BAB II
METODE DIROSA DALAM PEMBELAJARAN BACA AL-QUR’AN DI DPD WAHDAH ISLAMIYAH KOTA BANDUNG
A. Sejarah Singkat Wahdah Islamiyah
Wahdah Islamiyah merupakan organisasi massa yang bergerak dibidang dakwah, pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup. Berasal dari kata wahdah yang berarti persatuan, maka Wahdah Islamiyah memiliki arti persatuan Islam. Pertama kali didirikan pada tanggal 18 juni 1988 M dengan nama Yayasan Fathul Muin (YFM), yang kemudian berubah nama menjadi Wahdah Islamiyah. Alasan perubahan nama tersebut ialah, bahwa pergerakan Fathul Muin bukan hanya pergerakan individu melainkan pergerakan organisasi massa. Maka, pada tanggal 19 Februari 1998 YFM berubah nama menjadi Yayasan Wahdah Islamiyah (YWI). Mengawali dakwahnya, YWI merambah dari masjid ke masjid dan berkembang pesat ke berbagai daerah.
Karena perkembangan yang sangat pesat itulah, lembaga Islam ini dirasa tidak memungkinkan lagi apabila bergerak dalam bentuk yayasan. Maka dari itu, YWI berubah menjadi sebuah organisasi massa (Ormas) dengan nama Wahdah Islamiyah yang terbentuk pada 14 April 2002. Wahdah Islamiyah merupakan satu-satunya Ormas Islam berskala nasional yang berasal dari Sulawesi dan berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. (Perdana dan Arianto, Jurnal Kajian Agama, Sosial, dan Budaya, No. 2, 2019: 234-235).
1. Program-Program Wahdah Islamiyah
Berdasarkan kajian (Perdana dan Arianto, Jurnal Kajian Agama, Sosial, dan Budaya. No. 2, 2019: 237) terkait potret Organisasi Wahdah Islamiyah yang salah satunya menjelaskan tentang berbagai program yang dibentuk demi kemaslahatan umat, antara lain sebagai berikut:
a. Pendidikan
Pendidikan Islam merupakan upaya untuk membentuk pribadi- pribadi yang baik dengan menempatkan Al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan utama pendidikan Islam. Maka dari itu, Wahdah Islamiyah
membangun berbagai lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai jalan dakwah serta turut membantu pengembangan Wahdah Islamiyah terkait eksistensinya di kalangan masyarakat.
b. Dakwah
Setiap organisasi dakwah pasti memiliki programnya sendiri terkhusus dalam pembinaan. Tujuan program pembinaan dakwah ialah untuk mempersiapkan dan mengembangkan kualitas para da’i yang memiliki kecakapan dalam bersikap, bertindak, dan berkomunikasi.
Sehingga mereka telah siap untuk melaksanakan kegiatan dakwah.
Salah satu program dakwah yang terdapat di Wahdah Islamiyah, berupa kajian rutin yang membahas berbagai masalah keagamaan.
Kegiatan ini jugs berguna sebagai tempat bersilatuhrahim para jamaah Wahdah Islamiyah.
c. Tabligh Akbar
Sebuah acara yang diadakan berisi khutbah, zikir, dan dakwah.
Acara tersebut biasa dilaksanakan pada tingkat lokal yang bertempat di masjid-masjid setempat, hingga ke tingkat nasional. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat kembali memperdalam agama Islam Salah satu Tabligh Akbar yang baru saja dilaksanakan oleh Wahdah Islamiyah bertema Ummat Fest.
Dilaksanakan bulan November 2019 dengan penceramah Aa Gym dengan salah satu kegiatannya yakni menghapus tato gratis.
d. Program Sosial (Humas)
Salah satu perintah Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an ialah saling tolong menolong antar sesama dengan senantiasa mengedepankan nilai kemanusaiaan yang bertumpu pada persamaan derajat dan hak asasi manusia. Salah satu kegiatan yang senantiasa terus dilaksanakan oleh organisasi Wahdah Islamiyah berhubungan dengan kehidupan sosial meliputi pengurusan jenazah disertai pelatihannya secara langsung, dan ditujukan pula bagi masyarakat umum.
B. Relasi Wahdah Islamiyah dan Pembelajaran Al-Qur’an
Pada pergerakkan dakwahnya, organisasi Wahdah Islamiyah tentu memiliki kaitan erat terhadap pembelajaran Al-Qur’an. Setiap ilmu yang disampaikannya memberikan berbagai pemahaman yang bersumber dari Al- Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak heran, apabila organisasi tersebut turut serta dalam membentuk berbagai pembinaan masyarakat yang mengacu pada Al-Qur’an.
