• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB II A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian - UIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF BAB II A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian - UIR"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

Mengenai perjanjian timbal balik dan perjanjian unilateral dikatakan bahwa perjanjian bersama (kontrak bilateral) adalah perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sutarno mengatakan, kesepakatan bersama adalah kesepakatan yang dibuat dengan menetapkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang membuat kesepakatan. Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata dan dalam

Kontrak timbal balik adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban dasar, seperti dalam jual beli dan sewa. kesepakatan bersama ini. terbagi menjadi dua jenis, yaitu timbal balik tidak sempurna dan timbal balik sepihak. Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang paling banyak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa.

Dasar Hukum Perjanjian

Menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata, setiap perjanjian timbul baik karena hukum maupun karena suatu perjanjian. Landasan hukum perjanjian adalah ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat berlaku sah bagi yang membuatnya. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menjelaskan bahwa segala perjanjian yang dibuat dengan sah adalah sah menjadi undang-undang bagi yang membuatnya.

Artinya apabila para pihak telah memenuhi syarat-syarat sahnya akad, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka akad itu mengikat para pembuatnya. Ketentuan Pasal 1333 KUH Perdata mengatur bahwa kontrak untuk pokoknya sekurang-kurangnya harus mempunyai jenis tertentu.

Tinjauan Umum tentang Kepailitan

Konsep kepailitan

Ketentuan Pasal 1 angka 1 UUKPKPU menyatakan bahwa kepailitan adalah perampasan umum atas seluruh harta kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan likuidasinya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. . . Ketentuan pasal 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap perjanjian adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Istilah utang dalam Undang-Undang Kepailitan Lama atau Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) yaitu.

34; Seorang debitur yang mempunyai dua orang kreditor atau lebih dan tidak membayar sedikit-dikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit berdasarkan penetapan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan. dari satu atau lebih krediturnya. Penjelasan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan Lama hanya menyatakan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok atau bunganya; sedangkan pengertian utang itu sendiri adalah tidak dijelaskan tidak Pengertian utang dalam ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU sangat luas yang ditunjukkan dengan kata “dapat dinyatakan dalam uang”, sehingga mencakup segala bentuk kinerja, baik yang berupa suatu kewajiban untuk menyerahkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, asalkan dapat dinyatakan dalam bentuk uang, maka itu semua dapat disebut utang.

Pengajuan permohonan pernyataan pailit harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, karena apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka permohonan pernyataan pailit tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. 1) UUKPKPU, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit adalah sebagai berikut:115. Apabila syarat-syarat itu terpenuhi, maka menurut ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU, hakim harus menyatakan pailit, tidak dapat menyatakan pailit. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU seringkali menjadi alasan Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pernyataan pailit.116.

Pembuktian sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) adalah pembuktian sederhana adanya: 117. Kewajiban mempunyai sekurang-kurangnya dua orang kreditor atau lebih, yang disebut concursus creditorum, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan pembagian harta pailit kepada para pihak. Syarat-syarat keadaan dimana debitur berhenti membayar atau tidak mampu membayar utangnya, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka (6) UUKPKPU tentang pengertian utang.

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau hutang dapat timbul karena kontrak atau karena hukum. Menurut syarat jatuh tempo dan kolektibilitas, berdasarkan penjelasan ketentuan ayat pertama Pasal 2 UUKPKPU, kewajiban membayar utang yang telah jatuh tempo baik karena telah disepakati percepatan batas waktu penagihan, yang diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh pejabat yang berwenang atau karena keputusan pengadilan atau arbiter atau majelis arbiter 125 Dengan demikian, persyaratan ini berlaku terhadap utang yang jatuh tempo karena hukum atau perjanjian.

Dasar Hukum Kepailitan

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur bahwa seluruh harta benda debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang ada atau yang baru di kemudian hari, dibebankan pada seluruh kewajiban perseorangan, dan Pasal 1132 KUH Perdata mengatur bahwa benda-benda itu merupakan jaminan bersama. bagi siapa saja yang berhutang kepadanya, maka penghasilan dari penjualan barang itu akan dibagi menurut perimbangan, yaitu menurut besarnya tagihan masing-masing, kecuali ada alasan yang sah untuk diutamakan di antara para debitur. Kedua pasal tersebut pada dasarnya mengatur tentang pemberian jaminan kepada kreditur agar debitur berjanji untuk tetap memenuhi kewajibannya, dan kewajiban ini dijamin dengan harta kekayaan debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pasal 1131 KUH Perdata memuat asas bahwa setiap orang bertanggung jawab atas utang-utangnya, yang tanggung jawabnya terdiri atas penyitaan harta bendanya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan menjualnya bila diperlukan untuk melunasi utang-utangnya (kesalahan bukan pokok).

130 Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum Bisnis, volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hal. 22. . haftung),131 sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata memuat asas bahwa masing-masing kreditur mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditor-kreditor yang lain (asas parity creditorum), kecuali ditentukan oleh undang-undang karena mempunyai alasan-alasan yang sah untuk mempunyai prioritas di atas yang lain. kreditur .132 . Undang-undang kepailitan yang mula-mula berlaku di Indonesia adalah Undang-undang Kepailitan yang dimuat dalam Berita Negara Tahun 1905 No. Ketika krisis moneter meletus pada tanggal 22 April 1998, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Kepailitan atau Peraturan Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu PK) yang mulai berlaku. pada tanggal 20 Agustus 1998 yaitu 120 hari setelah proklamasi.

Kemudian pada tanggal 9 September 1998, Perpu PK tersebut diundangkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang Ketentuan Perpu No. Ayat 1 Pada bagian akhir Undang-undang ini disebutkan bahwa Perpu PK selanjutnya dilampirkan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini dan disebut dengan Undang-Undang Kepailitan.

Kurator

Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Mengenai barang-barang yang akan diperolehnya, maka debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum untuk memperoleh barang-barang yang akan diperolehnya, tetapi perolehan itu kemudian menjadi bagian dari harta warisan.135 Kepailitan debitur mempunyai banyak akibat hukum yang menjadi tanggung jawabnya. dikenakan. dia menurut hukum. 134 Lihat ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tujuan penerapan model ini adalah agar akibat hukum tersebut tidak berlaku dengan sendirinya, melainkan baru berlaku apabila dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang masuk akal untuk melaksanakannya.138 Akibat hukum kepailitan bagi kepailitan debitur dapat mencakup, antara lain, diperbolehkannya ganti rugi, akad timbal balik dapat dilanjutkan, berlaku moratorium eksekusi, berlaku Actio Pauliana, berlaku penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur, harus dilakukan tindakan hukum oleh atau terhadap wali amanat, transaksi forward dihentikan, pekerja dapat diberhentikan, hak retensi tidak hilang, debitur bangkrut, dapat disandera, tetapi harta pailit.

140 Hal ini dapat dilihat pada pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam menjalankan peranannya, wali amanat harus mampu mengurus dan mengurus seluruh harta pailit agar nilai harta pailit dapat sebesar-besarnya untuk memenuhi seluruh kewajiban debitur pailit kepada para kreditornya. Untuk memaksimalkan harta pailit debitur, wali amanat mempunyai kewenangan untuk membatalkan perbuatan hukum.

Wali amanat mulai menyelesaikan harta pailit setelah harta pailit bangkrut dan berakhirnya usaha debitur. Sehubungan dengan tugas wali amanat untuk memaksimalkan nilai harta pailit, maka ada 2 (dua) pilihan yang dapat digunakan oleh wali amanat agar harta pailit tetap dalam keadaan perseroan berfungsi. Penjualan harta pailit dilakukan apabila wali amanat berpendapat bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk kelangsungan usaha debitur pailit akan lebih besar dari pada keuntungan yang dapat diperolehnya, dan penjualan itu harus dengan nilai yang setinggi-tingginya.

145 Timur Sukirno, Tanggung Jawab Kurator Atas Harta Kepailitan dan Penerapan Actio Pauliana, dalam Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Hutang dan Piutang Melalui Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Alumni, Bandung, 2001, hal. 369-370. Namun tidak dilarang apabila wali amanat membagi hasil penjualan harta pailit sebelumnya secara proporsional sepanjang hal itu dianggap menguntungkan oleh wali amanat. 153 Lihat ketentuan Pasal 202 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Actio Pauliana dalam KUHPerdata

Ada satu unsur penting yang menjadi tolok ukur dalam pengaturan Actio Pauliana dalam Pasal 1341 KUH Perdata, yaitu unsur itikad baik. Pembuktian ada atau tidaknya unsur itikad baik menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang tidak wajib atau wajib. Jika kita mencermati Pasal 1341 KUH Perdata, kita dapat melihat ada 2 (dua) jenis perbuatan hukum yang tidak wajib, antara lain sebagai berikut: 159.

Perbuatan hukum timbal balik (Pasal 1341 ayat (1) KUHPerdata) adalah perbuatan hukum yang dilakukan secara timbal balik oleh dua pihak. Perbuatan hukum sepihak (Pasal 1341 ayat (2) KUH Perdata) adalah perbuatan hukum yang mana hanya satu pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi pihak lainnya.

Actio Pauliana dalam UU Kepailitan dan PKPU

Ayat (3) Perbuatan hukum debitur yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan/atau undang-undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penjelasan Pasal 41 ayat (2) yang dimaksud dengan “pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan” dalam ketentuan ini termasuk pihak yang untuk kepentingannya diadakan perjanjian itu. Sedangkan penjelasan Pasal 41 ayat (3) adalah perbuatan itu harus dilakukan demi hukum, misalnya. kewajiban membayar pajak.

Merupakan pembayaran atau pemberian jaminan atas hutang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih; Dilakukan oleh debitur yang merupakan suatu badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam suatu kelompok dimana debitur tersebut menjadi anggotanya; Ketentuan pada huruf c, d, e, dan f berlaku mutatis mutandis terhadap hal-hal yang dilakukan Debitur dengan atau untuk kepentingan:.

Referensi

Dokumen terkait

1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama

Setelah melihat ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata maupun dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dilihat bahwa pada intinya

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa, kredit adalah penyedian uang

1. Masing-masing pihak dalam mengadakan perjanjian dapat menyimpang, dari ketentuan undang-undang, dalam hal ini mengenai suatu hal masing-masing pihak menentukan

Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa debitor yang tidak dapat atau

Diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada hakekatnya menyatakan bahwa

Sedangkan debitur menurut ketentuan Pasal 1 angka 3undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan debitur adalah orang yangmempunyai utang karena perjanjian

Pengertian tentang utang dapat dilihat dalam pasal 1 Angka 6 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut