5
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Heat Exchanger
Heat exchanger adalah suatu alat penukar panas yang digunakan untuk mentransfer energi termal internal antara dua atau lebih fluida yang tersedia pada temperatur yang berbeda. Dalam heat exchanger pada umumnya, fluida dipisahkan oleh permukaan pemindah panas, dan idealnya fluida tersebut tidak bercampur.
Heat exchanger biasanya digunakan pada industri proses, tenaga, minyak bumi, transportasi, pengondisi udara, pendinginan, pemulih panas, bahan bakar alternatif, dan industri-industri lainnya. Contoh umum penggunaan heat exchanger yang cukup akrab pada kehidupan sehari-hari adalah radiator, kondensator, evaporator, pemanas udara, dan sebagainya (Thulukkanam, 2013).
Pembakaran dan reaksi kimia dapat terjadi di dalam heat exchanger, sebagai contoh di ketel uap (boiler). Perpindahan panas pada dinding pemisah dari recuperator umumnya melalui proses konduksi, namun dalam pipa tube heat exchanger, tube tersebut tidak hanya berperan sebagai dinding pemisah, melainkan juga membantu terjadinya perpindahan panas melalui kondensasi, evaporasi, dan konduksi dari fluida yang mengalir di dalam tube (Shah dan Sekulić, 2003).
2.2 Klasifikasi Heat Exchanger
Heat exchanger pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan arah aliran dan juga bentuk konstruksinya. Adapun klasifikasi heat exchanger secara umum adalah sebagai berikut:
2.2.1 Tubular Heat Exchanger
Heat exchanger ini pada umumnya terdiri dari tube berbentuk lingkaran, walaupun tube berbentuk elips, segi empat, ataupun datar tetap dapat digunakan pada beberapa kondisi di lapangan. Faktor yang dipertimbangkan dalam melakukan pendesainan cukup fleksibel dikarenakan geometri utama dari heat exchanger dapat divariasikan secara mudah dengan mengubah diameter, panjang, maupun bentuk instalasi tube. Heat exchanger tipe tubular dapat digunakan untuk tekanan tinggi
6
Gambar 2.1 Shell and Tube Heat Exchanger dengan satu jalur shell dan tube (Bergman dkk, 2011)
relatif terhadap lingkungan, dan juga perbedaan tekanan tinggi antara fluida kerja di dalam heat exchanger. Tubular heat exchanger digunakan terutama untuk aplikasi perpindahan panas antara cairan ke cairan ataupun cairan ke cairan yang mengalami perubahan fase (kondensasi atau evaporasi). Heat exchanger jenis ini digunakan untuk aplikasi perpindahan panas antara gas ke cairan maupun gas ke gas pada saat temperatur dan/atau tekanan operasi sangat tinggi atau tidak ada heat exchanger jenis lain yang dapat digunakan. Heat exchanger jenis ini dapat dibagi lagi menjadi: shell and tube heat exchangers, double pipe, dan spiral tube exchangers.
A. Shell and Tube Heat Exchangers
Heat exchanger jenis ini pada umumnya terdiri dari kumpulan tube berbentuk lingkaran yang dipasang pada shell berbentuk lingkaran dimana arah penempatan tube searah dengan bentuk shell. Fluida pertama mengalir di dalam tube, sementara fluida lainnya mengalir di bagian shell di sepanjang tube.
Komponen utama dari heat exchanger jenis ini adalah tube, shell, front-end head, rear-end head, baffle, dan tubesheets. Konstruksi shell and tube heat exchanger dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:
Bentuk konstruksi internal dari shell and tube heat exchanger dapat divariasikan tergantung dari perpindahan panas maupun pressure drop yang diinginkan, pengurangan efek tegangan termal, pencegahan kebocoran, mengontrol korosi, kemudahan pembersihan, kemudahan menjaga tekanan dan temperatur operasi, dan sebagainya. Konstruksi shell and tube heat exchanger dapat dibentuk berdasarkan standar TEMA (Tubular Exchanger Manufacturers Association),
7 Gambar 2.2 Shell and Tube Heat Exchanger dengan satu jalur shell dan
dua jalur tube (Shah dan Sekulić, 2003)
maupun ASME (American Society of Mechanical Engineers) bagian VIII Boiler and Pressure Vessel Codes.
Heat exchanger dibuat berdasarkan tiga standar mekanikal yang menspesifikkan desain, fabrikasi, dan material dari shell and tube heat exchanger.
Kelas R pada umumnya digunakan untuk kebutuhan pengaplikasian bahan bakar dan sejenisnya. Kelas C digunakan untuk kebutuhan komersial dan pengaplikasian dunia proses secara umum. Kelas B digunakan untuk servis proses kimia. Standar TEMA mengatur tentang toleransi manufaktur untuk beberapa kelas heat exchanger¸ ukuran tube dan pitch, plat dan baffle, klasifikasi tekanan, perumusan ketebalan tubesheet, dan sebagainya. Untuk jenis-jenis shell dan head dari heat exchanger dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Tubular exchanger digunakan secara luas di dunia industri dikarenakan dapat didesain dengan kapasitas maupun kondisi operasi yang beragam, seperti dari vakum tinggi ke tekanan yang sangat tinggi lebih dari 100 MPa (15000 psig), dari cryogenics ke temperatur tinggi sekitar 1100°C (2000°F) dan beragam perbedaan temperatur serta tekanan antara fluida kerja, terbatas hanya pada material dari heat exchanger itu sendiri. Exchanger ini dapat didesain untuk kondisi operasi yang khusus, seperti: vibrasi, penyumbatan, fluida dengan viskositas tinggi, erosi, korosi, toxicity, radioaktif, campuran beberapa komponen, dan lain sebagainya (Shah dan Sekulić, 2003).
