See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/342591072
Panduan Pemantauan Komunitas Mangrove
Book · March 2017 CITATIONS
7
READS
4,113 2 authors, including:
I Wayan Eka Dharmawan
National Research and Innovation Agency - Indonesia 52PUBLICATIONS 320CITATIONS
SEE PROFILE
Panduan Pemantauan Komunitas Mangrove
I Wayan Eka Dharmawan
& Pramudji
COREMAP-CTI
EDISI 2
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Panduan Pemantauan
Komunitas Mangrove
Edisi 2
Kata Sambutan
Indonesia telah dicanangkan sebagai negara Benua Maritim terbesar di dunia oleh Presiden Indonesia ketiga, Bapak Prof. Dr. Bacharudin Juyuf Habibie pada pertemuan ilmiah di Ujung Pandang pada tahun 1998. Luasnya laut dan panjangnya pantai yang dimilki Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha EsaAllah swt, dan sekaligus menjadi tantangan bagi peneliti Indonesia untuk lebih berkiprah dalam mengibarkan bendera LIPI di kancah dunia ilmu pengetahuan, karena didalamnya belum banyak fenomena alam yang terungkap.
Sebagai negara yang terletak di kawasan tropis, Indonesia juga memiliki ekosistem pesisir yang lengkap, yakni terdiri dari hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, yang didalamnya terkandung keanekaragaman yang tinggi. Tingginya keanekaragam biota laut yang ada di perairan Indonesia tersebut, maka Indonesia dikenal sebagai “mega-biodiversity”.
Sebagai salah satu ekosistem di kawasan pesisir, terumbu karang yang ada di Indonesia eksistensinya terhampar sangat luas, dan diperkirakan total luas terumbu karang di Indonesia mencapai sekitar 39.583 km , atau sekitar 45,7% dari total 86.503 km2 luas terumbu di wilayah segitiga karang. Seiring dengan sebutan Indonesia sebagai mega-biodiversity, maka sudah sepantasnyalah jika terumbu karang di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi didunia, yakni sekitar 590 spesies karang batu, dan 2.200 spesies ikan karang.
Adalah wajar jika Prof. Dr. BJ. Habibi beberapa puluh tahun yang lalu telah mengangkat isue bahwa “LAUT ADALAH MASA DEPAN KITA”, namun sangat ironis karena pada tahun 1990an telah terjadi tekanan terhadap sumberdaya alam di berbagai daerah di Indonesia.
Penebangan hutan mangrove terjadi disepanjang pantai utara Jawa (pantura), Teluk Lampung, Bintan, Delta Mahakam dan juga di kawasan pesisir Makassar. Penangkapan ikan dengan jalan pintas, yakni dengan cara melakukan pengeboman dan pembiusan pada terumbu karang juga banyak ditemukan diberbagai daerah. Pengurugan kawasan pesisir yang diperuntukan sebagai lahan pengembangan kota, dan kegiatan pembangunan lainnya juga memberikan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir.
Terkait dengan kerusakan sumberdaya alam yang terjadi beberapa kawasan pesisir di Indonesia, maka sangat diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan menjadi program prioritas dalam rangka menjaga ekosistem pesisir, ketersedian stok ikan, serta ketahanan pangan dari laut. Program yang telah dicanangkan untuk mengelola ekosistem kawasan pesisir tersebut Coral Reef Rehabilitation Management Program atau lebih
dikenal COREMAP yang merupakan program nasional untuk upaya rehablitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara bekelanjutan. Program COREMAP tersebut disepakati dirancang dalam 3 (tiga) fase. Fase tersebut antara lain adalah Fase I, adalah fase Inisiasi (1998-2004), Fase II Akselerasi (2005-2011), dan Fase III yang merupakan fase Penguatan Kelembagaan (2014-2019).
Program COREMAP Fase III adalah sejalan dan selaras dengan program nasional dan regional, yaitu tentang pengelolaan terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang kemudian dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI). Oleh karena itu, program COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP-CTI. Selanjutnya, tujuan pengembangan Program COREMAP-CTI adalah untuk mendorong penguatan kelembagaan yang terdesentralisasi dan terintegrasi dalam upaya untuk pengelolaan sumberdaya terumbu karang, dan ekosistem peisisr terkait, serta biodiversitas secara berkelanjutan bagi kesejahteran masyarakat pesisir.
Akhirnya, pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih dan memberikan aptresiasi yang tinggi kepada penyusun buku panduan buku Panduan Pemantauan Kondisi Komunitas Mangrove. Buku ini mempertelakan tentang kegiatan pemantauan atau monitoring dalam rentang waktu tertentu, untuk menghitung kerapatan dan presentase tutupan tajuk, yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan status kondisi hutan mangrove pada kawasan pesisir. Kami mengharapkan agar buku ini dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan kegiatan monitoring bagi tenaga monitoring dan praktisi lainnya. Kami berharap buku ini dapat dijadikan sebagai acuan dan pegangan bagi peneliti dalam melakukan kegiatan monitoring ekosistem kawasan pesisir.
Jakarta, Desember 2015
Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Dr. Dirhamsyah, MA
Sebagai negara maritim yang terletak di kawasan tropik, Indonesia memiliki laiut yang cukup luas dan kawasan pesisir terpanjang kedua setelah Kanada. Selain memiliki kawasan pesisir yang sangat panjang, kawasan pesisir Indonesia tersebu juga memiliki ekosistem yang komplit dan kompleks, terutama di daerah yang terlindung dari hempasan ombak. Ekosistem pesisir tersebut pada umumnya terdiri dari tiga komponen utama yaitu hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Kawasan pesisir tersebut memiliki kesuburan yang tinggi, dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan. Namun demikian, kawasan pesisir yang merupakan tempat peralihan tersebut adalah sangat rentan terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya.
Sebagai salah satu komponen utama ekosistem pesisir, hutan mangrove di Indonesia adalah terluas di dunia. Luas hutan mangrove diseluruh kawasan pesisir Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4.25 juta hektar, namun demikian setelah terjadi intervensi manusia terhadap sumberdaya alam tersebut, maka pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu sekitar 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut turun secara drastis menjadi 2,49 juta hektar. Luas hutan mangrove dibeberapa kawasan pesisir Indonesia beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan yang sangat memperihatinkan. Pertambakan adalah sebagai kontributor yang paling besar terhadap rusaknya hutan mangrove.
Sehubungan hal tersebut di atas, maka upaya untuk menanggulangi kerusakan pada ekosistem kawasan pesisir sangat diperlukann. Salah satu program yang digunakan sebagai solusi kondisi kawasan pesisir tersebut adalah Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP), yang merupakan program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemulihan dan perbaikan, serta pengelolaan berkelanjutan sumberdaya hayati kawasan pesisir
Kegiatan pada COREMAP Fase III, atau juga dikenal dengan COREMAP-CTI, dimulai sejak 2014, dan direncanakan akan selesai pada tahun 2019. Program COREMAP-CTI ini merupakan kelanjutan dari COREMAP Fase II, yang lokasinya meliputi Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional untuk pemulihan dan perbaikan, serta pengelolaan berkelanjutan sumberdaya hayati, termasuk hutan mangrove.
Kata Pengantar
Pada pelaksanaan kegiatan program COREMAP tahun-tahun sebelumnya, untuk komponen hutan mangrove belum disertakan dalam kegiatan pemantauan kondisi hutan mangrove.
Namun demikian, pada program COREMAP CTI LIPI, hutan mangrove disertakan untuk melakukan pemantauan status ekosistem mangrove di beberapa wilayah Indonesia. Pada program tersebut diawali dengan mempersiapkan buku panduan pemantauan kondisi hutan mangrove. Buku panduan tersebut pada pada intinya adalah untuk memberikan pengertian dan pemahaman tentang peran dan fungsi hutan mangrove kepada peneliti, akademisi dan masyarakat pecinta mangrove. Buku tersebut juga mempertelakan tentang langkah-langkah atau cara melakukan pemantauan hutan mangrove
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku Panduan Pemantauan Kondisi Komunitas mangrove dapat diselesaikan. Diharapkan buku panduan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai referensi dan pegangan dalam kegiatan pemantauan kondisi komunitas mangrove, yang selanjutnya digunakan untuk menentukan status kondisi hutan mangrove pada suatu daerah.
