Operasi Gagak hingga Monumen Plataran
Sebelum terjadi Serangan Umum 1 Maret di sekitar Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada 1 Maret 1949, pasukan gerilya Indonesia telah melakukan serangan sebagai reaksi atas Agresi Militer II yang dilancarkan penjajah Belanda. Serangan yang dimulai 19 Desember 1948 ini dilakukan di beberapa markas pasukan Belanda di beberapa daerah. Terutama di daerah Sleman.
Sejarawan sekaligus dosen di Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Julianto Ibrahim mengatakan, serangan awal sebelum 1 Maret menjadi langkah strategi pasukan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengurangi dan memutus komunikasi pasukan Belanda ke markas pusat yang berada di Benteng Vredeburg. "Penyerangan ini dinamakan Operasi Gagak atau bahasa Belanda yakni Kraai. Gagak sebagai simbol kematian. Pasukan gerilya ingin menghabisi sekutu agar pergi dari Kota Yogya sekitarnya," ujarnya. Penyerangan pertama pada 19 Desember 1948 di daerah Maguwoharjo, tepatnya di Dusun Sambilegi. Tentara Indonesia menghadang pasukan Belanda yang akan menuju kota. Dalam penyerangan tersebut sekitar sepuluh pejuang gugur. Serangan berlanjut pada 29 Desember 1948. TNI dan laskar bergerilya mengganggu markas-markas Belanda di beberapa tempat. Pada 31 Desember 1948, markas Belanda di Godean diserang pasukan pejuang. Masih di hari yang sama, tepat malam tahun baru pasukan Batalyon 151 di bawah pimpinan Kapten Haryadi menyerang markas Belanda di Kaliurang.
Pada 1 Januari 1949 pukul 12.00, pasukan Indonesia menyerang markas musuh di Pakem dan memutus jalur komunikasi pasukan Belanda antara markas Kaliurang dan Yogya. Tanggal 2 Januari 1949, pasukan Indonesia berhasil mengalahkan sekutu dari Dusun Watu Adeg menuju Cepet. Pada 3 Januari 1949, Belanda membalas penyerangan ke daerah kawasan kediaman bupati di Nangsri Kidul. Penyerbuan itu gagal karena bupati sudah menyiapkan pasukan Poncowati dengan jumlah yang lebih banyak dari musuh. Perlawanan terus berkobar. Pada 4 Januari 1949, pasukan Indonesia menghadang pasukan Belanda yang datang dari Medari menuju Turi. Belanda sangat kuwalahan. Penyerangan sengit kembali terjadi pada 11 sampai 13 Januari 1949 di daerah utara Yogyakarta yakni Ngemplak dan sekitarnya. Belanda masih ingin membalas. Mereka menemukan markas Akademi Militer di daerah Sambiroto pada 24 Februari 1949. Salah satu anggota pasukan Kadet Abdul Jalil tertangkap karena dalam kondisi sakit dan tertinggal oleh pasukan lainnya. Dia meninggal di tangan penjajah Belanda.
"Belanda menemukan buku harian Kadet Abdul terkait lokasi akademi militer di daerah lain dan strategi yang akan dilakukan untuk melakukan penyerangan. Markas utama akademi militer saat itu berada di Kalasan. Delapan pejuang gugur tepat di lokasi yang saat ini menjadi Monumen Plataran. Dalam monumen juga tertulis nama-nama pejuang yang gugur tersebut," ungkap Julianto.
Pertempuran masih terjadi hingga 27 Februari 1949. Puncaknya adalah pasukan Indonesia menyerang markas Belanda di Benteng Vredeburg pada 1 Maret 1949. Pasukan Indonesia menang dan berhasil menguasai Kota Yogyakarta.
SEJARAH SINGKAT DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.
Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri.
Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).
Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin- pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang sangat menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta. Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propisni Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang- undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “. Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.
Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan- peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram.
Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, bahkan, yang terbaru, wisata malam. Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta merupakan hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sumber : DIKPORA DIY
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta dari Era Proklamasi Hingga Penyelenggaraan Demokrasi
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Daerah setingkat provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus.
Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan.
Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “kerajaan vasal/negara bagian/dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC, Hindia Prancis (Republik Bataav Belanda-Prancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Status tersebut oleh Belanda disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti.
Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (negaranya) sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.
Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Sambutan Proklamasi di Yogyakarta
Tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu, juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada K.R.T. Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka (南方軍 指揮官 閣下) dan Jawa Saiko Sikikan (ジャワ最高指揮官) beserta stafnya.
Pada 19 Agustus 1945, Yogyakarta Kooti Hookookai (ジ ョ グ ジ ャ カ ル タ 公 地 奉 公 会) mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.
Pembahasan Daerah Istimewa dalam Sidang PPKI
Pada 19 Agustus 1945, di Jakarta terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya, kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, tetapi belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta kepada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya.
Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan, sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1948
Pada 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengkubuwana IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka Paku Alam VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya.
Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan Hamengkubuwana IX mengeluarkan dekret kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekret tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia.
Dekret dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka Paku Aalam VIII pada hari yang sama.
Dekret integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekret semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta
Wilayah DIY (D.I. Kesultanan dan D.I Paku Alaman) beserta kabupaten/kota dalam lingkungannya pada 1945.
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya K.R.T. Hardjodiningrat.
Kabupaten Sleman dengan bupatinya K.R.T. Pringgodiningrat.
Kabupaten Bantul dengan bupatinya K.R.T. Joyodiningrat.
Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya K.R.T. Suryodiningrat.
Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya K.R.T. Secodiningrat.
Adapun wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya K.R.T. Brotodiningrat.
Kabupaten Adikarto dengan bupatinya K.R.T. Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif.
Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan.
Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S.
Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Aalam VIII mengeluarkan dekret kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekret kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama- sama dalam satu dekret. Selain itu dekret tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.
Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Periode Pasca Proklamasi
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:
Kedudukan Yogyakarta.
Kekuasaan Pemerintahan.
Kedudukan kedua raja.
Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan).
Pemilihan Parlemen.
Keuangan.
Dewan Pertimbangan.
Perubahan.
Aturan Peralihan.
Aturan Tambahan.
Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta
Wilayah DIY dan kabupaten/kota di lingkungannya tahun 1946.
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Aalam VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18).
Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman).
Tidak dimungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat, yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu, juga tampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.
Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkap Maklumat Yogyakarta No. 18).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk di tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian, otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947.
Pada 1947, Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat.
Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan Hamengkibuwana IX.
Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Wali Kota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus, yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan Hamangkubuwana IX, menggantikan M. Enoch (Wali Kota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
Dekret Resmi Kerajaan untuk Berintegrasi kepada RI
Pada 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No.
22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar ibu kota Yogyakarta.
Pemerintahan DIY pun ikut menjadi lumpuh. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda.
Paska Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Landasan Hukum Pembentukan DIY
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
1. Pembentukan DIY (1950)
Wilayah DIY beserta pembagian kabupaten/kota di lingkungannya tahun 1950.
DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi).
UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Povinsi dan bukan sebuah Provinsi.
Walaupun nomenklaturnya mirip, tetapi saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.
2. Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Wilayah DIY beserta pembagian kabupaten/kota di lingkungannya tahun 1951.
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No.
15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59).
Menurut undang-undang tersebut, DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribu kota Bantul), Sleman (beribu kota Sleman), Gunung Kidul (beribu kota Wonosari), Kulon Progo (beribu kota Sentolo), Adikarto (beribu kota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta.
Untuk alasan efisiensi, pada 1951, kabupaten Adikarto yang beribu kota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribu kota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950-an) 1. Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)
Pada 1951, Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.
Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu, kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan
Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII). Namun, keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan langsung kepada Presiden.
2. Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY (1950- an)
Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi tiga kabupaten, yakni Kota, Kulon Progo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Sejak 1945, birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain, Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem).
Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda, tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan Hamengkubuwana IX]:
“Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
Wilayah karaton (keraton/istana) menjadi sempit. Sultan Hamengkubuwana IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah sultan, tetapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga bukan merupakan monarki konstitusi.
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana IX. Namun, karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, dia tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu, bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi.
Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengkubuwana.
Sejarah Lokal DIY Sejarah kehidupan manusia dimulai dari masa prasejarah. Dari masa ke masa kehidupan manusia mengalami perkembangan, mulai dari pola hidup berpindah-pindah kepada pola hidup menetap, pembentukan komunitas dengan tokoh-tokoh pemimpin, sampai pada tingkat membentuk negara. Dari belum mengenal tulisan sampai kepada menulis naskah dalam berbagai huruf dan bahasa. Tahap-tahap dalam sejarah kehidupan manusia itu tercermin dari tinggalan-tinggalan arkeologis, baik berupa artefak, ekofak, maupun fitur. Dalam tahap-
tahap itu manusia memilih tempat baik sementara maupun menetap untuk melakukan aktivitas- aktivitasnya. Pemilihan lokasi tersebut tidak lepas dari tersedianya sumber daya alam pendukung kehidupan dan wawasan-wawasan praktis serta filosofis.
Yogyakarta sebagai suatu satuan administratif juga mengalami tahap-tahap kehidupan manusia seperti di atas, sebagaimana tercermin dalam beragam tinggalan arkeologis yang ditemukan di berbagai lokasi. Salah satu lokasi tersebut adalah kawasan Kabupaten Gunung Kidul. Di beberapa desa di sepanjang aliran Sungai Oyo ditemukan alat-alat batu paleolitik, yaitu alat yang paling tua dalam tahap kehidupan manusia. Jejak-jejak budaya manusia dari kurun waktu yang tertua, yakni masa prasejarah, di Yogyakarta juga ditemukan di daerah Sanden, Kabupaten Bantul.
Masa berikutnya adalah masa yang biasa disebut masa atau periode Klasik atau Hindu-Buddha, karena dilatarbelakangi oleh agama Hindu-Buddha yang berasal dari India. Dalam periode ini mulai terbentuk pemerintahan berbentuk kerajaan, yang tertua di Indonesia terdapat di Kutai (Kalimantan Timur), dan Tarumanagara (Jawa Barat), yaitu pada abad V M. Dalam perkembangan berikutnya, pusat-pusat kerajaan juga terdapat di pedalaman Jawa Tengah dan DIY sekarang, yaitu di dataran Prambanan dan Kedu.
Berdasarkan Prasasti Sojomerto diketahui bahwa di Jawa pada abad VII M telah berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang pendiri Dinasti Syailendra yaitu Dapunta Syailendra.
Namun belum dapat diketahui secara pasti nama kerajaannya. Berdasarkan berita Cina pada zaman Sung awal (420-470 M) Jawa disebut She-P’o. Selanjutnya dalam Prasasti Canggal (dekat Muntilan) dari tahun 732 M diketahui di Jawa ada seorang raja bernama Sanjaya. Adapun nama Kerajaan Mataram pertama kali diketahui dari Prasasti Mantyasih 907 M yang juga menyebut Sanjaya sebagai raja pertama yang memerintah.
Dalam prasasti ini juga disebutkan daftar nama raja-raja yang memerintah sesudah Sanjaya, antara lain: Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, dan Balitung. Daftar nama raja-raja Mataram tersebut diketahui lebih lengkap lagi dengan ditemukannya Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M. Berdasarkan bacaan serta penafsiran atas beberapa prasasti, diperoleh daftar nama raja-raja Mataram Kuna sebagai berikut.
1. Dapunta Syailendra (abad VII)
2. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M) 3. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784M) 4. Rakai Panaraban (784-803M)
5. Sri Maharaja Rakai Panunggalan ?
6. Sri Maharaja Rakai Warak (Dyah Manara) (803-827 M) 7. Dyah Gula (827-828 M)
8. Sri Maharaja Rakai Garung (828-847 M)
9. Sri Maharaja Rakai Pikatan (Dyah Saladu) (847-855 M) 10. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (Dyah Lokapala) (855-885 M) 11. Dyah Tagwas (885 M)
12. Rakai Panumwangan (Dyah Dewendra) (885-887M)
13. Rakai Gurunwangi (Dyah Bhadra) (887 M)
14. Sri Maharaja Rakai Wungkalhumalang/Watuhumalang (894-898M) 15. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-909 M)
16. Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaksaya (910-913 M) 17. Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong (913-919 M)
18. Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa (919-925 M)
Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut juga diketahui bahwa wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna kira-kira mencakup kawasan Provinsi DIY, Provinsi Jawa Tengah, dan bahkan mungkin sampai dengan Provinsi Jawa Timur. Lebih jauh berita Cina dari Dinasti T’ang memberi gambaran singkat tentang sistem birokrasi di kerajaan tersebut: terdapat 28 negara bawahan yang merupakan wilayah-wilayah ke-rakai-an (watak). Raja sebagai penguasa dibantu oleh 4 menteri utama, yaitu Rakarayan Mahamantri I Hino, Rakarayan Mahamantri I Halu, Rakarayan Mahamantri I Sirikan, dan Rakarayan Mahamantri I Wka. Adapun penguasa- penguasa di wilayah watak yang merupakan raja-raja bawahan adalah para rakai.
Beberapa prasasti dari masa itu juga memberikan gambaran tentang kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pada saat-saat tertentu kondisi politik cukup stabil, namun pada saat lain terjadi intrik politik. Sudah barang tentu hal semacam itu menyebabkan terjadinya pasang surut kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Dapat diduga bahwa candi-candi yang menjadi bukti kejayaan Kerajaan Mataram Kuno, seperti percandian Lara Jonggrang, hanya dapat dibangun pada saat kondisi politik cukup stabil. Namun sayang sekali bahwa keraton yang menjadi pusat Kerajaan Mataram Kuna, saat ini belum dapat diketahui secara pasti keberadaannya, mungkin karena pada umumnya keraton terbuat dari bahan yang tidak tahan lama seperti kayu. Di sisi yang lain, tempat-tempat pemujaan (candi) dibuat dari bahan yang lebih tahan lama seperti batu andesit, batu putih, dan bata. Di samping itu, menarik perhatian pula bahwa pusat Kerajaan Mataram Kuna sering berpindah tempat, yang mungkin disesuaikan dengan dinamika kehidupan politik dalam kerajaan. Sampai saat ini dari sumber prasasti diketahui bahwa ibu kota Kerajaan Mataram Kuna pernah berada di Medang ri Poh Pitu, di Medang ri Mamratipura, dan di Medang ri Bhumi Mataram.
Pada abad X M, pusat Kerajaan Mataram Kuna dipindahkan ke tempat lain yang lebih jauh, yaitu ke Jawa Timur. Apa penyebabnya sampai sekarang belum diperoleh jawaban yang memuaskan dan pasti. Dengan perpindahan ini dapat diperkirakan bahwa kehidupan bernegara di wilayah yang kini bernama Yogyakarta menyurut, karena raja adalah ”patron” bagi kehidupan rakyatnya.
Namun, ini tidak berarti bahwa kehidupan bermasyarakat juga berhenti. Rakyat tentu ada yang masih tinggal di situ, mungkin ada pula kaum pendeta yang tetap tinggal untuk “menghidupkan”
candi-candi yang ada, dan membimbing kehidupan rohaniah masyarakat. Selama sekitar 5 – 6 abad berikutnya kehidupan politik, budaya, sosial, dan ekonomi berpusat di wilayah Jawa Timur dalam wadah kerajaan-kerajaan Kediri, Singasari, Majapahit, dan lain sebagainya.
Masa masuknya pengaruh Islam di Indonesia, khususnya di Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Namun tinggalan arkeologis menunjukkan adanya pengaruh Islam di Jawa pada abad XI M. Tinggalan itu berupa nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang berangka tahun 485 H =1082 M. Pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit, eksistensi pengaruh Islam mulai kokoh dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintara pada ± 1476 M, dengan raja pertama Raden Patah. Kerajaan ini diakui sebagai awal bagi munculnya kerajaan-kerajaan Islam pada masa-
masa selanjutnya di Jawa. Setelah wafatnya Sultan Trenggana, yaitu raja Demak ketiga, kerajaan dipindahkan oleh menantunya yang bernama Sultan Hadiwijaya ke daerah pedalaman, tepatnya di Pajang. Mulai saat itulah kerajaan yang semula berbasis maritim kemudian menjadi agraris.
Berakhirnya kekuasaan Kerajaan Pajang pada perempat akhir abad XVI M mengantarkan munculnya kakuatan politik baru, yaitu Kerajaan Mataram-Islam dengan pusat pemerintahan di Kotagede yang sekarang termasuk dalam wilayah DIY. Kerajaan Mataram-Islam inilah yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, sejarah Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari sejarah Mataram-Islam.
Penguasa pertama Kerajaan Mataram-Islam adalah Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram. Kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan tidak berlangsung lama, karena ia meninggal enam tahun kemudian. Sepeninggal Ki Ageng, pimpinan tertinggi di Mataram dipegang oleh Sutawijaya, yang bergelar Ngabehi Loring Pasar. Setelah naik takhta, gelarnya adalah Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Pada waktu itu kharisma pemimpin agama Islam di Jawa (Wali Sanga) masih terasa. Hal ini terbukti dari legenda adanya restu dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya (Senopati) sebagai pemimpin Mataram yang sah. Di samping itu, beberapa pernikahan Senopati dengan putri dari tokoh-tokoh penting masa itu semakin memperkuat kedudukan politisnya. Sebagai contoh adalah pernikahannya dengan Retno Dumilah, putri Panembahan Rangga Madiun sekaligus cucu Sultan Trenggana, juga pernikahannya dengan putri Ki Penjawi dari Pati.
Untuk memperkuat kedudukan Senapati sebagai penguasa Kerajaan Mataram Islam yang baru berdiri, maka selama pemerintahannya ia banyak melakukan berbagai peperangan. Peperangan ini dilakukan terhadap para bupati yang memberontak ataupun tidak mengakui kekuasaannya, di antaranya adalah peperangan melawan Bupati Pati, Madiun, dan Surabaya. Meskipun demikian, Senapati juga memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembangunan dan penataan fasilitas pendukung ibu kota Mataram saat itu. Pembangunan yang pernah dilakukan oleh Senapati sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, antara lain berupa pembangunan benteng dari bata, dan pembuatan parit yang lebar mengelilingi kota kerajaan. Senapati juga memberikan perintah untuk membangun sebuah masjid Agung, yang berhasil diselesaikan pada tahun 1589 M. Masjid ini sampai sekarang masih dapat disaksikan, walaupun telah mengalami beberapa perubahan fisik.
Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama, sebagai pemimpin awal Kerajaan Mataram Islam, telah berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke arah utara dan timur. Namun keberhasilannya menaklukkan wilayah Pati, Surabaya, Jepara, dan Madiun, disertai pula dengan kegagalannya menaklukkan berbagai wilayah di Jawa Timur. Meskipun demikian, pemerintahan Senapati telah mempunyai kerangka dasar yang cukup kuat dan baik. Ia meninggal pada tahun 1601 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Agung yang dibuatnya, tepatnya di selatan makam ayahnya. Sebelum meninggal dunia, ia telah mengatur suatu suksesi kepemimpinan di Kerajaan Mataram Islam, agar sepeninggalnya kekuasaan diserahkan kepada Pangeran Jolang.
