• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Panduan Pelaporan Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus FISIPOL UGM

N/A
N/A
Niken Andamari

Academic year: 2024

Membagikan "Buku Panduan Pelaporan Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus FISIPOL UGM"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

Penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual Apa saja hak penyintas, saksi dan/atau (terduga) pelaku. Panduan ini dibuat sebagai acuan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada. Proses pelaporan dan penanganan kasus kekerasan seksual harus memperhatikan pemenuhan dan perlindungan hak dan kebutuhan penyintas.

Seorang penyintas kekerasan seksual harus ditanyai apakah dia terlambat atau memutuskan untuk tidak melaporkan masalah tersebut.

Apa Itu Kekerasan Seksual?

Apakah kekerasan seksual tersebut merupakan kekerasan seksual atau tidak, tidak bergantung pada siapa korbannya, namun pada apa yang terkena dampaknya – yaitu tubuh, seksualitas, identitas gender dan/atau ekspresi gender. Selain itu, kekerasan seksual juga sangat mungkin terjadi dalam situasi pacaran atau rumah tangga. Kekerasan dalam pacaran adalah suatu tindakan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan penderitaan atau penderitaan fisik, seksual, dan/atau psikis pada korban, yang dilakukan oleh orang di luar rumah tangga yang sedang atau pernah menjalin hubungan romantis dan/atau seksual dengan korban. .

Kekerasan, ancaman kekerasan, penipuan, serangkaian kebohongan, pemaksaan, penyalahgunaan kepercayaan dan/atau penggunaan kondisi tidak mampu memberikan persetujuan pada seseorang untuk melakukan hubungan seksual atau interaksi sosial dengan atau dengan orang lain. , dan/atau tindakan yang memanfaatkan tubuh atau hal-hal yang berkaitan dengan nafsu seksual dengan tujuan memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, penipuan, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan dan/atau memanfaatkan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan. Pelecehan seksual adalah tindakan seksual non-konsensual atau non-konsensual yang menargetkan tubuh, seksualitas, identitas gender dan/atau ekspresi gender seseorang, sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman, intimidasi, terhina, terhina, terhina dan mungkin menimbulkan gangguan kesehatan dan mengancam. keselamatan seseorang.[16].

16] Kata-katanya dikutip dan diadaptasi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual § 12 dan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, hal. 19] Kata-katanya dikutip dan diadaptasi dari teks RUU tersebut penghapusan kekerasan seksual § 13 dan teks akademis RUU penghapusan kekerasan seksual, hal. 20] Kata-katanya dikutip dan disarikan dari teks RUU penghapusan kekerasan seksual pasal 20 dan akademik teks rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual, hal.

FISIPOL Crisis Center (FCC)

Penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kalangan warga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada dilakukan dan dikoordinasikan oleh FISIPOL Crisis Center (FCC) yang berada di bawah Career Development Center (CDC). FCC didirikan berdasarkan Keputusan Dekan dengan tim yang dibentuk oleh panitia yang dibentuk oleh Dekan FISIPOL UGM. Membangun jaringan dan kerjasama dengan unit kampus dan penyedia layanan di luar FISIPOL UGM dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di kampus, baik pada tingkat perlindungan, pemulihan dan realisasi hak-hak korban, maupun pada tingkat pencegahan.

Mekanisme Pelaporan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Mekanisme penyelesaian etik harus dimulai dari proses penyidikan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tim investigasi yang terdiri dari Dekan dan Komite Etik FISIPOL UGM paling lambat 14 (empat belas) hari setelah penyintas memutuskan jalan penyelesaian mana yang ingin diambilnya. mengikuti Jangka waktu penyidikan kasus kekerasan seksual yang diatur dalam Pedoman ini adalah 2 (dua) bulan atau 60 hari. Meminta dispensasi untuk meringankan beban mengajar atau beban kerja lainnya pada pimpinan unit kerja agar dapat memprioritaskan perhatiannya terhadap kasus kekerasan seksual yang sedang ditangani.