Jakarta, Oktober 2017 Tim Penulis
Daftar Isi
Kata Sambutan i
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
Daftar Tabel ix
Daftar Lampiran x
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Tujuan Pemantauan 3
Sasaran 3
2. PERSIAPAN PEMANTAUAN
Persiapan Tim 5
Persiapan Administrasi dan Perijinan 5
Persiapan Peralatan 6
Penentuan Stasiun Pemantauan (Survey Baseline) 11
3. PELAKSANAAN KEGIATAN PEMANTAUAN
Gambaran Umum 15
Penentuan Plot Permanen (Khusus Baseline Survey) 16
Pencarian Lokasi Stasiun Permanen (Survey tn) 19
Pengambilan Data Persentase Tutupan Kanopi Komunitas 19
Pengambilan Data Struktur Komunitas Mangrove 21
4. ANALISIS DATA
Analisis Data Persentase Tutupan Kanopi Komunitas 25
Analisis Data Struktur Komunitas Mangrove 30
Penyajian Analisis Tahunan 36
Analisis Data Multi Tahun 37
Interpretasi Hasil dan Penentuan Kondisi Komunitas Mangrove38 5. PENYUSUNAN LAPORAN PEMANTAUAN
Laporan Singkat 39
Laporan Lengkap 39
Daftar Pustaka 41
Glossarium 43
Lampiran
Daftar Gambar
Gambar 1. Salah satu contoh perahu yang sedang digunakan dalam kegiatan
pemantauan di Kab. Bintan. 6
Gambar 2. Peralatan dasar pribadi yang harus digunakan oleh setiap tenaga
pemantauan 6
Gambar 3. Peta Tematik Stasiun Pemantauan Mangrove 7 Gambar 4. Alat GPS receiver merk Garmin GPSmap 60cs dan keterangan tombol
operasinya. Jenis GPS yang memiliki antena khusus pada bagian atas, direkomendasikan untuk kegiatan pemantauan di dalam kawasan hutan mangrove yang memiliki kanopi yang lebat. (Sumber foto: Pusat Data
dan Surveillans Epidemiologi Kemenkes RI) 8
Gambar 5. Cat semprot fluorescence 8
Gambar 6. Tali plastik yang sering digunakan dalam kegiatan pemantauan. 8 Gambar 7. Beberapa jenis kamera yang bisa digunakan dalam pelaksanaan
pemantauan. 9
Gambar 8. Meteran jahit yang digunakan untuk mengukur lingkar batang pohon
mangrove 9
Gambar 9. Tali tambang plastik yang dapat digunakan dalam kegiatan 9 Gambar 10. Buku catatan waterproof yang dapat digunakan untuk kegiatan
pemantauan. 9
Gambar 11. Peralatan P3K minimal yang harus disiapkan dalam pelaksanaan
pemantauan kondisi komunitas mangrove 9
Gambar 12. Lembar Checklist persiapan peralatan sebelum pengamatan dilakukan. 10 Gambar 13. Penampakan muka bumi dalam citra satelit pada Google Earth (Pulau
Kelong, Kabupaten Bintan) 11
Gambar 14. Penampakan muka bumi dalam citra Landsat 8 yang telah dikoreksi
(Pulau Kelong, Kabupaten Bintan). 12
Gambar 15. Peta tematik temporer pada Google Earth 12 Gambar 16. Peta tematik temporer hasil interpretasi dengan ArcMap. 13 Gambar 17. Tampilan pada layar GPS komponen utama yang disesuaikan dengan
koordinat titik potensial. 16
Gambar 18. Tampilan layar GPS yang memuat langkah-langkah pelacakan titik potensial untuk pemantauan komunitas mangrove. 17
Gambar 19. Ilustrasi penentuan plot permanen (kotak putih dan abu) untuk
pemantauan komunitas mangrove. Keterangan: a) mangrove dengan tiga stratifikasi/zona yang berbeda; b) vegetasi mangrove dengan stratifikasi dan atau tanpa stratifikasi yang jelas; dan c) vegetasi mangrove dengan ketebalan < 30 meter. Plot yang berwarna putih merupakan minimal jumlah plot yang harus dibuat. Plot yang berwarna abu sebagai plot tambahan, apabila masih tersedia waktu dan tenaga. 18 Gambar 20 . (a) Ilustrasi metode hemisperichal photography untuk mengukur tutupan
mangrove (Korhonen et al., 2008; Jenning et al., 1999); (b) hasil
pemotretan dengan lensa fisheye secara vertikal. 19 Gambar 21. Posisi pengambilan foto yang sesuai pada beragam kondisi kanopi
mangrove. 20
Gambar 22. Letak pengambilan foto dalam setiap plot yang baik dan benar dengan
mempertimbangan posisi pohon disekitarnya. 21
Gambar 23. Posisi pengukuran lingkar batang pohon mangrove pada beberapa tipe batang, yang dipengaruhi oleh sistem perakaran dan percabangan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove). 21 Gambar 24. Contoh pengisian data sheet pemantauan mangrove di Kabupaten
Natuna 23
Gambar 25. Menu awal perangkat lunak ImageJ 23 Gambar 26. Identitas foto akan terlihat di pojok kiri atas. Sebagai contoh, file foto
yang ditampilkan bernama BTNM01.01.23 yang memiliki ukuran 4000 x 3000 pixels atau 12 juta pixel secara keseluruhan, dengan format
warna masih RGB dan ukuran gambar 46 MB. 25
Gambar 27. Identitas foto sedikit mengalami perubahan. Warna RGB telah berubah menjadi 8-bit dan ukuran menyusut menjadi 11 MB. Warna gambar
berubah menjadi abu – abu atau grayscale. 26
Gambar 28. Perubahan hanya terjadi pada tampilan gambar, menjadi putih (langit) dan hitam (tutupan mangrove) namun nilai digital pixel masih beragam. 26 Gambar 29. Perubahan terjadi pada identitas foto dari hanya 8-bit menjadi 8-bit
(inverting LUT). Saat ini nilai digital pixel langit = 0 (nol) dan jauh berbeda dengan nilai digital pixel tegakan = 255. 29 Gambar 30. Jumlah pixel yang bernilai 255 pada foto contoh tersebut adalah
10.845.715 pixel. 27
Gambar 31. Mode: 0 adalah tutupan pixel langit. Untuk mendapatkan pixel kanopi (P255) maka nilai seluruh pixel (5.038.838) dikurangi pixel langit
(2.743.947), yaitu: 2.294.891. 28
Gambar 32. Data yang telah dimasukkan ”Template_analisis Vegetasi” dan sheet
”%cover”. 29
Gambar 33. Rata-rata dan standar deviasi yang telah dimasukkan ke dalam
“Tabel Besar” pada ”Template_analisis Vegetasi”. 29
Gambar 34. Tampilan awal “template50_10x10” 30 Gambar 35. Input data identitas stasiun pemantauan NTNM01 di Pulau Sedanau,
pengambilan data tanggal 23 Agustus 2017 dengan jumlah plot
permanen sebanyak 6 plot (NTNM01.01 sampai NTNM01.06) 30 Gambar 36. Langkah-langkah pemilihan jenis mangrove yang ingin dimasukkan data
kelilingnya. a) tampilan awal; b) daftar seluruh jenis; c) pilih satu jenis yang diinginkan (contoh: Rhizophora apiculata; dan d) tampilan setelah
pemilihan jenis. 31
Gambar 37. Tampilan pemasukan seluruh data keliling batang Rhizophora apiculata. 31 Gambar 38. Tampilan sheet “vegetasi” pada template50_10x10 32 Gambar 39. Tampilan dalam template untuk memilih semua jenis 33 Gambar 40. Tampilan dalam template untuk menentukan unit kerapatan yang
diinginkan. 33
Gambar 41. Nilai kerapatan telah ditampilkan pada setiap plot pemantauan. 34 Gambar 42. Penentuan nilai standar deviasi dari kerapatan pohon dalan satu stasiun. 34 Gambar 43. Nilai standar deviasi dari kerapatan pohon dalan satu stasiun telah
terhitung 35
Gambar 44. Nilai INP (kotak merah) dalam template50_10x10 dengan data telah dianalisis, dimana menunjukkan nilai INP terbesar adalah jenis
R. apiculata (169,25%) dan yang terendah adalah jenis C. tagal (59,46%). 35 Gambar 45. Kolom yang dilengkapi dalam Tabel Besar dengan memasukkan hasil
analisis yang terlah diperoleh berkaitan dengan kondisi komunitas
mangrove. 36
Gambar 46. Contoh penyajian analisis multi tahun (2015. 2016 dan 2017) pada data persentase tutupan kanopi mangrove, studi kasus yang digunakan
adalah data Kabupaten Biak. 37
Gambar 47. Contoh analisis ordinasi dengan MDS dengan software Primer 7,
jika dibutuhkan dalam tujuan yang dijalankan. 37 Gambar 48. Contoh analisis ANOVA dengan SPSS 17 pada studi kasus data
Kabupaten Lingga 38
Gambar 51. Contoh lembar pelaporan singkat hasil pengamatan komunitas mangrove. 40
Gambar 52. Akar tunjang pada Rhizophora 47
Gambar 53. Sistem perakaran Ceriops dan Bruguiera kombinasi antara akar tunjang kecil
dan akar lutut. 47
Gambar 54. Akar nafas pada kelompok Sonneratia (a), Xylocarpus moluccensis (b) dan
Avicennia (c). 48
Gambar 55. Akar papan pada Xylocarpus granatum. 48 Gambar 56. Sketsa daun Rhizophora apiculata (kiri), R. mucronata (tengah) dan R. stylosa
(kanan). 49
Gambar 57. Bentuk daun Bruguiera, Ceriops, satu helaian daun (leaflet) Xylocarpus
moluccensis dan X. granatum; serta daun majemuk Xylocarpus 49 Gambar 58. Bentuk daun dari kelompok Avicennia yang umum ditemukan, yaitu:
A. marina (kiri), A. alba (tengah), dan A. lanata (kanan). 49
Gambar 59. Bentuk daun Sonneratia ovata (kiri), S. caseolaris (tengah) dan S. alba (kanan) 49 Gambar 60. Perbedaan propagul dan pembungaan antar jenis Rhizophora: R. apiculata
(a); R. lamarckii (b); R. mucronata (c); R. stylosa (d). 50 Gambar 61. Perbedaan bentuk propagul pada kelompok Bruguiera. 1) B. hainesii;
2). B. sexangula; 3) B. gymnorrhiza; 4) B. cylindrica; dan B. parviflora. 50 Gambar 62. Dinamika morfologi propagul pada Ceriops tagal (kiri), C. zippeliana
(tengah) dan C. decandra (kanan). 51
Gambar 63. Buah dan bunga pada Sonneratia ovata (kiri; Yong and Sheue, 2014),
S. alba (tengah) dan S. caseolaris (kanan). 51
Gambar 64. Bunga (kiri) dan buah X. moluccensis (kanan atas) serta X. granatum (kanan bawah).