8
Gambar 2.3 Standar TEMA untuk shell dan head types (TEMA, 2007)
B. Double-Pipe Heat Exchanger
Heat exchanger ini pada umumnya terdiri dari dua pipa concentric dimana bagian permukaan dalamnya datar atau juga bersirip. Fluida pertama mengalir di dalam pipa, dan fluida lainnya mengalir di dalam annulus di antara pipa pada arah yang berlawanan untuk performa ideal tertinggi di daerah permukaan kontak panas.
Konfigurasi dari double-pipe heat exchanger ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Heat exchanger tipe double-pipe ini merupakan heat exchanger paling sederhana, dimana distribusi alirannya bukan merupakan suatu masalah yang besar dan
9 Gambar 2.4 Double-pipe Heat Exchanger (Shah dan Sekulić, 2003)
pembersihannya dapat dilakukan dengan mudah dengan melakukan pembongkaran.
Bentuk dari heat exchanger ini juga dapat digunakan pada saat fluida yang satu atau lainnya memiliki tekanan yang sangat tinggi. Double pipe heat exchanger pada umumnya digunakan untuk pengaplikasian dengan kapasitas kecil, dimana total heat transfer dari permukaan kontak yang dibutuhkan adalah 50 m2 atau lebih kecil karena mahalnya biaya per unitnya.
C. Spiral Tube Heat Exchanger
Heat exchanger tipe ini terdiri dari satu atau lebih coil wound spiral yang dipasang pada bagian shell. Transfer panas yang terjadi pada tube spiral lebih tinggi dibandingkan tube yang berbentuk lurus. Pada heat exchanger ini, luas permukaan exchanger dapat berkurang dikarenakan bentuk spiral itu sendiri. Pada heat exchanger jenis ini, efek ekspansi termal bukan merupakan masalah yang besar, namun yang menjadi kendala adalah pembersihan dari heat exchanger ini yang dapat dikatakan sulit untuk dilakukan (Shah dan Sekulić, 2003).
2.2.2 Plate-Type Heat Exchanger
Plate-type heat exchanger pada umumnya terdiri dari pelat tipis. Heat exchanger jenis ini tidak dapat mengakomodasi tekanan yang sangat tinggi, temperatur, atau perbedaan tekanan dan temperatur. Plate heat exchanger dapat diklasifikasikan menjadi gasketed, welded, atau brazed, tergantung pada kemampuan yang dibutuhkan untuk menahan kebocoran.
A. Gasketed Plate Heat Exchanger
Heat exchanger jenis ini terdiri dari sejumlah pelat metal berbentuk segi empat yang direkatkan pada bagian sisinya dengan menggunakan gasket yang kemudian direkatkan bersama-sama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut ini:
10
Gambar 2.5 Gasketed Plate Heat Exchanger (Shah dan Sekulić, 2003) Arah aliran pada heat exchanger jenis ini dapat diatur dengan berbagai macam kemungkinan tergantung pada jumlah transfer panas yang dibutuhkan, pressure drop yang tersedia, kecepatan aliran minimum maupun maksimum yang diperbolehkan, dan juga rasio aliran dari kedua fluida yang mengalir di dalam exchanger. Kelebihan dari heat exchanger jenis ini adalah dapat dengan mudah dipisahkan, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan pembersihan, inspeksi, maupun perawatan terhadap komponen-komponen heat exchange dan juga koefisien transfer panas dari heat exchanger jenis ini sangat tinggi, kemungkinan penyumbatan sangat kecil, bahkan surface area untuk transfer panas sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis shell and tube dapat mencapai setengah bahkan sepertiganya, yang mana hal tersebut berarti dapat mengurangi biaya, volume total, dan kebutuhan ruang dari heat exchanger itu sendiri. Adapun yang menjadi kelemahan dari heat exchanger jenis ini adalah hanya umum dioperasikan pada tekanan 1 MPa, walaupun tekanan maksimum yang dapat ditangani heat exchanger ini adalah 3 sebesar MPa dan heat exchanger ini pada umumnya dioperasikan pada temperatur di bawah 150°C untuk menghindari mahalnya biaya material gasket yang digunakan (Shah dan Sekulić, 2003).
B. Spiral Plate Heat Exchanger
Spiral plate heat exchanger memiliki diameter yang besar dikarenakan gerakan memutarnya. Exchanger terbesar untuk tipe ini dapat memiliki surface area untuk transfer panas sebesar 500 m2 dengan diameter maksimumnya
11 Gambar 2.6 Spiral Plate Heat Exchanger (Shah dan Sekulić, 2003)
mencapai 1,8 m. Bentuk dari spiral plate heat exchanger ini dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut ini:
Kelebihan dari exchanger jenis ini adalah dapat melakukan pembersihan secara mekanikal, sehingga perawatannya lebih mudah dibandingkan jenis shell and tube, tidak membutuhkan insulasi pada bagian luar exchanger, dan juga dapat mengurangi terjadinya penyumbatan dengan adanya kecepatan aliran dari dari fluida kerja, sehingga jika dibandingkan dengan heat exchanger jenis shell and tube, nilai penyumbatan dari exchanger jenis spiral plate dapat dikatakan sangat rendah. Kekurangan dari spiral tube heat exchanger adalah ukuran maksimumnya yang dibatasi dan tekanan operasi maksimum hanya berkisar dari 0,6 hingga 2,5 MPa untuk unit yang berukuran besar. Temperatur operasi maksimum dibatasi hanya pada temperatur 500°C, namun pada umumnya hanya dioperasikan pada temperatur 200°C. Untuk perbaikan exchanger di lapangan pun sulit untuk dilakukan dikarenakan bentuk konstruksinya yang cukup rumit (Shah dan Sekulić, 2003).
2.3 Koefisien Transfer Panas
Heat exchanger pada umumnya terdiri dari dua fluida yang mengalir yang dibatasi oleh dinding solid. Panas pada mulanya ditransfer dari fluida panas menuju dinding secara konveksi, kemudian di sepanjang dinding secara konduksi, dan dari dinding menuju fluida dingin secara konveksi kembali. Umumnya efek radiasi sudah termasuk di koefisien transfer panas secara konveksi.