Menyelesaikan proses penyidikan kasus kekerasan seksual dengan tetap menjaga prinsip keadilan, independensi, dan prinsip penghapusan kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam Pedoman ini; Perlindungan dan pemberian hak terhadap penyintas, saksi, dan pelaku berlaku sejak proses penanganan kasus kekerasan seksual dimulai hingga diumumkan oleh FCC. Mewujudkan hak atas pengobatan bertujuan untuk mendukung penyintas dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual, termasuk melalui penyediaan layanan terpadu yang fokus pada kebutuhan penyintas.

Pemenuhan hak atas perlindungan bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi penyintas selama dan beberapa waktu setelah pemrosesan kasus kekerasan seksual berlangsung. Pemenuhan hak atas pemulihan bertujuan untuk memberdayakan, memulihkan dan memberdayakan para penyintas kekerasan seksual untuk mengambil keputusan mengenai kehidupannya selama dan setelah proses penanganan kasus kekerasan seksual. 29] Dikutip dan diadaptasi dari teks RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Pasal 35 Ayat 2, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 5.

Mekanisme Layanan Darurat dan

Sistem Perujukan Kekerasan Seksual

Apabila penyintas mengalami luka fisik atau psikis yang mengancam nyawanya, maka saksi harus membawanya ke rumah sakit; Layanan darurat harus diberikan oleh petugas pertolongan pertama atau pihak yang mempunyai kapasitas untuk memberikan layanan darurat secara profesional, seperti dokter, perawat, paramedis atau profesional kesehatan lainnya untuk layanan medis; konselor, psikolog, atau psikiater untuk layanan psikososial; petugas keamanan untuk layanan yang berkaitan dengan perlindungan penyintas, penyedia layanan seperti pusat krisis, organisasi masyarakat sipil atau lembaga pemerintah yang terbiasa menangani kasus kekerasan seksual, dll. Oleh karena itu, FCC juga harus berjejaring dengan penyedia layanan di luar FISIPOL UGM untuk meningkatkan akses penyintas terhadap layanan darurat yang lebih komprehensif.

Setelah melakukan penilaian cepat, FCC harus memutuskan apakah penyintas berada dalam keadaan darurat, yaitu kondisi di mana penyintas pernah mengalami trauma fisik atau psikologis yang sangat parah sehingga yang bersangkutan tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri tanpa membahayakan dirinya. keselamatannya. Jika penyintas berada dalam kondisi darurat, FCC harus segera merujuk pengobatan terkait ke rumah sakit atau institusi yang menyediakan layanan yang diperlukan di luar FISIPOL UGM, seperti unit layanan psikologis, institusi yang menyediakan rumah aman, Badan Perlindungan Anak. Saksi dan Korban. (LPSK) atau pihak lain dan sebagainya. Apabila FCC tidak mampu memberikan bantuan dan layanan pemulihan yang diperlukan oleh para penyintas, maka FCC akan terus berkonsultasi dengan lembaga yang memberikan layanan bantuan di luar FISIPOL UGM atau melakukan rujukan untuk memastikan para penyintas mendapatkan respon pengobatan yang tepat.

Apabila penyintas perlu dirujuk ke penyedia layanan di luar FISIPOL UGM, FCC sebagai badan perujuk harus membuat surat rujukan dengan dilampiri laporan dokumentasi kasus yang telah diverifikasi dan hasil asesmen awal, sehingga penyintas tidak perlu memberitahukan kepada penyedia layanan tersebut. cerita berulang kali tentang pengalaman kekerasan yang menimpa dirinya. Meskipun diprioritaskan bagi para penyintas, mekanisme bantuan yang disebutkan di atas juga harus tersedia bagi para saksi dan/atau (yang diduga) pelaku jika mereka mengalami kerugian fisik atau psikologis yang mengancam keselamatan pribadi mereka. Oleh karena itu, FCC perlu melakukan upaya membangun jaringan dengan penyedia layanan di Yogyakarta yang biasa terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Mekanisme Pendampingan dan Pemulihan

Sistem pendukung yang dimaksud dapat berupa teman sejawat, kolega, dosen, supervisor, asisten pengajar, tenaga kependidikan, satpam, anggota keluarga, dan lain-lain. Pastikan Korban Selamat – Sistem pendukung harus memastikan korban berada dalam ruang yang aman dan nyaman untuk membicarakan kondisi mereka. Pendamping atau sistem pendukung harus mampu mengenali kapan mereka perlu memberi tahu orang lain tentang kondisi penyintas.