Pangeran Jolang sebenarnya bukanlah anak lelaki tertua Panembahan Senapati. Seperti diketahui Panembahan Senapati mempunyai dua orang permaisuri, yaitu puteri dari Pati, dan puteri dari Madiun. Pangeran Jolang adalah anak lelaki Panembahan Senapati dari puteri Pati, atau dengan
kata lain Pangeran Jolang adalah cucu dari Ki Penjawi. Diduga penobatan Pangeran Jolang didasari oleh ingatan akan jasa-jasa Ki Penjawi, dan demi menjaga hubungan baik dengan keluarga besar di wilayah Pati. Akan tetapi hal ini mengakibatkan Pangeran Puger yang menjabat Adipati di Demak dan Pangeran Jayaraga yang diangkat sebagai Adipati Panaraga, bersama- sama memberontak terhadap Mataram. Namun, akhirnya kedua adipati tersebut dapat ditundukkan kembali, dan masing-masing diasingkan ke Kudus serta Nusa Kambangan.
Masa pemerintahan Pangeran Jolang hanya berlangsung sekitar 12 tahun. Meskipun demikian, seperti halnya ayahnya, ia juga memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembangunan fasilitas kota Kerajaan Mataram-Islam. Pada tahun 1603 M, raja memerintahkan pembangunan Prabayaksa di keraton, dan dua tahun kemudian telah selesai dibangun sebuah pertamanan yang diberi nama Taman Danalaya. Taman ini terletak di sebelah barat keraton dan dilengkapi dengan suatu segaran (kolam). Adapun pembuatan kompleks pemakaman Kotagede diselesaikan pada tahun 1606 M. Berbagai pembangunan fisik lainnya amat pesat dilakukan, antara lain adanya pembangunan lumbung di Gading, membuat krapyak di Beringan. Di samping itu juga digalakkan usaha pertanian dan perkebunan seperti menanam pohon merica, kemukus, dan kelapa.
Masa pemerintahan Pangeran Jolang berakhir pada tahun 1613 M, yaitu saat ia jatuh sakit di hutan perburuan (krapyak) dan akhirnya meninggal dunia. Pangeran Jolang kemudian dimakamkan di Astana Kapura Kotagede. Karena meninggal pada saat berburu, maka ia dikenal pula dengan sebutan Panembahan Seda Ing Krapyak. Perlu dicatat sebelum masa pemerintahan Pangeran Jolang berakhir, terjadi kontak atau hubungan dengan bangsa Belanda.
Pada pertengahan tahun 1613 M, Raja Mataram mengirim seorang utusan untuk menemui pimpinan VOC Belanda di Banten, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, untuk menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dagang dengan mereka. Utusan tersebut berhasil membawa misinya, sehingga pada tanggal 22 September 1613 kapal Belanda merapat di pelabuhan Jepara (yang saat itu menjadi wilayah Mataram), dan kemudian mereka mendirikan loji di tempat itu.
Penguasa tertinggi Mataram kemudian bergulir dan dipegang oleh putra Panembahan Seda ing Krapyak yaitu R.M. Jatmiko yang dikenal pula dengan nama Pangeran Rangsang. Setelah menjadi raja, ia disebut Sultan Agung Senapati ing Alaga. Kronologi pengangkatan Sultan Agung menjadi Raja Mataram tergolong unik, karena yang mula-mula diangkat sebagai raja adalah adiknya (RM. Martapura). Namun hanya sebentar setelah memegang kekuasaan, R.M.
Martapura meletakkan jabatan dan mempersilahkan kakaknya untuk menggantikannya. Langkah ini dirasa tepat, karena sebagaimana lazimnya suksesi kepemimpinan biasanya dimulai dari yang lebih tua dahulu. Hal ini mempunyai maksud agar pihak yang lebih tua tidak merasa dilangkahi, sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Berbagai contoh sejarah yang berkaitan dengan perselisihan keluarga dalam memegang kekuasaan sering kali terjadi, karena ada ketidakpuasan terhadap pemegang kekuasaan oleh pihak yang lebih tua.
Pada awal masa pemerintahan Sultan Agung banyak terjadi berbagai pertempuran. Pertempuran- pertempuran tersebut bermaksud untuk menaklukkan kembali berbagai wilayah bawahan yang berusaha memberontak. Mereka ini adalah para bupati pemegang kekuasaan di wilayah yang
jauh dari pusat pemerintahan. Berbagai pertempuran tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1625 M, yaitu dengan pengerahan pasukan untuk mengepung Surabaya. Selain itu juga masih ada pertempuran-pertempuran dalam skala yang lebih kecil, yaitu penaklukan Pati, Giri, serta Blambangan. Setelah selesai menaklukkan wilayah Blambangan, Sultan Agung memerintahkan sebagian penduduknya untuk pindah dan tinggal di Mataram.
Sementara itu, hubungan dagang dengan VOC yang dirintis oleh Panembahan Seda Ing Krapyak, makin meningkat frekuensinya. Bahkan ada beberapa utusan gubernur jenderal yang dikirim ke Mataram, di antaranya Hendrick de Haan, Jan Vos, dan Pieter Franssen. Hubungan yang baik ini mulai memburuk pada tahun 1624 M, karena Sultan Agung mulai melihat adanya ketidakberesan dari pihak Belanda. Sultan Agung melihat kehadiran Belanda di Batavia adalah sebagai kekuatan politik yang mampu mengancam kekuasaannya. Dengan semakin memburuknya hubungan Mataram dengan Belanda, maka pada tahun 1628 dan 1629 M pasukan Mataram mengepung Batavia. Namun sayang, pasukan Mataram gagal mengalahkan Belanda, karena kurangnya logistik, timbulnya berbagai penyakit, serta penggunaan senjata api oleh tentara Belanda.
Kegagalan penaklukan Batavia oleh Sultan Agung, tampaknya diimbangi dengan usaha legitimasi secara spiritual. Hal dibuktikan dengan pengubahan gelar Susuhunan yang dipakainya sejak tahun 1624 M, maka sejak tahun 1641 M ia bergelar Sultan. Usaha yang lain adalah melakukan ziarah ke makam Sunan Tembayat di Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1633 M sekaligus membangun pintu gerbang kompleks makam. Pintu gerbang tersebut bemama gapura Panemut yang berbentuk candi bentar dan sekarang masih dapat dilihat sebagai pintu gerbang ketiga di kompleks makam tersebut.
Berbagai langkah besar dan fenomenal dilakukan oleh Sultan Agung pada masa pemerintahannya. Langkah-langkah besar yang dilakukan itu merupakan suatu usaha mengadakan penyeimbangan antara tradisi Hindu (yang lebih dulu ada) dengan tradisi Islam.
