• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Bantuan Hidup Lanjut - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Bantuan Hidup Lanjut - Unud"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Anastasia Anita Rusli dr. Tjahya Aryasa E.M.,SpAn

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2017

(2)

iii DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Daftar Gambar iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 3

2.2 Obat-obatan dan Cairan 3

2.2.1 Jalur Obat-obatan dan Cairan 3

2.2.2 Obat-obatan 7

2.2.3 Cairan 12

2.3 Elektrokardiografi 13

2.4 Terapi Fibrilasi 16

BAB III KESIMPULAN 20

DAFTAR PUSTAKA 21

(3)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Jalur Intraosseous 5

Gambar 2.2 Jalur Intra Jantung 6

Gambar 2.3 Jalur Vena Sentral 7

Gambar 2.4 Ventrikel Asistol 13

Gambar 2.5 Disosiasi Elektromekanik 14

Gambar 2.6 Irama Idioventrikular 14

Gambar 2.7 Irama Ventricular Escape 15

Gambar 2.8 Fibrilasi Ventrikel 15

Gambar 2.9 Takikardi Ventrikel 16

Gambar 2.10 Posisi Anterolateral 18

Gambar 2.11 Posisi Anteroposterior 18

Gambar 2.12 Algoritma Resusitasi Henti Jantung 19

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat disebabkan oleh suatu penyakit ataupun akibat kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan, dan lain-lain.

Keadaan ini sangat membutuhkan pertolongan segera sejak di tempat kejadian, selama transportasi, sampai pasien diserahkan kepada petugas kesehatan di rumah sakit. Berbagai kasus kedaruratan medis yang sering dijumpai meliputi sumbatan jalan napas, henti nafas, syok, henti jantung. Kasus tersebut dapat teratasi apabila dilakukan tindakan resusitasi sesegera mungkin. Resusitasi yang harus dipertimbangkan dalam setiap kasus kedaruratan medis adalah resusitasi jantung- paru.1

Resusitasi jantung-paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi pada pasien yang masih memiliki harapan hidup. RJP dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, dan bantuan hidup jangka panjang. Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat dengan tiga langkah, yaitu Airway, Breathing, dan Circulation. Sedangkan bantuan hidup lanjut bertujuan untuk memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan dengan tiga langkah, yaitu Drugs and fluid treatment, Electrocardiography, dan Fibrillation treatment. Bantuan hidup jangka panjang bertujuan untuk pengelolaan intensif mentasi manusia yang terdiri dari tiga langkah, yaitu Gauging, Human mentation, dan Intensive care.1

Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. Untuk mengembalikan sirkulasi secara spontan, diperlukan pemberian obat-obatan serta cairan, diagnosis dengan elektrokardiografi, dan juga terapi fibrilasi. Ketiga tahapan ini dapat dilakukan dengan urutan yang berbeda-beda tergantung keadaan yang dihadapi.2

(5)

Peralatan yang dipakai pada BHL meliputi alat jalan napas (pipa orofaring, nasofaring, endotrakea, sungkup muka, alat isap, laringoskop, forsep Magil), perlengkapan untuk memasang infus, EKG monitor dengan defibrillator arus searah, dan papan datar yang kuat untuk resusitasi. Obat-obatan yang diperlukan adalah golongan simpatomimetik (adrenalin, noradrenalin, dopamine, ephedrine, efortil, metaraminol, dan isoproterenol), golongan pelumpuh otot (suksinil kolin, pankuronium, atau derivate kurare yang lain), golongan sedatif dan anti kejang, lidokain, prokainamid, atropin, morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator, dan cairan infus. Tinjauan pustaka ini akan membahas lebih lanjut tentang langkah- langkah BHL serta jenis peralatan dan juga obat-obatan yang dipakai.1

(6)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan cairan, electrokardiografi, dan terapi fibrilasi.1

2.2 Obat-obatan dan Cairan

Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang paling penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat dan cairan itu penting, pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan kompresi dada dan ventilasi. Dalam melakukan terapi obat dan cairan tentunya harus dipikirkan juga jalur masuknya obat dan cairan. Jalur yang sering digunakan dalam resusitasi adalah jalur intravena dan intraosseous.3 Di bawah ini akan dijelaskan mengenai terapi obat dan cairan yang meliputi jalur masuknya obat dan cairan dan jenis obat serta cairan yang digunakan dalam bantuan hidup lanjut.

