• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN

2.1. Perkawinan

Perkawinan ialah merupakan suatu ikatan sosial atau suatu ikatan perjanjian hukum antara pribadi (pria dan wanita), dengan tujuan membentuk suatu hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi tersebut. Perkawinan umumnya berlangsung dengan adanya suatu upacara perkawinan yang mana upacara perkawinan ini menandakan bahwa perkawinan telah berlangsung dan telah diresmikan. Tujuan daripada perkawinan ini tidaklah lain untuk membentuk suatu keluarga. Pada saat perkawinan telah berlangsung maka akan ada suatu hubungan hukum antara suami dan istri, hubungan hukum tersebut berisikan hak dan kewajiban masing-masing baik istri maupun suami. Perkawinan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap harta suami dan istri1.

2.1.1 Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat karena dapat melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita2. Para sarjana hukum antara lain Asser, Scholten, dan Wiarda memberikan definisi perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.3

1Ali Afandi, Op.cit, h. 93-94.

2Salim H.S, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h. 61.

3Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En

(2)

Melihat perkawinan dalam lingkungan peradaban Barat dan di dalam lingkungan sebagian peradaban bukan Barat, perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga bersifat „religius‟, menurut tujuan suami istri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan.4

Dalam ajaran agama Hindu istilah perkawinan biasa disebut pawiwahan. Pawiwahan berasal dari kata dasar “wiwaha”. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki arti yang sangat penting. Wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu bersifat sakral dan hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.5

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Di Indonesia juga memberikan definisi perkawinan, yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut, sehingga terlepas dari pengertian hidup bersama yang dipandang dari sudut biologis, maka perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku di tiap-tiap negara yang mengatur suatu hidup bersama tertentu antara laki-laki dan perempuan6. Selanjutnya apabila kita melihat definisi perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, maka dapat dilihat pada Pasal 1, yang menyatakan bahwa : „Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa‟.

4Titik Triwulan, 2011, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 100.

5Rina Anggraini, tanpa tahun, “Pernikahan Agama Hindu”, URL : http://www.academia.edu/6498041/Pernikahan_Agama-Hindu, diakses 22 Juli 2015.

(3)

Di Indonesia sendiri hukum yang mengatur mengenai perkawinan masih bersifat pluralistis, walaupun Indonesia telah memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang perkawinan yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi berdasarkan Pasal 66, Undang Perkawinan, pada akhirnya dinyatakan kembali bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak secara tuntas mengatur materi hukum perkawinan, sehingga dengan demikian baik Undang-Undang Perkawinan maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) masih berlaku di Indonesia.

Melihat definisi mengenai perkawinan jika berdasarkan KUH Perdata, maka terdapat dalam Pasal 26, yang mana isi dari pasal tersebut menyatakan bahwa perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan-hubungan keperdataan oleh undang-undang. Menurut Subekti, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata, arti daripada pernyataan Pasal 26 KUH Perdata tersebut ialah bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek), sehingga dalam hal ini syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.7

Ketentuan dalam Pasal 26 KUH Perdata, jika diamati kembali akan terlihat berbeda dengan ketentuan pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, yang sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya dan terlihat bahwa definisi perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan lebih memiliki aspek keagamaan jika dibandingkan dengan pengertian perkawinan berdasarkan KUH Pedata, hal ini ditandai dengan disebutkannya kalimat “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada pengertian perkawinan yang terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan.

(4)

Titik Triwulan, dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, menjelaskan lima unsur perkawinan apabila melihat pada ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, pertama, bahwa dalam suatu perkawinan harus terdapat ikatan lahir batin, karena tidaklah cukup jika hanya terdapat ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, namun keduanya haruslah terdapat dalam suatu perkawinan. Ikatan lahir dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang suami dan istri (hubungan formal). Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan yang yang tidak tampak dan hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya (hubungan nonformal).8

Selanjutnya menurut Titik Triwulan, unsur perkawinan yang kedua ialah ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita sebagaimana yang diakui di Indonesia yang pada dasarnya menganut asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinannya. Dengan demikian maka Undang-Undang Perkawinan ini tidak melegalkan hubungan sesama jenis atapun sesama waria. Kemudian unsur yang ketiga, Undang-Undang Perkawinan ini memandang seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri apabila telah memenuhi syarat-syarat perkawinan yang sah, baik syarat intern maupun syarat ektern.9

Lanjutnya menurut Titik Triwulan, unsur perkawinan yang keempat adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, yang mana membuat keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan daripada berlangsungnya perkawinan, maka dengan demikian diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan, maka tidak akan bercerai untuk selama-lamanya kecuali karena kematian. Unsur perkawinan yang kelima ialah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu Undang-Undang Perkawinan mendasarkan hubungan perkawinan atas dasar kerohanian, ini merupakan

8Titik Triwulan, Op.cit, h. 104.

(5)

konsekuensi logis dari negara yang berdasarkan Pancasila dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa.10

Berdasarkan apa yang dijabarkan oleh Titik Triwulan tersebut mengenai lima unsur perkawinan berdasarkan definisi perkawinan yang terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, kiranya adalah yang paling tepat untuk digunakan dalam mendefinisikan suatu perkawinan.

2.1.2 Syarat Sahnya Perkawinan

Dalam ajaran agama Hindu, syarat-syarat wiwaha ialah :

1. perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu;

2. untuk mengesahkan perkawinan hukum hindu harus dilakukan oleh pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan tersebut;

3. suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai menganut agama Hindu;

4. berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melakukan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian acara wiwaha;

5. calon mempelai tidak terikat oleh suatu perkawinan;

6. tidak ada kelainan seperti banci, kuning (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani;

7. calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun, wanita minimal 18 tahun; 8. calon mempelai tidak memiliki hubungan darah sepinda.11

10Ibid.

(6)

Disamping itu agar suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, selain berdasarkan agama maka juga harus terlebih memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan KUH Perdata, syarat sahnya perkawinan dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1. Syarat Intern/syarat material/syarat subjektif, yang dibedakan atas absolute dan relatif, yang terdapat dalam Pasal 27 sampai dengan 40 KUH Perdata;

2. Syarat ekstern/syarat formal/syarat objektif, yang terdapat dalam Pasal 50 sampai dengan 84 KUH Perdata.12

Syarat intern yang terdapat dalam KUH Perdata sebagai syarat sahnya perkawinan, kemudian juga terbagi atas dua jenis, yaitu syarat intern absolute yang mana diatur dalam Pasal 27, 28, 29, 34, 35, 39, 40, dan syarat intern relatif diatur dalam Pasal 30, 31, 32, dan Pasal 33KUH Perdata. Syarat intern absolute yang terdapat dalam KUH Perdata, pada intinya mengatur :

1. Pasal 27 KUH Perdata : menganut asas monogami, yaitu pada saat yang sama seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan sebaliknya;

2. Pasal 28 KUH Perdata : harus ada kata sepakat (persetujuan) kedua calon mempelai;

3. Pasal 29 KUH Perdata : harus mempunyai batas umur minimum tertentu, pria 18 tahun dan wanita 15 tahun;

4. Pasal 34 KUH Perdata : seorang perempuan tidak diperkenankan kawin lagi, melainkan setelah lewat waktu 300 hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.

(7)

Ketentuan ini untuk mencegah confusio sanguinis (kekacauan darah), karena waktu 300 hari dianggap paling lama untuk kandungan;

5. Pasal 35 KUH Perdata : anak sah yang belum dewasa untuk kawin, memerlukan izin dari ayah dan ibunya;

6. Pasal 39 KUH Perdata : untuk anak luar kawin yang diakui dan masih belum dewasa, harus ada izin dari wali pengawas mereka;

7. Pasal 40 KUH Perdata : anak luar kawin yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas selama ia masih di bawah umur.13

Sedangkan syarat intern relatif, pada intinya mengatur :

1. Pasal 30 dan 31 KUH Perdata : larangan perkawinan antara mereka yang memiliki hubungan keluarga, yaitu antara wangsa dan antaripar;

2. Pasal 32 KUH Perdata : larangan perkawinan bagi mereka dikarenakan adanya putusan hakim yang menyatakan mereka terbukti zina (overspel);

3. Pasal 33 KUH Perdata : ayat (1) larangan perkawinan karena perkawinan yang sebelumnya, harus menunggu jangka waktu satu tahun, dan ayat (2) perkawinan yang setelah kedua kalinya antara orang-orang yang sama adalah terlarang.14

Kemudian selain syarat intern, terdapat juga syarat ekstern sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, KUH Perdata mengatur syarat ekstern perkawinan dan terdapat dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 84, yang mana pada intinya adalah mengatur mengenai :

13Ibid, h. 53-54. 14Ibid, h. 54.

(8)

1. Pasal 50 sampai dengan 58 KUH Perdata : mengatur mengenai formalitas-formalitas yang harus didahului perkawinan, semisal pemberitahuan tentang maksud untuk kawin, pengumuman tentang maksud untuk kawin, dan lainnya;

2. Pasal 59 sampai dengan 70 KUH Perdata : mengatur mengenai pencegahan perkawinan;

3. Pasal 71 sampai dengan Pasal 82 KUH Perdata : mengatur mengenai melangsungkan perkawinan, seperti perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumuman, perkawinan harus dilaksanakan di tempat umum dan di hadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu calon mempelai dengan dihadiri oleh dua orang saksi, dan lainnya;

4. Pasal 83 dan Pasal 84 KUH Perdata : mengatur mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.15

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Perkawinan dapat dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat-syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu :

1. Kesepakatan mereka

2. Kecakapan

3. Izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan.

(9)

Sedangkan syarat ekstern adalah syarat-syarat yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12, yaitu sebagai berikut :

1. Pasal 6 ayat (1) : Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Pasal 6 ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan orang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Pasal 7 ayat (1) : Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah berumur 16 (enam belas) tahun.

4. Pasal 7 ayat (2) : Dalam hal terjadi penyimpangan pada ayat (1) maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan.

5. Pasal 8 : Larangan-larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat.

6. Pasal 9 : Seseorang yang telah terikat tali perkawinan tidak dapat kawin lagi kecuali dalam kondisi yang memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5.

7. Pasal 10 : Perkawinan setelah yang kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang.

8. Pasal 11 : mengatur mengenai “waktu tunggu” seorang wanita untuk dapat kawin lagi apabila telah putus perkawinan yang sebelumnya.

9. Pasal 12 : Tata cara pelaksanaan perkawinan.16

(10)

2.1.3 Akibat Hukum dari Perkawinan

Perkawinan yang sudah berlangsung dapat saja tidak memenuhi syarat perkawinan baik syarat materiil maupun syarat formil. Tidak terpenuhinya syarat materiil dan syarat formil mengakibatkan perkawinan itu tidak sah. Tidak sahnya perkawinan terbagi atas dua macam, yaitu tidak sah relatif dan tidak sah absolut. Perkawinan dapat dinyatakan tidak sah relatif apabila tidak memenuhi salah satu syarat atau beberapa syarat materil perkawinan, yaitu :

1. Ada persertujuan antara kedua calon mempelai;

2. Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita sudah berumur 16 tahun;

3. Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun;

4. Tidak terikat dalam satu perkawinan;

5. Tidak bercerai untuk ketiga kali dengan suami/istri yang sama yang hendak dikawini;

6. Pemberitahuan pegawai pencatat perkawinan;

7. Tidak ada yang mengajukan pencegahan;

8. Ada persetujuan dari istri/istri-istri;

9. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

10. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.17

16Ibid, h. 55-57.

(11)

Selain perkawinan dapat dinyatakan tidak sah relatif, perkawinan juga dapat dinyatakan tidak sah absolut. Perkawinan dapat dinyatakan tidak sah absolut, apabila :

1. Syarat materil sudah lewat masa tunggu (bagi janda) atau tidak ada larangan perkawinan;

2. Syarat formal dilakukan menurut masing-masing agama. Artinya perkawinanyang telah dilangsungkan itu masih dalam waktu tunggu bagi janda, atau antara mempelai pria dan wanita ada larangan perkawinan, atau perkawinan itu dilangsungkan tidak menurut hukum agama mereka yang kawin itu.18

Perkawinan yang telah dilangsungkan dan memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan maka dinyatakan dan diakui sebagai perkawinan yang sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum dari perkawinan yang sah adalah :

1. Timbulnya hubungan hukum antara suami dan istri;

2. Timbulnya hubungan hukum antara orang tua dan anak;

3. Terhadap harta kekayaan dalam perkawinan.19

Apabila suatu perkawinan dilaksanakan secara sah di mata hukum, maka setelah perkawinan berlangsung tentu terdapat akibat hukum yang menyertainya. Akibat hukum yang ada dalam suatu perkawinan tidak hanya menyangkut mengenai hubungan suami istri, tetapi juga menyangkut terhadap harta kekayaan dan kedudukan anak di dalam suatu perkawinan.20

Akibat hukum yang pertama setelah berlangsungnya perkawinan ialah timbulnya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak dan

18Ibid, h. 100-101. 19Ibid, h. 1001.

(12)

kewajiban suami dan istri, apabila dilihat pada KUH Perdata, maka terdapat pada Pasal 103 sampai dengan Pasal 107 dan Pasal 111 sampai dengan Pasal 118 KUH Perdata yang mana secara garis besar mengatur mengenai :

1. Suami dan istri harus saling setia, menolong, dan membantu;

2. Suami adalah kepala dari persatuan suami istri;

3. Suami harus membantu istrinya;

4. Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya;

5. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga yang baik;

6. Suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan istri;

7. Setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib tinggal bersama dengan suami dalam rumah dan wajib mengikutinya dimana ia tingal;

8. Istri tidak punya tempat tinggal lain dari pada tempat tinggalnya suami, dan kewarganegaraan suami menentukan kewarganegaraan istri.21

Selanjutnya melihat hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami dan istri berdasarkan Undang Perkawinan, maka dapat dilihat dari Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan, yang mana secara garis besar adalah sebagai berikut :

1. Suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumahtangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

(13)

2. Hak dan kedudukan suami dan istri adalah seimbang dalam kehidupan rumahtangga dan pergaulan di dalam masyarakat, dan baik istri maupun suami berhak untuk melakukan perbuatan hukum

3. Suami dan istri harus memiliki kediaman yang tetap yang ditentukan secara bersama-sama.

4. Suami dan istri harus saling mencintai, saling menghormati, saling setia, dan memberikan bantuan lahir dan batin kepada satu sama lain.22

Akibat hukum kedua yang lahir karena adanya perkawinan adalah akibat hukum mengenai kedudukan anak. Dalam KUH Perdata dikenal dua macam anak, yaitu anak sah dan anak luar kawin, yang mana ketentuan mengenai anak sah diatur dalam Pasal 250 sampai dengan Pasal 271a KUH Perdata, dan ketentuan mengenai anak luar kawin diatur dalam Pasal 272 dan Pasal 31 jo. 273 KUH Perdata.

Akibat hukum dari suatu perkawinan atas kedudukan anak juga diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu pada Pasal 42 sampai dengan Pasal 44, yang mana pada intinya pasal-pasal ini mengatur mengenai anak sah dan anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan Pasal 42, Undang-Undang Perkawinan, dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Sedangkan pada pasal-pasal berikutnya mengatur mengenai kedudukan daripada anak di luar kawin, yang mana berdasarkan undang-undang anak diluar kawin hanya memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunya dan keluarga ibunya .

Ketentuan yang semula menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sejak dikeluarkannya

(14)

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010, maka ketentuan tersebut berubah dan dinyatakan bahwa tidak hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya anak tersebut memiliki hubungan kekerabatan tetapi juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum memiliki hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.

Akibat hukum terakhir yang lahir dikarenakan adanya suatu perkawinan adalah akibat hukum di bidang harta kekayaan. Berdasarkan KUH Perdata, Pasal 119 KUH Perdata, dinyatakan bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan antara suami dan istri secara hukum (van rechtswege), terjadilah kebersamaan harta perkawinan sejauh hal tersebut tidak menyimpang dari perjanjian perkawinan (huwelijkse voorwarden). Harta bersama disini yang dimaksud adalah meliputi semua aktiva dan pasiva, yang diperoleh baik oleh suami maupun istri selama masa perkawinan, termasuk modal, bunga, bahkan juga utang-utang yang timbul akibat perbuatan melanggar hukum.23

Persatuan bulat (seluruhnya) harta kekayaan terjadi jika suami dan istri tidak mengadakan perjanjian kawin. Menurut ketentuan dalam Pasal 120 dan Pasal 121 KUH Perdata, persatuan harta kekayaan seluruhnya yang dimaksud ialah harta kekayaan suami dan istri, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian, termasuk juga yang diperoleh secara cuma-cuma (hibah, warisan), segala beban suami dan istri yang berupa utang suami dan istri, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan24. Suami istri yang kawin

23Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit, h. 53-54.

(15)

dalam persatuan harta kekayaan sepenuhnya, adalah bersama-sama berhak atas harta tersebut, apa yang ada di dalam harta tersebut adalah milik suami dan istri secara bersama-sama.25

Selanjutnya, melihat akibat hukum di bidang harta kekayaan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, maka terdapat dalam Pasal 35, yang mana mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dinyatakan bahwa :„(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain‟.

Ketentuan dari Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan tersebut diatas membedakan harta kekayaan dalam perkawinan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Harta bersama, yaitu harta kekayaan yang diperoleh suami dan istri dalam ikatan perkawinan, yang mana dikuasai secara bersama-sama oleh suami istri, dan suami istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak {Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan};

2. Harta bawaan, harta yang dikuasai oleh masing-masing pemiliknya, sehingga suami menguasai harta miliknya begitupun istri menguasai harta miliknya. Masing-masing suami istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta kekayaannya sepanjang tidak ditentukan lain {Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan};

3. Harta perolehan, secara prinsipnya harta perolehan sama dengan harta bawaan, yaitu masing-masing suami dan istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya. Apabila pihak suami istri menentukan lain,

25Hartono Soerjopratikojo, 1883, Akibat Hukum Dari Perkawinan Menurut Sistem Burgelijk Wetboek, Seksi Notariat Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Yogyakarta, h. 76-77.

(16)

misalnya, dengan perjanjian perkawinan, penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian, harta perolehan dibawa dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditetukan lain dengan perjanjian perkawinan.26

Asas sifat dan kebersamaan harta perkawinan yang terdapat pada Pasal 35 ayat (1) ini terlihat juga dalam Pasal 119 KUH Perdata. Disamping itu Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang pada intinya menyatakan apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan oleh calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan maka akan terjadi “Kebersamaan Harta Kekayaan” antara suami istri itu dikarenakan ketentuan Undang-Undang. Namun adanya ketentuan pada Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, membuktikan bahwa walaupun ada kebersamaan secara bulat (algehele gemeenschap van goederen), tetapi ada kemungkinan barang-barang tertentu yang diperoleh suami dan istri secara cuma-cuma, yaitu karena pewarisan ataupun hadiah, tidak masuk dalam harta bersama tetapi menjadi milik pribadi masing-masing.27

Untuk seorang suami yang beristri lebih dari seorang, maka berdasarkan Pasal 65, Undang-Undang Perkawinan, diatur sebagai berikut:

a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada para istri dan anaknya b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta bersama yang telah ada

sebelum perkawinan dengan istri kedua

c. Semua istri memiliki hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

26Abdulkadir Muhammad, Op.cit, h. 109-110.

27Ibid.

(17)

2.2. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan apabila ditinjau secara sosiologis memang kurang cocok dengan kepribadian masyarakat Bali yang memiliki pandangan hidup paguyuban bukan individualis sebagaimana pandangan hidup orang-orang Barat. Namun demikian masyarakat Bali sebagai masyarakat di dalam negara yang sedang berkembang, dalam pergaulan internasional sedikit banyak telah dipengaruhi oleh budaya bangsa asing yang menyebabkan mulai adanya sikap individualis pada masyarakat golongan tertentu atau pada perseorangan.

Dengan mulai adanya kesadaran bahwa tidak semua sikap individualis bersifat negatif karena dirasakannya dalam hal mempertahankan hak dan menekankan adanya kewajiban maka sikap individualis sangat berguna, dan pada umumnya suatu perjanjian perkawinan dibuat dengan alasan :

1. Apabila terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak lain;

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang besar;

3. Kedua belah pihak memiliki usaha sendiri, sehingga apabila salah satu mengalami bangkrut maka pihak yang lain tidak tersangkut;

4. Atas utang-utang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan betanggung gugat sendiri-sendiri.28

Di Indonesia ketentuan hukum yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan terdapat dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 179 KUH Perdata, dan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan.

(18)

2.2.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan

Sebelum mengetahui definisi dari perjanjian perkawinan, pertama-tama harus diketahui apa yang dimaksudkan dengan perjanjian. Definisi dari perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Melihat dari ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, maka unsur-unsur dari perjanjian ialah :

1. Suatu perbuatan;

2. Antara sekurangnya 2 (dua) orang;

3. Perikatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji.29

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, maka syarat-syarat sahnya perjanjian ialah : 1. Sepakat mereka yang mengikatnya dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, yang artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.30

29Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, h. 7.

30Salim HS, Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak & Memorandum Of

(19)

Dalam ranah hukum perkawinan ternyata juga dikenal adanya perjanjian, yang dinamakan dengan perjanjian perkawinan. Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya31. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara kedua pihak, yang mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu, dengan demikian kata perjanjian jika dihubungkan dengan kata perkawinan akan mencakup pembahasan mengenai janji kawin, sebagai perjanjian luhur antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan, dan pengertian perjanjian perkawinan persatuan atau pemisahan harta kekayaan pribadi calon suami dan calon istri yang menjadi objek perjanjian.32

Walaupun demikian, perjanjian perkawinan tidak dapat disamakan dengan perjanjian pada umumnya, karena perjanjian pada umumnya terletak pada buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Perikatan, dan hanya mengatur hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih yang terletak di lapangan harta kekayaan33. Sedangkan perjanjian perkawinan terletak pada buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Orang, dan hanya mengatur perjanjian yang dibuat oleh suami istri.

Menurut Titiek Triwulan, perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka34. Sedangkan menurut Ali Afandi, perjanjian

31Damanhuri, Op.cit, h. 1.

32Wirjono Projodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, h. 11.

33Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 1.

(20)

perkawinan adalah perjanjiannyang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta kekayaan.35

Perjanjian perkawinan juga diatur dalam KUH Perdata, yaitu dimulai pada Pasal 139 sampai dengan Pasal 179 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 139 KUH Perdata, dinyatakan bahwa : „Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum‟. Dengan demikian berdasarkan Pasal 139 KUH Perdata, maksud pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 119 KUH Perdata, dengan adanya perjanjian perkawinan para pihak bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi objeknya.36

Perjanjian perkawinan juga diatur dalam Pasal 29, Undang-Undang Perkawinan, yang mana pada intinya menyatakan bahwa suatu perjanjian perkawinan diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan. Hanya saja dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak diatur mengenai materi dari perjanjian perkawinan sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, hal inilah yang menjadi perbedaan dari ketentuan perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan.

2.2.2 Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan

35Ali Afandi, Op.cit, h. 172. 36Titik Triwulan, Op.cit, h. 121.

(21)

Perjanjian perkawinan diatur dalam KUH Perdata dan tentunya Undang-Undang Perkawinan. Pada KUH Perdata ketentuan mengenai perjanjian perkawinan termasuk dalam bagian buku I tentang orang, yang terdapat pada Pasal 139 sampai dengan Pasal 167, yang pada intinya mengatur mengenai :

1. Perjanjian perkawinan harus dibuat secara notarial, begitu pula perubahannya, apabila tidak maka diancam batal demi hukum;

2. Perjanjian perkawinan boleh terdapat beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar pesatuan harta kekayaan tetapi tidak boleh melanggar hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan;

3. Perjanjian perkawinan tidak boleh berisikan ketentuan yang mengurangi segala hak yang disandarkan pada suami sebagai suami dan kepala keluarga;

4. Perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi kekuasaan suami terhadap anak pada saat perpisahan meja dan ranjang;

5. Perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi hak yang diberikan undang-undang kepada suami atau istri yang hidup terlama;

6. Perjanjian perkawinan tidak boleh berisikan hal untuk melepas hak-hak yang diberikan undang-undang kepada suami atau istri atas harta peninggalan keluarga;

7. Perjanjian perkawinan tidak boleh memperjanjikan bahwa suatu pihak harus membayar sebagian utang yang lain yang lebih besar daripada bagian keuntungannya37.

(22)

Melihat daripada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata mengenai perjanjian perkawinan, maka dengan demikian ada 3 kemungkinan yang dapat menjadi isi dari perjanjian perkawinan:

1. Perjanjian perkawinan yang isinya mengenai tidak ada sama sekali persatuan harta kekayaan. Dalam hal ini dapat ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh istri untuk keperluan rumahtangga dan pendidikan anak (Pasal 140 ayat (2) dan Pasal 145 KUH Perdata);

2. Perjanjian perkawinan yang isinya mengenai persatuan hasil dan pendapatan, sehingga harta persatuan hanya meliputi hasil dan pendapatan saja tidak termasuk dengan kerugian (Pasal 164 KUH Perdata);

3. Perjanjian perkawinan yang isinya mengenai persatuan untung dan rugi, sehingga dalam persatuan ini segala untung dan rugi selama perkawinan, harus dipikul bersama-sama (Pasal 155 KUH Perdata).38

Perjanjian perkawinan juga diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan terdapat pada Pasal 29, yang menyatakan bahwa :

“(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. (3) perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) selama perkawinan berlangsung

37Rachmadi Usman, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Keluarga Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 288.

(23)

perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.

Setelah melihat ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata maupun dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dilihat bahwa pada intinya perjajian perkawinan dapat dilakukan oleh calon pasangan suami istri pada saat sebelum ataupun saat perkawinan yang mana isi dari perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari ketentuan undang-undang jika menyangkut masalah harta kekayaan dan tidak boleh melanggar ketentuan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan, serta tidak memperjanjikan hal-hal yang menyimpang mengenai hak dan kewajiban suami dan istri sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Namun mengenai hal-hal apa saja yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, sehingga suami istri dapat secara bebas menentukan isi dari perjanjian perkawinannya.

Melihat daripada ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan mengenai perjanjian perkawinan, dapat kita lihat perbedaannya yaitu tekanan KUH Perdata pada „persatuan harta kekayaan‟, sedangkan Undang-Undang Perkawinan lebih terbuka tidak saja yang menyangkut perjanjian kebendaan tetapi juga yang lain39. Oleh sebab perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan tidak hanya menyangkut mengenai persatuan harta kekayaan tetapi juga yang lainnya, maka menurut Abdulkadir Muhammad, selama tidak melanggar undang-undang, agama, dan kesusilaan, isi perjanjian itu dapat berupa :

1. Mengenai penyatuan harta kekayaan suami dan istri, penguasaan, dan pengawasan;

2. Perawatan harta kekayaan suami dan istri;

3. Suami dan istri melanjutkan kuliah dengan harta bersama;

(24)

4. Dalam keluarga mereka sepakat untuk melaksanakan keluarga berencana, dan sebagainya.40

Adanya kebebasan dalam menentukan isi daripada perjanjian perkawinan bukan berarti perjanjian perkawinan dapat dibuat seenaknya atau dapat dibuat dibawah tangan saja. Untuk suatu perjanjian perkawinan itu dianggap sah, maka Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan tersebut haruslah :

1. Perjanjian perkawinan harus dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan

2. Perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat;

3. Isi daripada perjanjian perkawinan tidak melanggar ketentuan undang-undang, agama, dan susila;

4. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;

5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah;

6. Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kata Indonesia berasal dari kata latin: Indus yang berarti India dan dari kata Yunani nesos yang berarti pulau, sedangkan bentuk jamaknya adalah nesioi artinya

Penelitian yang dilakukan Mailina Harahap (2017) dengan judul “Kajian modal sosial pada usaha tani sayur” Studi kasus pada Kelompok Tani Barokah Kelurahan Tanah

Jurusan Fisika Fakultas MIPA UB dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang bagus baik berupa gedung, ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, internet, dan

Kata yang menjadi kandidat jawaban ialah kata yang memiliki entitas sesuai dengan kata tanya pada query pertanyaan. Dalam perolehan entitas jawaban, yang perlu

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui struktur novel Tempurung (2) mengetahui perjuangan tokoh perempuan (3) mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam

Tujuan penulis dalam tugas _ akhir ini _ adalah merancang suatu Aplikasi Travelshop untuk penjualan tiket bagi perusahaan travel berbasis Android yang membantu

Penelitian menemukan keterkaitan konsep “sederhana” yang mendukung sustainabilitas desain Masjid Al-Irsyad Satya Kota Baru Parahyangan sekaligus juga menggarisbawahi