• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memandang Syāb Amrad: Konsep Ru’yatullah dalam Kitab Sirr Âl-Asrâr, Karya Syekh ʻAbdu Al Qādir Al-Jailānī - IDR UIN Antasari Banjarmasin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Memandang Syāb Amrad: Konsep Ru’yatullah dalam Kitab Sirr Âl-Asrâr, Karya Syekh ʻAbdu Al Qādir Al-Jailānī - IDR UIN Antasari Banjarmasin"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

116 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN

Pada bab terakhir ini, penulis akan memberikan beberapa kesimpulan, terkait pembahasan utama, yaitu penjelasan kata ru’yatullah/melihat Allah dan istilah syâb amrad, sekaligus saran untuk materi yang mungkin bisa digali lebih lanjut oleh siapapun, sehingga khazanah ketilmuan tentang jalan menuju makrifatullah bisa diakses oleh siapapun, dengan harapan di masa mendatang banyak orang yang terinspirasi dan termudahkan.

Ru’yatullâh atau melihat Allah merupakan sesuatu hal yang akan dialami oleh orang beriman. Adapun terkait kapan akan melihat Allah ada dua pendapat, pertama, di akhirat yaitu sesudah fase kematian fisik, kedua, di dunia, dengan syarat ia sudah mengalami kematian nafsu basyariyyah, yang hanya terjadi kepada orang-orang khusus, para kekasih Allah yang khas, dan itupun terjadi dalam keadaan tidur.

Sarana untuk melihat Allah bukan dengan mata fisik, tapi dengan mata hati yang rahasia (rûh qudsi/tiflu al-mâ’anî) pada tingkatan terakhirnya sebelum makrifat dzat Allah.

Segala proyeksi bentuk yang menyatakan atau dinyatakan, yang terjadi pada kekasihNya bahwa itu Allah, bukan bentuk dzat hakiki Allah, melainkan hanya proyeksi cahaya sifat Allah.

Kaidah baku dan mutlak tentang wujud hakiki dzat Allah bersifat :

laitsa ka mitslihî syai’un”, tidak akan ada yang serupa dengan dzat hakiki

(2)

117

Allah. Karena ketika dzat Allah yang hakiki tampil, maka akan musnah segala apapun.

Ayat yang berbunyi, “wujûhu yaumaidzin nâdhiraḫ, ilâ rabbihâ nâdziraḫ”, menjadi dalil mutlak bahwa nanti di akhirat, orang-orang beriman yang disifatkan kondisi wajah mereka bersinar-sinar, akan memandang ke arah Allah. Dan tidak disebutkan secara rinci bahwa akan melihat dzat Allah, tetapi dengan kata “kepada tuhan/ke arah Allah”, jadi dalil ini hanya menyatakan melihat ke arah Allah, dan kemungkinan hanya bentuk proyeksi sifat, karena kaidah mutlak wujud dzat Allah bersifat laitsa kamitslihî syai’un, selama-lamanya, dan penduduk surga masih berada di alam ciptaan.

Jika dipandang secara komprehensif dan holistik, segala wujud eksistensi semesta/alam cipta dan segala yang bersifat muhaddats, merupakan wujudNya, dalam bentuk proyeksi cahaya sifat, sehingga kaidah tauhid yang menyatakan “Allah wajib bersifat wujud/Maha Ada dan selainNya bersifat tiada” menjadi sesuai.

Syekh ‘Abdu Al-Qâdir menyatakan, bahwa gambaran proyeksi Allah yang disaksikan Rasulullah dengan istilah syâb amrad/pemuda yang sangat rupawan, merupakan sosok tiflu al-ma’âni, yaitu proyeksi rûh qudsi yang berada pada dimensi sirr/rahasia pada hirarki ruhani secara langsung antara Allah dan insan.

Adapun metode dalam menjalani hirarki ruhani menurut syekh adalah dengan meniti tahapan-tahapan ruhani yang ada pada jasmani, seperti yang

(3)

118

beliau jelaskan secara detil pada pasal yang ketiga, penjelasan pos-pos ruhani pada jasad.

B. SARAN

Adapun saran untuk penelitian ke depan terkait pembahasan melihat Allah, sangat banyak sekali hal-hal yang bisa dikaji dan diekploitasi, poin- poinnya sebagai berikut,

Kajian tentang detil perjalanan dalam tahapan-tahapan menuju makrifatullah, yang berbasis realita (bukan konsep) empiris, bukan hanya berbasis teori, karena itulah yang sangat diperlukan. Seperti karya-karya ulama sufi terdahulu.

Kajian tentang kordinat-kordinat ruh di berbagai lapisan beserta fungsi dan indikatornya.

Kajian tentang tiflu al-ma’âni atau yang disebut rûh qudsi, antara Allah dan alam insan.

Demikian kiranya kesimpulan dan saran yang bisa penulis cantumkan, semoga kedepannya, cahaya khazanah keilmuan semakin cerah dan menerangi kegelapan dari segala sifat kebodohan.

Referensi

Dokumen terkait

pertimbangan, setelah qur’an dan hadis t dan ijma dalam menetapkan hukum suatu hal dengan perbandingan atau persamaan dengan hal yang telah terjadi, seperti wajib

Abstrak: Makrifah merupakan suatu keadaan seorang hamba yang mengenal Allah dengan segala sifat kesempurnaanNya. Ia merupakan aspek spiritual yang utama perlu

ii KOMPETENSI PENDIDIK PERSPEKTIF ABDULLAH NASHIH ULWAN 1928-1987 M DALAM KITAB TARBIYAH AL-AWLÂD FÎ AL- ISLÂM TESIS Diajukan kepada Pascasarjana UIN Antasari Sebagai salah

Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dalam Kitab Tarbiyah Al-Awlâd fî al-Islâm tentang Kompetensi Pendidik meliputi: a Kompetensi Paedagogik yakni pendidik harus memiliki kemampuan dalam

Menurut Djamara, kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang berkaitan dengan perilaku pribadi guru, yang harus memiliki nilai- nilai luhur sehingga tercermin dalam perilakunya

Hal ini terlihat pada ungkapannya yang menyatakan: “Bertolak dari dasar al-Qur’an dan petunjuk Nabi Muhammad SAW., umat Islam pada periode Rasulullah SAW., dan masa sesudahnya penuh

Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah wawasan pengetahuan terkait Kompetensi pendidik perspektif Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyah al-awldd fi al-Islam

“Metode Pendidikan Karakter Dalam Keluarga Menurut Abdullah Nashih Ulwan Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al-Islam.” TAIN Padangsidimpuan, 2017... Guru Profesional: Pedoman Kinerja,