Gambar 65. Perbedaan antar beberapa jenis Avicennia dari morfologi buah dan bunga. 52
Daftar Tabel
Tabel 1. Jumlah ideal tenaga yang dibutuhkan untuk pemantauan kondisi komunitas
mangrove. 5
Tabel 2. Matriks tahapan kegiatan pemantauan status kondisi mangrove 15 Tabel 3. Contoh kode penamaan stasiun pemantauan mangrove mengacu pada lokasi
CRITC COREMAP LIPI pada fase 2. 18
Tabel 4. Contoh penulisan data hasil akhir hasil pemantauan kondisi komunitas
mangrove, studi kasusnya di Kabupaten Lingga. 36
Tabel 5. Standar baku kerusakan hutan mangrove berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 38
Tabel 6. Sumber gambar dalam buku yang berasal dari website online. 54
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Data Sheet Pemantauan Kesehatan Hutan Mangrove 44 Lampiran 2. Kunci Identifikasi dan Contoh Gambar Jenis Mangrove 45 Lampiran 3. Cara identifikasi dengan praktis di lapangan 47 Lampiran 3. Formulir Pelaporan Singkat Hasil Pemantauan 53
Lampiran 4. Sumber Gambar 54
1
LATAR BELAKANG
Hutan mangrove merupakan hutan tumbuhan tingkat tinggi yang beradaptasi dengan sangat baik di wilayah intertidal maupun pada wilayah dengan tinggi permukaan pasangsurut rata-rata sampai pada wilayah dengan pasang tertinggi (Alongi, 2009). Komunitas tumbuhan mangrove tumbuh baik pada wilayah tropis dan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan yang ekstrem, seperti suhu tinggi, salinitas tinggi, pasang surut ekstrem, sedimentasi tinggi, serta kondisi substrat tumbuh yang miskin oksigen dan atau tanpa oksigen.
Peran dan fungsi ekosistem hutan mangrove tersebut antara lain adalah sebagai daerah perputaran unsur hara atau nutrien, sebagai habitat dari berbagai macam biota dan juga merupakan daerah penyangga antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Dari berbagai hasil penelitian mangrove yang telah dilakukan, sudah diyakini bahwa selama proses peluruhan, penguraian atau dekomposisi dari serasah mangrove mampu menopang kehidupan berbagai biota akuatik yang hidup berasosiasi didalamnya. Secara ekologis, mangrove juga mampu meredam bencana alam, antara lain gelombang pasang tsunami, angin topan dan mampu berperan sebagai filter dari berbagai jenis polutan baik yang berasal dari laut maupun dari daratan. Keunikan lain dari sumberdaya mangrove ini adalah karena mangrove memiliki multi fungsi, yakni sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat yang hidup disekitar hutan mangrove, serta dapat dikembangkan sebagai ekowisata yang sangat bermanfaat bagi kepentingan pecinta alam, pendidikan maupun sebagai lokasi penelitian.
Jumlah jenis tumbuhan mangrove di seluruh dunia adalah sekitar 70 jenis (Hutching & Seangers, 1987), sedangkan menurut Kusmana (1993) adalah sekitar 43 jenis, kemudian Tomlinson (1986) menyebutkan sekitar 81 jenis. Selain memiliki hutan mangrove yang paling luas di dunia, hutan mangrove di Indonesia juga memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang paling tinggi di dunia, yakni terdiri atas 24 suku, 41 marga dan 75 jenis (Sukardjo, 1999). Kusmana (2002) menambahkan, bahwa jumlah jenis tumbuhan mangrove di seluruh Indonesia adalah sekitar 157 jenis yang terdiri dari tumbuhan tingkat tinggi dan tingkat rendah. Noor dkk (1995) menyebutkan bahwa jenis tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 189 jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi mangrove yang termasuk dalam 68 suku. Jenis mangrove yang ada di Indonesia menurut Noor dkk. (1999) dan Giesen et al. (2006). Sedangkan yang ditemukan Pramudji (2017) selama penulis melakukan penelitian mangrove, sejak tahun 1983 hingga 2017, adalah sebanyak 40 jenis tumbuhan mangrove, dan 65 jenis tumbuhan asosiasi mangrove
Pendahuluan
Penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat pesisir, seperti terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan nelayan (Mumby et al., 2004). Selain itu, terganggunya hutan mangrove juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan pesisir dan habitat, serta kepunahan spesies ikan, dan biota laut yang hidup berasosiasi di dalamnya, serta abrasi pantai (Polidoro et al., 2010). Degradasi kondisi mangrove tersebut masih diperparah dengan tidak tegasnya penegakan hukum yang menyebabkan penurunan kualitas, sera fungsi dan peranan hutan mangrove (Kathiresan & Bingham, 2001).
Kondisi kesehatan ekosistem mangrove secara keseluruhan, dampaknya dapat mempengaruhi kondisi dua ekosistem lainnya di kawasan pesisir, yaitu padang lamun dan terumbu karang.
Secara fisik, sistem perakaran mangrove yang khas memberikan perlindungan bagi lamun dan terumbu karang dari bahaya sedimentasi. Akar mangrove berfungsi menyaring materi-materi berukuran besar yang terbawa oleh aliran sungai dan masuk ke laut. Kondisi alami yang ada pada hutan mangrove tersebut dapat mencegah perairan menjadi keruh, sehingga tidak terjadi penumpukan dan penimbunan pada permukaan lamun dan karang. Secara ekologi, hutan mangrove merupakan suatu habitat bagi kehidupan dan pertumbuhan berbagai biota. Pada kondisi ekosistem mangrove yang terjaga, maka semakin banyak pilihan bagi masyarakat pesisir dalam memenuhi kebutuhan ekonomi pada suatu area. Namun demikian, ketika mangrove sudah rusak, maka tekanan antropogenik akan semakin tinggi dirasakan oleh ekosistem terumbu karang. Terkait dengan hal tersebut, maka diperlukan suatu upaya pengelolaan yang mencakup didalamnya usaha pemantauan ekologi terhadap kondisi komunitas mangrove di suatu kawasan.
Metode fotografi sudah banyak digunakan untuk penelitian ekologi kawasan khususnya kehutanan (Jenning et al., 1999; Rich, 1990; Ishida, 2004; Korhonen et al., 2006; Schwalbe et al., 2009; Cristin et al., 2014; Nolke et al., 2014; Chianucci et al., 2014). Namun demikian, penelitian yang menggunakan teknik fotografi belum banyak dikembangkan dan digunakan untuk melakukan pendekatan ekologi pada penentuan kondisi kesehatan komunitas mangrove.
Keuntungan dari penggunaan metode fotografi adalah hasil penelitian yang diperoleh bersifat lebih akurat, memiliki bukti yang lebih kuat dan dapat dilakukan analisis untuk penelitian lainnya. Oleh karena itu, pendekatan fotografi dan analisisnya dapat digunakan dengan baik untuk mengetahui status degradasi dan kesehatan hutan mangrove di suatu kawasan pesisir.
Komponen yang digunakan dalam penentuan kondisi kesehatan komunitas mangrove, antara lain: persentase tutupan mangrove serta struktur komunitas mangrove yang sudah terstandar dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Parameter yang digunakan dalam menentukan kondisi kesehatan mangrove tergantung dari tujuan utama dari kegiatan atau program yang menaungi kegiatan pemantauan. Misalnya, dalam program COREMAP CTI, parameter utama yang digunakan adalah persentase tutupan kanopi komunitas, namun tidak menutup kemungkinan nilai kerapatan dianggap lebih penting bagi program kelautan lainnya di Indonesia.