2.2.1 Jalur Obat-obatan dan Cairan a. Jalur Intravena Perifer

Pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur intravena perifer sangat penting untuk dilakukan. Tindakan ini harus dilakukan tanpa mengganggu kompresi, airway management, atau terapi defibrilasi. Apabila sudah terdapat jalur vena sentral, maka pemberian obat-obatan dan cairan lebih baik melalui jalur vena sentral. Jika belum terpasang jalur vena sentral, pemasangan jalur vena perifer harus dilakukan sesegera mungkin. Lokasi pemasangan jalur vena perifer yang dianjurkan adalah vena antecubital, jugular eksternal, atau femoralis.2,4 Jika pemasangan jalur vena perifer sulit untuk dilakukan, penyuntikan adrenalin pertama secara intravena dapat dilakukan. Penyuntikan dilakukan menggunakan jarum kecil di vena perifer.2 Pemberian obat melalui vena perifer kemudian harus

(7)

dilanjutkan dengan pemberian 20 ml bolus cairan dan atau elevasi ekstremitas yang terpasang kateter selama 10-20 detik agar kerja obat dapat lebih dipercepat.3

b. Jalur Intraosseous

Apabila kanulasi intravena sulit dilakukan, maka pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur intraosseous dapat dilakukan, terutama pada anak-anak.

Jalur intraosseous ini merupakan jalur administrasi obat sementara selama resusitasi terjadi. Setelah keadaan darurat teratasi, maka jalur intraosseous ini harus segera diganti dengan jalur intravena, baik itu vena perifer atau vena sentral.4

Angka kesuksesan pemasangan jalur intraosseous pada orang dewasa terbilang cukup rendah, namun masih dapat dilakukan pada tibia dan pada distal radius dan ulna. Jarum spinal yang rigid dan berukuran 16-18 gauge dengan stylet atau jarum khusus spinal dapat digunakan pada distal femur dan anterior proksimal tibia. Jika melakukan pemasangan jalur intraosseous di tibia, maka jarum ditusukkan 2-3 cm dibawah tuberositas tibia dengan sudut 90° menuju bagian tengah tulang atau sedikit inferior untuk menjauhi epifisis. Pemasangan dikatakan berhasil jika jarum dapat berdiri tegak tanpa penyangga dan sumsum tulang dapat diaspirasi melalui jarum yang terpasang.3, 4

Jalur intraosseous ini sangat efektif untuk pemberian cairan kristaloid, koloid, maupun darah. Namun, pemberian obat-obatan melalui jalur ini akan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan jalur intravena sehingga dosis obat yang diberikan harus sedikit lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan dalam pemberian melalui jalur intravena. Jalur intraosseous tidak dapat digunakan terus menerus sebagai jalur untuk pemberian obat dan cairan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya osteomyelitis dan sindrom kompartemen. Sehingga sesegera mungkin harus dipindah ke jalur intravena. Jalur intraosseous ini juga kontra indikasi pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi pulmonal, insufisiensi pulmonal berat, dan right-to-left shunts karena dapat mengakibatkan terjadinya fat- emboli.4

(8)

5

Gambar 2.1 Jalur Intraosseous c. Jalur Endotrakeal

Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru, terkadang pemasangan kateter pada vena perifer atau intraosseous secara cepat sulit untuk dilakukan sehingga jalur endotrakeal ini dapat dijadikan alternatif. Jalur endotrakeal dapat dilakukan selama terdapat pipa endotrakeal dan pasien tidak sedang menggunakan laryngeal mask airway (LMA). Hanya beberapa obat yang dapat diberikan melalui jalur intrapulmonum. Obat-obatan itu meliputi lidokain, epinephrine, atropine, naloxone, dan vasopressin (kecuali natrium bikarbonat). Jalur intrapulmonum ini tidak direkomendasikan untuk rutin dilakukan pada keadaan darurat. Jalur yang direkomendasikan dalam resusitasi jantung-paru adalah jalur intravena dan intraosseous.5

Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini memiliki kecepatan yang kurang efektif dibanding jalur intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang masuk secara sistemik melalui jalur ini tidak konsisten.3 Sehingga dosis yang diberikan 3-10 kali lebih banyak dibanding dengan dosis yang dianjurkan untuk jalur intravena. Obat-obatan tersebut kemudian dilarutkan dalam 10 ml normal salin.4 Obat-obatan selain yang disebutkan sebelumnya tidak boleh diberikan melalui jalur endotrakeal karena dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa atau alveolar.5

Dosis atropine yang diberikan menurut rekomendasi AHA 2010 ada 0.1 mg IV untuk mencegah terjadinya bradikardia paradoksal. Namun pada AHA 2015, dikatakan bahwa tidak ada cukup bukti yang mendukung penggunaan atropine secara rutin untuk mencegah terjadinya bradikardia pada intubasi pediatrik darurat.