12
Hal yang penting dalam melakukan analisis heat exchanger adalah dengan mengombinasikan seluruh hambatan termal pada jalur transfer panas antara fluida dingin dengan panas dalam sebuah hambatan R, dan untuk mengetahui besarnya transfer panas antara dua fluida di dalam heat exchanger dapat menggunakan Persamaan 2.1 sebagai berikut:
𝑞 =∆𝑇
𝑅 = 𝑈. 𝐴. ∆𝑇 = 𝑈𝑖. 𝐴𝑖. ∆𝑇 = 𝑈𝑜. 𝐴𝑜. ∆𝑇 (2.1) dimana 𝑞 adalah nilai transfer panas, 𝑈 adalah koefisien transfer panas keseluruhan, 𝐴 adalah surface area, dan ∆𝑇 adalah perbedaan temperatur antara fluida dingin dengan fluida panas. Subscript i menggambarkan bagian inner atau masukan, dan o menggambarkan bagian outer atau keluaran. Persamaan 2.1 dapat diubah dengan mengabaikan temperatur menjadi Persamaan 2.2 berikut:
1
𝑈𝐴𝑠 = 1
𝑈𝑖𝐴𝑖 = 1
𝑈𝑜𝐴𝑜= 𝑅 = 1
ℎ𝑖𝐴𝑖+ 𝑅𝑤𝑎𝑙𝑙+ 1
ℎ𝑜𝐴𝑜 (2.2)
Ketika ketebalan dinding dari tube sangat kecil dan konduktivitas termal dari material tube sangat tinggi, seperti pada umumnya yang sering terjadi, hambatan termal pada tube dapat diabaikan (𝑅𝑤𝑎𝑙𝑙 ≈ 0) dan pada bagian permukaan luar dan dalam dari tube hampir identik (𝐴𝑖 ≈ 𝐴𝑜 ≈ 𝐴𝑠), sehingga Persamaan 2.2 dapat disederhanakan menjadi Persamaan 2.3 berikut ini:
1 𝑈 ≈ 1
ℎ𝑖 + 1
ℎ𝑜 (2.3)
dimana 𝑈 ≈ 𝑈𝑖 ≈ 𝑈𝑜. Masing-masing koevisien transfer panas konveksi di bagian dalam dan luar tube ditentukan berdasarkan hubungan konveksi. Nilai koefisien transfer panas U secara umum, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Koefisien Transfer Panas Keseluruhan (Cengel, 2002)
Tipe Heat Exchanger U, 𝑊 𝑚⁄ 2. °𝐶
Water-to-water 850 – 1700
Water-to-oil 100 – 350
Water-to-gasoline or kerosene 300 – 1000
Feedwater heaters 1000 – 8500
Steam-to-light fuel oil 200 – 400
Steam-to-heavy fuel oil 50 – 200
Steam condenser 1000 – 6000
Freon condenser (water cooled) 300 – 1000
Ammonia condenser (water cooled) 800 – 1400
13
Tipe Heat Exchanger U, 𝑊 𝑚⁄ 2. °𝐶
Alcohol condenser (water cooled) 250 – 700
Gas-to-gas 10 – 40
Water-to-air in finned tubes (water in tubes) 30 – 60 (a) 400 – 850 (b) Steam-to-air in finned tubes (steam in tubes) 30 – 300 (a)
400 – 4000 (b)
dimana (a) merupakan nilai pada kondisi surface area berada pada sisi udara, dan (b) merupakan nilai pada kondisi surface area berada pada sisi uap ataupun sisi air (Cengel, 2002).
2.4 Metode Log Mean Temperature Difference (LMTD)
Untuk mendesain atau memperkirakan performa dari heat exchanger, adalah hal yang penting untuk mengetahui hubungan antara total transfer panas yang terjadi dengan jumlah kuantitas seperti temperatur inlet dan outlet fluida, koefisien transfer panas keseluruhan, dan total surface area yang dibutuhkan untuk melakukan transfer panas. Secara khusus, jika q adalah total laju transfer panas antara fluida panas menuju dingin, transfer panas antara heat exchanger dengan lingkungannya dapat diabaikan, serta dapat diabaikannya perubahan energi kinetik dan potensial, maka persamaan transfer panas q dapat dituliskan dalam Persamaan 2.4 sebagai berikut:
𝑞 = 𝑚̇ℎ(𝑖ℎ,𝑖− 𝑖ℎ,𝑜) , 𝑚̇𝑐(𝑖𝑐,𝑜− 𝑖𝑐,𝑖) (2.4) dimana 𝑚̇ adalah mass flow, i adalah entalpi, subscript h merujuk pada fluida panas dan c untuk fluida dingin, subscript i menunjukkan kondisi inlet dan o menunjukkan kondisi outlet. Jika fluida yang mengalir di dalam heat exchanger tidak mengalami perubahan fase, dan nilai specific heat diasumsikan konstan, maka Persamaan 2.4 dapat diubah menjadi Persamaan 2.5 berikut:
𝑞 = 𝑚̇ℎ 𝑐𝑝,ℎ (𝑇ℎ,𝑖 − 𝑇ℎ,𝑜) , 𝑚̇𝑐 𝑐𝑝,𝑐 (𝑇𝑐,𝑜− 𝑇𝑐,𝑖) (2.5) dimana T pada Persamaan 2.4 dan Persamaan 2.5 merujuk pada temperatur rata- rata pada lokasi desain. Hubungan keseimbangan energi yang terjadi antara fluida panas dengan fluida dingin dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut ini:
14
Gambar 2.7 Keseimbangan Energi antara Fluida di Heat Exchanger (Bergman dkk, 2011)
Persamaan lain yang dapat digunakan dengan merelasikan hubungan antara total laju transfer panas dengan perbedaan temperatur ∆𝑇 antara fluida dingin dan panas dapat dituliskan dalam Persamaan 2.6 berikut ini:
∆𝑇 ≡ 𝑇ℎ− 𝑇𝑐 (2.6)
Persamaan 2.6 dapat dilihat dengan meninjau Newton’s law of cooling, dengan koevisien transfer panas keseluruhan U digunakan untuk menggantikan koefisien konveksi. Dikarenakan ∆𝑇 dapat berubah-ubah, maka persamaan heat rate dari heat exchanger dapat ditinjau menggunakan Persamaan 2.7 berikut ini:
𝑞 ≡ 𝑈𝐴∆𝑇𝑚 (2.7)
dimana ∆𝑇𝑚 merupakan perbedaan temperatur rata-rata. Persamaan 2.7 dapat digunakan bersamaan dengan Persamaan 2.4 dan Persamaan 2.5 untuk melakukan analisis terkait heat exchanger, namun, dalam melakukan analisis heat rate, nilai
∆𝑇𝑚 pada Persamaan 2.7 harus ditentukan terlebih dahulu.