TUJUAN PEMANTAUAN
Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk mengukur atau menganalisis kondisi terkini dari komunitas mangrove, memberikan penilaian status kondisinya serta membandingkan dengan hasil pemantauan jika telah dilakukan pada tahun sebelumnya.
SASARAN
Sasaran utama dari penulisan buku panduan ini adalah masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintahan serta LSM yang fokus pada kegiatan konservasi, penelitian dan rehabiitasi ekosistem mangrove. Stakeholder komunitas mangrove tersebut diharapkan mampu melakukan kegiatan pemantauan secara mandiri, terstruktur dan dapat dipertanggung-jawabkan mulai dari tahapan persiapan, pengambilan data, analisis data dan pelaporan.
Persiapan
Pemantauan 2
PERSIAPAN TIM
Pelaksanaan kegiatan pemantauan membutuhkan sumber daya manusia yang sesuai dengan bidang keahliannya yang diharapkan meningkatkan efektifitas pelaksanaan pemantauan. Tenaga peneliti yang telah berpengalaman dan telah mendapatkan pelatihan merupakan aktor utama dalam kegiatan. Selain itu, tenaga teknisi atau asisten teknis juga sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan survey, dimana tenaga ini bisa berasal dari instansi daerah setempat. Tenaga lapangan, tenaga lokal atau masyarakat sekitar juga dapat dikategorikan sebagai tenaga teknis pembantu kegiatan. Tenaga motoris perahu juga harus dipastikan memiliki skill yang baik dan berpengalaman dalam mengendarai perahu. Tenaga peneliti merupakan sumber daya manusia yang mampu mengidentifikasi kebutuhan jumlah tenaga teknisi yang dibutuhkan serta mengkoordinasikan fungsi pekerjaan kepada setiap tenaga yang dibutuhkan.
PERSIAPAN ADMINISTRASI DAN PERIJINAN
Kelengkapan administrasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemantauan antara lain surat tugas dari instansi tenaga pemantau/Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dan surat ijin melakukan penelitian di dalam kawasan yang ditujukan kepada Kepala Desa atau Dusun/
Kampung, Kepala instansi terkait atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Bupati.
Tabel 1. Jumlah ideal tenaga yang dibutuhkan untuk pemantauan kondisi komunitas mangrove.
No Fungsi Jumlah SDM
Tugas
t0 tn
1 Peneliti/Tenaga
terlatih 1 1
Pengambilan foto, identifikasi jenis, pen- catatan hasil pengukuran dan pengukuran parameter lingkungan (suhu, salinitas, pH, substrat).
2 Teknisi/Tenaga
Lokal 2 1 Pembuatan transek, penandaan lokasi
(khusus t0), pemeliharaan tanda, dan pengukuran data kuantitatif.
3 Tukang Perahu 1 1 Transportasi dilapangan
PERSIAPAN PERALATAN
Peralatan yang digunakan dalam kegiatan pemantauan kondisi mangrove antara lain:
1. Perahu dan atau sampan, digunakan sebagai transportasi menuju stasiun pengamatan.
2. Perlengkapan dasar pribadi, seperti topi rimba, baju pelampung, baju lengan panjang, celana panjang, kaos kaki dan sepatu selam (booties) dengan tapal/sol yang lebih tebal (Gambar 2).
Gambar 1. Salah satu contoh perahu yang sedang digunakan dalam kegiatan pemantauan di Kab. Bintan.
Gambar 2. Peralatan dasar pribadi yang harus digunakan oleh setiap tenaga pemantauan
3. Peta tematik stasiun penelitian: pada survey awal/pertama (t0) peta yang dibawa berupa peta tematik area potensial untuk dijadikan stasiun pemantauan permanen. Sedangkan pada kegiatan pemantauan selanjutnya (tn), digunakan peta lokasi yang sudah memiliki titik-titik lokasi stasiun dan plot permanen. Posisi geografis plot permanen disajikan dalam bentuk tabel pada halaman belakang peta.
4. Buku identifikasi mangrove digunakan untuk mengetahui identitas/nama jenis mangrove yang kita temui dalam area penelitian. Kegiatan baseline/survey awal (t0) yang dilaksanakan mutlak membutuhkan buku identifikasi. Untuk pemantauanselanjutnya (tn), hanya menggunakan lembar identifikasi jenis mangrove yang telah disusun sebelumnya.
5. Global Positioning System (GPS) receiver digunakan untuk merekam titik koordinat geografis stasiun penelitian pada saat survey t0. Pada saat tn, GPS reciever digunakan untuk mencari/melacak kembali titik/posisi stasiun dan plot permanen yang telah dibuat. GPS reciever yang digunakan lebih baik yang memiliki antena, seperti merk GARMIN GPS Map
Gambar 3. Peta Tematik Stasiun Pemantauan Mangrove
60 Cx, Garmin GPS Map 60 Cs atau merek lainnya, karena terbukti mampu menerima sinyal lebih kuat di dalam area mangrove yang tertutup kanopi. Pastikan mesin GPS dapat bekerja dengan baik serta memiliki daya baterai yang cukup.
6. Cat semprot (Pylox atau merk lainnya yang tahan air untuk memberikan penandaan batas plot/transek lokasi pengambilan data dan foto. Seyogyanya dipilih warna yang terang dan tampak kontras dengan pohon, sehingga terlihat dengan jelas jika dilakukan pengamatan pada waktu selanjutnya.
7. Tali Rafia/Plastik, digunakan untuk melakukan penandaan batasan plot pemantauan. Plot yang letaknya bersinggungan menggunakan warna tali plastik yang berbeda beda. Warna tali plastik yang direkomendasikan adalah merah, kuning dan biru.
Gambar 4. Alat GPS receiver merk Garmin GPSmap 60cs dan keterangan tombol operasinya. Jenis GPS yang memiliki antena khusus pada bagian atas, direkomendasikan untuk kegiatan pemantauan di dalam kawasan hutan mangrove yang memiliki kanopi yang lebat. (Sumber foto: Pusat Data dan Surveillans Epidemiologi Kemenkes RI)
Gambar 5. Cat semprot fluorescence Gambar 6. Tali plastik yang
sering digunakan dalam kegiatan pemantauan.
8. Kamera. Banyak tipe kamera yang bisa menjadi pilihan yang bisa digunakan, yaitu: kamera DSLR/SLR; kamera HP; Kamera action (GoPro)dan kamera dengan geotagging seperti Garmin Virb Lite. Kamera yang dipilih memiliki layar untuk melihat langsung hasil foto yang dihasilkan dengan resolusi diatas 3 MP. Kamera saku digunakan untuk melakukan dokumentasi kegiatan dan keperluan identifikasi.
9. Meteran jahit untuk mengukur keliling/
lingkar batang mangrove.
10. Tali transek dengan panjang 20 meter dengan penanda pada panjang 10 meter. Tali terbuat dari bahan tambang nilon dengan warna cerah. Untuk mempermudah, warna tali pada 10 meter pertama dibedakan dengan 10 meter kedua.
11. Kertas tahan air (Newtop) dan pensil 2B/4B, digunakan untuk mencatat data hasil pengukuran.
12. P3K (Pertolongan Pertama pada kecelakaan) dan obat-obatan
Gambar 7. Beberapa jenis kamera yang bisa digunakan dalam pelaksanaan pemantauan.
Gambar 9. Tali tambang plastik yang dapat digunakan dalam kegiatan
Gambar 8. Meteran jahit yang digunakan untuk mengukur lingkar batang pohon mangrove
Gambar 11. Peralatan P3K minimal yang harus disiapkan dalam pelaksanaan pemantauan kondisi komunitas mangrove Gambar 10. Buku catatan waterproof yang
dapat digunakan untuk kegiatan pemantauan.
Checklist Peralatan Pemantauan
o Perahu dan atau sampan o Perlengkapan dasar pribadi o Kaos Kaki o Sepatu
o Baju lengan panjang o Celana Panjang o Peta lokasi pengamatan o Buku identifikasi mangrove
o Global Positioning System (GPS) reciever o Cat piloxs/semprot
o Tali Rafia o Meteran jahit
o Kamera dengan lensa fish-eye o Kamera Saku
o Tali transek
o Kertas tahan air (Newtop) dan o Pensil 2B/4B
o P3K dan obat-obatan
Gambar 12. Lembar Checklist persiapan peralatan sebelum pengamatan dilakukan
PENENTUAN STASIUN PEMANTAUAN (SURVEY BASELINE) Identifikasi Titik Stasiun Potensial
Stasiun pemantauan hanya ditentukan pada kegiatan survey awal/pertama/baseline (t0).