(9)

Penelitian terbaru menyatakan bahwa menggunakan atropine dengan dosis kurang dari 0.1 mg tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya bradikardia atau aritmia.6 d. Jalur Intra Jantung

Pemberian obat intra jantung sudah tidak dianjurkan selama RJP karena manfaat yang sedikit namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi.5 Jalur intra jantung ini dapat menyebabkan pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan gangguan kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika penyuntikan obat tidak sengaja mengenai otot jantung dapat menyebabkan disritmia intraktabel.

Pemasangan jalur intra jantung menggunakan jarum panjang dan tipis, melalui intracostal space ke-5 di parasternal ke dalam ruang jantung.2

Gambar 2.2 Jalur Intra Jantung e. Jalur Intra Muskulus

Pemberian obat melalui jalur intra muskulus tidak dianjurkan pada tindakan resusitasi atau kedaruratan karena absorpsi obat dalam otot dan lama kerja obat tidak dapat ditentukan dan dikontrol dengan baik. Jalur intra muskulus juga tidak dapat digunakan untuk pemberian terapi cairan.2

f. Jalur Vena Sentral

Jalur vena sentral sebaiknya dilakukan segera setelah kembalinya sirkulasi spontan sehingga tekanan vena sentral dapat dikontrol. Nilai normal dari tekanan vena sentral adalah 3-10 mmHg.2 Pembuluh vena yang biasanya digunakan untuk pemasangan kateter vena sentral adalah vena kava superior melalui vena jugularis interna kanan.

(10)

7

Cara pemasangan kateter vena sentral melalui vena jugularis interna kanan dimulai dengan melakukan prosedur asepsis pada daerah yang akan dipasang kateter vena sentral sambil mempersiapkan alat yang dibutuhkan untuk memasang kateter vena sentral. Setelah itu, putar kepala pasien kearah kiri, palpasi arteri karotis dengan sebelah tangan dan memasukkan jarum kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam bidang paramedian, 45° kaudal, menembus kulit pada puncak segitiga yang dibentuk oleh dua bagian otot sternokleidomastoideous. Emboli udara harus dicegah pada semua kanulasi vena sentral dengan upaya sebagai berikut:

kepala pasien sedikit lebih rendah. Jika pasien sadar hendaknya diminta menahan nafas, sedangkan untuk pasien tidak sadar hendaknya mendapat ventilasi tekanan positif dan pada saat diskoneksi yang tidak dapat dihindarkan, bagian terbuka hendaknya ditutup dengan jari atau keran.2

Gambar 2.3 Jalur Vena Sentral 2.2.2 Obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya memiliki banyak jenis. Namun, obat-obatan yang penting untuk diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium, magnesium, dan natrium bikarbonat.1

a. Adrenalin

Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan pada pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan disaksikan.

(11)

Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa dan beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor alfa adrenergik.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat memberikan perbaikan klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan dengan pemberian dengan dosis standar.4

Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang kembali setiap 2 siklus berakhir).5,6

Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada anak- anak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui pipa endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril).

Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera mungkin.4

Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap orang dewasa di luar rumah sakit mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan peningkatan ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki rumah sakit, tapi tidak berkaitan untuk pasien yang akan dipulangkan. Penggunaan epinefrin sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar namun pemberiannya bukan sebuah keharusan karena rekomendasi tentang pemberian epinefrin selama serangan jantung telah diturunkan sedikit pada Kelas Rekomendasi.6

Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi.4 Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian

(12)

9

adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu dikombinasikan dengan vasopressin.6

b. Amiodaron

Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik.

Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan farmakologik yang kompleks.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron.