2.4.1 Heat Exchanger dengan Aliran Paralel
Nilai panas spesifik (specific heat) pada heat exchanger dapat berubah-ubah dikarenakan efek variasi perubahan temperatur dan juga koefisien transfer panas juga dapat berubah dikarenakan perbedaan karakteristik fluida maupun kondisi aliran. Dalam beberapa pengaplikasian, perubahan tersebut memberikan pengaruh yang tidak signifikan, sehingga dalam melakukan analisis heat exchanger dapat menggunakan nilai rata-rata dari 𝑐𝑝,𝑐, 𝑐𝑝,ℎ, dan U.
Persamaan 2.5 dapat dituliskan dengan mengaplikasikan keseimbangan energi pada elemen diferensial menjadi Persamaan 2.8 berikut ini:
𝑞 = −𝑚̇ℎ 𝑐𝑝,ℎ 𝑑𝑇ℎ ≡ −𝐶ℎ𝑑𝑇ℎ 𝑚̇𝑐 𝑐𝑝,𝑐 𝑑𝑇𝑐 ≡ 𝐶𝑐𝑑𝑇𝑐 (2.8) dimana 𝐶ℎ adalah kapasitas panas dari fluida panas, dan 𝐶𝑐 adalah kapasitas panas dari fluida dingin. Persamaan 2.8 dapat diintegrasikan di sepanjang heat exchanger untuk memperoleh keseimbangan energi keseluruhan yang tertera pada Persamaan
15 2.5. Transfer panas yang terjadi di sepanjang surface area dA dapat ditulis sebagai Persamaan 2.9 berikut ini:
𝑑𝑞 = 𝑈∆𝑇𝑑𝐴 (2.9)
Persamaan 2.9 dapat dijabarkan dengan melakukan pengubahan bentuk diferensial terhadap Persamaan 2.6 menjadi Persamaan 2.10 berikut ini:
𝑑(∆𝑇) = 𝑑𝑇ℎ− 𝑑𝑇𝑐 (2.10)
sehingga, dengan melakukan substitusi Persamaan 2.8 terhadap Persamaan 2.10, didapatkan persamaan berikut:
𝑑(∆𝑇) = −𝑑𝑞 (1 𝐶ℎ+ 1
𝐶𝑐) (2.11)
dengan melakukan substitusi dan pengintegralan terhadap Persamaan 2.9 dan Persamaan 2.11, didapatkan persamaan baru sebagai berikut:
𝑙𝑛 (∆𝑇2
∆𝑇1) = −𝑈𝐴 (1 𝐶ℎ+ 1
𝐶𝑐) (2.12)
nilai 𝐶ℎ dan 𝐶𝑐 disubstitusikan terhadap Persamaan 2.5 sehingga Persamaan 2.12 dapat dituliskan sebagai berikut:
𝑙𝑛 (∆𝑇2
∆𝑇1) = −𝑈𝐴
𝑞 (𝑇ℎ,𝑖− 𝑇ℎ,𝑜 + 𝑇𝑐,𝑜− 𝑇𝑐,𝑖) (2.13) Khusus untuk aliran paralel, nilai perbedaan temperatur ∆𝑇 adalah sebagai berikut:
∆𝑇1 = 𝑇ℎ,𝑖− 𝑇𝑐,𝑖
∆𝑇2 = 𝑇ℎ,𝑜 − 𝑇𝑐,𝑜 (2.14)
Dari Persamaan 2.13 dan Persamaan 2.14, didapatkan persamaan transfer panas sebagai berikut:
𝑞 = 𝑈𝐴 ∆𝑇2− ∆𝑇1
ln(∆𝑇2⁄∆𝑇1) (2.15)
Jika dibandingkan kembali dengan Persamaan 2.7, maka dapat disimpulkan bahwa temperatur rata-rata yang sesuai untuk digunakan adalah log mean temperature difference, ∆𝑇𝑙𝑚. Berdasarakan hal tersebut, Persamaan 2.7 dapat dituliskan sebagai persamaan berikut ini:
𝑞 = 𝑈𝐴∆𝑇𝑙𝑚 (2.16)
dengan membandingkan Persamaan 2.15 dan Persamaan 2.16 terhadap Persamaan 2.5, dapat diketahui nilai ∆𝑇𝑙𝑚 adalah sebagai berikut:
16
∆𝑇𝑙𝑚 = ∆𝑇2− ∆𝑇1
ln(∆𝑇2⁄∆𝑇1)= ∆𝑇1− ∆𝑇2
ln(∆𝑇1⁄∆𝑇2) (2.17)
2.4.2 Heat Exchanger dengan Aliran Berlawanan
Persamaan 2.8 dapat digunakan untuk semua jenis heat exchanger, oleh karena itu, persamaan tersebut dapat digunakan juga untuk heat exchanger dengan arah aliran yang berlawanan. Persamaan 2.16 dan Persamaan 2.17 juga dapat digunakan untuk menghitung nilai heat rate untuk arah aliran yang berlawanan.
