ْمُهَلَعَل َةَدئئْف َ ْلاَو َراَصْبَْلاَو َعاَمْسَْلا ئهئداَبئعئل َلَعَج ْيئذَلا ئهلئل ُدْمَحْلَا اَهْيَلَع ْمُهَبئساَحُيَسَو ئمَعِنلا َفاَنْص َأ ْمئهْيَلَع ىَدْسَأَو ،َنْوُرُكْشَي
ُمُه َكئئ و ۤل ُأَف ئمئعْنُمْلا ئةَعاَط ىَلَع اَهئب َناَعَتْسا ئنَمَف ،َنْوُلَأْسُي اَهْنَعَو
َنْوُرئساَخْلا ُمُه َكئئ و ۤل ُأَف ئهْيئصاَعَم يئف اَهَفَرَص ْنَمَو ،َنْوُحئلْفُمْلا
ًائْي َش َداَرَأ اَذئإ ْيئذَلا ُهَل َكْيئر َش َل ُهَدْحَو ُهللا َلئإ َهَلئإ َل ْنَأ ُدَه ْشَأ
ْيئذَلا ُهُلْوُسَرَو ُهُدْبَع اًدَمَحُم َن َأ ُدَهْشَأَو ،ُنْوُكَيَف ْنُك ُهَل َلاَق
َنْوُدَتْهُمْلا يئدَتْهَي ئهئتَرْيئسَو ئهئيْدَهئبَو ،َنْوُلَسْرُمْلاَو ُءاَيئبْنَ ْلا ئهئب ْتَمئتُخ
َمْيئهاَرْبئإ ىَلَع َتْيَلَص اَمَك ٍدَمَحُم ئلآ ىَلَعَو ٍدَمَحُم ىَلَع ِلَص َمُهَللَا ئلآ ىَلَعَو ٍدَمَحُم ىَلَع ْكئراَبَو .ٌدْيئجَم ٌدْيئمَح َكَنئإ ،َمْيئهاَرْبئإ ئلآ ىَلَعَو
ٌدْيئمَح َكَنئإ ،َمْيئهاَرْبئإ ئلآ ىَلَعَو َمْيئهاَرْبئإ ىَلَع َتْكَراَب اَمَك ٍدَمَحُم
ٌدْيئجَم
ْمُكَل ْحئلْصُي ،اًديئدَس ًلْوَق اوُلوُقَو َهـَللا اوُقَتا ،ئهللا َداَبئع اَيَف ،ُدْعَب اَم َأ
َزاَف ْدَقَف ُهَلوُسَرَو َهـَللا ئعئطُي نَمَو ْمُكَبوُنُذ ْمُكَل ْرئفْغَيَو ْمُكَلاَمْع َأ اًميئظَع اًزْوَف
Pujian pada Allah ﷻ
Shalawat pada Rasulullah ﷺ
Semangat untuk jamaah, improfisasi kondisi
Larangan bersifat berlebih lebihan
Ada tiga istilah dalam islam yang berkaitan dengan sikap berlebih -lebihan Pengertian :
Larangan Ghuluw dalam Agama
هللا ىلص هللا لوسر لاق لاق امهنع هللا يضر سابع نبإ نع ملسو هيلع:
يئف ُوُلُغْلا ْمُكَلْبَق َناَك ْنَم َكَلْهَأ اَمَنئإَف ئنيِدلا يئف َوُلُغْلاَو ْمُكاَيئإَو نيِدلا
Dari Ibnu Abbas rodhiallohu anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallama bersabda:
“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama. Sesungguhnya berlebih- lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’i 5/268, Ibnu Majah no.3029, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani, Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Allah Ta’ala berfirman,
َلَو اوُبَر ْــشاَو اوــُلُكَو ٍدئج ْــسَم ِلــُك َدــْنئع ْمُكَتَنيئز اوُذــُخ َمَدَآ يئنَب اــَي
َنيئفئرْسُمْلا ُبئحُي َل ُهَنئإ اوُفئرْسُت
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)
1. Berlebihan (isrof) di sini adalah menambah lebih dari kadar secukupnya.
Ada perbedaan antara isrof dan tabdzir, ada nukilan dari Ibnu ‘Abidin sebagai berikut,
،يغبني ام ىلع ًادئاز يغبني اميف ءيشلا فرص :فارسلا يغبني ل اميف ءيشلا فرص :ريذبتلاو
“Israf adalah menyalurkan sesuatu yang layak melebihi dari kadar layaknya. Sedangkan tabdzir adalah menyalurkan sesuatu pada sesuatu yang tidak layak.”
Karenanya para ulama menjelaskan tabdzir sebagai berikut.
2. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.”
Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan).
Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak
tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang
dinamakan tabdzir (pemborosan).”
Qatadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 68).
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud boros ada dua pendapat di kalangan para ulama:
Boros berarti menginfakkan harta bukan pada jalan yang benar. Ini dapat kita lihat dalam perkataan para pakar tafsir yang telah disebutkan di atas.
Boros berarti penyalahgunaan dan bentuk membuang-buang harta.
Abu ‘Ubaidah berkata, “Mubazzir (orang yang boros) adalah orang yang menyalahgunakan, merusak dan menghambur-hamburkan harta.” (Zaad Al-Masiir, 5: 27-28)
3. Ghuluw adalah sikap melampaui batas kebenaran. Sesuatu yang berlebih-lebihan pasti akan keluar dari jalan yang lurus. Ibn Hajar mengatakan: “Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan menekan hingga melampau batas.” (Fathul Bāri, 13, hal. 278).
Sikap Berlebih-lebihan telah lama menjangkiti umat-umat terdahulu.
Sebelum Nabi Muhammad, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa dikecam karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan.
Allah berfirman:
ئهّللا ُنْبا ُحيئسَمْلا ىَراَصَنلا ْتَلاَقَو ئهّللا ُنْبا ٌرْيَزُع ُدوُهَيْلا ئتَلاَقَو
ُلْبَق نئم ْاوُرَفَك َنيئذَلا َلْوَق َنوُؤئهاَضُي ْمئهئهاَوْف َأئب مُهُلْوَق َكئلَذ
َنوُكَفْؤُي ىَنَأ ُهّللا ُمُهَلَتاَق
“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?”
Jadi berlebih-lebihan dalam beragama adalah sikap melampau batas- batas dalam perintah agama. Hal itu dilakukan dengan cara menambah dengan porsi yang berlebihan sehingga mengeluarkannya dari apa yang diinginkan syariat. Sebab menjalankan perintah syariat itu tidak berlebihan (ifrāth) tidak pula menganggap remeh (tafrīth) (Mas’ud Shobri, al-Ghuluw fi al-Dīn wa al-Hayāh,14).
ءاَوْهَأ ْاوُعئبَتَت َلَو ِقَحْلا َرْيَغ ْمُكئنيئد يئف ْاوُلْغَت َل ئباَتئكْلا َلْهَأ اَي ْلُق ئليئبَسلا ءاَوَس نَع ْاوُلَضَو ًاريئثَك ْاوُلَض َأَو ُلْبَق نئم ْاوُلَض ْدَق ٍمْوَق
Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”
Pertama, ghuluw dalam Ibadah. Yaitu mewajibkan dirinya kepada sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah. Mengharamkan sesuatu untuk dirinya, padahal Allah tidak pernah mengharamkan untuknya, atau ada pula yang terlalu berlebihan melaksanakan ibadah sunnah tapi kewajiban- kewajibannya dilalaikan. Seperti mengharamkan dirinya untuk tidak menikahi wanita dengan tujuan untuk beribadah secara total. Sikap seperti ini meski maksudnya baik, akan tetapi karena melampau batas, maka sikap tersebut mengeluarkan dari jalur kebenaran.
Pernah ada tiga orang yang ingin mengetahui aktifitas ibadah n Nabi di rumah. Mereka tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka bertanya kepada ‘Aisyah z tentang ibadah beliau. Setelah
diberitahukan, mereka merasa ibadah beliau n itu hanya sedikit. Mereka berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang.”
Maka salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat malam terus menerus tidak akan tidur.”
Yang lain berkata: “Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka.”
Dan yang lain berkata: “Aku tidak akan menikah selama-lamanya.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:
ْمُكاَقْت َأَو ئهلل ْمُكاَشْخَل يِنئإ ئهللاَو اَمَأ ؟اَذَكَو اَذَك ْمُتْلُق َنْيئذَلا ُمُتْنَأ
ْنَمَف ؛َءاَسِنلا ُجَوَزَت َأَو ،ُدُقْرَأَو يِلَصُأَو ،ُرئطْفُأَو ُمْوُصَأ يِنئكَل ،ُهَل يِنئم َسْيَلَف يئتَنُس ْنَع َبئغَر
“Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur serta aku menikahi wanita! Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku.”
dalam bentuk ucapan misalnya, puji-pujian yang berlebih-lebihan terhadap seseorang, doa-doa dan dzikir-dzikir bid’ah, misalnya puji-pujian kaum sufi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan wali-wali mereka; demikian pula dzikir-dzikir mereka yang keluar dari ketentuan syariat. Contoh lainnya adalah menambah-nambahi doa dan dzikir, misalnya menambah kata sayyidina dalam salawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, ghuluw dalam hukum, taklit pada satu pendapat. Selama seorang Muslim itu mengamalkan ijtihad fiqh para ulama, maka ia tidak boleh dikafirkan. Perbedaan dalam ijtihad fiqih di kalangan para ulama tidak sampai kepada hukum saling mengkafirkan. Seperti hukum membaca qunut subuh, jumlah shalat tarawih dan ijtihad-ijtihad lainnya tidak diperkenankan sampai mengkafirkan. Perkara-perkara ijtihad itu disebut ikhtilaf tanawwu (perbedaan fariatif).
Adapun jika seseorang telah keluar jauh dari al-haq, berbuat kekufuran secara jelas, dan hal-hal lain yang dalam teks agama masuk ke dalam kelompok yang dikafirkan, maka otoritas hukum tentu menghukumi kafir.
Ketiga, ghuluw dalam akidah. misalnya sikap berlebih-lebihan terhadap para malaikat, Nabi dan orang-orang shalih dengan meyakini mereka sebagai tuhan. Atau meyakini para wali dan orang-orang shalih sebagai orang-orang yang ma’shûm (bersih dari dosa). Contohnya adalah
keyakinan orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap ahli bait dan keyakinan orang-orang sufi terhadap orang-orang yang mereka anggap wali
Berlebihan dalam mencintai sesama makhluk maksudnya menancapkan rasa cinta kepada sesama makhluk ciptaan Allah subhanahu wata’ala melebihi batas kewajaran cinta kepada sesama makhluk.
Sebab, jika sampai cinta kita kepada sesama makhluk melebihi batas wajar kadar cinta kepada makhluk, dikhawatirkan kita terjatuh pada dosa syirik. Yakni menyetarakan cinta kepada makhluk dengan cinta kepada Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 165,
ئهــّٰللا ِبُحَك ْمُهَنْوُبئحُي اًداَدــْنَا ئهــّٰللا ئنْوُد ْنئم ُذئخَتَي ْنَم ئساَنلا َنئمَو
ْوُنَمٰا َنْيئذَلاَو
ٓ ئهّٰلِل اًبُح ُد َشَا ا
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Abi Daud hadits nomor 1997,
ْضئغْب َأَو ،اــَم اــًمْوَي َك َــضيئغَب َنوُكَي ْنَأ ىَسَع اَم اًنْوَه َكَبيئبَح ْبئبْحَأ اَم اًمْوَي َكَبيئبَح َنوُكَي ْنَأ ىَسَع اَم اًنْوَه َكَضيئغَب
“Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai saat ini, suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.”
Keempat, ghuluw dalam kehidupan. Di antaranya, makan, minum dan memakai air secara berlebihan. Rasulullah melarangnya: ”Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari pada perutnya. Hendaklah Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya. Jika tidak bisa, maka makanlah sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napasnya.” (HR Tirmidzi).
Berlebihan dalam Canda Tawa
Rasulullah bersabda, sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah, hadits nomor 4193,
َبْلَقْلا ُتيئمُت ئكئحَضلا َةَرْثَك َنئإَف ،َكئحَضلا اوُرئثْكُت َل
“Jangan berlebihan dalam tertawa, karena berlebihan dalam tertawa dapat mematikan hati.”
Boleh bercanda, asal tidak mengandung dusta. Boleh tertawa, asal tidak berlebihan dan tetap menjaga adab dan etika.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun juga tertawa. Tapi tawa beliau tidak terbahak-bahak, atau tertawa keras. Tertawanya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam adalah senyuman, paling maksimal senyuman beliau sampai terlihat gigi gerahamnya; sebuah senyum yang lebar.
Abdullah bin Mas’ud radhiyalllhu ‘anhu pernah menyaksikan tawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 2537,
ْتَدَب ىَتَح َكئحَض َمَلَسَو ئهْيَلَع ُهللا ىَلَص ُهللا لوُسَر ُتْي َأَر ْدَقَلَف
ُهُذئجاوَن
“Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya.”
Berlebihan dalam Makan
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al-A’raf ayat 31,
اْوُفئرْسُت َلَو اْوُبَر ْشاَو اْوُلُك
ۚ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah, hadits nomor 3349, riwayat dari al-Miqdam bin Ma’di,
َنْمئقُي ٌتاــَمْيَقُل ِيئمَد ْلا ُب ْــسَح ،ٍنْطَب ْنئم اًر َش ًءاَعئو ٌيئمَدآ َ َلَم اَم
، ئباَر َــشلئل ٌثُلُثَو ،ئماَعَطلئل ٌثُلُثَف ،ُهُسْفَن َيئمَد ْلا ْتَبَلَغ ْنئإَف ،ُهَبْلُص ئسَفَنلئل ٌثُلُثَو
“Tidaklah seorang anak Adam memenuhi tempat yang lebih buruk dari perutnya. Ukuran (yang layak bagi perut) seorang anak Adam adalah beberapa suapan yang dapat menguatkan tulang-tulangnya. Karena jiwa seorang anak Adam tidak dapat melampaui batasannya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk jiwanya (nafasnya).”
