5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Petani Swadaya
Petani swadaya merupakan petani yang dengan sendirinya dalam proses biaya buka lahan, mengelola lahan, perawatan dan lain-lain, tidak ada kaitannya dengan perusahaan (Andoko et al., 2013). Pengamat pertanian, Prof. Bungaran Saragih memprediksi bahwa jumlah petani swadaya yang mengelola perkebunan sawit mengalami pertumbuhan dengan pesat. Jumlah petani swadaya mencapai 44%. Jumlah petani swadaya tersebut diprediksi terus menerus meningkat hingga mencapai 70% pada tahun 2020 (Andoko et al., 2013).
Petani swadaya kelapa sawit dalam proses menjalankan usaha tani masih belum sepenuhnya dalam mengaplikasi ilmu yang mereka dapatkan ataupun pengalaman mereka bekerja disebuah perusahaan perkebunan sebagai tenaga kerja. Sebagian besar masih melakukan pengelolaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka, seperti penggunaan pupuk, mereka melakukan pemupukan ketika mereka mempunyai uang yang cukup untuk membeli pupuk, sedikit yang berpikir untuk melakukan peminjaman (Tety, 2012).
2.2 Usahatani Kelapa Sawit
Menurut Wanda (2015), ilmu usahatani merupakan suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menentukan, mengorganisasi dan mengkoordinasikan dalam menggunakan sumberdaya dengan efektif dan efisien sehingga pendapatan yang diperoleh petani lebih tinggi. Usahatani merupakan ilmu yang mempelajari tentang mengalokasikan sumber daya yang ada seperti lahan, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh petani dalam mencapai keuntungan yang maksimal.
Dalam kegiatan usahatani terdapat faktor-faktor produksi meliputi lahan, tenaga kerja, dan modal yang dikelola secara efektif dan efisien mungkin, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebaik mungkin. Faktor produksi lahan, modal (membeli bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan lain-lain). Hubungan faktor produksi (input) dan produksi (output) disebut dengan fungsi produksi (Soekartawi, 2007).
2.2.1. Biaya Usahatani Kelapa Sawit
Menurut Nicholson (2012), biaya dibagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi seperti pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, alat berat dan lain sebagainya. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung seperti biaya pupuk, pestisida, tenaga kerja, biaya panen, transportasi dan lain sebagainya.
Menurut Kinali (2022), biaya-biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi kelapa sawit yaitu:
1. Biaya investasi awal: pembukaan lahan, biaya bibit, serta biaya pemeliharaan sebelum tanaman menghasilkan.
2. Biaya pemeliharaan tanaman: pemberantasan gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, tunas pokok (pruning), konsolidasi, pemeliharaan terasan dan tapak kuda, pemeliharaan prasarana.
3. Biaya panen: biaya transportasi, biaya tenaga panen, biaya pengadaan alat kerja.
2.2.2. Penerimaan Usahatani Kelapa Sawit
Menurut Fair (2007), penerimaan merupakan total dari jumlah produksi yang dihasilkan dikali dengan harga yang berlaku saat ini. Penerimaan dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Penerimaan Total/Total Revenue (TR)
Penerimaan total merupakan jumlah total yang didapatkan oleh produsen dari penjualan produk. Harga per unit dikali dengan kuantitas output yang diproduksi oleh produsen (P x Q).
2. Penerimaan Marjinal/Marginal Revenue (MR)
Penerimaan marjinal merupakan penerimaan tambahan yang diterima perusahaan ketika perusahaan meningkatkan output sebanyak satu unit tambahan.
Menurut Pahan (2012), faktor yang penting dalam penerimaan adalah volume dari penjualan atau produksi dan harga jual. Semakin banyak jumlah produk yang dihasilkan maupun harga per unit tinggi maka penerimaan total yang diterima produsen akan semakin besar. Sebaliknya jika produk yang dihasilkan
sedikit dan harganya rendah maka penerimaan total yang diterima produsen rendah.