Nilai perbedaan panas pada aliran yang berlawanan ini dapat dibedakan seperti Persamaan 2.18 berikut ini:
∆𝑇1 = 𝑇ℎ,𝑖− 𝑇𝑐,𝑜
∆𝑇2 = 𝑇ℎ,𝑜− 𝑇𝑐,𝑖 (2.18)
Sebagai catatan, untuk temperatur inlet dan outlet yang sama, nilai log mean temperature difference untuk aliran yang berlawanan lebih tinggi dibandingkan untuk arah aliran paralel, ∆𝑇𝑙𝑚,𝐶𝐹 > ∆𝑇𝑙𝑚,𝑃𝐹, oleh karena itu, surface area yang dibutuhkan untuk heat exchanger dengan arah aliran yang berlawanan untuk dapat berpengaruh terhadap heat rate q tentunya lebih kecil dibandingkan dengan arah aliran paralel, dengan mengasumsikan nilai total koefisien transfer panas adalah sama. Sebagai catatan juga, dalam aliran yang berlawanan, 𝑇𝑐,𝑜 dapat melebihi 𝑇ℎ,𝑜, tetapi tidak pada aliran paralel (Bergman dkk, 2011).
2.5 Efektivitas Heat Exchanger dengan Metode NTU (National Thermal Unit)
Untuk mengetahui efektivitas dari heat exchanger, hal pertama yang perlu ditentukan adalah kemungkinan laju transfer panas maksimum 𝑞𝑚𝑎𝑥 pada heat exchanger. Berdasarkan Persamaan 2.5, nilai 𝑞𝑚𝑎𝑥 dapat dituliskan menjadi Persamaan 2.19 berikut ini:
𝑞𝑚𝑎𝑥 = 𝐶𝑚𝑖𝑛(𝑇ℎ,𝑖 − 𝑇𝑐,𝑖) (2.19) dimana nilai 𝐶𝑚𝑖𝑛 dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 2.20 berikut:
𝐶𝑚𝑖𝑛{𝐶𝑐, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐶𝑐 < 𝐶ℎ
𝐶ℎ, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐶ℎ < 𝐶𝑐 (2.20) Untuk mendapatkan nilai efektivitas heat exchanger, dapat diketahui dengan menggunakan Persamaan 2.21 sebagai berikut:
17 𝜀 = 𝑞
𝑞𝑚𝑎𝑥 (2.21)
Dimana nilai efektivitas 𝜀 merupakan rasio perbandingan antara laju transfer panas aktual dengan laju transfer panas maksimum yang dapat dicapai (Bergman dkk, 2011).
2.6 Standar ASME Sec. VIII (Rules for Construction of Pressure Vessels)
ASME merupakan suatu standar yang dikembangkan di bawah prosedur yang terakreditasi berdasarkan kriteria standar nasional Amerika. Adapun tujuan dari dibentuknya standar ini adalah sebagai rujukan bagi berbagai kalangan, terutama sebagai masukan bagi kalangan industri, akademisi, pekerja regulasi, dan tentunya untuk masyarakat umum dalam skala besar.
Pada ASME Sec. VIII (Rules for Construction of Pressure Vessels), terdapat beberapa subsection yang terbagi lagi kedalam bagian-bagian khusus. Secara umum, pada subsection A, ASME Sec. VIII berisi tentang detail kebutuhan umum, dimana di dalamnya terdapat bagian UG berisi tentang penjelasan mengenai metode konstruksi dan pemilihan material. Subsection B berisi tentang detail mengenai fabrikasi pressure vessels, dimana di dalamnya terbagi menjadi bagian-bagian UW (fabrikasi dengan pengelasan, UF (fabrikasi dengan penempaan), dan UB (fabrikasi dengan brazing). Subsection C berisi tentang detail mengenai kelas material, dimana salah satu bagiannya adalah bagian UHX yang berisi tentang detail dari heat exchanger jenis shell and tube.
2.6.1 Perhitungan Heat Exchanger berdasarkan Bagian UHX-14 (Rules for The Design of Floating Tubesheets)
Perhitungan desain heat exchanger terbagi menjadi beberapa langkah yang disesuaikan berdasarkan konfigurasi heat exchanger seperti pada Lampiran F.1 dan Lampiran F.2 dengan detail perhitungan seperti pada Persamaan 2.22 hingga Persamaan 2.26 berikut:
A. Perhitungan 𝑎𝑜, 𝜌𝑠, 𝜌𝑐, 𝑥𝑠, 𝑥𝑡
𝑎𝑜= 𝐷𝑜
2 (2.22)
18
𝜌𝑠 = 𝑎𝑠
𝑎𝑜 (2.23)
𝜌𝑐 = 𝑎𝑐
𝑎𝑜 (2.24)
𝑥𝑠 = 1 − 𝑁𝑡( 𝑑𝑡 2𝑎𝑜)
2
(2.25) 𝑥𝑡 = 1 − 𝑁𝑡(𝑑𝑡− 2𝑡𝑡
2𝑎𝑜 )
2
(2.26) B. Perhitungan 𝛽𝑠, 𝑘𝑠, 𝜆𝑠, 𝛿𝑠, 𝛽𝑐, 𝑘𝑐, 𝜆𝑐, 𝛿𝑐
Untuk konfigurasi a, b, dan c, perhitungan koefisien shell dapat dilakukan dengan cara seperti pada Persamaan 2.27 hingga Persamaan 2.30 berikut:
𝛽𝑠 = √12(1 − 𝑣4 𝑠2)
√(𝐷𝑠+ 𝑡𝑠)𝑡𝑠 (2.27)
𝑘𝑠 = 𝛽𝑠 𝐸𝑠𝑡𝑠3
6(1 − 𝑣𝑠2) (2.28)
𝜆𝑠 =6𝐷𝑠
ℎ3 𝑘𝑠(1 + ℎ𝛽𝑠+ℎ2𝛽𝑠2
2 ) (2.29)
𝛿𝑠 = 𝐷𝑠2
4𝐸𝑠𝑡𝑠(1 −𝑣𝑠
2) (2.30)
sementara itu, untuk nilai koefisien shell pada konfigurasi d, e, f, A, B, C, dan D, nilai 𝛽𝑠 = 𝑘𝑠 = 𝜆𝑠 = 𝛿𝑠 = 0.
Perhitungan koefisien channel pada konfigurasi a, e, f, dan A, dapat dilakukan dengan cara seperti pada Persamaan 2.31 hingga Persamaan 2.33 sebagai berikut:
𝛽𝑐 = √12(1 − 𝑣4 𝑐2)
√(𝐷𝑐+ 𝑡𝑐)𝑡𝑐 (2.31)
𝑘𝑐 = 𝛽𝑐 𝐸𝑐𝑡𝑐3
6(1 − 𝑣𝑐2) (2.32)
𝜆𝑐 =6𝐷𝑐
ℎ3 𝑘𝑐(1 + ℎ𝛽𝑐+ℎ2𝛽𝑐2
2 ) (2.33)
untuk mencari nilai 𝛿𝑐, dapat dibagi sesuai dengan bentuk head dari heat exchanger, dengan pembagian seperti pada Persamaan 2.34 hingga Persamaan 2.35 sebagai berikut:
19 𝛿𝑐 = 𝐷𝑐2
4𝐸𝑐𝑡𝑐(1 −𝑣𝑐
2) (2.34)
𝛿𝑐 = 𝐷𝑐2
4𝐸𝑐𝑡𝑐(1 − 𝑣𝑐
2 ) (2.35)
dimana Persamaan 2.34 digunakan untuk head berbentuk silinder, sementara Persamaan 2.35 digunakan untuk head berbentuk setengah bola. Konfigurasi b, c, d, B, C, dan D, nilai 𝛽𝑐 = 𝑘𝑐 = 𝜆𝑐 = 𝛿𝑐 = 0.
C. Perhitungan 𝑋𝑎
Perhitungan 𝑋𝑎 dapat dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu nilai dari 𝐸∗/𝐸 dan 𝑣∗ relatif terhadap h/p dengan melihat pada Lampiran G, dimana perhitungan 𝑋𝑎 dapat dilakukan dengan menggunakan Persamaan 2.36 berikut:
𝑋𝑎 = [24(1 − 𝑣∗2)𝑁𝑡𝐸𝑡𝑡𝑡(𝑑𝑡− 𝑡𝑡)𝑎𝑜2 𝐸∗𝐿ℎ3 ]
1
4 (2.36)
berdasarkan nilai perhitungan 𝑋𝑎, nilai 𝑍𝑑, 𝑍𝑣, 𝑍𝑤, 𝑍𝑚 dapat diketahui dengan memasukkan nilai 𝑋𝑎 pada Lampiran H.1 dan Lampiran H.2.
D. Perhitungan 𝐾, 𝐹, 𝜙, 𝑄1
𝐾 = 𝐴
𝐷𝑜 (2.37)
𝐹 =1 − 𝑣∗
𝐸∗ (𝜆𝑠+ 𝜆𝑐 + 𝐸 ln 𝐾) (2.38)
𝜙 = (1 + 𝑣∗)𝐹 (2.39)
𝑄1 = 𝜌𝑠− 1 − 𝜙𝑍𝑣
1 + 𝜙𝑍𝑚 (2.40)
E. Perhitungan 𝜔𝑠, 𝜔𝑠∗, 𝜔𝑐, 𝜔𝑐∗, 𝛾𝑏
𝜔𝑠 = 𝜌𝑠𝑘𝑠𝛽𝑠𝛿𝑠(1 + ℎ𝛽𝑠) (2.41) 𝜔𝑠∗ = 𝑎𝑜2(𝜌𝑠2− 1)(𝜌𝑠− 1)
4 − 𝜔𝑠 (2.42)
𝜔𝑐 = 𝜌𝑐𝑘𝑐𝛽𝑐𝛿𝑐(1 + ℎ𝛽𝑐) (2.43) 𝜔𝑐∗ = 𝑎𝑜2[(𝜌𝑐2+ 1)(𝜌𝑐 − 1)
4 − (𝜌𝑠− 1
2 )] − 𝜔𝑐 (2.44) Perhitungan 𝛾𝑏 dilakukan dengan mengacu pada konfigurasi tubesheet, dimana untuk konfigurasi a, A, dan D, nilai 𝛾𝑏 adalah:
𝛾𝑏 = 0 (2.45)
20
untuk konfigurasi b dan B:
𝛾𝑏 =𝐺𝑐 − 𝐶
𝐷𝑜 (2.46)
untuk konfigurasi c dan C:
𝛾𝑏= 𝐺𝑐− 𝐺1
𝐷𝑜 (2.47)
untuk konfigurasi d:
𝛾𝑏 =𝐺𝑐 − 𝐺𝑠
𝐷𝑜 (2.48)
untuk konfigurasi e:
𝛾𝑏 =𝐶 − 𝐺𝑠
𝐷𝑜 (2.49)
untuk konfigurasi f:
𝛾𝑏= 𝐺1− 𝐺𝑠
𝐷𝑜 (2.50)
F. Perhitungan 𝑃𝑒
Perhitungan effective pressure 𝑃𝑒 didasarkan pada jenis shell and tube heat exchanger yang dapat dilihat pada Lampiran F.3. Nilai 𝑃𝑒 untuk heat exchanger dengan immersed floating head adalah sebagai berikut:
𝑃𝑒 = 𝑃𝑠− 𝑃𝑡 (2.51)
untuk heat exchanger dengan externally sealed floating head:
𝑃𝑒 = 𝑃𝑠(1 − 𝜌𝑠2) − 𝑃𝑡 (2.52) untuk heat exchanger dengan internally sealed floating tubesheet:
𝑃𝑒 = (𝑃𝑠 − 𝑃𝑡)(1 − 𝜌𝑠2) (2.53) G. Perhitungan 𝑄2, 𝑄3, 𝜎
𝑄2 =(𝜔𝑠∗𝑃𝑠 − 𝜔𝑐∗𝑃𝑡) + 𝛾𝑏 2𝜋 𝑊∗
1 + 𝜙𝑍𝑚 (2.54)
Setelah dilakukan perhitungan terhadap 𝑄2, dilakukan perhitungan terhadap bending stress maksimum pada tubesheet dengan kondisi yang dibedakan, dimana pada saat 𝑃𝑒 ≠ 0, maka dilakukan perhitungan sebagai berikut:
𝑄3 = 𝑄1+ 2𝑄2
𝑃𝑒𝑎𝑜2 (2.55)
21 Nilai tegangan bending maksimum dapat dihitung dengan mengetahui nilai koefisien 𝐹𝑚 yang dapat ditentukan melalui Lampiran H.1, sehingga perhitungan tegangan bending dapat dilakukan dengan cara seperti Persamaan 2.56 berikut:
𝜎 = (1,5 𝐹𝑚
𝜇∗ ) ( 2𝑎𝑜 ℎ − ℎ′𝑔)
2
𝑃𝑒 (2.56)
Perhitungan tegangan bending maksimum pada saat kondisi nilai 𝑃𝑒 = 0, dapat dilakukan seperti Persamaan 2.57 berikut:
𝜎 = 6𝑄2
𝜇∗(ℎ − ℎ′𝑔)2 (2.57) Berdasarkan acuan analisis data desain, jika |𝜎| ≤ 1,5𝑆, dan untuk analisis data operasi, jika |𝜎| ≤ 𝑆𝑃𝑆, nilai ketebalan tubesheet dapat digunakan untuk menahan tegangan bending. Jika tidak, ketebalan tubesheet perlu ditingkatkan dan proses perhitungan perlu diulangi dari proses pada sub-bab 2.6.1.A, untuk konfigurasi a, b, c, d, e, f, proses perhitungan dilanjutkan ke sub-bab 2.6.1.H, untuk konfigurasi A, proses perhitungan dilanjutkan ke sub-bab 2.6.1.J, dan untuk konfigurasi B, C, D, prosedur perhitungan telah selesai.
H. Perhitungan Shear Stress
Analisis tegangan geser yang terjadi pada heat exchanger, dapat dilakukan dengan acuan jika |𝑃𝑒| ≤1,6 𝑆𝜇ℎ
𝑎𝑜 maka tidak perlu dilakukan perhitungan terhadap tegangan geser dan proses dilanjutkan ke sub-bab 2.6.1.I, jika |𝑃𝑒| > 1,6 𝑆𝜇ℎ
𝑎𝑜 maka nilai tegangan gesernya dapat diketahui menggunakan Persamaan 2.58 berikut:
𝜏 = (1 4𝜇) (1
ℎ{4𝐴𝑝
𝐶𝑝 }) 𝑃𝑒 (2.58)
Berdasarkan acuan tersebut, jika nilai |𝜏| ≤ 0,8 𝑆 maka ketebalan tubesheet dapat menahan tegangan geser yang terjadi di dalam heat exchanger, jika tidak, perlu dilakukan penambahan ketebalan tubesheet dan proses perhitungan perlu diulangi mulai dari sub-bab 2.6.1.A.
I. Perhitungan Axial Tube Stress
Analisis terkait perhitungan axial tube stress dapat dilakukan dengan mengetahui nilai 𝐹𝑡,𝑚𝑖𝑛 , 𝐹𝑡,𝑚𝑎𝑥 dari Lampiran H.3. Perhitungan terkait axial tube stress dapat dibedakan berdasarkan nilai tekanan efektif 𝑃𝑒, dimana jika nilai 𝑃𝑒 ≠
22
0, nilai tube stress 𝜎𝑡,1 dan 𝜎𝑡,2 dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.59 berikut ini:
𝜎𝑡,1 = 1
𝑥𝑡− 𝑥𝑠[(𝑃𝑠𝑥𝑠− 𝑃𝑡𝑥𝑡)𝑃𝑒𝐹𝑡,𝑚𝑖𝑛] 𝜎𝑡,2= 1
𝑥𝑡− 𝑥𝑠[(𝑃𝑠𝑥𝑠− 𝑃𝑡𝑥𝑡)𝑃𝑒𝐹𝑡,𝑚𝑎𝑥]
(2.59)
Pada saat nilai 𝑃 = 0, nilai tube stress dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.60 sebagai berikut:
𝜎𝑡,1 = 1
𝑥𝑡− 𝑥𝑠[(𝑃𝑠𝑥𝑠− 𝑃𝑡𝑥𝑡)2𝑄2
𝑎𝑜2 𝑃𝑒𝐹𝑡,𝑚𝑖𝑛] 𝜎𝑡,2 = 1
𝑥𝑡− 𝑥𝑠[(𝑃𝑠𝑥𝑠 − 𝑃𝑡𝑥𝑡)2𝑄2
𝑎𝑜2𝑃𝑒𝐹𝑡,𝑚𝑎𝑥]
(2.60)
Setelah didapat nilai tube stress, perlu diketahui nilai maksimum dari kedua nilai tersebut, sehingga:
𝜎𝑡,𝑚𝑎𝑥 = 𝑀𝐴𝑋 (|𝜎𝑡,1|, |𝜎𝑡,2|) (2.61) Jika pada data desain 𝜎𝑡,𝑚𝑎𝑥 > 𝑆𝑡 atau pada data operasi 𝜎𝑡,𝑚𝑎𝑥 > 2𝑆𝑡, desain tube perlu dipertimbangkan ulang dan perhitungan dilakukan kembali ke sub-bab 2.6.1.A. Kekuatan pembebanan sambungan tube dengan tubesheet dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
𝑊𝑡 = 𝜎𝑡,𝑚𝑎𝑥𝜋(𝑑𝑡− 𝑡𝑡)𝑡𝑡 (2.62) J. Perhitungan 𝜎𝑠,𝑚, 𝜎𝑠,𝑏, 𝜎𝑠 pada Shell dan 𝜎𝑐,𝑚, 𝜎𝑠,𝑐, 𝜎𝑐 pada Channel
Nilai axial membrane stress 𝜎𝑠,𝑚, axial bending stress 𝜎𝑠,𝑏, dan total axial stress 𝜎𝑠 pada shell, dapat diketahui dengan menggunakan Persamaan 2.63 hingga Persamaan 2.65 berikut:
𝜎𝑠,𝑚 = 𝑎𝑜2
𝑡𝑠(𝐷𝑠+ 𝑡𝑠)[𝑃𝑒+ (𝜌𝑠2− 1)(𝑃𝑠 − 𝑃𝑡)] + 𝑎𝑠2
𝑡𝑠(𝐷𝑠+ 𝑡𝑠)𝑃𝑡 (2.63)
𝜎𝑠,𝑏 = 6 𝑡𝑠2𝑘𝑠
{
𝛽𝑠𝛿𝑠𝑃𝑠+6(1 − 𝑣∗2) 𝐸∗ (𝑎𝑜3
ℎ3) (1 +ℎ𝛽𝑠 2 ) 𝑥 [𝑃𝑒(𝑍𝑣+ 𝑍𝑚𝑄1) + 2
𝑎𝑜2𝑍𝑚𝑄2] }
(2.64)
𝜎𝑠 = |𝜎𝑠,𝑚| + |𝜎𝑠,𝑏| (2.65)
23 Nilai axial membrane stress 𝜎𝑐,𝑚, axial bending stress 𝜎𝑐,𝑏, dan total axial tube stress 𝜎𝑐 pada channel, dapat diketahui dengan menggunakan Persamaan 2.66 hingga Persamaan 2.68 berikut:
𝜎𝑐,𝑚= 𝑎𝑐2
𝑡𝑐(𝐷𝑐 + 𝑡𝑐)𝑃𝑡 (2.66)
𝜎𝑐,𝑏 = 6 𝑡𝑐2𝑘𝑐
{
𝛽𝑐𝛿𝑐𝑃𝑡+6(1 − 𝑣∗2) 𝐸∗ (𝑎𝑜3
ℎ3) (1 +ℎ𝛽𝑐 2 ) 𝑥 [𝑃𝑒(𝑍𝑣+ 𝑍𝑚𝑄1) + 2
𝑎𝑜2𝑍𝑚𝑄2] }
(2.67)
𝜎𝑐 = |𝜎𝑐,𝑚| + |𝜎𝑐,𝑏| (2.68) Berdasarkan acuan untuk konfigurasi a, pada data desain, jika nilai 𝜎𝑠 <
1,5 𝑆𝑠 dan 𝜎𝑐 < 1,5 𝑆𝑐, dan pada data operasi jika nilai 𝜎𝑠 < 𝑆𝑃𝑆,𝑠 dan 𝜎𝑐 < 𝑆𝑃𝑆,𝑐, maka prosedur perhitungan sudah selesai, untuk konfigurasi b dan c pada data desain, jika nilai 𝜎𝑠 < 1,5 𝑆𝑠, dan pada data operasi jika nilai 𝜎𝑠 < 𝑆𝑃𝑆,𝑠, maka prosedur perhitungan sudah selesai, dan untuk konfigurasi e, f, dan A, pada data desain, jika nilai 𝜎𝑐 < 1,5 𝑆𝑐, dan pada data operasi jika nilai 𝜎𝑐 < 𝑆𝑃𝑆,𝑐, maka prosedur perhitungan sudah selesai (ASME, 2013).
2.7 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah rangkuman dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No. Nama dan
Tahun Publikasi Judul Referensi Hasil 1 Jajat Sudrajat,
2017
Analisis Kinerja Heat Exchanger Shell &
Tube Pada Sistem COG Booster di Integrated Steel Mill Krakatau
Fouling atau penyumbatan mengakibatkan penurunan kinerja dari heat exchanger, terutama dalam hal laju perpindahan panas dari heat exchanger. Fouling tersebut mengakibatkan turunnya laju transfer panas hingga sekitar 19,45%, juga berpengaruh pada turunnya efektivitas dari heat exchanger sebesar 3,7%.
24
No. Nama dan
Tahun Publikasi Judul Referensi Hasil
2 Muchammad, 2017
Analisis Penurunan Performa Heat Exchanger Stabilizer Reboiler 011E120 di PT. Pertamina Refinery Unit IV Cilacap
Penurunan performa terjadi karena adanya penyumbatan sehingga penyerapan panas menjadi kurang maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari nilai fouling factor yang mencapai 0,02027 ft2hr°F/BTU, dimana nilai tersebut jauh di atas standar lembar spesifikasi yaitu sebesar0,0024 ft2hr°F/
BTU.
3 Sutrisno dan Moh. Ridwan Effendi, 2018
Analisis Pengaruh Temperatur Air Laut Terhadap Efektivitas Pendinginan pada Cooling Water Heat Exchanger di PLTU Unit 1 PT. PJB UP Gresik
Berdasarkan data spesifikasi, diketahui bahwa beban kerja dari heat exchanger yang digunakan adalah 7,37 MW dengan efektivitas sebesar 80,8%. Untuk menjaga efektivitas tersebut, temperatur air laut perlu dibatasi antara 33°C – 35°C.
4 Ekadewi Anggraini Handoyo, 2000
Pengaruh Kecepatan Aliran Terhadap Efektivitas Shell and Tube Heat Exchanger
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas naik seiring dengan kenaikan kecepatan hingga suatu harga tertentu dan kemudian akan turun.