Kebebasan Kaitannya dengan Eksistensialisme Sartre dalam Kerangka Kedaulatan Rakyat Demokrasi Indonesia
Muhammad Musa Aminullah, Muhmmad Yusuf Tsaqif As’ad, Ahmad LPIK Kota Semarang
Email: [email protected] LPIK Kota Semarang
Email:
LPIK Kota Semarang
Email: [email protected]
Abstrak Abstract
PENDAHULUAN
Sejarah panjang Indonesia menunjukkan bahwa era reformasi menjadi titik awal penerapan demokrasi di Indonesia. Penerapan ini di masa sebelumnya banyak mengalami dinamika pada sistem, dimana mengalami perubahan seiring pergantian kepemimpinan.
Demokrasi di Indonesia dinilai masih belia. Demokrasi senja kala adalah keyakinan dimana sistem demokrasi sudah mencapai masa krisis, alih-alih berbicara demokrasi senja kala, di saat yang sama demokrasi di Indonesia tergolong masih labil dengan usia yang terbilang muda. Hal ini bisa kita lihat bagaimana negara maju memiliki sistem demokrasi yang terbuka, partisipatif, dan stabil salah satunya dikarenakan usia demokrasi mereka yang sudah matang. Negara-negara yang merdeka pasca perang dunia II memiliki sistem demokrasi yang masih muda dan belum stabil termasuk Indonesia, berbeda dengan negara seperti Amerika, Perancis, dan lain-lain. Bahkan di era modern ini negara yang memiliki sistem sosialisme dengan kepemimpinan absolut sekalipun mencoba mencitrakan dirinya sebagai negara yang demokratis sebut saja China sebagai negara adidaya baru.
Gelombang aneksasi demokrasi di berbagai negara hari ini menjadi bukti bahwa demokrasi menjadi sistem yang relevan dan diamini banyak penduduk dunia terlepas dari segala kekurangannya. Sebagaimana disampaikan Winston Churchill bahwa sesungguhnya demokrasi bukanlah sistem pemerintahan yang terbaik, namun juga belum ada sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Mari kita coba ingat lagi bagaimana definisi demokrasi
sesungguhnya, seperti yang kita tahu definisi yang populer dituturkan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sedangkan, menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya beliau menyebut setidaknya ada 5 hal yang menyebabkan suatu negara dikatakan negara demokrasi yaitu: negara hukum, kontrol masyarakat terhadap pemerintah, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas dan adanya jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. (Suseno, 1997)1
Selanjutnya persepsi yang berkembang dimana konsep demokrasi disandingkan kepada konsep kebebasan layak diluruskan. Hal ini sangat dipengaruhi dari negara-negara barat sebagai kiblat demokrasi yang mengedepankan liberty atau kebebasan, inilah yang kemudian disebut sebagai paham liberalisme. Hal ini disebut Fareed Zakaria sebagai liberalisme konstitual yang merujuk pada tradisi barat dimana individu berjuang keluar dari belenggu pemerintah, agama, dan masyarakat. Menjadi suatu pertanyaan apakah benar kedaulatan rakyat mampu mengakomodir bahwa rakyat secara kolektif memiliki kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi tanpa ada border apapun itu bentuknya? Benarkah demokrasi dan kebebasan merupakan satu paket seperti yang dipercaya banyak orang?
Tinjauan Teori
1. Teori Kedaulatan Rakyat
Pandangan-pandangan diatas kiranya perlu ditinjau kembali baik dalam sejarah, tataran konsep, hingga kerangka teoritis kedaulatan rakyat. Pandangan kedaulatan rakyat yang kemudian mencuat dan dipilih sebagai pembahasan tulisan ini berangkat dari sistem pemerintahan berbentuk demokrasi yang erat dengan nilai atau bahkan sering digantikan dengan padanan kata republikan atau partisipatori sebagai bentuk menekankan peranan warga negara dalam proses pembuatan kebijakan publik (Hania dan Budi, 2022).
Kedaulatan publik (rakyat) yang mengartikan peran sentral masyarakat dalam membangun sistem hingga kebijakan suatu negara sehingga berjalan berkesinambungan. Kedaulatan rakyat merupakan salah satu dari 5 poin yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia2. Teori kedaulatan yang terdiri dari 5 poin adalah teori kedaulatan tuhan, raja, negara, rakyat,
1 Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama 1997).
2 Asshiddiqie, J, Gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi Dan pelaksanaannya Di Indonesia: Pergeseran
keseimbangan Antara individualisme Dan kolektivisme dalam kebijakan demokrasi politik Dan demokrasi ekonomi selama tiga masa demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1994), hal 11.
dan hukum. Menurut Jimly teori kedaulatan rakyat berarti teori yang menerangkan bahwa kedaulatan negara dipegang oleh rakyat.
Gagasan kedaulatan rakyat hadir atas reaksi perlawanan kepada teori atau ajaran serta praktik kedaulatan raja dimana adanya tindak penyalahgunaan kekuasaan oleh raja di Eropa. Perlawanan lainnya seperti perlawanan kepada kekuasaan gereja di masa itu juga, di tahun 1517, yakni adanya penyelewengan kekuasaan untuk kepentingan dan kekayaan pribadi. Perlawanan yang dimotori oleh kaum Monarchomacha3 ini lah yang melahirkan satu buku dengan nilai kedaulatan rakyat berjudul Vindiciae Contra Tyrannos. Dalam konteks Indonesia melalui Mohammad Hatta berpandangan bahwa kedaulatan rakyat adalah pemerintahan rakyat. Yakni pemerintahan yang dijalankan oleh pemimpin yang dipercayai rakyat.
Selanjutnya Indonesia mengatur kedaulatan rakyat dalam konstitusi dan termaktub pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat, UUD 1945 pasal 1 ayat 1 dan 2, serta Pancasila sila keempat. Untuk mencapai konstitusi yang sekarang bangsa Indonesia memiliki sejarah yang panjang hingga pada akhirnya menjadi negara yang menganut sistem demokrasi dan mengedepankan kedaulatan rakyat. Fachry Ali dalam tulisan opininya yang dimuat Kompas menjelaskan adanya dinamika dan transformasi pemahaman mengenai makna atau posisi “rakyat” yang bermula dari kawula4, lalu wong cilik5, kemudian menjadi warga negara.
Transformasi pemahaman ini lebih lanjut dibahas lewat karya Kuntowijoyo yang berjudul Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia6. Kuntowijoyo menjelaskan transformasi ini masih dalam lingkup evolusi kedaulatan rakyat melalui pergerakan sosial-politik dan ekonomi “umat islam”. Pada mulanya “umat islam” disini mendefinisikan diri sebagai kawula di bawah elit tradisional. Pada masa selanjutnya di bawah pamor Serikat Islam (SI) “umat islam” mendefinisikan diri mereka sebagai wong cilik. Sampai pada pendudukan Jepang hingga Proklamasi pemahaman posisi rakyat –dalam bahasa Kuntowijoyo “umat islam”— bertransformasi menjadi warga negara. Pada saat itu lah lahir kedaulatan rakyat yang ditandai adanya hubungan kekuasaan negara-warga negara.
3 Arif Budiman dalam buku Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi menyebutkan kaum monarchomacha adalah kaum pembantah raja yang berkembang abad 16 yang kemudian tidak hanya mengkritik kaidah-kaidah agama kristen namun juga berbicara perihal hak-hak rakyat.
4 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti abdi, budak, dan hamba sahaya
5 Istilah Jawa yang memiliki arti harfiah orang kecil atau yang menunjukkan status sosial di bawah, pada masa feodal menunjukkan golongan rakyat jelata.
6 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017).
Kedaulatan rakyat juga sangat dekat pembahasannya dengan praktik konkret dalam sistem pergantian kepemimpinan suatu negara seperti pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Dalil populernya adalah “Vox Populi, Vox Dei” artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Ini merupakan bentuk penjunjungan kemuliaan derajat suara rakyat sehingga disetarakan dengan kuasa ilahiah. Demokrasi melalui pemilu artinya mempercayakan suara masyarakat kepada wali rakyat dan penguasa negara dengan martabat dan kehormatan yang diberikan rakyat untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain rakyat mempertaruhkan nasib dan harapan di masa depan kepada mereka.
Paras pemilu juga dapat sangat nampak dan dapat dinilai bergantung pada sistem pemilu yang hendak dibangun. Semakin sistem tersebut menghendaki ruang lebih banyak dan lebih luas bagi rakyat untuk memilih pilihannya sendiri, maka sistem tersebut mendekati dengan amanat konstitusi kedaulatan rakyat. Namun bilamana yang terjadi justru sebaliknya, bisa jadi dapat mencederai konstitusi itu sendiri yakni menjauh dari nilai kedaulatan rakyat. Contohnya perdebatan mengenai sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup.
Sayangnya kedaulatan rakyat dalam teori acap kali tak nampak pada realitanya, menyusul dengan kasus dan tulisan-tulisan dalam beberapa tahun terakhir.
Seperti kasus polemik penghapusan mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan “404: Not Found”, tulisan kritik dari The Economist yang menyatakan semakin melemahnya demokrasi di era Jokowi, hasil riset LP3ES dalam buku Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi, lalu karya Marcus Mietzner berjudul Democratic Deconsolidation in Southeast Asia, dan masih banyak lagi.
2. Eksistensialisme Sartre
Jarang kiranya menemukan pembahasan yang mempertalikan antara demokrasi dengan teori filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri merupakan cabang filsafat yang lahir dari cabang filsafat sebelumnya, sehingga mensintesiskan pemahaman filsafat sebelumnya dan terus berkembang di masa setelahnya. Berbicara eksistensialisme akan menyinggung pemikiran tokoh-tokoh filsuf di baliknya, dan dalam hal ini nama Jean-Paul Sartre lah yang layak untuk dimunculkan. Meski pemikiran beliau mengenai eksistensialisme merupakan hasil pembelajaran oleh tokoh filsuf sebelumnya, namun eksistensialisme menjadi identitas filsuf asal Perancis tersebut. Sartre dianggap sebagai tokoh yang berhasil mengembangkan dan mengangkat teori ini sehingga dikenali masyarakat dunia. Diktum yang masyhur ia
lontarkan berbunyi “human is condemned to be free” artinya manusia dikutuk untuk bebas.
Pembahasan mengenai teori ini akan berfokus kepada etika filsafat eksistensialisme yang lebih lanjut dijelaskan oleh Sartre. Hal ini penting kita sampaikan mengingat adanya perbedaan pandangan dalam teori ini di antara tokoh baik antar waktu atau yang masih semasa dengan Sartre. Meski pada akhirnya Sartre berpindah haluan dalam membangun proyek teori filsafatnya kepada cabang filsafat lainnya. Etika filsafat eksistensialisme Sartre cukup memberikan kacamata yang jernih dalam memandang kebebasan. Selain itu juga jasa dan keberhasilan Sartre dalam membangun dan memopulerkan teori eksistensialisme ini (Farida, 2016).
Substansi pemikiran eksistensialisme Sartre adalah eksistensi mendahului esensi. Eksistensi telah lebih dulu dari esensi, mengartikan manusia memiliki esensi setelah ia eksis, dimana esensi manusia ada setelah ia mati. Manusia tidak memiliki esensi saat lahir melainkan landasan nilai berupa kebebasan manusia itu sendiri.
Kebebasan di sini dimana dia mampu memilih dan menentukan sikap pada kemungkinan yang dihadapi. Sartre kemudian menegaskan bahwa kebebasan disini sama sekali tidak lepas dari tanggungjawab. Sartre mengatakan bahwa tanggungjawab lebih besar daripada yang kita kira, karena menyangkut semua umat manusia (D.
Palmer, 2007)7.
Bila diruntutkan alur kerangka pemikiran Sartre terdiri dari 5 poin, yakni sebagai berikut:
1. La Nausée8 2. Être en-soi 3. Être pour-soi 4. La Liberte 5. Être pour-autrui
Sartre berbeda dalam memandang manusia dibanding Heidegger, filsuf yang banyak memengaruhinya. Heidegger melihat manusia dalam perspektif kematian, sedang Sartre memandang manusia dalam perspektif kemuakan (La Nausée). Etre en- soi atau bisa diartikan ujud (thingness) adalah pengada yang tidak sadar. Manusia tidak sadar perannya apakah sebagai subjek atau objek, bukan subjek sebab tak memiliki kesadaran atas dirinya, dan bukan objek sebab tak sadar bahwa 7 Palmer, D, D, Sartre untuk pemula (5th ed.), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal 116.
8 Artinya pusing, muak, mual mau muntah.
kedudukannya sebagai objek. Manusia hanya penuh atas dirinya sendiri tanpa ada sangkut paut dengan satu hal apa pun (berada dalam kegelapan) (Farida, 2016).
Menurut Sartre segala hal yang ada pada dirinya (Etre en-soi) memuakkan (Hadiwijono, 1980)9. Kemudian yang disebut kesadaran atas dirinya merupakan makna dari Etre pour-soi. Menurut Beerling Sartre melihat ada 2 kenyataan dalam manusia disini yakni Etre en-soi dan Etre pour-soi atau “ujud itu sendiri” dan “yang disadari”. Etre pour-soi membuktikan bahwa manusia mengetahui dengan adanya kesadaran yang aktif serta merupakan bentuk peran eksistensi manusia sebagai subjek yang melihat objek dalam bentuk apa-apa yang dia amati dan pikirkan. Telah jelas bahwa manusia dalam pour-soi adalah manusia yang tidak buta atau tidak dalam kegelapan sebagaimana en-soi.
Telah sampai pada posisi dimana manusia dengan kesadarannya (etre pour- soi) memiliki kebebasan (la liberte). Kebebasan untuk menyangkal ujud benda-benda (etre en-soi), dalam hal ini membedakan benda satu dengan yang lainnya dan juga antara benda dan dirinya (manusia dalam pour-soi itu sendiri). Kebebasan disini juga berarti kemampuan manusia untuk sadar dan bebas menentukan kemungkinan- kemungkinan yang dihadapi. Tidak selesai sampai sini saja, kebebasan di atas memiliki sifat “sendirian”. Bahwa kebebasan selanjutnya merupakan bentuk tanggungjawab atau menerima konsekuensi, dalam bahasa Sartre disebut konsekuensi atas turunnya manusia ke dunia. Selain itu juga, kebebasan yang disebutkan di awal tadi akan dibatasi oleh kebebasan orang lain (tidak sendirian).
Kebebasan yang tidak sendirian inilah yang kemudian disebut Etre pour- autrui artinya berada untuk orang lain. Bahkan kebebasan bersama ini menandakan tidak adanya kebebasan itu sendiri. Sartre melihat adanya hubungan antara eksistensi yakni antara “aku” (subjek) dan objek yang memiliki eksistensi yang sama. Berbeda dengan sebelumnya dimana hubungan antara subjek yang eksis dengan ujud benda- benda. Hubungan Etre pour-autrui disebut sebagai hubungan yang saling mengobjektifikasi satu sama lain dengan kesadarannya masing-masing. Sartre yang individualis hendak mengatakan bahwa hubungan manusia dibangun atas dasar egoistis.
Kembali pada kalimat “bentuk tanggungjawab atau menerima konsekuensi”
pada dua alinea sebelumnya. Puncak eksistensialisme Sartre adalah manusia yang sadar adalah bertanggungjawab atas masa depan. Sadar untuk bertanggungjawab atas 9 Hadiwijono, H, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal 158
diri sendiri bukan hanya kepada dirinya sendiri namun kepada seluruh manusia.
Kedua teori diatas menjadi kendaraan untuk berangkat meninjau sekaligus alat untuk meneropong realitas manusia dan kebebasan dalam demokrasi. Negara dan konstitusi sebagai penyelenggara sekaligus penjaga demokrasi bentuk representasi bagaimana pengawasan dan pemfasilitasian secara adil hak dan kewajiban warga negara. Resiprokal dari masyarakat juga perlu ditingkatkan baik dari literasi hingga kecerdasannya. Tulisan ini hendak memaparkan potret bagaimana demokrasi berjalan melalui kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Indonesia.
METODE
Metode dalam penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Riset yang kami lakukan menggunakan data yanag berasal dari sumber-sumber sekunder berupa buku, jurnal, artikel, dan laman resmi lembaga hingga laman berita yang kami pastikan validitasnya.
PEMBAHASAN
1. Kebebasan Berekspresi dan Toleransi
Kebebasan berekspresi dalam konstitusi diatur dalam Pasal 28 (E) Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Meski sudah diatur banyak sekali ditemukannya kasus baik dari aparat penyelenggara negara yang justru mencederai amanat konstitusi kebebasan berekspresi. Faktor budaya di suatu negara juga menjadi determinan penilaian kebebasan berekspresi di negara tersebut apakah layak dinilai baik. Dalam hal ini budaya yang belum populer bahkan tabu pada masyarakat umum di suatu negara agaknya akan sulit diterima meski secara konstitusi sah-sah saja untuk diekspresikan, konsekuensi nya mungkin akan ada penolakan secara massal. Manusia dalam hal ini masyarakat juga menjadi satu aspek yang cukup menentukan. Tanpa adanya masyarakat yang cerdas dalam menanggapi perbedaan dan toleransi akan sulit menghadirkan iklim demokrasi yang baik.
John Locke berpendapat melalui karyanya yang berjudul The Second Treaties of Civil Government and Letter Concerning Toleration, bahwa semua individu diberkahi dengan hak yang melekat untuk hidup, kebebasan untuk memiliki, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara (Paijo, dkk, 148:
2019)10. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dimaknai sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia, untuk memiliki. Kebebasan berekspresi digunakan untuk menyampaikan pandangan dan pendapat, baik antar individu atau kelompok
10 Paidjo, Hufron, and Setyorini Herlin Erny, Hak Asasi Manusia Dalam Kebebasan Berpendapat Berkaitan
Dengan Makar, Jurnal AKRAB JUARA, 4(5) 2019. hlm 148.
(Wiratraman, 51: 2016)11. Kebebasan secara konstitusi ternyata dapat terbentur dengan budaya dan tipologi masyarakat yang ada.
Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Angka tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari media monitoring yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat. Lebih lanjut dari 44 kasus, setidaknya peristiwa pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terjadi pada ruang digital paling mendominasi, yaitu sebesar 52%. Pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi juga terjadi pada karya jurnalistik (19%), pendapat di muka umum (17%), diskusi ilmiah (10%), dan kesaksian di pengadilan (2%).
Pada praktik lain muncul suatu pertanyaan dimana kebebasan berekspresi tidak begitu fundamental bila disandingkan dengan hak atas hidup, hak beragama atau berkeyakinan, hak tidak mendapat penyiksaan, dan lain-lain. Sebab kebebasan berekspresi seringkali mengobarkan kebencian, menghasut kepada permusuhan, xenophobia, dan seterusnya. Ini yang kemudian bagaimana negara dan masyarakat mampu mengatur dan memberikan ruang sekaligus batasan sampai sejauh mana kebebasan berekspresi dapat diterima.
Aksi pembakaran kitab suci di negara-negara barat hingga penolakan atas aksi LGBT di banyak negara yang menganggapnya diluar nilai yang diamini. Kasus-kasus diatas memperlihatkan perseteruan kebebasan antar golongan masyarakat sehingga sebenarnya sampai sejauh mana kebebasan berekspresi dapat dilaksanakan sehingga tidak perlu ada permusuhan, dan kebencian diantara masyarakat di negara yang demokratis. Jika kebebasan berekspresi merupakan bagian dari HAM, apakah bisa dibatasi?
Kebebasan berekspresi bagian dalam HAM bahkan menjadi salah satu kategori yang utama. UUD 1945 pasal 28 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4 Ayat (2) sangat gamblang memberikan ruang kebebasan berekspresi. Ini merupakan adopsi dari perlindungan HAM yakni Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, yang selanjutnya diatur dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) (Luysky dan Melina,
11 Wiratraman, R. Herlambang, Kebebasan Berekspresi di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2016).
2018)12.
Kebebasan berekspresi ternyata bisa dibatasi. Selain dalam tataran teori eksistensialisme yang sudah kita bahas, ada perangkat kebijakan yang dapat membatasi ini. Merujuk pada pasal 19 ICCPR dan pasal 21 ICCPR tentang hak berorganisasi/berasosiasi dapat dijadikan sebagai subjek derogasi (pembatasan/pengurangan). Kemudian subjek derogasi tadi termaktub dalam pasal 19, 20, dan sub-pasal 19 dan 2. Pada pasal 20 menjadi batasan atas kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Relevansi yang nyata nampak melalui pencegahan apabila adanya kebebasan berekspresi berupa tulisan, gambar atau audio yang menyeru kepada propaganda hingga perang. Selain yang disebut barusan, batasan ini juga termasuk dalam hal menyuarakan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, dan agama (Selian dan Melina, 2018)13.
2. Kebebasan Ekspresi: Pemilu Indonesia
Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi satu indikator berjalannya demokrasi diantara indikator lainnya, Pemilu juga menjadi ajang dalam menyuarakan aspirasi bagi masyarakat untuk negara yang lebih baik di kepemimpinan selanjutnya. pemilu dengan tahun politik yang selalu mempunyai tensi panas baik di level atas hingga akar rumput. Di saat yang sama potensi perpecahan dengan akses informasi yang sangat terbuka serta jaminan atas kebebasan dalam berekspresi. Fenomena buzzer yang mulai banyak pembahasan di 2 pemilu terakhir menyisakan kekhawatiran akan kestabilan persatuan dan kebebasan berekspresi yang dijamin.
Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2022 tentang situasi politik nasional, mayoritas atau sebesar 36,3% responden menilai buzzer provokatif dapat membentuk polarisasi politik di masyarakat yang kian memanas. Sementara 21,6% responden lain menilai polarisasi politik disebabkan karena penyebaran hoax, 13,4% karena kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredam perselisihan, dan 5,8% karena media sosial (Sumber: Katadata.co.id).
Terlihat data tersebut memperlihatkan aktivitas buzzer provokatif dan penyebaran berita hoax merupakan penyebab terbesar terjadinya polarisasi pada masyarakat.
Kondisi politik yang tidak pasti tergambar dalam kalimat “sekarang kawan besok jadi lawan, dan sebaliknya”. Masa tahun politik didukung penggunaan media 12 Faridah, Siti, Kebebasan Beragama Dan Ranah Toleransinya, Lex Scientia Law Review, Volume 2 (2), November 2018, hlm. 195.
13 Selian, D.L., & Melina, C, Kebebasan Berekspresi di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia, Lex Scientia Law Review, Volume 2 (2), November 2018, hlm. 196.
sosial yang masif memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk menyampaikan opini ataupun keresahan. Tinggal bagaimana manajemen personal untuk menjaga situasi adem ayem tetap ada di antara masyarakat dengan kerangka kebebasan berekspresi yang santun. Bangsa Indonesia sudah cukup banyak korban di masa lalu akibat perseteruan dan perpecahan.
3. Jurnalisme Berkualitas
Kebebasan Pers diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1. Bahkan dalam UUD 1945 juga mengatur hal ini melalui pasal 28 F. Pers dapat dipahami secara sempit, maupun luas. Secara sempit, pers berarti media cetak yang terdiri dari surat kabar, majalah, tabloid, dan sejenisnya.
Sementara secara luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, mulai dari media cetak, media audio visual, dan media elektronik. (Salvatore Simarmata, 2014:10).
Negara Indonesia menganut atau mengadopsi konsep trias politica sebagaimana yang dianut oleh banyak negara di dunia. Trias politica pada mulanya dikemukakan oleh John Locke seorang filsuf dari Inggris yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Fungsi eksekutif yang diwakili oleh pemerintah (presiden), fungsi legislatif diwakili oleh Dewan Perwakilan (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta fungsi yudikatif yang diwakili oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Secara konstitusional pers merupakan salah satu pilar demokrasi dimana kebebasan atau kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat sebagai corong untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat. Oleh karenanya pers sering kali disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah 3 fungsi yang kita sebut diatas.
Posisi pers di negara Indonesia di atur dalam Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 pasal 1 ayat 1 berbunyi “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kebebasan pers di Indonesia sendiri diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 berbunyi “kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”
Bahkan dalam UUD 1945 sebagai pedoman dasar mengatur mengenai ini yakni pada pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Giat kerja yang dilakukan oleh pers adalah giat jurnalisme yang mengacu pada disiplin kode etik jurnalisme sebagai landasan bergerak. Sayangnya meski dilindungi secara konstitusi jurnalis masih menjadi profesi dengan tingkat ancaman yang tinggi dengan gaji yang terbilang kecil. Tak sedikit jurnalis yang menjadi korban ancaman hingga tindak kekerasan.
Gambar 1. Data Kekerasan yang Dialami Jurnalis (Sumber: aji.or.id)
Berdasarkan gambar diatas membuktikan kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh para pelaku di dalamnya. Gambar diatas
menunjukkan perbandingan antara tahun 2022 dan 2023 yang ditemukan adanya kenaikan sekaligus penurunan pada beberapa bentuk kekerasan. Kekerasan fisik masih menjadi bentuk kekerasan yang paling tinggi dengan mencapai 16 kasus dan tidak mengalami perubahan pada tahun 2022 dan 2023. Meski bentuk kekerasan berupa ancaman dan pelarangan liputan mengalami penurunan yang signifikan.
Bentuk kekerasan lain seperti teror dan intimidasi, serta serangan digital justru mengalami peningkatan dan seterusnya.
Hal ini memberikan sinyal bahwa perlindungan secara hukum tidak memberikan jaminan bahwa profesi jurnalis aman dari bentuk-bentuk tindak kekerasan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis melalui laman resmi nya menyebutkan sepanjang tahun 2006 hingga 2023 terdapat 1023 total kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka tertinggi jatuh pada tahun 2020 dengan total 84 kasus.
Sedangkan 3 tahun terakhir mengalami peningkatan sejak 2021 hingga 2023 secara berurutan terdapat 41, 61, dan 72 kasus.
Isu kesejahteraan di samping isu kekerasan juga perlu diperhatikan. Jurnalis yang memiliki tuntutan tinggi untuk menghasilkan produk berita yang memenuhi standar kode etik jurnalistik serta profesi yang memiliki resiko yang tinggi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dalam laporan tahunan memperlihatkan kesejahteraan pekerja jurnalis seperti wartawan belum sampai pada taraf layak. Banyak ditemukannya kasus pemotongan gaji, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Hal ini semakin di dukung semakin terpojoknya kerja jurnalis, dibuktikan banyaknya perusahaan media yang gulung tikar. Berdasarkan data serikat perusahan pers masih ada 593 media cetak yang terdaftar pada 2021, tetapi tersisa 399 media pada tahun 2022. Diantara perusahan cetak yang gulung tikar seperti Koran Sindo yang tutup pada tanggal 17 April 2023, lalu harian epublika yang beralih ke digital sejak tanggal 31 desember 2022, dan lain sebagainya.
Rentetan fenomena tadi ditambah dengan hadirnya rancangan undang-undang (RUU) Jurnalisme Berkualitas yang diajukan oleh Dewan Pers awal tahun 2023. RUU ini merupakan respon atas makin maraknya platform digital yang sering kali terdapat pemberitaan yang tidak mengedepankan kode etik jurnalistik. Hal ini tentu menyebabkan adanya disinformasi yang tersebar di masyarakat. Meski demikian, RUU ini sampai sekarang belum disahkan disusul adanya penolakan dari platform digital yang ada.
Kita berharap tegaknya demokrasi di Indonesia terkhusus mampu menciptakan
iklim partisipasi dari segala pihak yang saling membangun, bukan justru yang saling terfragmentasi. Bagaimana demokrasi mampu mengakomodir pendapat dan ekspresi masyarakat dengan tanpa adanya kebencian, permusuhan, hingga perpecahan.
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Frans Magnis Suseno. (1997). Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hania, Z. Budi, D. (2022). Kebebasan Berekspresi di Negara Demokrasi Kaitannya dengan Teori Kedaulatan Rakyat. Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, 1(2).
https://doi.org/10.20961/souvereignty.v2i1
Asshiddiqie, J. (1994). Gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi Dan pelaksanaannya Di Indonesia: Pergeseran keseimbangan Antara individualisme Dan kolektivisme dalam kebijakan demokrasi politik Dan demokrasi ekonomi selama tiga masa demokrasi, 1945-1980-an. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Kuntowijoyo. (2017). Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ali, F. (2022, April 7). Sejarah Kedaulatan Rakyat. kompas.id.
https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/06/sejarah-kedaulatan-rakyat?
open_from=Search_Result_Page
Kristiadi, J. (2021, September 2). Suara Rakyat, Suara Tuhan. kompas.id.
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/02/suara-rakyat-suara-tuhan-3?
open_from=Search_Result_Page
Palmer, D. D. (2007). Sartre untuk pemula (5th ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hadiwijono, H. (1980). Sari sejarah filsafat barat. Yogyakarta: Kanisius.
Budiman, A. (1996). Teori negara: Negara, kekuasaan Dan ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Paidjo, Hufron, and Setyorini Herlin Erny. (2019) Hak Asasi Manusia Dalam Kebebasan Berpendapat Berkaitan Dengan Makar. Jurnal AKRAB JUARA. 4(5).
Wiratraman, R. Herlambang. (2016). Kebebasan Berekspresi di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Selian, D.L., & Melina, C. (2018). “Kebebasan Berekspresi di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia”, Lex Scientia Law Review. Volume 2 No. 2, November, hlm. 185-194.
Faridah, Siti (2018). “Kebebasan Beragama Dan Ranah Toleransinya”, Lex Scientia Law Review. Volume 2 No. 2, November, hlm. 199-214.