Tindakan yang paling spektakuler terlihat pada adanya usaha penyusunan dan penggunaan sistem kalender baru. Kalender baru yang disusun merupakan perkawinan antara perhitungan tahun Hijriyah dengan tahun Saka, yang saat itu menunjukkan angka tahun 1555 Saka. Sistem kalender tersebut terbukti dapat diterima oleh masyarakat Jawa, dan masih digunakan sampai sekarang dengan sebutan penanggalan Jawi.
Meskipun pada masa pemerintahan Sultan Agung banyak terjadi peristiwa politik, tetapi dia tidak melupakan berbagai pembangunan fisik baik di lingkungan kota kerajaan maupun di berbagai tempat lain. Di antaranya mulai menyiapkan pembangunan keraton baru di Kerta- Plered, dan pembangunan pemakaman di Girilaya (sekitar 10 km arah selatan Kotagede).
Pembangunan makam tersebut dimulai pada tahun 1629 M dengan dipimpin oleh Panembahan Juminah. Akan tetapi pemakaman tersebut akhirnya tidak digunakan oleh Sultan Agung, karena sudah dipakai untuk memakamkan Panembahan Juminah yang meninggal dalam masa pembangunan itu.
Setelah itu, Sultan Agung membangun pemakaman baru di Bukit Merak. Kegiatan ini dimulai pada ahun 1632 M atau tiga tahun setelah pembangunan makam di Girilaya. Pembangunan makam di Bukit Merak berlangsung selama 13 tahun, dan setelah selesai diberi nama Imagiri.
Belum genap setahun setelah pembangunan makam Imagiri selesai, Sultan Agung meninggal di pendapa Keraton, dan dimakamkan di Imagiri. Sebelum jenazahnya dimakamkan, terlebih dahulu dilakukan upacara pentahbisan putra mahkota sebagai pemegang tampuk kekuasaan Mataram-Islam.
Setelah pemerintahan Sultan Agung, maka yang memimpin Mataram adalah Sunan Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, pada tahun 1647 M, pusat pemerintahan dipindah dari Kotagede ke Plered. Berbagai peristiwa berdarah terjadi pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, terutama pembunuhan terhadap kerabat dan beberapa tokoh penting yang tidak sepaham dengan kebijakan politik pemerintahannya. Sebagai contoh adalah pembunuhan terhadap Tumenggung Wiraguna dan keluarganya, Pangeran Alit (adik Sunan sendiri), dan para ulama beserta keluarganya. Peristiwa-peristiwa politik yang terjadi, diimbangi dengan berbagai pembangunan fisik pendukung keraton baru.
Pembangunan fisik pendukung keraton sangat menakjubkan dan berlangsung secara spartan.
Berbagai bangunan yang dibuat membuat bangsa Belanda yang kagum berkunjung ke Plered.
Sumber tertulis menyatakan pembuatan pagar keliling keraton dari bata dan bagian puncaknya berwarna putih atau dari batu padas. Pembuatan pagar keliling ini diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan. Setelah itu (sekitar dua tahun kemudian), didirikan masjid Plered dan setahun kemudian dilakukan perluasan terhadap tempat berburu di sisi timur (Krapyak wetan). Belum puas dengan kondisi keratonnya, Sunan Amangkurat I juga memerintahkan untuk membuat bendungan atau segaran. Di samping itu juga dilakukan pembuatan lokasi pemakaman untuk Ratu Malang di Gunung Kelir pada tahun 1668 M.
Sementara itu, hubungan bilateral dengan sekutu-sekutunya mulai kurang harmonis. Hal ini berkaitan dengan sikap Sunan yang terkesan arogan dan tiran dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sikap demikian ini menyebabkan banyak pihak yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaannya. Sebagai contoh adalah penguasa di Jambi dan Kalimantan. Namun demikian, sikap Sunan tetap tidak berubah, sebab tindakan yang dilakukan banyak didukung oleh orang-orang Belanda melalui VOC. Sikap Sunan terhadap VOC berbeda 180° bila dibanding dengan sikapnya terhadap penguasa pribumi. Hal ini terbukti dengan adanya perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1646 M, yang antara lain berisi tentang pengakuan Mataram terhadap kedudukan VOC di Batavia. Bahkan VOC setiap tahun mengirim utusan ke Mataram.
Sikap ini pada masa berikutnya menjadi bumerang bagi pemerintah Mataram, karena VOC mulai melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mataram.
Berbagai sikap politik yang dilakukan oleh Sunan, menjalin hubungan dengan VOC dan menyingkirkan orang berpengaruh di sekitamya, menimbulkan permusuhan di antara kerabat sendiri. Permusuhan yang paling mencolok berlangsung antara Sunan Amangkurat I dengan Pangeran Adipati Anom, yang mengakibatkan hilangnya simpati rakyat terhadap pemimpinnya.
Akibat yang paling parah adalah adanya perlawanan Trunajaya, yang pada akhirnya menghentikan kekuasaan Sunan Amangkurat I di Mataram. Pada waktu itu, Sunan Amangkurat I meloloskan diri ke Imagiri, kemudian meneruskan perjalanan ke arah barat untuk minta bantuan VOC. Namun, ia meninggal di Wanayasa (wilayah Banyumas Utara sekarang) pada tanggal 10 Juli 1677. Tiga hari kemudian jenazahnya dimakamkan di Tegalwangi. Makam Sunan
Amangkurat I ini merupakan satu-satunya makam pemimpin Mataram yang berada jauh dari wilayah kekuasaannya.
Sebelum meninggal dunia, Sunan Amangkurat I masih sempat mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II, sekaligus mewariskan berbagai tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawa lari. Sementara itu, putra lain dari Sunan Amangkurat I yaitu Pangeran Puger, melarikan diri ke arah Bagelen (Purworejo, Jawa Tengah) dan mengangkat diri menjadi raja dengan gelar Susuhunan Ing Alaga. Setelah Trunajaya mengundurkan diri ke Kediri, maka Pangeran Puger kembali ke Plered dan menduduki istana kerajaan.
Hubungan baik antara VOC dengan Mataram, yang dirintis oleh Sunan Amangkurat I tampaknya terus berlanjut. Sunan Amangkurat II yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya tetap menjalin hubungan dengan VOC. Bahkan secara ekstrem disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, ia setiap hari berpakaian gaya Belanda, dan tidak terpisahkan dengan Belanda. Kerja sama dengan VOC tersebut sebenarnya bukan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Sebagai contoh apabila Sunan Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC, maka ia harus membayar biaya perang, bahkan VOC pernah meminta wilayah di sebelah timur Kerawang sampai Sungai Pamanukan.