Misalnya, ketika seorang penyintas berada dalam situasi yang membahayakan keselamatannya, pendamping atau sistem pendukung perlu menceritakan kisahnya dan mencari bantuan. Tanyakan keinginan penyintas – Pendamping atau sistem pendukung harus meminta dan mendapatkan persetujuan penyintas sebelum melanjutkan proses dan menjadwalkan tindak lanjut. Sedangkan dalam konteks pemulihan, biasanya diperlukan pemberian bantuan psikologis untuk memperkuat sistem dukungan penyintas, seperti keluarga, teman sebaya, rekan kerja, dan lain-lain.

Sebab, proses pemulihan korban kekerasan seksual biasanya bergantung pada keberadaan support system yang mampu memantau, mendengarkan dan mampu memberikan dukungan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk meminta bantuan pada lembaga profesional atau sistem pendukung lainnya. a) mendengarkan ceritanya dengan serius;. Jika peluang keberhasilannya rendah, pendamping mempunyai kewajiban untuk memberi tahu penyintas dan/atau sistem pendukungnya mengenai kesulitan yang akan mereka hadapi, serta konsekuensinya;

Mekanisme Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

Pendanaan dan Kerjasama

6 Eksploitasi Seksual Tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan, penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau penggunaan penipuan atau kebohongan untuk mendorong hubungan seksual atau tindakan lain yang dimaksudkan untuk memenuhi hasrat seksual demi mendapatkan keuntungan. pelaku dimana korban merasa tidak berdaya untuk melakukan tawar menawar, kecuali dengan mengikuti kemauan pelaku. 11 Hak-Hak Saksi Hak-hak saksi dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual harus dilindungi dan dijamin realisasinya. 21 Kekerasan Seksual Semua tindakan seksual atau percobaan tindakan seksual, termasuk penghinaan, penghinaan, penyerangan dan/atau tindakan lain terhadap tubuh, seksualitas, identitas gender dan/atau ekspresi gender seseorang, yang dilakukan dengan kekerasan di luar kemauan atau ketidakmampuan seseorang. orang tersebut memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena adanya ketimpangan relasi kekuasaan dan/atau relasi gender, yang mengakibatkan atau dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, dan/atau seksual, serta kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

32 Pelecehan Seksual Tindakan seksual baik fisik maupun non fisik yang dilakukan tanpa persetujuan yang menyasar tubuh, seksualitas, identitas gender dan/atau ekspresi gender seseorang, sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman, intimidasi, terhina, terhina dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan serta membahayakan keselamatan seseorang. 49 Korban adalah orang yang mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, dan/atau seksual, serta kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik sebagai akibat mengalami tindakan kekerasan seksual. Hal ini mencakup pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai atau diinginkan oleh korban, untuk memenuhi hasrat seksual, tujuan komersial dan/atau hal-hal lainnya.

48 Penyiksaan Seksual Perbuatan khusus yang dengan sengaja menyerang tubuh dan seksualitas korban hingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, dan/atau seksual, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dari korban atau orang ketiga, menghalangi korban atau orang ketiga dalam melakukan tindakan. keterangan, menghakimi atau menghukum suatu perbuatan yang sedang atau patut diduga dilakukan oleh korban atau orang ketiga, atau untuk tujuan lain yang berdasarkan diskriminasi. 51 Perlindungan Segala upaya dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada penyintas dan/atau saksi kasus kekerasan seksual. 54 Restitusi Kompensasi kepada penyintas kekerasan seksual diberikan sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian yang etis dan hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Fokus penelitian ini adalah Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdyaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak di

pendukung yang berasal dari diri anak korban tersebut? Jika ya, jelaskan. Apakah selama proses penyelesaian kasus kekerasan seksual terdapat faktor1. penghambat yang

71 Amalia Ditya Ningsih, 2023 ANALISIS JARINGAN KOMUNIKASI SATGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL PPKS UPN VETERAN JAKARTA UPN Veteran Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial

Dialog tatap muka yang dilakukan oleh pihak- pihak yang terlibat dalam proses penanganan kekerasan seksual sebagai bentuk tindak lanjut aduan kasus kekerasan seksual yang telah diterima