2.2.3. Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya produksi selama proses produksi, sedangkan penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi atau hasil yang diperoleh dengan harga jual. Biaya usahatani merupakan semua pengeluaran yang digunakan dalam usaha tani.
Keberhasilan usaha tani dinilai dari pendapatan yang didapatkan dari usahatani.
Petani yang rasional berusaha untuk mendapatkan pendapatan yang lebih besar dari setiap kegiatan usahatani (Soekartawi, 2003).
Pendapatan merupakan faktor produksi dimana digunakan sebagai balas jasa yang berbentuk sewa, upah dan gaji. Pendapatan adalah semua jenis barang, jasa, dan uang yang diterima atau diperoleh seseorang atau masyarakat. Dalam pendapatan usahatani, terdapat dua unsur yang digunakan yaitu unsur penerimaan dan pengeluaran dari usahatani. Penerimaan merupakan hasil dari perkalian antara hasil produksi dengan harga jual, sedangkan pengeluaran merupakan biaya yang digunakan dalam proses produksi (Nicholson, 2012).
2.3 R/C Ratio
Revenue/Cost ratio adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui keuntungan yang relatif pada usahatani. R/C ratio dapat dicari menggunakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Menurut Pebriantari et al., (2016), kriteria kelayakan usaha pada analisis R/C ratio yaitu:
1. Apabila hasil perhitungan R/C ratio > 1, maka penerimaan yang diterima lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan, artinya usaha tersebut layak untuk terus dijalankan.
2. Apabila hasil perhitungan R/C ratio < 1, maka penerimaan yang diterima lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan, artinya usaha tersebut tidak layak untuk terus dijalankan.
3. Apabila kegiatan usaha menghasilkan R/C ratio = 1, maka usaha tersebut dalam keuntungan normal.
Menurut Noor (2007), untuk melihat perbandingan antara penerimaan total dan biaya total, digunakan rumus sebagai berikut:
R/C Ratio = 𝑻𝑹
𝑻𝑪
Keterangan : TR (Total Revenue) = Penerimaan Total (Rp) TC (Total Cost) = Biaya Total (Rp) 2.4 Analisis Break Even Point (BEP)
Menurut Djarwanto (2014), break even point adalah suatu keadaan impas, yaitu apabila telah disusun perhitungan laba dan rugi suatu periode tertentu, perusahaan tidak mendapat keuntungan dan tidak rugi. Menurut Simamora (2012), titik impas adalah volume penjualan dimana jumlah pendapatan dan jumlah bebannya sama, tidak ada laba maupun rugi bersih. Halim (2011), mendefinisikan impas merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi usaha, pada saat perusahaan tidak memperoleh laba tetapi tidak menderita rugi.
Dari uraian yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa analisis break even point adalah teknik analisa yang digunakan untuk mengetahui tingkat produksi dan tingkat penjualan dimana dari tingkat produksi dan penjualan tersebut perusahaan tidak mengalami kerugian maupun mendapatkan keuntungan (impas).
2.4.1. Perhitungan Break Even Point (BEP)
Dalam menghitung break even point menggunakan pendekatan matematis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Break Even Point Harga
Menurut Munawir (2005), dalam keadaan break even laba perusahaan adalah nol, oleh karena itu dengan membagi jumlah biaya tetap dengan marginal income ratio, akan memperoleh atau diketahui tingkat penjualan (dalam rupiah) yang harus dicapai agar perusahaan tidak menderita rugi ataupun memperoleh laba (break even point).
2. Break Even Point Produksi
Menurut Munawir (2005), ditinjau dari per satuan produk atau barang yang dijual, maka setiap satuan barang memberikan sumbangan atau kontribusi yang sama besarnya untuk menutup biaya tetap atau laba. Dalam keadaan break
even, maka dengan membagi jumlah biaya tetap dengan margin per satuan barang akan diperoleh jumlah satuan barang yang harus dijual sehingga perusahaan tidak mengalami rugi ataupun laba.