Kedekatan hubungan ini semakin memudahkan VOC masuk ke dalam kehidupan politik di Jawa, khususnya Kerajaan Mataram.
Setelah kembali ke Mataram, Sunan Amangkurat II berpikiran untuk membuat kedhaton atau istana baru. Pemikiran semacam ini merupakan suatu hal yang biasa terjadi waktu itu, sebab dipercaya apabila istana atau keraton telah dikalahkan bahkan diduduki oleh musuh, maka tempat itu tidak baik lagi. Dengan demikian, keraton akan dipindah ke tempat lain. Demikian pula halnya Sunan Amangkurat II. Ia juga memilih Wanakarta sebagai lokasi calon istana yang baru. Wanakarta dipilih dengan pertimbangan wilayahnya datar, sehingga pandangan dapat lebih luas. Selain itu juga disebutkan adanya ramalan bahwa Wanakarta kelak akan dipakai sebagai keraton Mataram. Keraton di Wanakarta secara resmi mulai ditempati pada tahun 1680 M. Oleh Amangkurat II, nama Wanakarta selanjutnya diganti dengan nama baru yaitu Kartasura Adiningrat.
Setelah Sunan Amangkurat II bertakhta di Kartasura, saudaranya, yaitu Pangeran Puger tetap berkedudukan di Plered. Bahkan Pangeran Puger secara berani menyatakan tidak mau mengakui Sunan Amangkurat II sebagai Raja Mataram. Akibatnya pada bulan November 1680, pasukan Sunan Amangkurat II dengan dibantu oleh VOC menyerang Plered. Pada penyerangan itu, Pangeran Puger berhasil meloloskan diri ke arah barat. Selanjutnya ia melakukan serangan balasan ke Kartasura, tetapi dapat dipukul mundur. Akhir dari perseteruan dua saudara ini adalah pengakuan kedaulatan Sunan Amangkurat II oleh Pangeran Puger yang kemudian juga tinggal di Kartasura.
Berbagai pembangunan fisik untuk melengkapi kota kerajaan juga dilakukan atas perintah Sunan Amangkurat II. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid Agung, pembangunan sitinggil, prabayaksa, dan segaran.
Pemegang kekuasaan Mataram yang berpusat di Kartasura Adiningrat, setelah Sunan Amangkurat II adalah anaknya, yang bergelar Sunan Amangkurat III. Selanjutnya secara berurutan penggantinya adalah Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, dan Sunan Paku Buwana II. Pada masa-masa ini pemerintahan Mataram semakin tidak stabil. Pengaruh dan intervensi pihak VOC semakin kuat dan sangat mengikat. Berbagai pemberontakan oleh rakyat maupun bangsawan Mataram semakin sering terjadi, sebagai akibat dari kecenderungan pihak penguasa dalam memenuhi semua keinginan VOC. Berbagai macam krisis yang terjadi di Kartasura mencapai puncaknya tahun 1740 M, ketika itu terjadi pemberontakan orang-orang Cina (lebih dikenal dengan sebutan geger pacinan yang terjadi antara tahun 1740-1743).
Sebenarnya awal dari geger pacinan adalah pembunuhan secara besar-besaran orang-orang Cina di Batavia oleh VOC. Peristiwa peperangan ini berlangsung sangat hebat, dan meluas sampai ke wilayah Jawa Tengah, mengancam kedudukan VOC di Semarang, Demak, dan Pati.
Kerja sama antara pihak penguasa dengan VOC ini tentu saja membuat rasa kecewa di kalangan bangsawan dan rakyat dan meningkatkan rasa benci mereka kepada penguasa. Bentuk dari kekecewaan dan kebencian ini direalisasikan dengan pengangkatan penguasa baru, yaitu Raden Mas Garendi (cucu Sunan Amangkurat III). Kaum pemberontak, yang merasa terlindungi dengan adanya penguasa baru bagi mereka, semakin berani dalam menggalang kekuatan dan meningkatkan aksinya. Mereka bahkan secara berani menyerang keraton Kartasura dan berhasil mendudukinya pada akhir Juni 1742 M. Sunan Paku Buwana II beserta sebagian keluarganya dengan diiringi prajurit VOC menyingkir ke Ponorogo. Peristiwa ini disebut dalam sumber babad dengan istilah ambedhah bata. Selanjutnya di Ponorogo, Sunan Paku Buwana II menyusun kekuatan untuk merebut kembali keraton, sedangkan Hogendorff, seorang perwira VOC, pergi ke Semarang untuk minta bantuan. Akan tetapi karena VOC di Semarang sedang mempertahankan diri dari serangan pemberontak, maka tidak dapat membantu usaha merebut kembali keraton Kartasura. VOC akhirnya meminta bantuan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura.
Pada bulan Desember 1742 M, Pangeran Cakraningrat IV dan pasukannya berhasil mengalahkan kaum pemberontak dan menduduki keraton Kartasura. Namun akibat bujukan VOC, Pangeran Cakraningrat IV menyerahkan kembali keraton ke pihak Sunan Paku Buwana II. Pada tanggal 21 Desember 1742, Sunan Paku Buwana II kembali ke keraton dan berkuasa kembali. Sunan Kuning (tokoh pemberontak Cina) menyerah pada penguasa sepuluh bulan kemudian, selanjutnya disusul oleh tokoh-tokoh pasukan Jawa-Cina yang pro-Garendi. Setelah pemberontakan reda dan suasana tenteram, raja memutuskan untuk meninggalkan keraton Kartasura yang rusak akibat terbakar dalam peperangan, dan telah diduduki musuh.
Lokasi untuk keraton baru yang dipilih adalah Desa Sala, meskipun berada di tepi sungai yang berawa, dengan kondisi lahan tidak sama tingginya dan sulit dicapai. Adapun kota kerajaan yang baru itu, baik pola tata kota maupun bentuk keratonnya, meniru atau mencontoh keraton Kartasura. Setelah pembangunan keraton selesai, Sunan Paku Buwana II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan. Dalam perpindahan yang terjadi pada awal tahun 1746 M itu bahkan pohon beringin kurung dan Bangsal Pangrawit pun dibawa serta. Beringin kurung ditanam di Alun-Alun Utara dan Selatan. Sesampainya di keraton baru, raja mengumumkan penggantian nama Desa Sala menjadi Kota Surakarta Adiningrat.