Adapun langkah-langkah penentuan stasiun pengamatan adalah sebagai berikut:
1. Interpretasi objek mangrove: sebaran stasiun mangrove dalam wilayah target dapat diidentifikasi dengan perangkat lunak yang dapat memberikan gambaran awal secara spasial tentang keberadaan ekosistem mangrove. Perangkat yang paling mudah digunakan umumnya adalah Google Earth dimana ekosistem mangrove akan terlihat lebih hijau dibandingkan dengan komunitas tumbuhan terrestrial. Selain itu, penentuan objek mangrove juga dapat dilakukan dengan lebih baik dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap, surfer atau lainnya.
2. Penentuan jumlah stasiun: dilakukan dengan mempertimbangkan representasi area, kertersediaan waktu, sumber daya dan anggaran.
3. Stasiun potensial dibuat sebagai seluruh calon lokasi pemantauan permanen yang perlu diverifikasi selanjutnya dan dimasukkan ke dalam peta tematik temporer.
4. Tidak semua stasiun potensial tersebut akan dijadikan stasiun permanen, namun keseluruhan stasiun potensial tesebut akan diverifikasi dan diseleksi berdasarkan beberapa parameter, yaitu: akses masuk yang cukup mudah
Gambar 13. Penampakan muka bumi dalam citra satelit pada Google Earth (Pulau Kelong, Kabupaten Bintan)
Pembuatan Peta Tematik Temporer
Peta tematik temporer dapat disusun secara sederhana dengan menggunakan screen-capture Google Earth atau dilakukan dengan lebih akurat dengan perangkat lunak pemetaan seperti ArcMap dan Surfer. Hal penting yang harus ada dalam peta tematik temporer adalah posisi koordinat dari titik potensial yang telah ditentukan sebelumnya.
.
Gambar 14. Penampakan muka bumi dalam citra Landsat 8 yang telah dikoreksi (Pulau Kelong, Kabupaten Bintan).
Gambar 15. Peta tematik temporer pada Google Earth
Gambar 16. Peta tematik temporer hasil interpretasi dengan ArcMap
GAMBARAN UMUM
Kegiatan pemantauan untuk komunitas mangrove dibedakan menjadi pengamatan survey awal (t0) dan pengamatan berikutnya (t1, t2, tn…). Perbedaan tahapan kegiatan antara kedua waktu pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 2. Pelaksanaan kegiatan pengamatan dan pemantauan komunitas mangrove dilakukan dengan metode transek kuadrat dan hemispherical photography.
Pelaksanaan Kegiatan
Pemantauan
Tabel 2. Matriks tahapan kegiatan pemantauan status kondisi mangrove No Tahapan Kegiatan
Survey
awal Survey berikutnya
t0 t1 t2 tn…
1 Persiapan tim + + + +
2 Persiapan administrasi dan perijinan + + + +
3 Persiapan Peralatan + + + +
4 Penentuan Stasiun & Pembuatan
Peta Tematik Temporer + - - -
5 Pelacakan stasiun permanen - + + +
6 Pengukuran data lapangan + + + +
7 Penghitungan persentase tutupan + + + +
8 Analisa data + + + +
9 Intepretasi hasil + + + +
10 Pembuatan laporan + + + +
Keterangan : (+) : diperlukan; (-) : tidak diperlukan
3
PENENTUAN PLOT PERMANEN (Khusus Baseline Survey) a. Input koordinat geografis titik potensial ke dalam GPS
1. Diperhatikan dengan seksama peta tematik temporer, khususnya tabel yang memuat informasi koordinat stasiun potensial.
2. Siapkan GPS dalam kondisi hidup
3. Tekan [mark] atau [enter] untuk menambahkan sebuah titik yang disebut ”waypoint”
pada GPS
4. Masukkan nama titik potensial dan koordinat geografisnya pada GPS 5. Tekan [OK] untuk menyimpan titik koordinat potensial.
6. Langkah yang sama dilakukan, sampai seluruh titik potensial dimasukkan.
b. Pelacakan titik stasiun potensial
1. Tekan tombol [Find] pada GPS receiver yang berguna untuk mencari waypoints yang merupakan titik potensial yang telah tersimpan sebelumnya.
2. Pilih [waypoint] dengan tombol [ENTER]
3. Pilih nama waypoint dengan tombol [ENTER]
4. Tahap selanjutnya, pilih [Go to] dengan tombol [ENTER], kemudian GPS receiver akan menunjukkan posisi dan arah stasiun/plot tersebut secara otomatis dari posisi GPS receiver saat ini.
5. Perahu diarahkan ke posisi tegak lurus dengan telah ditunjukkan dalam GPS receiver untuk kemudian dilakukan pengambilan data.
Gambar 17. Tampilan pada layar GPS komponen utama yang disesuaikan dengan koordinat titik potensial.
c. Pembuatan Plot Permanen
1. Perhatikan beberapa persyaratan berikut ini:
- Kondisi lapangan harus aman dari berbagai bahaya, seperti binatang buas, arus dan gelombang
- Akses masuk yang tidak sulit dan berbahaya
- Informasi dari masyarakat lokal tentang deskripsi wilayah sekitar
- Tidak diperbolehkan berada dipinggir/batas laut dan mangrove, minimal harus masuk ke dalam 10-20 meter. Namun, apabila ekosistem mangrove dalam kawasan tersebut tipis, maka diambil titik tengahnya sebagai titik plot.
2. Jika seluruh persyaratan sudah terpenuhi, pembuatan plot diawali dengan penandaan posisi geografis plot permanen tersebut pada GPS. Titik ini akan menjadi titik posisi stasiun pemantauan selanjutnya
3. Dibuat plot kuadrat berukuran 10m x10m dengan menggunakan tali transek dan dipastikan bentuk plot berbentuk bujur sangkar.
4. Disepanjang tali transek, diikuti oleh tali plastik yang diikat pada pohon atau akar terdekat dengan kuat untuk menghubungkan setiap pojok plot. Setiap plot digunakan warna tali plastik yang berbeda-beda.
5. Setiap plot yang berada di dalam dan paling pojok plot dilakukan pengecatan dengan menggunakan cat semprot fluorescence lebih tebal (dibandingkan dengan pohon- pohon lainnya). Lebar pengecatan lebih dari 5 cm.
6. Dilakukan cara yang sama untuk membuat plot-plot lainnya, namun dengan warna tali plastik dan cat semprot yang berbeda pada plot yang bersinggungan.
7. Penentuan jumlah plot mengikuti persyaratan berikut:
- Jumlah plot ditentukan berdasarkan waktu, tenaga dan anggaran yang tersedia.
- Kawasan mangrove yang memiliki zonasi yang jelas dilakukan peletakan 3 plot berseri di setiap zona (Gambar 19a)
- Pada lokasi yang memiliki komunitas mangrove yang cukup tebal dan homogen (setelah masuk lagi 100 m ke dalam struktur komunitas masih sama) maka minimal dilakukan pembuatan plot sebanyak 3 plot secara berseri (Gambar 19b)
Gambar18. Tampilan layar GPS yang memuat langkah-langkah pelacakan titik potensial untuk pemantauan komunitas mangrove.
- Hutan mangrove yang tipis (10-30 m) yang tidak memiliki batas stratifikasi yang jelas maka penentuan plot bisa dilakukan secara acak dengan minimal 3 plot ulangan dimana disarankan penempatan plot berada di tengah dan ujung ekosistem mangrove (Gambar 19c).
d. Penamaan Stasiun dan Plot Permanen
Mengingat anggota/tim/orang yang terlibat dalam pemantauan mangrove yang berbeda-beda, maka diperlukan penyeragaman nama stasiun dan plot permanen untuk menyamakan persepsi antar pemantau yang berbeda. Untuk itu, dapat disepakati bahwa penamaan stasiun terdiri dari nama kabupaten, nomor urut stasiun dan nomor plot. Sebagai contoh, pemantauan mangrove di lokasi Kabupaten Natuna, maka format penamaan yaitu: NTNM01.01. “NTNM” terdiri dari kode “NTN” = Natuna dan “M” = Mangrove; “01” pertama merupakan urutan stasiun; dan
“01” berikutnya sebagai interpretasi penomoran plot pada stasiun. Berikut ini adalah beberapa contoh penamaan stasiun dan plot yang diambil berdasarkan lokasi pemantauan oleh CRITC COREMAP LIPI pada fase 2 dalam Tabel 3.
PENCARIAN LOKASI STASIUN PERMANEN (SURVEY TN)
Gambar 19. Ilustrasi penentuan plot permanen (kotak putih dan abu) untuk pemantauan komunitas mangrove. Keterangan: a) mangrove dengan tiga stratifikasi/
zona yang berbeda; b) vegetasi mangrove dengan stratifikasi dan atau tanpa stratifikasi yang jelas; dan c) vegetasi mangrove dengan ketebalan < 30 meter.