2.4.2. Dasar Asumsi Analisis Break Even Point (BEP)
Menurut Horngren et al., (2008), asumsi yang mendasari analisis break even point adalah sebagai berikut:
1. Satu-satunya faktor yang mempengaruhi biaya adalah perubahan volume.
2. Manajer menggolongkan setiap biaya (atau komponen biaya gabungan) baik sebagai biaya variabel maupun biaya tetap.
3. Beban dan pendapatan adalah linier di seluruh cakupan volume relevannya.
4. Tingkat persediaan tidak akan berubah.
5. Penjualan atas gabungan produk tidak akan berubah. Penjualan gabungan merupakan kombinasi produk yang membentuk total penjualan.
Analisis break even point berguna apabila beberapa asumsi dasar dipenuhi.
Dalam kenyataan yang sebenarnya lebih banyak asumsi yang tidak dapat dipenuhi. Perubahan asumsi ini tidak mengurangi validitas dan kegunaan analisa BEP sebagai suatu alat bantu pengambilan keputusan. Hanya saja diperlukan suatu modifikasi tertentu dalam penggunaannya (Maruta, 2018).
2.4.3. Manfaat Analisis Break Even Point (BEP)
Menurut Matz (2000), menjelaskan beberapa manfaat analisa break even point untuk manajemen yaitu:
1. Membantu pengendalian melalui anggaran.
2. Meningkatkan dan menyeimbangkan penjualan.
3. Menganalisa dampak perubahan volume.
4. Menganalisa harga jual dan dampak perubahan biaya.
5. Merundingkan upah.
6. Menganalisis bauran produk.
7. Menerima keputusan kapitalisasi dan ekspansi lanjutan.
8. Menganalisa margin of safety.
Menurut Sigit (2006), analisa break even point mempunyai beberapa manfaat, diantaranya adalah:
1. Sebagai dasar merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba tertentu.
2. Sebagai dasar atau landasan untuk mengendalikan aktivitas yang sedang berjalan.
3. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga jual.
4. Sebagai bahan atau dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Manfaat analisis break even point sangat banyak, namun secara umum adalah untuk mengetahui titik pulang pokok dari sebuah usaha. Dengan diketahuinya titik pulang pokok, manajemen dapat mengetahui harus memproduksi atau menjual pada jumlah berapa unit agar perusahaan tidak mengalami kerugian (Maruta, 2018).
2.4.4. Kelemahan Break Event Point (BEP)
Menurut Suhardi (2004), analisa break even point ini banyak digunakan oleh perusahaan, tetapi tidak dapat dilupakan bahwa analisa ini mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan utama dari analisa break even point ini antara lain: asumsi tentang linearity, klasifikasi biaya dan penggunaannya terbatas untuk jangka waktu yang pendek:
1. Asumsi tentang linearity
Pada umumnya baik harga jual per unit maupun variabel cost per unit, tidaklah berdiri sendiri terlepas dari volume penjualan. Dengan perkataan lain, tingkat penjualan yang melewati suatu titik tertentu hanya akan dicapai dengan jalan menurunkan harga jual per unit. Hal ini tentu saja akan menyebabkan garis revenue tidak akan lurus, melainkan melengkung.
Disamping itu variabel operating cost per unit juga akan bertambah besar dengan meningkatkan volume penjualan mendekati kapasitas penuh. Hal ini bisa saja disebabkan karena menurunnya efisiensi tenaga kerja atau bertambah besarnya upah lembur.
2. Klasifikasi biaya
Kelemahan kedua dari analisa break even point adalah kesulitan di dalam mengklasifikasikan biaya karena adanya semi variabel cost dimana biaya ini tetap sampai dengan tingkat tertentu dan kemudian berubah-ubah setelah melewati titik tersebut.
3. Jangka waktu penggunaan
Kelemahan lain dari analisa break even point adalah jangka waktu penerapanya yang terbatas, biasanya hanya digunakan di dalam pembuatan proyeksi operasi selama setahun. Apabila perusahaan mengeluarkan biaya- biaya untuk advertensi ataupun biaya lainnya yang cukup besar dimana hasil dari pengeluaran tersebut (tambahan investasi) tidak akan terlihat dalam waktu yang dekat sedangkan operating cost sudah meningkat, maka sebagai akibatnya jumlah pendapatan yang harus dicapai menurut analisa break even point agar dapat menutup semua biaya-biaya operasi yang bertambah besar juga.