Dengan selesainya proses pemindahan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta, maka dimulailah babak baru penguasaan kerajaan oleh Dinasti Mataram, yang kehidupan politiknya sering kali juga tidak stabil, sama seperti masa sebelumnya. Di Surakarta ini pulalah pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, kekuasaan Dinasti Mataram berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti, yang menyebabkan dipecahnya kekuasaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
Secara substantial Keraton Yogyakarta diakui keberadaannya sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 M (29 Rabiulakhir 1680 J). Perjanjian yang disebut pula palihan nagari ini dilakukan oleh Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi (putra Amangkurat IV). Peristiwa ini ditandai dengan candra sengkala nir brahmana angoyag bumi. Melalui perjanjian tersebut dinyatakan bahwa wilayah kekuasaan Mataram dibagi dua menjadi wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Wilayah kasultanan meliputi kuthagara dan nagaragung, yaitu sebagian wilayah Mataram, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumi Gede, seluas 53.100 karya, serta wilayah mancanagara yang meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrawa, Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Sela, Grobogan, dan Banyumas, seluas 33.950 karya.
Akibat langsung dari adanya Perjanjian Giyanti atau palihan nagari tersebut adalah pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi penguasa pertama Kasultanan Yogyakarta pada tanggal 13 Maret 1755 M (21 Jumadil Awal tahun Be 1680 J). Selanjutnya Pangeran Mangkubumi bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati Ing Alaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Penobatan ini ditandai dengan sengkalan kumbul sliro osik prabu. Tentu saja mulai saat itu Sultan Hamengku Buwana I segera memerintahkan untuk mendirikan keraton dengan berbagai macam sarana atau bangunan pendukung, untuk mewadahi aktivitas pemerintahan suatu kerajaan.
Keraton Kasultanan Yogyakarta didirikan di kawasan hutan Beringan. Pada saat pembangunan keraton berjalan, sultan beserta kerabatnya tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping, selama setahun. Pembangunan keraton dapat diselesaikan pada hari Kamis Pahing tanggal 13 Sura tahun Jimakir 1682 J (7 Oktober 1756 M). Penyelesaian pembangunan keraton ini ditandai dengan candra sengkala memet berupa dua naga yang kedua ekornya saling melilit. Jika dibaca candra sengkala memet itu berbunyi dwi naga rasa tunggal.
Pada perkembangan selanjutnya, baik Sultan Hamengku Buwana I maupun para penerusnya melakukan pengembangan sarana dan lingkungan sesuai kebutuhan dan konteks zamannya.
Lingkungan binaan yang dibuat difungsikan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas pemerintahan, baik berupa kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun tempat tinggal. Tampaknya lingkungan binaan itu keberadaannya selain memenuhi aspek fungsi juga didasari unsur estetik, etik, simbol, dan filosofis religius.
Sementara itu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I, orang-orang Cina juga mulai datang dan bermukim di Kota Yogyakarta. Para perantau Cina di Indonesia umumnya, dan Yogyakarta khususnya, kebanyakan adalah orang-orang Hokkian dari Provinsi Fu Kien dan Kwang Tung. Mereka inilah yang menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, dan sebagian pantai Sumatra. Menurut data statistik jumlah orang Cina di Yogyakarta antara tahun 1808 sampai dengan 1811, masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II, adalah 758 orang.
Pada umumnya, orang-orang Cina di Yogyakarta mempunyai kepentingan untuk berdagang.
Oleh karena itu, lingkungan tempat tinggalnya selalu mempunyai koherensi dengan pusat perdagangan, yaitu pasar. Hal tersebut juga menguntungkan bagi pihak kasultanan karena dengan bermukimnya mereka di sekitar pasar, secara tidak langsung membantu pemasukan keuangan kasultanan terutama dalam hal penarikan pajak, sebab mereka juga bergerak dalam penarikan berbagai macam pajak.
Untuk mengurus kepentingan orang-orang Cina di Yogyakarta baik urusan kelahiran, kematian, surat jalan, dan penarikan pajak ditunjuk seorang Kapiten Cina, yang sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Beberapa orang Kapiten Cina di Yogyakarta, antara lain: To In (1755 -1764), Gan Kek Ko (1764 – 1776), Tan Lek Ko (1776 – 1793), Que Jin Sing (1793 – 1803), Tan Jing Sin (1803 -1813), Que Wi Kong (1813 -1828), dan Que Pin Sing.
Bahkan Kapiten Cina Tan Jin Sing, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III, mendapat anugerah gelar Tumenggung Secodiningrat.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II (1792-1810, 1812 M) dan Sultan Hamengku Buwana III (1811,1812-1814 M) terjadi suatu pancaroba yang mendera kekuasaan kasultanan. Rangkaian peristiwa itu diwarnai konflik-konflik antara pemerintah penjajah Inggris dan Belanda di satu pihak, dengan pemerintah kasultanan di pihak lain. Pada masa itu, Pangeran Natakusuma (putra Sultan Hamengku Buwana I) dinobatkan oleh Gubernur Jenderal Raffles sebagai Pangeran Amardiko pada tanggal 29 Juni 1812. Adapun kontrak politik antara Pangeran Amardiko (Paku Alam I) dengan pemerintah Inggris ditandatangani pada tangga1 17 Maret 1813 M.
Perpecahan di dalam keluarga kasultanan ini secara de facto diwujudkan dengan pembagian wilayah antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Wilayah kekuasaan Kadipaten Paku Alaman luasnya 4.000 cacah, mencakup antara lain kawasan sekitar istana (wilayah Kecamatan Paku Alaman sekarang); Adikarto (sebagian wilayah Kulonprogo sekarang terutama sisi selatan); dan Karang Kemuning yang mempunyai empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsongko, dan Tawangkerto, dengan Brosot sebagai pusatnya.
Namun sejak pemerintahan Sri Paku Alam VII, wilayah Paku Alaman yang berada di luar Kota Yogyakarta disebut Kadipaten Adikarto dengan ibu kota di Wates. Kadipaten ini membawahi 53 desa dengan empat kapanewonan, yaitu: Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon. Nama-nama tersebut sekarang menjadi nama kecamatan di Kabupaten Kulonprogo. Adapun wilayah dalam kota meliputi wilayah Kecamatan Paku Alaman sekarang, yaitu wilayah Kalurahan Gunung Ketur, dan Purwokinanti.
Periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IV (1814-1820) dan Sultan Hamengku Buwana V (1823-1855) merupakan masa sulit bagi Kasultanan Yogyakarta, karena penuh konflik politik, dan terjadi berbagai kemerosotan di bidang sosial dan ekonomi. Kondisi ini mencapai puncaknya dengan meletusnya Perang Diponegoro, disebut juga Perang Jawa, pada tahun 1825-1830. Di Kasultanan Yogyakarta perang tersebut menimbulkan implikasi dan konsekuensi kompleks, bahkan imbasnya juga berdampak di Kasunanan Surakarta. Implikasi dan konsekuensi politis
secara konkret terjadi pada era Sultan Hamengku Buwana V, sultan yang dinobatkan ketika masih kanak-kanak.
Kondisi demikian terus berlanjut pada era Sultan Hamengku Buwana VI (1855-1877). Penetrasi dan ekspansi pemerintah Hindia Belanda di dalam pemerintahan di Praja Kejawen (vorstenlanden) pada masa tersebut semakin dalam, akibatnya secara politis kekuasaan raja-raja menjadi semakin sempit. Selain itu, mereka mempunyai dependensi kompleks terhadap pemerintah Hindia Belanda. Secara formal mulai tahun 1845 terhadap penguasa di Yogyakarta dan Surakarta dilembagakan dan dipaksakan adanya perundang- undangan (Regeeringsreglement) yang mengikat. Selain itu, ada Akta Persekutuan (Actien van Verband) bagi setiap raja yang dinobatkan, dan deklarasi putra mahkota. Hal itu terjadi misalnya di Kasultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwana VII (1877), dan di Paku Alaman pada masa Sri Paku Alam VI (1901).
Kondisi sosial ekonomi pada era 1830-an sampai dengan 1870-an (masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V – Sultan Hamengku Buwana VI) pada masyarakat Praja Kejawen sangat berbeda dengan yang terjadi di wilayah kekuasaan Hindia Belanda langsung, yaitu gubernemen.
Perbedaan mencolok yaitu di Praja Kejawen tahun 1830 – 1870 tidak diberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sebagaimana di wilayah gubernemen. Di Praja Kejawen sistem sewa tanah dan industrialisasi bahkan sudah masuk pada tahun 1833, kemudian berkembang pesat pada tahun 1860-an. Keadaan tersebut di atas justru jauh mendahului situasi di wilayah gubernemen yang baru mengalami sistem industrialisasi pada tahun 1870-an, yaitu setelah era tanam paksa.
Pada masa tersebut banyak sekali penentangan dan perlawanan yang dikonfigurasikan dengan gerakan-gerakan sosial di tingkat periferal. Gerakan-gerakan lokal revolusioner yang menonjol antara lain: gerakan Syekh Pawiro Sentono di Kulonprogo, tahun 1840; gerakan Cakra Lesono di Yogyakarta, tahun 1850; kasus Ahmad Diar di Yogyakarta, tahun 1848.
Periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877 – 1821) merupakan masa yang relatif kondusif. Hal ini dibuktikan dengan berkembang pesatnya pembangunan sarana dan prasarana di keraton dan lingkungannya. Perlu dicatat bahwa satu dasawarsa sebelumnya pada tanggal 10 Juni 1867 (Senen Wage, Sapar, Ehe, 1796 J) di Yogyakarta terjadi gempa besar yang menimbulkan banyak korban jiwa dan materi. Bencana alam tersebut ditandai dengan candra sengkala hoyaging gapura kaswareng jagad. Akibat terjadinya gempa besar itu di akhir abad ke- 19 di Yogyakarta banyak dilakukan rehabilitasi, renovasi, dan pembangunan baru. Kegiatan- kegiatan pembangunan tersebut diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939).
Beliau banyak mengadakan penyempurnaan di lingkungan keraton yang hasilnya masih dapat kita lihat saat ini.
Secara kultural pembagian wilayah Kasultanan Yogyakarta menimbulkan beberapa keunikan jejak budaya yang bersumber dari keberadaan Kadipaten Paku Alaman. Keunikan ini terus berlanjut menjadi tradisi sampai era kemerdekaan. Namun secara politik birokratis, terutama pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan, keunikan dari keberadaan kasultanan dan kadipaten ini dapat menyatu dalam satu visi perjuangan.
Visi perjuangan Sultan Hamengku Buwana IX adalah menyerahkan takhta untuk rakyatnya.
Berkaitan dengan hal itu, maka setelah naik takhta pada tahun 1940, beliau mulai mengadakan pembaharuan-pembaharuan birokrasi di keraton, antara lain dengan mengurangi peran Patih Danureja VIII yang selanjutnya dipensiunkan pada 1 Agustus 1945. Langkah politik ini dilakukan untuk menghilangkan peran mendua (dwikesetiaan) patih, yang mengabdi kepada sultan, sekaligus kepada pemerintah penjajah. Langkah sultan tersebut membuka jalan untuk menyatukan kekuasaan di tangannya, dan untuk menghindarkan upaya adu domba sebagaimana yang dialami para pendahulunya.
Dalam rangka mendukung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945. Maklumat tersebut secara substansial menegaskan, baik Kasultanan maupun Paku Alaman merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Di samping itu, kedua wilayah tersebut kemudian membentuk satu Badan Pekerja sebagai wakil rakyatnya. Pada perkembangannya, keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dalam UU RI No. 22 Tahun 1948 dan secara khusus dilegalisasi di dalam UU RI No. 3 Tahun 1950. Realita tersebut merupakan momentum historis penting dalam perjalanan sejarah Yogyakarta, dari kerajaan menjadi pendukung utama negara kesatuan Republik Indonesia.
Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam VIII kemudian menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan pada awal berkuasanya orde baru, Sultan Hamengku Buwana IX menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia (1973-1978). Realita di masyarakat Yogyakarta di era kemerdekaan ini, keraton tetap mendapat tempat dan perhatian, baik dalam bidang kultural maupun peran sosio-politiknya.
Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, Sultan Hamengku Buwana X ketika dinobatkan pada 7 Maret 1989 menyampaikan visi ”takhta untuk kesejahteraan sosial dan budaya”. Pada dasarnya visi Sultan Hamengku Buwana X mengandung pemaknaan varian-varian tradisional dalam rangka pengabdian kepada rakyat, keteladanan, dan pengayoman atau perlindungan yaitu hamengku, hamangku, dan hamengkoni.
Visi ini diaktualisasikan ketika kondisi bangsa mengalami krisis multidimensi, dan berlanjut dengan proses reformasi. Pada 20 Mei 1998 Sultan Hamengku Buwana X bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang dibacakan pada “Pisowanan Agung” yaitu gerakan reformasi di Yogyakarta yang menggelar aksinya di Alun-alun Utara Yogyakarta. Saat ini dalam bidang pemerintahan Republik Indonesia Sultan Hamengku Buwana X bersama Sri Paku Alam IX menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan tersebut tentunya didasarkan kepada pertimbangan historis, yuridis, dan kondisi realita masyarakat Yogyakarta secara luas