekerasan, penghancuran harta benda (kerugian materi) serta menyebabkan kematian atau kerugian nyawa.

Hal ini bisa dimaknai atau diinterpretasikan seperti tindakan makar terhadap presiden dan wakil presiden atau makar

160 Pasal 479 o ayat (2) KUHP :

Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang, hancurnya pesawat udara itu, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat mati yang sebetulnya bersifat serangan untuk melumpuhkan kemampuan presiden atau wakil presiden atau raja atau kepala negara sahabat. Demikian pula pada terminologi pembajakan baik di air maupun udara, indikasinya juga mirip dengan tindakan terorisme.

Beberapa ketentuan tindak pidana di luar KUHP yang diancam pidana mati, antara lain : Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika No.5 Tahun 1997 161 mengatur bahwa jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)162 dilakukan secara terorganisir, dapat dipidana dengan pidana mati.

Perbuatan memenuhi syarat untuk dipidana mati seperti yang diatur dalam ayat (1) UU Psikotropika yakni : menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)163(huruf a) ; atau memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika

161 Pasal 59 ayat (2) UU No.5 Tahun 1997 :

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)161 dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp.

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

162 Pasal 59 UU No.5 Tahun 1997 Ayat 1: Barang siapa :

a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau

b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau

c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau

d. mengimpor psikotropika golongan I selain kepentingan ilmu pengetahuan;

atau

e. secara tanpa hak milik, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika golongan I.

163 Pasal 4 ayat (2) UU No.5 Tahun 1997:

Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan

golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6164 (huruf b);

atau mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)165 (huruf c); atau mengimpor psikotropika golongan I selain kepentingan ilmu pengetahuan; atau secara tanpa hak milik, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika golongan I (huruf d).

Pasal 4 ayat (2) yang dimaksud pada ayat (1) huruf a Pasal 59 ayat (1) UU Psikotropika adalah penggunaan psikotropika golongan I yang bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Sedangkan Pasal 6 yang dimaksud pada ayat (1) huruf b Pasal 59 ayat (1) UU Psikotropika adalah larangan memproduksi dan/atai menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I. Selanjutnya, Pasal 12 ayat (3)yang dimaksud pada ayat (1) huruf c Pasal 59 ayat (1) UU Psikotropika adalah psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.

Psikotropika Golongan I166 yng dimaksud pada Pasal 59 ayat (1) huruf a,b,c,d, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal

164 Pasal 6 UU No.5 Tahun 1997:

Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi

165 Pasal 12 ayat (3) UU No.5 Tahun 1997:

Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan

166 Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindromaketergantungan digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:

(1) Psikotropika golongan I : yaitu psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat

(2) Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat menimbulkan ketergantungan.

(3) Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika dengan efek ketergantungannya sedang dari kelompok hipnotik sedatif.

12 ayat (3) adalah psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan digolongkan, yaitu:

psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat.

Mencermati ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika tersebut, secara umum dapat diketahui bahwa perbuatan tindak pidana yang diancam pidana mati adalah penyalahgunaan psikotropika Golongan I yang dilakukan secara terorganisir “di luar tujuan dan kepentingan ilmu pengetahuan dan pengobatan”. Dengan kata lain, penggunaan psikotropika yang menyebabkan potensi ketergantungan yang sangat kuat, memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan, maka dapat diancam pidana mati bila tindak pidana dilakukan secara terorganisasi.

Jenis tindak pidana yang diancam pidana mati juga terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 (UUTPK) sebagaimana telah diperbaiki dan diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUTPK167 mengatur bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 168 dilakukan dalam keadaan tertentu, dapat dijatuhkan pidana mati.

(4) Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan

167 Pasal 2 ayat (2) UU No.31/1999 Jo UU No.20/2001 :

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”

168 Pasal 2 ayat (1) UU No.31/1999 Jo UU No.20/2001 :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau menguntungkan orang lain atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

Kejahatan korupsi yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) UU TPK adalah tindak pidana korupsi secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau menguntungkan orang lain atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUTPK menyatakan bahwa

“dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberat bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang- undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUTPK dan penjelasannya tersebut masih lemah, sebab tidak mempertimbangkan kerugian negara dan penderitaan masyarakat akibat perilaku koruptor. Jika menunggu negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, baru kemudian pidana mati hendak dijatuhkan, maka tentu sama saja membiarkan kejahatan korupsi berlangsung, atau malahan dapat dikatakan sebagai upaya melakukan kriminalisasi kebijakan. Bagaimana mungkin mau menjatuhkan pidana mati ketika negara dalam keadaan bahaya, dan dalam keadaan bahaya yang

pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

bagaimana? Jika yang dimaksudkan dalam keadaan bahaya karena negara bangkrut atau dalam keadaan perang, baru dilakukan pemberatan pidana, apakah itu bukan sikap yang keterlaluan - berlebihan atau dogmatis.

Sekedar gambaran bahwa, kejahatan korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan terutama di level legislatif, eksekutif dan yudikatif berdasarkan berbagai laporan media (baik media cetak maupun elektronik).

Walaupun telah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah koruptor telah diproses secara hukum, namun kenyataannya kejahatan tindak pidana korupsi cenderung tetap meningkat. Meluasnya kejahatan korupsi tersebut pada dasarnya sudah dapat dikatakan sebagai kondisi yang membahayakan kelangsungan negara dan masyarakat, namun realitasnya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUTPK tersebut belum digunakan untuk menjatuhkan pidana mati terutama kepada koruptor kelas kakap.

Atas dasar itu, maka alasan terjadi bencana alam nasional baru kemudian pemberatan pidana (dijatuhkan pidana mati) tampaknya juga sulit diterima akal sehat (irrasional). Demikian pula halnya, alasan pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, sama saja menggunakan kesempatan dalam kesempitan, bahkan terkesan memberikan peluang meluasnya tindak pidana korupsi. Seharusnya, pelaku tindak pidana korupsi dicegah (dengan pidana berat) sebelum mengulangi kejahatannya atau mencegah calon koruptor, bukan setelah merajalela tindakan pidana korupsi kemudian menjatuhkan pidana berat, dan hal inipun masih diragukan.

Kebijakan formulasi pidana mati ada UU No.15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UUTPT), memuat

ancaman pidana mati khususnya tindak pidana diatur dalam Pasal 6,8,9,10,14,15, dan Pasal 16.

Tindak pidana yang diancam pidana mati pada Pasal 6 UUTPT 169 adalah tindak pidana dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban secara massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis dan lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Ancaman pidana mati bagi jenis tindak pidana yang diterangkan pada Pasal 6 UUTPT tersebut adalah kejahatan yang dilakukan dengan sengaja (kekerasan dengan menimbulkan teror dan rasa takut), akibatnya mematikan yaitu perampasan kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda, serta berakibat kematian atau membahayakan kehidupan yaitu mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik/internasional.

Permasalahan yang terjadi, ketentuan Pasal 6 UUTPT tersebut masih lebih dominan menggunakan pendekatan penal, malahan tindakan eksekusi secara ekstra yudisial

169 Pasal 6 UU No.15 Tahun 2003:

Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban secara massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis dan lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling laman 20 (duapuluh) tahun

masih sering diterapkan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sebaliknya, belum ada upaya maksimal untuk menerapkan pendekatan non penal. Selain itu, belum ada pengaturan kebijakan hukum yang jelas mengenai kebijakan penundaan eksekusi bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati dengan ketentuan Pasal 6 UUTPT tersebut.

Tindak pidana yang diancam pidana mati pada Pasal 8 UUTPT170 adalah jenis kejahatan yang dilakukan dengan

170 Pasal 8 UU No.15 Tahun 2003: Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Pasa 6, setiap orang yang :

a. Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengalaman lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut.

b. Menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengalaman lalu lintas udara atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut.

c. Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru.

d. Karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk penerbangan yang keliru.

e. Dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.

f. Dengan sengaja dan melawan hukum, mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara.

g. Karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak.

h. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangngkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan.

i. Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan.

j. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dalam ancaman bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan.

Dalam dokumen MARS PUBLISHER (Halaman 86-142)

Dokumen terkait