2.5 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Judul dan Penulis Analisis Data Hasil
1. Analisis Pendapatan Petani Kelapa Sawit Pola Swadaya di Desa Saham Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak (Yurisinthae, 2020).
Analisis Pendapatan Usahatani.
Analisis penerimaan rata-rata usahatani kelapa sawit adalah sebesar Rp17.184.142/ha/tahun, sedangkan biaya rata-rata yang dikeluarkan adalah sebesar Rp9.649.848/ha/tahun dengan demikian pendapatan rata-rata yang diperoleh adalah sebesar Rp7.534.294/ha/tahun. Analisis R/C Ratio pada usahatani kelapa sawit sebesar 1,78.
2. Analisis Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit di Kecamatan Merlung Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Sudianto, 2021).
Analisis Pendapatan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa usahatani kelapa sawit di Kecamatan Merlung Kabupaten Tanjung Jabung Barat dapat menghasilkan produksi sebesar 16.320kg/ha/tahun dengan total
penerimaan sebesar
Rp31.628.160/ha/tahun dan total biaya produksi sebesar Rp9.237.338 ha/tahun. Sehingga diperoleh total pendapatan usahatani kelapa sawit sebesar Rp22.390.822/ha/tahun. Nilai R/C ratio di daerah penelitian adalah 3,42.
3. Analisis Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit Rakyat di Kecamatan Padang Bolak (Pulungan, 2021).
Analisis deskriptif kuantitatif dan analisis pendapatan.
Hasil penelitian, pendapatan usahatani kelapa sawit rakyat di Kecamatan Padang Bolak rata-rata sebesar Rp318.923.520/tahun dimana rata-rata total pendapatan dalam satu tahun yaitu sebesar Rp15.186.827,5/ha/tahun. Rata-rata
biaya produksi
Rp463.086.062/tahun dengan total
No. Judul dan Penulis Analisis Data Hasil
biaya rata-rata per tahun sebesar Rp22.051.717/ha/tahun,
penerimaan usahatani kelapa sawit
rakyat dengan total
Rp782.009.582,3/tahun, selama 1 tahun produksi dan jumlah penerimaan yang diperoleh petani kelapa sawit rakyat rata-rata Rp37.238.544/ha/tahun. Usahatani kelapa sawit rakyat di Kecamatan Padang Bolak secara ekonomis dan finansial layak diusahakan dengan nilai rata-rata R/C ratio sebesar 1,49.
4. Analisis Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit di
Kecamatan Waru
Kabupaten Penajam Utara (Pratiwi, 2020).
Analisis pendapatan
Hasil penelitian menunjukkan rata- rata biaya produksi untuk usahatani kelapa sawit sebesar Rp5.449.786/ha/tahun. Rata-rata penerimaan usahatani kelapa sawit
sebesar sebesar
Rp25.332.427/ha/tahun. Rata-rata pendapatan usahatani kelapa sawit sebesar Rp19.882.641/ha/tahun.
Usahatani kelapa sawit di Kecamatan Waru secara ekonomi menguntungkan berdasarkan nilai R/C ratio sebesar 4,44 atau lebih besar dari 1. Hal ini berarti bahwa untuk setiap tambahan Rp1.000 biaya yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp4.440,00.
5. Analisis Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit di Kecamatan Mersam Kabupaten Batang Hari (Fikri, 2022).
Analisis deskriptif kuantitatif dan analisis pendapatan usahatani.
Pendapatan rata-rata per hektar
adalah sebesar
Rp12.820.117/ha/tahun dengan total biaya produksi sebesar Rp13.332.434/ha/tahun dengan penerimaan sebesar Rp 26.152.551/ha/tahun. Dengan nilai R/C ratio sebesar 1,98.