Berlebihan Bersumpah dalam Jual Beli
Ketika kita mulai menjalankan bisnis, menjual produk fisik atau non fisik, pastikan bahwa produk itu halal baik halal zatnya atau pun halal dalam produksi atau pengadaannya. Kemudian promosikan produk itu dengan cara yang tidak melanggar syariat Islam dalam jual beli.
Hindari konten promosi yang mengandung dusta, hindari berlebihan dalam bersumpah tentang produk yang kita jual, hindari promosi- promosi over claim, dan semisalnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Muslim, hadits nomor 1607,
ُقَحْمَي َمُث ُقِفَنُي ُهَنئإَف ،ئعْيَبْلا يئف ئفئلَحْلا َةَرْثَكَو ْمُكاَيئإ
“Berhati-hatilah kalian dari sering bersumpah dalam berjual beli, bisa jadi sumpah itu membuat dagangan laku namun kemudian keberkahannya lenyap.”
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj jilid 11 halaman 44,
ٍةَجاَح ئرْيَغ ْنئم َفئلَحلا َنئإَف ؛ئعْيَبلا يئف ئفئلَحلا ئةَرْثَك ْنَع ُيْهَنلا ئهيئف يئرَت ْــشُملا َرــَتْغا اــَمَبُرَو ،ئةَعْل ِــسلا ُجيئوْرــَت هــيلإ ُم َــضْنَيَو ،ٌهوُرــْكَم نيئمَيلائب
“Hadits tersebut mengandung hukum larangan berlebihan bersumpah dalam jual beli, karena bersumpah tanpa ada kepentingan hukumnya makruh. Sumpah ini dimaksudkan untuk promosi produk, dengan sumpah itu pembeli akhirnya tertipu.”
Promosi produk dengan sumpah dan narasi-narasi palsu adalah perbuatan dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits nomor 7446,
“Tiga model orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah subhanahu wata’ala dan Allah subhanahu wata’ala tidak akan melihat kepada mereka di hari kiamat kelak.”
Salah satunya adalah,
َوــُهَو ىَطْع َأ اَمئم َرــَثْكَأ اــَهئب ىَطْعَأ ْدــَقَل :ٍةَعْل ئــس ىَلَع َفــَلَح ٌلُجَر
ٌبئذاَك
“Seorang penjual yang bersumpah tentang dagangannya; dia berdusta dengan mengaku telah memberi lebih kepada seorang pembeli dibandingkan yang ia berikan kepada pembeli lainnya.”
Berlebihan dalam Menyampaikan Informasi yang Kita Dengar
Informasi atau kabar apa pun yang kita dengar, belum tentu seluruhnya mengandung kebenaran. Bisa jadi ada bagian-bagian yang masih dipertanyakan kebenarannya. Atau bahkan ada campuran informasi dusta atau hoaks.
Atau, mungkin kita telah yakin informasi yang kita dengar telah terkonfirmasi kebenarannya, namun ketika kita sampaikan seluruh informasi itu kepada orang lain, justru akan menimbulkan mudarat dan kerugian baik bagi diri kita, atau bagi orang yang kita beri informasi, atau pun bagi orang lain.
Oleh karena itu, jangan semua informasi yang kita dengar itu kita sampaikan kepada orang lain. Mari kita saring terlebih dahulu. Sampaikan yang sudah pasti kebenarannya saja. Sampaikan informasi sebatas yang sekiranya diperlukan oleh pendengarnya saja. Sampaikan informasi yang membawa manfaat dan tidak menimbulkan mudarat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Muslim hadits nomor 5,
َعئمَس اَم ِلُكئب َثِدَحُي ْنَأ اًبئذَك ئءْرَمْلائب ىَفَك
“Cukuplah seseorang disebut berdusta ketika ia menyampaikan semua informasi yang pernah ia dengar.”
Meskipun, ghuluw jenis ini tidak sampai mengancam keislaman seseorang, akan tetapi hal ini tetap dilarang. Akibatnya, bisa menjerumuskan seseorang kepada kerusakan diri, kesehatan dan kehidupannya.
Pada hakikatnya, Islam juga melarang orang untuk meremehkan (tafrīth) ajaran dan perintah agama. Orang meremehkan perintah agama juga akan jatuh kepada kekeliruan. Ajaran Islam merupakan ajaran yang lurus, tidak tafrith tidak pula ifrath. Karakter ini menyangkut setiap aspek, baik keyakinan, ibadah, akhalk, muamalah, dan kehidupan sehari-hari.