Amiodaron diberikan kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian vasopressor dan terapi defibrillator.4 Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini juga dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Amiodaron memiliki efek hipotensi dan bradikardi, sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.4

c. Atropine

Sulfas atropine meningkatkan konduksi atrioventricular dan automatisitas nodus sinus dengan efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus bradikardia yang disertai dengan hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala yang berhubungan dengan iskemia miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai terapi pada second-degree heart block, third-degree heart block, dan irama idioventricular lambat. Atropin sering digunakan pada kasus henti jantung dengan elektrokardiografi (EKG) asistol atau PEA.3

Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara pasti penggunaan atropine meningkatkan prognosis pada kasus henti jantung irama asistol atau bradisitolik.

Penanganan kasus asistol atau PEA yang paling efektif adalah dengan melakukan kompresi dada, ventilasi, dan epinefrin karena dapat meningkatkan perfusi arteri koroner dan oksigenasi miokardium. Henti jantung dengan irama asistol memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan irama lainnya. Oleh karena

(13)

atropine memiliki efek samping yang sangat sedikit, maka penggunaan atropine pada kasus henti jantung dapat dipertimbangkan selain penggunaan epinefrin dan oksigenasi. Namun penggunaan secara rutin pada kasus henti jantung tidak direkomendasikan.3

Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa adalah 0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk anak- anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3- 5 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus takikardia setelah resusitasi.3

d. Kalsium

Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal.

Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia, hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker.4 Kalsium sangat diperlukan pada kasus henti jantung karena disosiasi elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.1 Sumber lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan angka survival rate di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.4

Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.5

d. Lidokain

Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang biasanya digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Pemberian lidokain tidak dapat meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak berhubungan dengan perbaikan

(14)

11

klinis pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan amiodaron, efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam pencapaian ROSC pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon terhadap RJP, defibrilasi, dan vasopressor.7

Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis awal diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi.

Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi, dan asistol.4

Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan jantung akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian pada pasien yang selamat dari serangan jantung menunjukkan adanya penurunan dalam insiden fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel berulang, namun tidak menunjukkan manfaat maupun kerugian jangka panjang.6

e. Magnesium

Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel. Magnesium tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien dengan henti jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga pemberian magnesium tidak direkomendasikan.6 Magnesium diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia, henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes.5

Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas pada penggunaan kalsium yang berlebihan.5

f. Natrium Bikarbonat

Natrium bikarbonat merupakan larutan alkalin yang bercampur dengan ion hydrogen membentuk asam karbonat lemah. Pada kasus henti jantung, resusitasi

(15)

jantung-paru yang efisien dan ventilasi yang adekuat dapat mengurangi penggunaan natrium bikarbonat.5 Sebagian besar penelitian menyatakan tidak ada keuntungan dari pemberian natrium bikarbonat pada pasien henti jantung sehingga pemberian natrium bikarbonat secara rutin pada pasien dengan henti jantung tidak direkomendasikan.6

Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah 1 mmol/kg yang diberikan selama 2-3 menit. Pemberian obat ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan analisis gas darah untuk memantau koreksi asidosis metabolik, sehingga pemberian bikarbonat selanjutnya bisa digunakan rumus seperti berikut:

Dosis bikarbonat = defisit basa x 0.25 berat badan1

Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan hyperkalemia, terapi asidosis metabolik yang sudah terdokumentasi, terapi pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protracted arrest (lebih dari 15 menit).

Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah alkalosis metabolik, hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar. Pemberian natrium bikarbonat kontraindikasi pada kasus asidosis intraseluler karena dapat semakin memperparah asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium bikarbonat masuk kedalam sel. Natrium bikarbonat dan adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan bersamaan karena dapat saling menginaktivasi, mengendap, dan menyumbat jalur intravena.5

2.2.3 Cairan

Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup paska resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan cairan, penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit, koloid, dan sel darah merah. Infus garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif dapat menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus perdarahan luar atau dalam yang berat.

2. Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung dengan cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10 ml/kgBB) guna mengganti volume darah relatif akibat vasodilatasi, penimbunan di vena, dan kebocoran kapiler.

(16)

13

3. Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan sekaligus memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.

4. Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi darah optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik koloid normal, albumin serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan glukosa serum (100-300 mg/dl).2

Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa paska henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan vena sentral untuk menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.1

2.3 Electrocardiography

Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang wajib disediakan di masing-masing unit gawat darurat karena diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan. Ada tiga pola EKG pada henti jantung, yaitu asistol ventrikel, Pulseless Electrical Activity (PEA), dan fibrilasi ventrikel.1, 3

1. Asistol Ventrikel

Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG yang isoelektris. Paling sering disebabkan oleh hipoksia, asfiksia, dan blok jantung.1

Gambar 2.4 Ventrikel Asistole 2. Pulseless Electrical Activity

PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA adalah suatu keadaan dimana tidak terabanya denyut nadi ketika irama jantung masih terdeteksi oleh EKG. Terdapat jenis-jenis PEA, yaitu disosiasi elektromekanik (EMD),

(17)

disosiasi pseudoelektromekanik, irama idioventrikular, irama ventricular escape, irama bradiasistolik, dan irama idioventrikular postresusitasi. EMD merupakan gambaran EKG yang paling sering muncul.3

EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana terdapat gambaran ketiadaan denyut dengan EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadang relatif normal tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif sehingga denyut nadi tidak teraba.1 Disosiasi pseudoelektromekanik merupakan keadaan dimana denyut nadi tidak teraba namun masih ditemukan denyut jantung pada gambaran EKG dengan ETCO2 yang tinggi. Disosiasi pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan EMD. Irama ventricular escape adalah adanya denyut ventrikel setelah hilangnya nodus atrial sehingga gambaran EKG akan menunjukkan adanya gelombang QRS disertai dengan tidak adanya gelombang p. Irama bradiasistolik merupakan irama jantung yang terdapat irama ventricular kurang dari 60 kali per menit pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung.3 Sedangkan irama idioventrikular postresusitasi dikarakterisasi dengan adanya aktivitas gelombang yang teratur yang terlihat segera setelah dilakukan cardioversion pada kasus dimana sebelumnya tidak ada denyut yang teraba.9

Gambar 2.5 Disosiasi Elektromekanik

Gambar 2.6 Irama Idioventrikular

(18)

15

Gambar 2.7 Irama Ventricular Escape 3. Fibrilasi Ventrikel

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel jantung secara kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan darah ke seluruh tubuh. Gambaran EKG akan tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama jantung ini paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.

Penyebab dari fibrilasi ventrikel dibedakan menjadi dua, primer dan sekunder. Mekanisme dari penyebab tersebut masih belum diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling sering adalah iskemik otot jantung, reaksi obat, tersengat listrik, dan kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia, tenggelam, dan akibat perdarahan.

Gambar 2.8 Fibrilasi Ventrikel 4. Takikardi Ventrikel

Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumber dari ventrikel.

Potensi menjadi aritmia yang fatal sangat tinggi akibat menurunnya curah jantung dan gagal sirkulasi. Definisi dari takikardi ventrikel adalah ventrikular ekstrasistol yang timbul berurutan dengan kecepatan >100 kali/menit, takikardi ventrikel juga memiliki kompleks QRS yang lebar.8

(19)

Gambar 2.9 Takikardi Ventrikel 2.4 Terapi Fibrilasi

Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri disaritmia takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan menggunakan syok balik listrik. Syok balik listrik menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot jantung dan setelah itu jantung akan berkontraksi spontan, asalkan otot jantung mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak menderita asidosis.1

Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang sering muncul pada kasus henti jantung. Penanganan yang paling efektif untuk henti jantung dengan irama tersebut adalah dengan defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak sehingga akan memperburuk iskemia miokardium. Defibrilasi harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin lama fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk dilakukan defibrilasi dan banyak kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga semakin kecil kemungkinan resusitasi akan berhasil.3

Defibrillator menyalurkan energi listrik dalam dua bentuk, yaitu monofasik dan bifasik. Gelombang monofasik menyalurkan energi hanya searah dari satu elektroda ke elektroda lainnya. Gelombang bifasik membalikkan arah energi dengan mengubah polarisasi elektroda dari bagian dimana energi tersebut disalurkan sehingga gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan gelombang bifasik. Gelombang bifasik biasanya digunakan pada implantable cardioverter defibrillator (ICD) yang kemudian dapat diadaptasi menjadi eksternal defibrillator.3,4,6

Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang dibutuhkan untuk defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding dewasa

(20)