Plot yang berwarna putih merupakan minimal jumlah plot yang harus dibuat.
Plot yang berwarna abu sebagai plot tambahan, apabila masih tersedia waktu dan tenaga.
Tabel 3. Contoh kode penamaan stasiun pemantauan mangrove mengacu pada lokasi CRITC COREMAP LIPI pada fase 2.
WILAYAH BARAT WILAYAH TIMUR
NO Kode Kabupaten/Lokasi No Kode Kabupaten/Lokasi
1 NTNM Natuna 1 PKPM Pangkep
2 BTNM Bintan 2 SLYM Selayar
3 BTMM Batam 3 BUTM Buton
4 LGGM Lingga 4 WKTM Wakatobi
5 NISM Nias Selatan 5 SKKM Sikka
6 MTWM Mentawai 6 BIKM Biak-Numfor
7 RJAM Raja Ampat
a. Input koordinat geografis stasiun permanen ke dalam GPS
- Siapkan peta pemantauan yang sudah dibuat sebelumnya. Biasanya peta tersebut dibuat ketika pembuatan laporan kegiatan tahun sebelumnya.
- Perhatikan peta pemantauan dan titik koordinatnya.
- Titik koordinat geografisnya dimasukkan pada GPS, dengan langkah-langkah yang sama dengan proses input stasiun potensial diatas.
b. Pelacakan stasiun permanen
Proses pelacakan dilakukan dengan GPS mengikuti langkah-langkah yang sama dengan pelacakan titik potensial pada langkah kegiatan sebelumnya diatas.
c. Penentuan batasan plot permanen.
- Sebelum melakukan pengambilan data, harus diperhatikan kecenderungan bentuk, arah dan batasan plot yang telah dibuat tahun sebelumnya.
- Ditandai kembali pada posisi yang sama, dengan menggunakan tali plastik dan cat semprot.
- Jika penandaan sebelumnya kurang jelas, lakukan pembuatan plot kembali dari titik awal dengan mengikuti tanda-tanda minimal yang teramati.
- Pastikan telah mendapatkan beberapa bukti penandaan sebelum membuat plot baru.
PENGAMBILAN DATA PERSENTASE TUTUPAN KANOPI KOMUNITAS Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode hemisperichal photography (Gambar 20) yang membutuhkan kamera pada satu titik pengambilan foto (Jenning et al., 1999;
Korhonen et al., 2008). Teknik ini cenderung cukup baru digunakan pada hutan mangrove di Indonesia, penerapannya mudah dan menghasilkan data yang lebih akurat.
Gambar 20. (a) Ilustrasi metode hemisperichal photography untuk mengukur tutupan mangrove (Korhonen et al., 2008; Jenning et al., 1999) (b) hasil pemotretan dengan lensa fisheye secara vertikal.
Teknis pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan data dilakukan dengan kamera untuk mengambil foto yang diarahkan tegak lurus ke arah langit.
2. Setiap plot 10x10 m2 dibagi menjadi beberapa subplot/kuadran posisi pengambilan foto tergantung dari kondisi hutan mangrovenya, antara lain:
- Mangrove dengan kanopi yang rapat, menutupi seluruh plot, kondisi masih sangat alami dan tegakan pohon yang tinggi, dilakukan pengambilan foto sebanyak 4 empat foto pada setiap plot.
- Mangrove dengan kanopi yang tinggi, kondisinya ada beberapa penebangan atau kondisi tutupan yang tidak sempurna menutup seluruh plot, maka dilakukan pengambilan foto sebanyak 5 foto pada setiap plot.
- Jika pohon rendah, atau tutupan kanopi tidak beraturan, atau banyak penebangan, maka pengambilan foto dilakukan sebanyak 9 kali dalam setiap plot.
3. Titik pengambilan foto, ditempatkan di sekitar pusat plot kecil; harus berada diantara satu pohon dengan pohon lainnya; serta hindarkan pemotretan tepat disamping batang satu pohon.
4. Posisi kamera disejajarkan dengan tinggi dada peneliti/
tim pengambil foto serta tegak lurus/menghadap lurus ke langit.
5. Pada pohon yang berukuran rendah, pengambilan gambar dilakukan dibawah kanopi atau sejajar dengan batang utama.
Gambar 21. Posisi pengambilan foto yang sesuai pada beragam kondisi kanopi mangrove.
Gambar 22. Letak pengambilan foto dalam setiap plot yang baik dan benar dengan mempertimbangan posisi pohon disekitarnya.
6. Untuk membatasi tiap plot, dilakukan pengambilan gambar lingkungan atau data sheet, swafoto atau bisa dengan teknik lainnya yang hanya bertujuan untuk memisahkan foto-foto dari plot yang berbeda.
7. Dihindarkan pengambilan foto ganda pada setiap kuadran untuk mencegah kebingungan dalam analisis data.
8. Diminimalisir sorotan langsung sinar matahari mengenai lensa kamera untuk mendapatkan kualitas foto yang terbaik.
9. Lensa kamera yang digunakan harus kering sehingga harus dihindari dari lembab atau basah air laut, air minum ataupun keringat. Jika sudah lembab, keringkan lensa dengan lap kering sebelum menggunakannya.
PENGAMBILAN DATA STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE
1. Dalam setiap plot, 10m x10m dilakukan pengukuran diameter batang pohon mangrove (diameter > 4 cm atau keliling batang ≥ 16 cm) (Ashton & McIntosh, 2002) dengan menggunakan meteran kain pada variasi letak pengukuran berdasarkan English et al. (1997) dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove yang ditampilkan pada Gambar 23.
Gambar 23. Posisi pengukuran lingkar batang pohon mangrove pada beberapa tipe batang, yang dipengaruhi oleh sistem perakaran dan percabangan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove).
2. Pengukuran dilakukan pada seluruh pohon yang berada di setiap plot.
3. Pada tempat pengukuran, setiap batang ditandai dengan cat semprot dengan lebar < 5 cm dan mengelilingi pohon.
4. Identifikasi jenis dilakukan berdasarkan acuan Tomlinson (1986), Noor et al. (1999), Giesen et al. (2006), dan Kitamura et al. (1999).
5. Apabila terjadi keraguan dalam identifikasi, dilakukan pemotretan bagian tanaman tersebut, yaitu tegakan, akar, batang, daun, pembungaan dan buah serta dilakukan pengambilan sampel untuk diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium dengan bantuan literatur atau dengan bantuan pakar identifikasi mangrove.
6. Setiap data yang diperoleh dicatat dalam data sheet yang telah disiapkan pada kertas tahan air. Pencatatan data hasil pengukuran dilakukan berdasarkan data sheet yang dibuat pada Gambar 24 dan Lampiran 1.
NO KODE
JENIS KLL
1 Ra 17
2 Ra 18
3 Ra 19
4 Ra 18
5 Ra 19
6 Ra 19
7 Ra 19
8 Ra 19
9 Rm 31
10 Rm 32
11 Rm 23
12 Rm 33
13 Rm 34
14 Bg 42
15 Bg 42
NO KODE
JENIS KLL
16 Sa 17
17 Sa 17
18 Sa 17
19 Sa 18
20 Bg 43
21 Bg 45
22 Bg 17
23 Bg 17
24 Am 17
25 Am 18
26 Am 19
27 Am 18
28 Am 19
29 Am 19
30
NO KODE
JENIS KLL
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
TANGGAL : 23/8/2014
LOKASI : Pulau Sedanau, NTNM
STASIUN : 1
PLOT : 1
GPS POINT : 001 POSISI X : U 3o 38.353 POSISI Y : T 108o 03.491
NO. PHOTO : 01-12
SUHU : 300
SALINITAS : 28o/oo
pH : 7
SUBSTRAT : Lumpur/Pasir
Keterangan :
1. TANGGAL : Tanggal pelaksanaan kegiatan 2. LOKASI : Nama Desa/Pulau dan Kabupaten
3. STASIUN : Nomor Urutan stasiun pemantauan dalam satu kabupaten
4. PLOT : Nomor urutan plot permanen dalam satu stasiun pemantauan, penomoran dimulai dari angka “1”, apabila akan mengerjakan stasiun lainnya pemantauan penomoran diulangin dari awal.
5. GPS POINT : Nama waypoint plot permanen tersebut yang tersimpan dalam GPS receiver 6. POSISI X : Posisi koordinat lintang plot pemantauan
7. POSISI Y : Posisi koordinat bujur plot pemantauan
8. NO. PHOTO : Penomoran foto dalam satu plot yang tersimpan di dalam memori kamera 9. NO : Nomor urutan jenis mangrove yang dicatat
10. KODE JENIS : Dua huruf yang digunakan sebagai singkatan suatu jenis mangrove
dan bertujuan untuk mempercepat proses pencatatan data. Huruf awal merupakan genus, sedangkan huruf kedua adalah identitas spesies. Misalnya “Rm” berasal dari “R”(Rhizophora) dan “m”(mucronata)
11. KLL : Ukuran lingkar batang pohon mangrove
Gambar 24. Contoh pengisian data sheet pemantauan mangrove di Kabupaten Natuna
ANALISIS DATA PERSENTASE TUTUPAN KANOPI KOMUNITAS
Konsep dari analisis ini adalah pemisahan pixel langit dan tutupan vegetasi sehingga persentase jumlah pixel tutupan vegetasi mangrove dapat dihitung dalam analisis gambar biner (Ishida 2004). Foto hasil pemotretan, dilakukan analisis dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ yang dapat didownload gratis http://imagej.nih.gov/ij/download.html. Berikut ini adalah tahapan analisis untuk setiap foto.
1. Tampilan ImageJ pada Windows 7 64-bit.
2. Pada ImageJ, buka gambar/foto dengan format .jpeg dari direktori/tempat penyimpanan foto hasil pemotretan di lapangan.
File >> Open… >> [pilih foto]
Analisis Data
Gambar 25. Menu awal perangkat lunak ImageJ
Gambar 26. Identitas foto akan terlihat di pojok kiri atas. Sebagai contoh, file foto yang ditampilkan bernama BTNM01.01.23 yang memiliki ukuran 4000 x 3000 pixels atau 12 juta pixel secara keseluruhan, dengan format warna masih RGB dan ukuran gambar 46 MB.
4
3. Ubah foto menjadi 8-bit Image >> Type >> 8-bit
4. Pisahkan langit dan tutupan mangrove Image >> Adjust >> Threshold
5. Pisahkan nilai digital pixel langit dan tutupan kanopi mangrove secara signifikan dan sesuaikan komposisi cahaya untuk memperoleh akurasi ratio dua tipe digital pixel tersebut yang lebih tepat. Pada kotak Threshold, sesuaikan scrool kedua (ke kiri atau kanan) sampai memperoleh komposisi yang tepat, kemudian tekan Apply (Default:B/W).
Gambar 27. Identitas foto sedikit mengalami perubahan. Warna RGB telah berubah menjadi 8-bit dan ukuran menyusut menjadi 11 MB. Warna gambar berubah menjadi abu-abu/grayscale.
Gambar 28. Perubahan hanya terjadi pada tampilan gambar, menjadi putih (langit) dan hitam (tutupan mangrove) namun nilai digital pixel masih beragam.
6. Dihitung banyaknya pixel yang bernilai 255 sebagai intepretasi tutupan mangrove Analyze >> Histogram
7. Ketika menekan Histogram, bisa juga memunculkan mode: 0 yang merupakan representasi dari jumlah pixel langit. Dibutuhkan ketelitian dalam melihat apakah histogram akan memunculkan mode 255 atau 0. Kesalahan mengintepretasikan Histogram, akan mengakibatkan kesalahan hasil pemantauan. Untuk keperluan analisis selanjutnya, nilai pixel kanopi harus dihitung terlebih dahulu dengan persamaan:
Pixel Kanopi (255) = Jumlah Seluruh Pixel (Count) – Jumlah Pixel Langit (Mode: 0) Gambar 29. Perubahan terjadi pada identitas foto dari hanya 8-bit menjadi 8-bit
(inverting LUT). Saat ini nilai digital pixel langit = 0 (nol) dan jauh berbeda dengan nilai digital pixel tegakan = 255.
Gambar 30. Jumlah pixel yang bernilai 255 pada foto contoh tersebut adalah 10.845.715 pixel
Contoh:
8. Persentase tutupan mangrove merupakan perbandingan dari jumlah pixel yang bernilai 255 (P255) dengan jumlah seluruh pixel (∑P) dikali 100%.
% tutupan mangrove = P255/∑P * 100%
Pada contoh sebelumnya:
P255 = 10.845.715 pixel.
∑P = 12.000.000 pixel
Sehingga, % tutupan kanopi = 10.845.715/12.000.000 x 100% = 90,381 %
Catatan: Tidak semua kamera memiliki jumlah pixel yang sama tergantung dari tipe, merek dan pengaturan awal kamera. Kamera yang memiliki spesifikasi kualitas foto 12 MP, maka pada kondisi pengaturan normal ∑P = 12 juta pixel. Namun apabila diatur ulang kualitas fotonya menjadi 3 MP, maka ∑P = 3 juta pixel.
9. Untuk mempermudah analisis, telah dibuatkan ”template_analisis Vegetasi” dan sheet
”%cover” pada program Microsoft Excel (Gambar 32). Seluruh nilai pixel pada setiap foto dimasukan ke dalam masing – masing kolom yang disediakan. Pada template ini, tim pemantau/pengolah data hanya perlu memasukkan jumlah pixel 255 (P255) ke dalam kolom P255, maka persentase tutupan mangrove pada foto tersebut akan terhitung secara otomatis.
Template ini dapat di download secara gratis dari website COREMAP LIPI, http://www.
coremap.lipi.go.id atau pengajuan template bisa melalui email ke iwayanekadharmawan@
gmail.com.
10. Nilai rata-rata persentase tutupan dihitung dengan formula “=average()”, sedangkan nilai standar deviasi ditentukan dengan formula ”=stdev()”. Data yang digunakan dalam seluruh penghitungan adalah seluruh foto dalam stasiun tersebut.
Gambar 31. Mode: 0 adalah tutupan pixel langit.
Untuk mendapatkan pixel kanopi (P255) maka nilai seluruh pixel (5.038.838) dikurangi pixel langit (2.743.947), yaitu: 2.294.891.
11. Nilai rata-rata dan standar deviasi dirangkai dengan menambahkan tanda ”±” diantara keduanya, misalnya: 92.47±2.45% untuk dimasukkan ke dalam sheet “Tabel Besar” dalam template yang sama.
Gambar 32. Data yang telah dimasukkan ”Template_analisis Vegetasi” dan sheet ”%cover”.
Gambar 33. Rata-rata dan standar deviasi yang telah dimasukkan ke dalam “Tabel Besar” pada
”Template_analisis Vegetasi”.
ANALISIS DATA STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE
Untuk memudahkan penghitungan, telah disediakan form/template analisis dalam perangkat lunak Microsoft Excel. Pemilihan Microsoft Excel sebagai aplikasi analisis data pemantauan mangrove disebabkan karena kemudahan pemakaian dan perangkat lunak Microsoft Excel sudah diketahui dengan cukup baik oleh masyarakat. Berikut merupakan simulasi analisis data hasil pengukuran lingkar batang mangrove:
1. Buka file “template50_10x10” pada direktori “analisis data”
2. Masukkan identitas data seperti Lokasi, Stasiun, Tanggal, Total Plot (total plot yang dibuat dalam stasiun tersebut) kemudian isi nama plot sesuai dengan penamaan yang telah disepakati di atas kolom yang mengandung nomor seperti gambar dibawah ini.
Gambar 34. Tampilan awal “template50_10x10”
Gambar 35. Input data identitas stasiun pemantauan NTNM01 di Pulau Sedanau, pengambilan data tanggal 23 Agustus 2017 dengan jumlah plot permanen sebanyak 6 plot (NTNM01.01 sampai NTNM01.06)
3. Sebelum memasukkan data keliling batang hasil pengukuran, dipilih jenis yang hendak dimasukkan datanya. Lihat daftar keseluruhan jenis mangrove dengan menekan , dicentang jenis yang diinginkan dan “OK”. Ilustrasinya sebagai berikut, yaitu ketika ingin memasukkan data keliling batang Rhizophora apiculata:
4. Masukkan seluruh angka keliling batang mangrove pada kolom plot sesuai dengan jenis mangrove yang dicatat dan lokasi plot terdapatnya jenis tersebut.
5. Identifikasi jumlah jenis, nilai kerapatan pohon (k) dan indeks nilai penting setiap jenis (INP) dapat dilihat pada sheet (lembar kerja) “vegetasi”.
Gambar 36. Langkah-langkah pemilihan jenis mangrove yang ingin dimasukkan data kelilingnya. a) tampilan awal; b) daftar seluruh jenis; c) pilih satu jenis yang diinginkan (contoh: Rhizophora apiculata; dan d) tampilan setelah pemilihan jenis.
Gambar 37. Tampilan pemasukan seluruh data keliling batang Rhizophora apiculata.
6. Nilai kerapatan (k)merupakan angka dalam keseluruhan plot berukuran 10m x 10m. Untuk mendapatkan satuan “pohon/ha” maka harus dikonversi dengan persamaan:
K spesies ke-i (pohon/ha) = nilai k-spesies ke-i*10.000/[plot (n)*luas plot]
Ktotal (pohon/ha) = nilai k_total*10000/n
Contoh, pada point 5 diatas,
Nilai kerapatan Rhizophora apiculata dalam “vegetasi”= 43 pohon pada keseluruhan enam plot pemantauan yang masing-masing berukuran 100 m2 atau dipersingkat 43 pohon/600m2. Untuk mendapatkan satuan dalam hektar, maka :
K R.apiculata = 43x10000 : (6*100)
= 430000/600
= 716.67 pohon/ha
= 717 pohon/ha (ditulis tanpa angka dibelakang koma)
Penghitungan kerapatan jenis lainnya dilakukan dengan cara yang sama dengan contoh di atas.
Sedangkan, nilai Ktotal dalam Gambar 38 adalah 66 pada 6 plot pemantauan yang berukuran masing-masing 100 m2 sehingga kerapatannya adalah 66 pohon/600 m2. Untuk mendapatkan satuan hektar, maka dilakukan langkah-langkah berikut:
K total = 66x10000 : (6*100)
= 660000/600
= 1100 pohon/ha ( ditulis tanpa angka dibelakang koma) 7. Dihitung nilai standar deviasi dari kerapatan pada setiap stasiun pemantauan.
- Buka sheet ”TEMPLATE”
- Filter “jenis” dan ”Select All”
Gambar 38. Tampilan sheet “vegetasi” pada template50_10x10
- Filter ”Level” dan pilih ”pohon/ha”
- Template akan menampilkan nilai kerapatan total di setiap plot dalam satuan pohon/ha dimana dalam contoh dibawah nilainya berurutan: 900,1000, 1100, 1800, 1000 dan 800.
Gambar 39. Tampilan dalam template untuk memilih semua jenis
Gambar 40. Tampilan dalam template untuk menentukan unit kerapatan yang diinginkan.
- Gunakan persamaan “=stdev(blok seluruh nilai kerapatan)” dan ENTER
- Standar deviasinya telah terhitung sebesar 358 pohon/ha Gambar 41. Nilai kerapatan telah ditampilkan pada setiap plot pemantauan
Gambar 42. Penentuan nilai standar deviasi dari kerapatan pohon dalan satu stasiun.
8. Tuliskan nilai kerapatan pada Tabel Besar (Tabel Hasil) yang dapat diperoleh dari file
”template_Analisis_Vegetasi” dengan mengikuti pola:
”rata-rata kerapatan total ± standar deviasi”.
Pada contoh di atas cara penulisan nilai kerapatan stasiun NTNM01 ke tabel hasil adalah:
1100 ± 717 pohon/ha.
9. Nilai INP juga diperlukan untuk menunjukkan jenis – jenis yang berperan penting dan dominan dalam setiap stasiun pemantauan. Oleh karena itu, jenis dengan nilai INP terendah dan tertinggi digunakan dalam Tabel Besar atau Tabel Hasil. Nilai INP dapat diperoleh secara langsung dalam sheet ”vegetasi” pada template50_10x10.
Gambar 43. Nilai standar deviasi dari kerapatan pohon dalan satu stasiun telah terhitung
Gambar 44. Nilai INP (kotak merah) dalam template50_10x10 dengan data telah dianalisis, dimana menunjukkan nilai INP terbesar adalah jenis R. apiculata (169,25%) dan yang terendah adalah jenis C. tagal (59,46%).
10. Format penulisan dalam Tabel Besar adalah pada kolom ”Max” diisi dengan jenis dan INP terbesar dengan cara: ”RA: 169,25%”. Pada kolom ”Min” diisikan dengan jenis dan INP terendah dengan format: ”CT: 59,46%”.
11. Setelah dianalisis kerapatan dan INPnya serta dimasukkan ke Tabel Besar dalam ”template_
analisis Vegetasi”, akan terlihat seperti gambar dibawah ini.
PENYAJIAN ANALISIS TAHUNAN
Penulisan hasil analisis akhir kondisi komunitas mangrove dalam Tabel Besar untuk kemudian digunakan dalam Laporan Kegiatan disajikan dalam Tabel 4.
Gambar 45. Kolom yang dilengkapi dalam Tabel Besar dengan memasukkan hasil analisis yang terlah diperoleh berkaitan dengan kondisi komunitas mangrove.
Tabel 4. Contoh penulisan data hasil akhir hasil pemantauan kondisi komunitas mangrove, studi kasusnya di Kabupaten Lingga.
Analisis Data Multi Tahun
Data multi tahun yang ditampilkan dalam laporan adalah komponen utama yang menjadi target kegiatan. Misalnya, pada kegiatan COREMAP-CTI, persentase tutupan kanopi komunitas menjadi indikator utama yang digunakan dalam menentukan kesehatan komunitas mangrove.
Contoh penyajiannya dapat dilakukan seperti Gambar 46. Namun, jika dibutuhkan data lainnya, seperti kerapatan dan jumlah spesies dapat dianalisis dengan metode yang sama. Multidimensional scaling (MDS: Gambar 47), Analysis of variances (ANOVA: Gambar 48), t-test (antar 2 tahun), dan analisis lainnya juga dapat dilakukan, tergantung dari kebutuhan dari program atau tujuan awal kegiatan.
Gambar 46. Contoh penyajian analisis multi tahun (2015. 2016 dan 2017) pada data persentase tutupan kanopi mangrove, studi kasus yang digunakan adalah data Kabupaten Biak.
Gambar 47. Contoh analisis ordinasi dengan MDS dengan software Primer 7, jika dibutuhkan dalam tujuan yang dijalankan.
INTERPRETASI HASIL DAN PENENTUAN KONDISI KOMUNITAS MANGROVE
Hasil analisis menghasilkan nilai kerapatan dalam satuan pohon/ha dan persentase tutupan dalam satuan persen (%). Hasil tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan status kondisi hutan mangrove yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu jarang, sedang dan padat berdasarkan standar Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 dalam Tabel 5.
Jika dalam program atau tujuan kegiatan dari dua komponen tersebut ada yang lebih diutamakan, maka komponen utama tersebut yang dijadikan acuan kondisi kesehatan komunitas. Misalnya, dalam program COREMAP-CTI, nilai persentase tutupan kanopi digunakan sebagai komponen utama dalam penentuan kondisi kesehatan komunitas mangrove dimana merupakan indikator masuknya pengaruh kegiatan antropogenik dalam kawasan. Maka, nilai kondisi kesehatan mangrove ditentukan dari besaran nilai tutupannya.
Gambar 48. Contoh analisis ANOVA dengan SPSS 17 pada studi kasus data Kabupaten Lingga
Tabel 5. Standar baku kerusakan hutan mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004
Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (pohon/ha)
Baik Padat ≥75% ≥1500
Sedang 50% – 75% 1000 – 1500
Rusak Jarang < 50% <1000
Dalam buku ini, pemangku kepentingan/surveyor diberikan dua pilihan dalam teknik penyusunan laporan, yaitu laporan singkat (1 lembar) atau laporan lengkap (formatnya bersifat konvensional).
LAPORAN SINGKAT
Laporan sementara berupa satu lembar kertas formulir yang memuat hasil analisis dan interpretasinya secara singkat yang diisi dengan tulis tangan oleh pengambil dan penganalisis data. Formulir kosongnya dilampirkan pada Lampiran 4 dan contoh pengisiannya pada Gambar 51. Jika digunakan oleh instansi pemerintahan ataupun swasta dan bersifat resmi, maka disertakan dengan Kop Surat masing-masing instansi.
LAPORAN LENGKAP
Kerangka pelaporan lengkap terdiri dari:
1. Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, serta target yang ingin dicapai. Latar belakang memuat informasi dasar, permasalahan dan state of the art dari pemantauan yang akan dilakukan. Target pemantauan mengacu kepada tujuan kegiatan atau program 2. Metodologi Penelitian terdiri dari waktu, posisi geografis stasiun pengamatan, alat dan
bahan, cara kerja dan analisis data. Bagian waktu memuat tanggal pengamatan dilakukan pada titik-titik koordinat yang telah ditentukan sebelumnya. Proses persiapan dan metode pelaksanaan pemantauan, disampaikan dalam cara kerja. Tahapan pengolahan data yang diperoleh, dicantumkan dalam bagian analisis data.
3. Hasil dan Pembahasan, sesuai namanya memuat tentang hasil pengamatan pada setiap stasiun beserta pembahasannya. Pada saat t0 pembahasan lebih mengacu pada perbandingan hasil yang diperoleh dengan lokasi lainnya. Sedangkan pada saat laporan survey tn, pembahasan dapat dibuat lebih kompleks, yaitu dengan membandingkan hasil yang diperoleh saat ini dengan pemantauan tahun/waktu sebelumnya.
4. Kesimpulan dan rekomendasi, merupakan bagian kerangka laporan yang digunakan untuk mengetahui pencapaian tujuan dari kegiatan pemantauan yang telah dilakukan. Rekomendasi sangat dibutuhkan sebagai bahan masukan untuk kegiatan pengelolaan kawasan selanjutnya.
5. Daftar pustaka 6. Lampiran (jika ada).