Berdasarkan profil LP3Q DPP Wahdah Islamiyah yang dikutip oleh Hardianti (Skripsi, 2017: 41), pada Muktamar 1, Wahdah Islamiyah Juli 2007 secara resmi merekomendasikan adanya lembaga yang menaungi TK-TPA, maka dibentuklah Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Al- Qur’an (LP3Q) di Makassar, cabang dan daerah binaan sebagai realisasi rekomendasi tersebut. Adapun, beberapa misi LP3Q antara lain: 1) Memberantas buta aksara Al-Qur’an pada seluruh lapisan masyarakat. 2) Mendidik dan mengajarkan Al-Qur’an agar ummat Islam mampu membaca, mempelajari, dan mengamalkannya. 3) Mendidik peserta agar akrab dengan Al-Qur’an, taat beribadah dan beramal sholeh sesuai tuntunan Al-Qur’an dan as-Sunnah. 4) Membangun pondasi pribadi Muslim dengan dasar-dasar keislaman sehingga siap melanjutkan pembinaan pada jenjang berikutnya. 5) Melahirkan generasi penghafal Al-Qur’an. 6) Menjadikannya sebagai pintu penjaringan kader.
Berdasarkan misi-misi LP3Q yang telah disebutkan di atas, dapat kita perhatikan bahwasannya Wahdah Islamiyah merupakan salah satu ormas Islam yang memberikan perhatian serius terhadap pembinaan masyarakat melalui pendidikan Al-Qur’an.
Sehubungan dengan hal ini, dalam menyebarkan dakwah Islam melalui pendidikan Al-Qur’an, lembaga menitik beratkan pendidikan Al-Qur’an pada 3 bentuk, yaitu TK-TPA, Dirosa dan tahsin Al-Qur’an. Salah satu upaya konkret untuk memaksimalkan pendidikan Al-Qur’an kepada masyarakat, yakni dengan diterbitkannya buku-buku panduan sebagai penunjang dalam pendidikan Al-Qur’an (Komari dan Sunarsih, 2015: 9).
Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa Pendidikan Al-Qur’an bagi masyarakat merupakan salah satu bentuk pembinaan keislaman yang rutin dilaksanakan oleh lembaga Wahdah Islamiyah. Hal ini merupakan salah satu jalan dakwah sekaligus upaya mempererat silaturahim antara jamaah Wahdah Islamiyah dengan masyarakat sekitar.
Sumber lain yang menuturkan alasan perlunya pembelajaran Al-Qur’an sebagaimana dikemukakan oleh Saddang, Achmad dan Munir (Jurnal Diskursus Islam. No. 3, 2018: 482-484) ialah munculnya berbagai produk sains dan teknologi telah menggeser minat belajar membaca Al-Qur’an, hingga mengakibatkan sepinya lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an di rumah-rumah keluarga Muslim. Hal tersebut menjadi alasan bagi sepasang suami istri di Makassar yakni Ustadz Komari dan istrinya Ustadzah Sunarsih, untuk memulai gerakan membaca Al-Qur’an di usia kanak-kanak hingga dewasa.
Kesadaran para orang tua santri yang telah melihat keberhasilan anaknya mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar dan fasih di TK/TPA, menjadi cikal bakal terbentuknya Taman Pendidikan Al-Qur’an Ibu-Ibu (TPAI) di Sungguminasa, Makassar pada tahun 1991 oleh Sunarsih yang juga selaku pencetus dan pengajar di tempat tersebut. Belajar dari pengalamannya selama 15 Tahun, beliau mencoba memperbaiki sistem pengajaran hingga menemukan suatu format ideal yang semula menggunakan buku iqro’ diganti dengan buku iqro’ dewasa yang sekarang dikenal dengan buku Dirosa. Pada bulan Mei 2009, secara resmi DPP Wahdah Islamiyah menetapkan Dirosa sebagai program Nasional Wahdah Islamiyah untuk seluruh kader dan binaan seluruh Indonesia. (Komari dan Sunarsih, 2015: 16-19)
Kemudian, Arianto Maliki menuturkan dalam (Perdana dan Arianto, Jurnal Kajian Agama, Sosial, dan Budaya, No. 2, 2019: 240) bahwa strategi dakwah Wahdah Islamiyah yang paling nampak ialah pendidikan dan sosial.
Tujuan diadakannya pembelajaran Al-Qur’an yang salah satunya melalui program Dirosa ini ialah untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam terkait sumber hukum Islam. Sebab, tujuan penting dalam strategi dakwah yakni membentuk umat yang berpengetahuan secara spiritual dan sosial.
Berbagai pernyataan di atas memperjelas bahwa Wahdah Islamiyah memiliki relasi yang cukup kuat dengan pembelajaran Al-Qur’an. Hal ini dapat dipahami dari munculnya keinginan besar untuk membina masyarakat dalam mengenali dasar-dasar keislaman yang dimulai dengan meningkatkan kemampuan membaca Al-Qur’an. Penerimaan setiap daerah terhadap kehadiran Wahdah Islamiyah, merupakan faktor penting yang mendukung kelancaran suatu kegiatan.
C. Konsep Umum Pembelajaran Al-Qur’an 1. Pengertian Pembelajaran Al-Qur’an
Berdasarkan UU SPN No. 20 tahun 2003, pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Majid (2013: 4), istilah pembelajaran dimaknai sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya dan strategi, metode, serta pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan pandangan Oemar Hamalik dalam (Afroni dan Rumba, Jurnal Pendidikan Islam, No. 2, 2018: 163) bahwasannya proses pembelajaran merupakan bentuk aktivitas belajar mengajar dalam suasana interaksi edukatif yang sadar akan tujuan.
Selanjutnya, Majid (2005:104) dalam (Suwatno, A. Sobandi dan Rasto, Jurnal MANAJERIAL. No. 20, 2012: 33) menuturkan bahwa pembelajaran memiliki tahapan-tahapan yang meliputi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Berbicara mengenai pembelajaran Al-Qur’an, Fetullah (2011: 7) dalam (Pratiwi, Skripsi 2013: 5-7) menyebutkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang dibenamkan dalam kalbu Rasul Muhammad Saw. sebagai petunjuk yang diberikan kepada manusia dan seluruh alam agar berjalan menurut hukum-hukumNya. Proses
pembelajaran Al-Qur’an menyaratkan adanya talaqqi yakni (pertemuan guru dan murid secara langsung).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran Al-Qur’an merupakan interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik melalui berbagai tahapan dan upaya yang mendukung aktivitas belajar dalam mencapai tujuan pembelajaran Al- Qur’an yang terencana.
2. Komponen-komponen pembelajaran
Adapun pembelajaran memiliki komponen-komponen yang mendukung kegiatannya. Sebagaimana Dolong (Jurnal Inspiratif Pendidikan. No. 2, 2016: 295) menyatakan bahwa masing-masing komponen pembelajaran memiliki relevansi yang sangat penting bagi keberlangsungan proses pembelajaran, sehingga tidak akan bisa berjalan apabila salah satu komponennya tidak terpenuhi. Komponen-komponen tersebut ialah: Tujuan pembelajaran, peserta didik, pendidik, bahan ajar, metode, media, dan evaluasi.
Tujuan pembelajaran Al-Qur'an menurut Mahmud Yunus dalam (Mukhlis, Skripsi, 2013: 15) ialah:
a. Memelihara kitab suci dengan membaca serta memperhatikan isinya, untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi kita.
b. Mengingat hukum agama yang termaktub di dalam Al-Qur'an.
c. Menanamkan akhlak mulia berdasarkan pada riwayat-riwayat yang termaktub dalam Al-Qur'an.
d. Menumbuhkan keimanan dan menjadikan hati dekat dengan Allah.
e. Mengharap keridhoan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Berdasarkan hal ini, salah satu bentuk dalam memelihara kitab suci yakni dengan membaca dan memperhatikan isinya. Adapun di antara tujuan pembelajaran Al-Qur’an yang berkaitan erat dengan membaca, sebagaimana penuturan Mukhlis (Skripsi, 2013: 13) antara lain mampu membaca Al-Qur'an dengan baik, melafadzkan huruf-huruf hijaiyah dengan benar, dan melatih
kecepatan dalam membaca Al-Qur'an agar terbiasa mengucapkan kalimat- kalimat berbahasa Arab, sehingga dapat memudahkan seseorang dalam menghafal Al-Qur'an di kemudian hari.
Terdapat relevansi antara tujuan pembelajaran dengan peserta didik, dimana tujuan pembelajaran merupakan acuan seorang pendidik untuk memenuhi kebutuhan peserta didiknya dalam suatu proses belajar. Maka dari itu, seorang pendidik harus mampu memastikan bahwa peserta didik telah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan dari pembelajaran baca Al-Qur’an.
Selain itu, Muhammad Yaumi dalam (Dolong, Jurnal Inspiratif Pendidikan.
No. 2, 2016: 296) menandaskan bahwa menganalisis karakteristik umum peserta didik adalah langkah strategis dalam merancang pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan masing-masing peserta didik.
Menanggapi hal tersebut, Dolong menyebutkan adanya relevansi antara peserta didik dalam interaksi edukatif dengan pendidik, sama halnya dengan metode pembelajaran yang memiliki keterkaitan dengan keduanya. Hal ini terlihat dari perlunya seorang pendidik memperhatikan karakteristik peserta didik sebelum menentukan metode yang akan digunakan dalam pembelajaran.
Begitu pun relevansi antara bahan ajar dengan komponen pembelajaran lainnya sangat jelas terlihat. Sebagaimana dalam menyampaikan bahan ajar, memperhatikan metode yang akan digunakan sebelum menyampaikan materi pelajaran merupakan suatu hal yang harus dilakukan pendidik agar materi yang disampaikan mudah dipahami oleh peserta didik (Dolong, Jurnal Inspiratif Pendidikan. No. 2, 2016: 297).
Adapun, materi pembelajaran baca Al-Qur’an secara umum menurut Anggranti (Jurnal Intelegensia, No. 1. 2016: 108) dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yakni sebagai berikut:
a. Pengenalan huruf hijaiyah dan makhrajnya b. Pemarkah (al-syakkal)
c. Huruf-huruf bersambung d. Tajwid dan bagian-bagiannya
e. Gharib (bacaan-bacaan yang berbeda dengan kaidah secara umum).
Selain itu, media yang digunakan dalam pembelajaran turut mempengaruhi pendidik dan peserta didik dalam menyampaikan dan menerima informasi yang disampaikan. Tanpa media pembelajaran, informasi yang disampaikan tidak dapat diterima dengan maksimal. Maka dari itu, relevansi antara media dengan komponen pembelajaran lainnya turut serta menentukan hasil akhir dari sebuah pembelajaran.
Sama halnya dengan evaluasi sebagai penilaian, dimana membantu pendidik mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar. Tujuan lain dari evaluasi atau penilaian ini diantaranya adalah untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya (Nuriyah, Jurnal Edueksos, No. 1, 2014: 86).
Berbagai pernyataan di atas memperlihatkan adanya hal-hal yang harus diperhatikan seorang pendidik dalam menyiapkan komponen pembelajaran sebelum menerapkannnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gage dan Berliner dalam (Suyono dan Hariyanto, 2014: 187) yang menyebutkan tiga fungsi utama pendidik dalam pembelajaran, yakni sebagai perencana (planner), pelaksana dan pengelola (organizer) serta penilai (evaluator).
D. Motivasi dalam Belajar
Proses belajar, erat kaitannya dengan motivasi-motivasi atau alasan yang menjadi dorongan bagi seseorang melaksanakan aktivitas belajarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Online, diakses melalui aplikasi KBBI QTmedia), motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
Sedangkan berdasarkan pernyataan Ngalim Purwanto (2004: 73) dalam (Ayomi, Skripsi, 2018: 17), motivasi merupakan suatu usaha sadar yang didasari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil dan tujuan tertentu.
Pernyataan tersebut sejalan dengan cikal bakal munculnya Dirosa.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, munculnya Dirosa pertama kali atas dasar kesadaran para orang tua yang melihat keberhasilan anaknya mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar dan fasih di TK/TPA. Hal tersebut menjadi motivasi mereka untuk mencoba mempelajari Al-Qur’an yang dimulai melalui pembelajaran baca Al-Qur’an.
Terdapat dua macam motivasi yakni intrinsik (dari dalam) dan ekstrinsik (dari luar). Motivasi intrinsik sebagaimana pernyataan M Sobry (2013: 70) dalam (Irmayanti, Skripsi, 2018: 11) bahwasannya motivasi ini timbul dari dalam diri sendiri tanpa ada paksaan atau dorongan dari orang lain, motivasi ini disebut juga sebagai “motivasi murni”. Sedangkan motivasi ekstrinsik menurut Nyanyu Khodijah (2014: 152) dalam (Ayomi, Skripsi 2018: 23) ialah motivasi yang timbul karena adanya rangsangan dari luar atau bantuan dari orang lain.
E. Metode Pembelajaran Baca Al-Qur’an 1. Konsep Umum Metode
Metode merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang telah disusun dalam kegiatan nyata, agar tujuan yang telah tersusun dapat tercapai secara optimal (Majid, 2013: 193). Sebagaimana makna metode dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Online, diakses melalui aplikasi KBBI QTmedia), yakni cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Sedangkan Maesaroh (Jurnal Kependidikan, No. 1, 2013: 155) mengungkapkan bahwa Metode merupakan suatu alat pendukung pelaksanaan pendidikan yang digunakan dalam penyampaian materi.
Sebelum menetapkan suatu metode pembelajaran, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya serta harus dipertimbangkan seperti yang dikemukakan Winarno Surakhmad (1979) dalam (Dolong, Jurnal Inspiratif Pendidikan. No. 2, 2016: 298) bahwasannya faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya.
b. Peserta didik dengan berbagai tingkat kematangannya.
c. Situasi dengan berbagai keadaan.
d. Fasilitas yang mendukung proses belajar
e. Pribadi guru serta kemampuan profesinya yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode merupakan salah satu komponen pembelajaran yang memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan proses pembelajaran Al-Qur’an. Sebelum menentukan metode, pendidik haruslah memiliki penguasaan yang baik terhadap bahan ajar yang akan disampaikan, memperhatikan keadaan peserta didik yang akan dihadapi, serta fasilitas yang akan digunakan nantinya. Pertimbangan tersebut dilakukan untuk mendapatkan metode yang tepat bagi keberlangsungan suatu pembelajaran Al-Qur’an.
2. Macam-Macam Sumber Rujukan Pembentuk Metode Dirosa
Sebagaimana yang peneliti ketahui, bahwa metode Dirosa terbentuk dari berbagai metode membaca Al-Qur’an yang berperan sebagai sumber rujukan dalam penyusunan format belajar yang dirasa ideal, khususnya bagi orang dewasa. Sumber rujukan tersebut antara lain buku iqra’, Qiro’ati, al-Barqy, Tilawati, serta Baghdadiyah. Mengutip pernyataan Sophya dan Saiful (Jurnal ELEMENTARY, No. 2, 2014: 338-344), gambaran terkait metode-metode tersebut antara lain, sebagai berikut:
a Metode Baghdadiyah
Metode ini disebut juga dengan metode “Eja“, yang berasal dari Baghdad. Materi-materinya diurutkan dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang sifatnya umum kepada materi yang khusus. Secara garis besar, Qoidah Baghdadiyah memerlukan 17 langkah. 30 huruf hijaiyah yang selalu ditampilkan secara utuh dalam setiap langkah, dan menjadi tema sentral serta memiliki irama yang enak ketika diperdengarkan. Metode ini dapat digunakan pada pembelajaran secara klasikal maupun privat.
b Metode Jibril
Metode Jibril di latar belakangi oleh sistem pengajaran malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad pada proses penyampaian wahyu al- Qur’an ini, metode ini menggunakan sistem musyafahah atau sistem tatap muka. Sehingga teknik dasar pada metode ini adalah dengan membaca satu ayat atau lebih kemudian ditirukan oleh seluruh peserta didik sampai sesuai dengan bacaan gurunya. Metode ini diselesaikan dalam dua tahap pembelajaran, yaitu tahqiq dan tartil.
c Metode Iqro’
Metode Iqro’ disusun oleh KH. As’ad Humam dari Kota gede, Yogyakarta. Metode ini dapat berkembang pesat di Indonesia, di awali dengan adanya munas DPP BKPRMI Surabaya yang mengukuhkan TK Al-Qur’an dengan penerapan metode Iqro’ sebagai program utama. Metode ini terdiri dari 6 jilid dengan variasi warna pada sampul buku yang memikat perhatian anak TK Al-Qur’an kala itu.
Berikut ini beberapa cara yang diterapkan pada pembelajarannya antara lain:
1) CBSA (Cara Belajar Santri Aktif) yaitu guru sebagai penyimak saja jangan sampai menuntun, kecuali hanya memberikan contoh pokok pelajaran.
2) Privat, yaitu menyimak seorang demi seorang. Sedangkan klasikal harus dilengkapi dengan peraga .
3) Asistensi, yaitu setiap santri yang sudah sampai pada tingkat pelajaran yang lebih tinggi diharapkan bantuannya untuk menyimak santri lain yang tingkat pelajarannya lebih rendah.
4) Komunikatif, yaitu setiap huruf/kata dibaca betul, dengan catatan, sekali huruf dibaca betul maka tidak ada pengulangan, dan bila ada kesalahan cukup dibetulkan huruf yang salahnya saja.
Kelebihan metode ini ialah lebih cepat dan mudah dalam membaca, namun kelemahannya ialah peserta didik belum bisa
membaca dengan sempurna. Dikarenakan masih merasa kesulitan ketika menemui kalimat yang tidak lazim.
d Metode Qiro’ati
Metode ini memungkinkan anak-anak mempelajari al-Qur’an secara cepat dan mudah. Pencetusnya yakni KH. Dachlan Salim merasa bahwa metode baca al-Qur’an yang ada saat itu belum memadai, seperti metode Baghdadi yang merupakan metode tertua, terlalu mengandalkan hafalan dan tidak mengenalkan cara membaca dengan tartil. Kemudian beliau menerbitkan enam jilid buku Pelajaran Membaca Al-Qur’an untuk anak usia 4-6 tahun di TK Al-Qur’an pada l Juli 1986. Kini metode Qira’ati kian meluas hingga sasaran peserta bertambah menjadi anak usia 4-6 tahun, 6-12 tahun, dan untuk mahasiswa. Secara umum metode pengajaran Qira’ati adalah:
1) Memiliki sistem pembelajaran klasikal dan privat
2) Guru menjelaskan dengan memberi contoh materi pokok bahasan, selanjutnya siswa membaca sendiri (CBSA)
3) Siswa membaca tanpa mengeja dengan tepat dan cepat e Metode Al-Barqy
Pada mulanya, metode ini diperuntukkan bagi peserta didik di SD Islam at-Tarbiyah, Surabaya. Setelah diterapkan pada siswa-siswa tersebut, didapat hasil yang menggambarkan kemajuan para siswa dalam membaca Al-Qur’an yakni adanya peningkatan kemampuan para siswa yang terjadi lebih cepat. Sehingga, pada akhirnya pencetus metode ini yakni Muhadjir Sulthon mulai membukukan metodenya dengan judul Cara Cepat Mempelajari Bacaan Al-Qur’an.
Metode ini disebut Anti Lupa karena mempunyai struktur yang apabila pada saat peserta didik lupa dengan huruf-huruf/suku kata yang telah dipelajari, maka ia akan dengan mudah dapat mengingat kembali tanpa bantuan guru. Metode ini mempunyai keunggulan anak tidak akan lupa sehingga secara langsung dapat mempermudah dan mempercepat anak/siswa belajar membaca Al-Qur’an.
f Metode Tilawati
Metode Tilawati memiliki beberapa kelebihan yang menjadikannya sebagai jaminan terhadap kualitas kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi santri-santrinya, yakni:
1) Santri telah mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil.
2) Santri mampu membenarkan bacaan Al-Qur’an yang salah.
3) Ketuntasan belajar secara individu mencapai 70 % sedangkan belajar secara kelompok telah mencapai 80%.
Adapun prinsip-prinsip pada pembelajaran Tilawati antara lain, sebagai berikut:
1) Disampaikan dengan praktis 2) Menggunakan lagu Rost
3) Menggunakan pendekatan klasikal dan individu secara seimbang.
g Metode Dirosa (Pendidikan Al-Qur’an Orang Dewasa)
Dirosa merupakan sistem pembinaan Islam berkelanjutan yang diawali dengan belajar membaca Al-Qur’an. Buku panduan Dirosa, disusun tahun 2006 dan dikembangkan oleh Wahdah Islamiyah Gowa.
Panduan ini khusus orang dewasa dengan sistem klasikal 20 kali pertemuan yang lahir dari sebuah proses panjang dengan mencari format terbaik pada pengajaran Al-Qur’an di kalangan ibu-ibu selama 15 Tahun dan dialami oleh pencetus metode itu sendiri, hingga akhirnya ditemukan satu format yang sementara dianggap paling ideal dan efektif yakni memadukan pembelajaran baca Al-Qur’an disertai pengenalan dasar-dasar keislaman.
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa metode yang menerapkan sistem klasikal dan privat pada pembelajarannya.
Adapun, Anggranti (Jurnal Intelegensia, No. 1, 2016: 110) menyebutkan bahwa sistem pembelajaran klasikal merupakan cara mengajar yang dilakukan oleh pendidik untuk mencapai suatu tujuan secara bersama-sama. Cara ini dimaksudkan untuk mendapatkan timbal balik antara individu agar saling mempercayai dan
menumbuhkan rasa sosialisasi antar sesama teman. Sedangkan sistem privat menurut Mu’min (1991) yang dikutip oleh Anggranti (Jurnal Intelegensia, No. 1, 2016: 109) ialah cara mengajar yang dilakukan oleh pendidik dengan melatih keterampilan baca pada peserta didik terhadap bahan materi yang telah diberikan secara mandiri.
F. Karakteristik Orang Dewasa dalam Pembelajaran Al-Qur’an 1. Karakteristik Orang Dewasa dalam Belajar
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Online, diakses melalui aplikasi KBBI QTmedia), karakter diartikan sebagai “tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang yang satu dengan yang lainnya, watak”. Sedangkan karakteristik diartikan sebagai ciri atau sifat yang berkemampuan untuk memperbaiki kualitas hidup.
Setiap orang dari berbagai kalangan usia memiliki karakteristik yang berbeda, terlebih dalam menghadapi suatu proses pembelajaran. Di bawah ini merupakan karakteristik orang dewasa dalam belajar, yang dikutip berdasarkan pernyataan Tisnowati Tamat (1985: 20-22) dalam (Sunhaji, Jurnal Kependidikan, No. 1, 2013: 5) yakni sebagai berikut:
a. Pembelajaran lebih mengarah pada suatu proses pendewasaan, seseorang akan berubah dari bersifat tergantung menuju ke arah memiliki kemampuan mengarahkan diri sendiri, dan memerlukan pengarahan diri walaupun dalam keadaan tertentu mereka bersifat tergantung.
b. Karena prinsip utama adalah memperoleh pemahaman dan kematangan diri untuk bisa survive, maka pembelajaran yang lebih utama menggunakan eksperimen, diskusi, pemecahan masalah, latihan, simulasi dan praktik lapangan.
c. Orang dewasa akan siap belajar jika materi latihannya sesuai dengan apa yang ia rasakan dan sangat penting dalam memecahkan masalah kehidupannya, oleh karena itu menciptakan kondisi belajar, alat-alat, serta prosedur akan menjadikan orang dewasa siap belajar. Dengan
kata lain program belajar harus disusun sesuai dengan kebutuhan kehidupan mereka yang sebenarnya dan urutan penyajian harus disesuaikan dengan kesiapan peserta didik.
d. Pada pengembangan kemampuan peserta didik, orientasi belajar terpusat pada kegiatannya.
2. Pendidikan Orang Dewasa
Mengutip pernyataan Kartono (1997: 23) dalam (Sunhaji, Jurnal Kependidikan, No. 1, 2013: 3) yang menyebutkan bahwa pendidikan orang dewasa dalam istilah lain disebut Andragogi. Berasal dari bahasa Yunani dari kata andra yakni orang dewasa, dan agogos artinya memimpin. Maka secara harfiah andragogi berarti seni dalam mengajar orang dewasa, berlawanan dengan paedagogi yang berarti seni dan pengetahuan mengajar anak.
Selain itu, andragogi merupakan bentuk pembelajaran yang melahirkan sasaran pembelajaran (lulusan) yang dapat mengarahkan dirinya sendiri serta mampu menjadi guru bagi dirinya. Adanya keunggulan tersebut menjadikannya landasan dalam proses psembelajaran pendidikan nonformal. Hal ini terjadi karena dalam pendidikan nonformal, pembelajarannya diarahkan pada kondisi yang menekankan peningkatan kehidupan, pemberian keterampilan dan kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dialami terutama dalam hidup dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat (Hiryanto, Jurnal Dinamika Pendidikan, No. 1, 2017: 67).
Pendidikan orang dewasa merupakan bentuk pengaplikasian dari pendidikan sepanjang hayat yang menegaskan bahwa belajar merupakan pendidikan seumur hidup (D. Sudjana, 1991) dalam (Ideharmida, Solfema dan Irmawita, Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, No. 4, 2019: 25). Kondisi- kondisi yang dapat ditimbulkan dari definisi tersebut sebagaimana pernyataan Hiryanto (Jurnal Dinamika Pendidikan, No. 1, 2017: 72) ialah:
a. Orang dewasa termotivasi untuk belajar sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka.
b. Orientasi belajar bagi orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan.
c. Pengalaman sebagai sumber kekayaan untuk belajar orang dewasa.
d. Mengharapkan berhubungan dengan kebutuhan yang tepat.
e. Perbedaan individual di antara perorangan berkembang sesuai dengan usianya.
Maka dari itu, pendidik memiliki fungsi sebagai fasilitator, bukan menggurui, sehingga relasi antara pendidik dan peserta didik (murid, warga belajar) lebih bersifat multi communication (Knowles, 1970) dalam (Hiryanto, Jurnal Dinamika Pendidikan, No. 1, 2017: 67).
Jadi, dapat kita pahami bahwa salah satu pendidikan orang dewasa tak terkecuali dalam mempelajari Al-Qur’an, berkaitan erat dengan keinginannya belajar sesuai kebutuhan hidup. Hal ini diharapkan dapat menciptakan individu dewasa yang mampu mengarahkan diri dan menjadi guru bagi dirinya sendiri.
Sebab, orientasi belajar yang mereka butuhkan berpusat pada keseharian.
G. Konsep Pembelajaran Baca Al-Qur’an dengan Metode Dirosa
Pendidikan Al-Qur’an orang dewasa (dirosa) merupakan pola pembinaan Islam bagi kaum Muslimin pemula (pria, wanita; remaja, orang dewasa, kakek nenek, muallaf) yang dikelola secara sistematis, berjenjang dan berlangsung terus-menerus. Tujuan metode ini ialah, 1) Meningkatkan kemampuan pesertanya dalam membaca Al-Qur’an dengan baik, lancar, dan benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. 2) Memberikan pengenalan dan pengajaran tentang dasar-dasar keislaman (Wahdah Islamiyah, Wahdah.or.id, 30 Januari 2019).
1. Keunggulan Metode Dirosa
Selanjutnya, sebagaimana informasi yang tertulis pada artikel Wahdah Islamiyah dalam (Hafsari, Mardi dan Nursaeni, Journal of Islamic Education, No. 1, 2018: 5) yang menyebutkan bahwa program Dirosa memiliki tujuh keunggulan antara lain, sebagai berikut:
a. Dirancang khusus untuk orang dewasa,
b. Metode yang mudah dan cepat (20 kali pertemuan) c. Biaya pendidikan gratis
d. Waktu dan tempat fleksibel
e. Pembinaan hingga lancar membaca Al-Qur’an f. Bimbingan materi dasar keislaman
g. Sangat cocok bagi pemula maupun yang sudah bisa membaca Al- Qur’an.
2. Teknik Pengajaran
Secara garis besar teknik pengajaran metode dirosa adalah baca, tunjuk, simak dan ulang dengan panduan belajar baca Al-Qur’an sistem klasikal 20 pertemuan. Pendidikan Al-Qur’an orang dewasa (dirosa) diawali dengan bahasan cara melafadzkan semua huruf hijaiyah kemudian mengenai bacaan langsung dan bacaan bersambung dengan urutan penyajian yang disusun secara sistematis (Hafsari, Mardi dan Nursaeni, Journal of Islamic Education, No. 1, 2018: 7).
3. Indikator Kemampuan Baca Al-Qur’an Pada Program Dirosa
Berikut ini merupakan indikator kemampuan baca Al-Qur’an pada program Dirosa mengutip pernyataan Hafsari, Mardi dan Nursaeni (Journal of Islamic Education, No. 1, 2018: 12-18).
a. Tartil, kata tartil berasal dari bahasa arab yang berarti perlahan-lahan.
Pengertian tartil dalam membaca Al-Qur’an yaitu membaguskan bacaan huruf-huruf Al-Qur’an dengan terang, terartur dan tidak terburu-buru serta mengenai tempat-tempat waqaf sesuai aturan-aturan tajwid.
b. Makharij al-Huruf (Tempat-tempat keluarnya huruf), yaitu tempat bunyinya suara keluar dari rongga mulut akibat adanya tekanan udara pada selaput suara. Bunyi suara apabila dikeluarkan dari sumber yang berlainan dalam rongga mulut akan menghasilkan bunyi suara yang berlainan pula. Bunyi suara yang keluar dari salah satu sumber itulah yang dikenal dengan istilah huruf .
c. Tajwid dasar, yang terdapat pada buku Dirosa.