17

dengan serendah-rendahnya 0.5 J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu berpengaruh pada dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang sukses dengan menggunakan energi yang rendah (160-200 J). Penelitian yang dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan bahwa terdapat kesuksesan defibrilasi yang sama ketika menggunakan 200 J atau lebih rendah dari itu dibandingkan dengan menggunakan 300 J atau lebih.3

Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik, dikenal ada dua jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated exponential waveform dan rectilinear biphasic waveform. Pada AED, energi yang disalurkan akan diatur secara otomatis oleh alat. Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan range energi yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated exponential waveform, maka energi yang disediakan berkisar antara 150-200 J dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan untuk defibrillator jenis rectilinear biphasic waveform, energi yang disediakan 120 J dengan tingkat kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential waveform.3

Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi sebesar 360 Joule untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik direkomendasikan pemberian energi sebesar 200 Joule. Energi dapat ditingkatkan bertahap apabila keadaan takikardi ventrikel atau fibrilasi ventrikel tidak membaik setelah kejutan pertama.

Tipe bifasik lebih direkomendasikan untuk melakukan cardioversion karena tipe bifasik memberikan tingkat kesuksesan yang sama dengan menggunakan lebih sedikit energi.4 Penggunaan gelombang bifasik lebih direkomendasikan dibandingkan dengan gelombang monofasik karen penggunaan defibrillator dengan energi besar akan meningkatkan potensi kerusakan otot jantung.3,4,6

Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus diperiksa dan dicoba terlebih dahulu kemampuannya memberikan energi mulai dari rendah hingga tinggi. Pedal defibrillator luar (dada) untuk dewasa memiliki diameter 14 cm, sedangkan untuk anak-anak memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki diameter 4.5 cm. Pedal defibrillator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa adalah 6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk bayi 2 cm.1 Lokasi pedal defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-lateral dengan satu pedal diletakkan di ICS keenam pada midaxillary line kiri, sedangkan pedal lainnya diletakkan di ICS kedua

(21)

parasternal kanan. Jika penderita memiliki payudara besar, pedal kiri dapat diletakkan di bawah payudara dengan menghindari jaringan payudara terkena kejutan.5

Gambar 2.10 Posisi Anterolateral

Gambar 2.11 Posisi Anteroposterior. Terbagi menjadi posisi antero-left infrascapular (B) dan antero-right infrascapular (C).

(22)

19

Gambar 2.12 Algoritma Resusitasi Henti Jantung

(23)

20 BAB III KESIMPULAN

Resusitasi Jantung-Paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup. RJP memiliki tiga tahapan, yaitu bantuan hidup dasar (tahap I), bantuan hidup lanjut (tahap II), dan bantuan hidup jangka panjang (tahap III). Bantuan hidup dasar meliputi airway, breathing, circulation. Bantuan hidup lanjut meliputi drugs and fluid, EKG, dan fibrillation therapy. Sedangkan bantuan hidup jangka panjang meliputi gauging, human mentation, dan intensive care. Bantuan hidup lanjut membutuhkan alat-alat dan obat-obatan khusus. Bantuan hidup lanjut merupakan lanjutan dari bantuan hidup dasar yang dilakukan secara simultan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi spontan.

(24)

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor. Wiryana IM, Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.

2. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1984.

3. Longnecker, D., Newman, M., Mackey, S., Sandberg, W. and Zapol, W. (2012).

Anesthesiology. 2nd ed. Mc Graw Hill

4. Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New York:

Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013.

5. Australian Resuscitation Council. ANZCOR Guideline 11.5 – Medications in Adult Cardiac Arrest. 2016.

6. American Heart Association. 2015 AHA Guidelines Update for CPR and ECC.

2015.

7. American Heart Association. Highlights of the 2015 American Heart Association Guidelines Update for CPR and ECC. 2015.

8. Pakpahan HA. Elektrokardiografi Ilustratif. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

9. Emedicine.medscape.com. (2017). Pulseless Electrical Activity: Background,

Etiology, Epidemiology. [online] Tersedia di:

http://emedicine.medscape.com/article/161080-overview#a6 [Diakses 9 May 2017].

Gambar

Gambar 2.1 Jalur Intraosseous  c. Jalur Endotrakeal
Gambar 2.2 Jalur Intra Jantung  e. Jalur Intra Muskulus
Gambar 2.3 Jalur Vena Sentral  2.2.2  Obat-obatan
Gambar 2.4 Ventrikel Asistole  2.  Pulseless Electrical Activity
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara