WIDYA Jurnal Ilmiah
SOSIOPOLITIKA
Vol. 6. No. 1, April 2015 ISSN : 2087-1767
DITERBITKAN OLEH: FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA
Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Denpasar Sebelum an d Sesudah Otonomi Daerah
Oleh: Bandiyah
Kebijakan Publik dan Resistensinya : Analisa Kritis terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Badung dalam Mengoperasionalkan Terminal Mengwi
Oleh: Muhammad Ali Azhar
“ No Rights, No Redd + !”: Masyarakat Adat Menggugat
Oleh: Ikma Citra Ranteallo dan Daud Suryaningrat Turupadang
Implementasi Sistem Klasifikasi Koleksi Perpustakaan (Studi Kasus di Perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Udayana)
Oleh: I Made Kastawa
Pemanfaatan Web Archive untuk Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi
Oleh: I Putu Suhartika
Melihat Maskulinitas Seni Perang Sun Tzu Melalui Perspektif Feminis Oleh: Ni Wayan Rainy Priadarsini
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Melalui Retribusi (Dinamika Otonomi Daerah di Kabupaten Banyuwangi)
Oleh: I Putu Dharmanu Yudartha
DAFTAR ISI
JURNAL ILMIAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Daftar isi... i Pengantar ... i i
• Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Denpasar Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah
Oleh: Bandiyah... 1
• Kebijakan Publik dan Resistensinya: Analisa Kritis terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Badung dalam Mengoperasionalkan Terminal Mengwi
Oleh:Muhammad Ali Azhar ... 26
• “No Rights, No Redd+ !”: Masyarakat Adat Menggugat
Oleh: Ikma Citra Ranteallo dan Daud Suryaningrat Turupadang ... 37
• Implementasi Sistem Klasifikasi Koleksi Perpustakaan (Studi Kasus di Perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Udayana)
Oleh: I Made Kastawa ... 63
• Pemanfaatan Web Archive untuk Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi
Oleh : I Putu Suhartika ... 83
• Melihat Maskulinitas Seni Perang Sun Tzu Melalui Perspektif Feminis
Oleh: Ni Wayan Rainy Priadarsini ... 91
• Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Melalui Retribusi (Dinamika Otonomi Daerah di Kabupaten Banyuwangi)
Oleh: I Putu Dharmanu Yudartha ... 107
Vol. 6 No. 1 Tahun 2015 ISSN: 2087 - 1767
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA DENPASAR SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH
Bandiyah
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Bali
Abstract
Implementation of decentralization and regional autonomy has implications for the implementation of fiscal decentralization in each region . Denpasar City is one of the region long before the autonomy already had financing capabilities in areas with signifinace sufficient generate revenue, but it was not enough to demonstrate that the performance of the financial management have the tools and good practice. Based on the identification of the problem, this study was conducted to explore how information and knowledge about the effect of fiscal decentralization on fiscal effort made by the Denpasar City Government to improve public financial management performance . The method used to carry out the study was qualitative analytic methods to test the area appeal to the financial statements ( assessment aimed at revenue growth) . Differences in the ratio of the financial statements to be parameter to measure how far performance generated on the principle;Fiscal effort, the level of indepenedence financial and eficience of budgeting.
The result that fiscal decentralization makes the area must conform to both the procedural and management of financial statements that are based on the rules and policies of the center goverment. Therefore, to facilitate the financial management, Denpasar government management of change work patterns to generate better financial performance by doing the following activities:1).Fiscal efforts to increase the amount of ability and achievement of revenue targets each year. 2). Strive hard to provide the taxpayer as a primary source of revenue receipts . 3). Perform efficient use of budget allocated budget by the rest of the tender results , the rest of the current budget implementation with priorities me to realize reinvestment others program or to saving budget for future of years.
Keywords: Financial performance,Fiscal decentralization, Fiscal effort, Financing outonomy, efficiency of budget use
1. Pendahuluan
Sejak timbulnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter pertengahan tahun 1997, pembangunan di Indonesia terhenti karena ketidakmampuan pemerintah dalam
membiayai proyek-proyek pembangunan yang disebabkan pendapatan pemerintah berkurang, khususnya dari sektor pajak dan restribusi.
Krisis moneter ini pula yang mendorong
keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan daerah dapat membiayai kegiatan pembanguan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1974 sebagai sebutan bagi Pemerintah Provinsi/Kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah.
Untuk merealisasikan keinginan desentralisasi guna mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, maka melalui Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sampai dengan Undang- Undang Nomor 24 tahun 2005, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi memberlakukan status otonomi daerah kepada daerah otonom dan mencabut Undang-Undang nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah daerah. Kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah diharapkan akan lebih memberi peluang pada perubahan kehidupan pemerintah daerah yang demokratis
yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Secara sempit, otonomi daerah berarti terjadinya pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik dengan pemenuhan azas akuntabilitas dan transparansi. Penggunaan dana publik sangat menuntut adanya pengelolaan dana daerah yang bertanggungjawab. Optimalisasi pengelolaan dana publik diartikan bahwa daerah menggali sumber-sumber pendapatan daerah dan menggunakan sumber daerah tersebut dengan memenuhi aspek efisiensi dan efektifitas. Hal yang penting dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan daerah dalam tingkat desentralisasi fiscal dan menjamin adanya kehematan dalam pengelolaan belanja dengan regulasi yang mendukung dengan tegas dalam mengatur pengelolaan keuangan suatu pemerintahan daerah.
Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otda tentu membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Harapannya dapat memberikan dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan era sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan pendapatan asli daerah (desentralisasi fiscal). Aspek kedua
yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah harus lebih akuntabel dan transparan. Hal ini menuntut daerah agar lebih efisien dun efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat juga disebut sebagai financing reform.
Financing Reform merupakan bagian integral dalam reformasi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi/ketentuan/instrumen keuangan masing- masing daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan daerah adalah UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 dan PP Nomor 66 Tahun 2001 Dibidang pengeluaran daerah. Di samping itu, PP Nomor 105, PP Nomor 106, PP Nomor 107, PP Nomor 108 dan PP Nomor 109 serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002.
Reformasi pengelolaan keuangan daerah sendiri diawali dengan adanya tuntutan terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Guna mewujudkan pemerintahan yang baik, diperlukan reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik. Reforrnasi manajemen sektor publik harus dan sangat ditentukan oleh reformasi di bidang pengelolaan keuangan daerah
(Mardiasmo,2002). Reformasi pengelolaan keuangan daerah meliputi:
a) Financing Reform b) Budget Reform c) Accounting Reform d) Audit Reform Denpasar merupakan ibukota Provinsi Bali dan salah satu kota yang setiap tahun mengalami peningkatan kinerja laporan keuangannya yang cukup signifikan1. Misalnya tahun 2010 Kota Denpasar dinilai memenuhi standar laporan keuangan dan mampu meningkatkan kinerja SDM dalam memperbaharui laporan keuangan daerahnya.
Berbeda dengan sebelum otonomi daerah, laporan kinerja keuangan daerah Kota Denpasar yang masih stagnan, karena tidak adanya kemampuan spirit daerah sebab masih dibelenggu dalam kondisi sentralistik.
Berdasarkan uraian diatas, Studi ini akan memfokuskan bagaimana pengelolaan keuangan Pemerintah Kota Denpasar setelah kebijakan desentralisasi fiscal diterapkan, dan bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja keuangan Pemkot Denpasar sekarang ini.
2. Perumusan Masalah
Bagaimana Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap upaya Fiskal Pemerintah Kota Denpasar dalam Meningkatkan Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah?1)
3. Tinjauan Pustaka
3.1. Gambaran Pengelolaan Keuangan Era Sebelum Otonomi Daerah
Sejak repelita I tahun 1967 sampai dengan pertengahan Repelita IV Tahun 1999, anggaran pendapatan dan belanja daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31 Maret tahun berikutnya. Bentuk dan susunan APBD yang ada sama dengan bentuk dan susunan APBN, hanya saja sebutan untuk pos- pos pendapatan dan belanja sedikit berbeda.
Menurut UU nomor 5 tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintahan pusat. Bantuan keuangan yang dimaksud dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah.
Dalam pasal 55 Undang-undang tersebut disebutkan tentang sumber pendapatan daerah otonom yaitu:
a. Pendapatan asli daerah sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain. Ini disebut pendapatan yang sah;
b Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintahan pusat yang terdiri dari sumbangan pemerintah pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. Istilah subsidi
daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintahan pusat terus mengalami perubahan istilah yang disesuaikan dengan sasaran pemberian bantuan. Terakhir sebelum otonomi daerah digunakan istilah dana rutin daerah dana pembangunan daerah;
c Lain-lain penerimaan yang sah
d. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah.
e Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dan pemerintahan pusat untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas provinsi.
Dari uraian diatas diketahui bahwa sebelum adanya Undang-Undang Otonomi Daerah yang ditandai dengan hadirnya UU nomor 22 dan 25 Tahun 1999 ternyata sistem perusahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada konstribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang diperoleh dan sumber daya alam yang dieksploitasi.
Di sisi pengeluaran daerah pengaturan belanja diatur melalui Peraturan Pemerintahan
nomor 5 tahun 1975 dan nomor 6 tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 tahun 1991. Tahun 1996 dikeluarkan aturan yang mengatur tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era sebelum otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut diatas, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja angsuran, sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain pengeluaran tidak tersangka.
b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik.
c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang/jasa, belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang tertera dengan sistem digit. Namun dalam pelaksanaannya, setiap jenis belanja tersebut memiliki digit penutup dengan sebutan pengeluaran lain- lain yang tidak jelas pemanfaatan dan pertanggungjawabannya seperti belanja barang lain-lain, pemeliharaan lain-lain, dan perjalanan dinas lain- lain.
d. Masih dalam komposisi belanja rutin terdapat belanja dengan sebutan pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan kepala daerah masing-masing.
e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dan subsidi pemerintahan pusat
f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik dan terhadap pekerjaan non fisik sangat sulit diukur tingkat manfaat dan pencapaian sasaran serta pertanggungjawabannya, seringkali tidak didukung bukti pengeluaran yang memadai.
3.2. Gambaran Pengelolaan Keuangan Era Setelah Otonomi Daerah
a. Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah Salah satu aspek dalam pemerintahan daerah yang harus diatur adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam upaya pemberdayaan pemerintahan daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah di masa otonomi daerah adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik, hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk kepentingan publik tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah pada khususnya.
c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta partisipasi yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekretariat Daerah dan Perangkat Daerah Lainnya.
d. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan pada kaidah mekanisme pasar.
e. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional lain-lain yang tidak jelas akuntabilitasnya.
f. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan alokasi anggaran di luar yang ditetapkan dalam strategi dan prioritas APBD.
b. Public Financing Reform
Hadirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999
tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Sebelum era otonomi daerah, hampir sebagian besar pemerintah provinsi, kabupaten dan Kota se-Indonesia memperoleh sumber-sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil pemerintahan pusat.
Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan era sebelum otonomi daerah.
Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kehadiran UU nomor 34 tahun 2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaannya merupakan sebuah momentum dimulainya pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah secara penuh (desentralisasi fiskal). Aspek kedua adalah manajemen pengeluaran daerah, sesuai azas otonomi daerah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran anggaran daerah.
Kedua aspek tersebut menurut Mardiasmo (2002) dapat disebut sebagai Reformasi Pembiayaan.
Dalam mereformasi sektor publik perlu digunakan model manajemen pemerintahan baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, karena perubahan ini
tidak hanya menyangkut perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Model manajemen yang cukup popular misalnya adalahNew Public Management yang mulai dikenal tahun 1980-an dan populer tahun 1990-an. NPM ini kemudian mengalami beberapa bentuk konsep “manageralism dan market based public adiministrator” dan lain sebagainya. Manajemen sektor publik berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan yang membawa konsekuensi pada perubahan pendekatan anggaran yang selama ini dikenal dengan pendekatan anggaran tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan melakukan efisiensi, optimalisasi pendapatan, pemangkasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender (compulsori competitive tendering con- tract).
c. Struktur Keuangan Daerah
Dimulai sejak Tahun Anggaran 2001 sampai saat ini Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember. Bentuk dan susunan APBD yang ada berbeda dengan susunan APBD dalam era sebelum otonomi daerah, Akan tetapi perubahan komposisi dan struktur APBD tidak merubah maksud dari unsur APBD itu sama sekali.
Di bidang Pemerintahan Daerah, menurut UU Nornor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 34 Tahun 2000, sumber penerimaan daerah yaitu:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain.
Ini merupakan pendapatan yang sah.
b. Dana perimbangan antara pemerintahan pusat dan daerah yang mencakup pendapatan bagi hasil pajak bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
c. Pinjaman daerah dan bagian sisa perhitungan APBD tahun lalu yang dahulu merupakan bagian komponen penerimaan daerah. Maka dalam realisasi di era otonom ini, hal tersebut bukan merupakan bagian penerimaan daerah melainkan bagian dari pembiayaan daerah.
d. Lain-lain penerimaan yang sah.
e. Besarnya dana perimbangan sangat ditentukan dari potensi sumber daya alam hasil pertambangan dan hasil hutan lainnya;
f. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah yang semula merupakan penerimaan
daerah tingkatII maka setelah otonomi daerah pajak ini diserahkan kembali kepada daerah tingkat I.
Di sisi lain pengeluaran daerah dan pengaturan belanja diatur melalui peraturan Pemerintahan Nomor 105 s/d PP Nomor 110 Tahun 2000 yang mengatur tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) termasuk kedudukan keuangan kepala daerah dan DPRD. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era setelah otonomi daerah diukur dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut di atas, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pengeluaran rutin terdiri dan belanja administrasi umum, dan belanja operasional pemeliharaan.
b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk mernbiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai bahan modal.
c. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dari bantuan keuangan yang terbentuk dan pengeluaran dari hasil bantuan keuangan (sebelum otonomi daerah) serta pengeluaran tidak tersangka dengan istilah dan maksud yang sama seperti sebelum otonomi daerah.
d. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari dana perimbangan/bagi hasil pajak dan bukan pajak.
3.3. Regulasi Keuangan Daerah dan Kaitan Terhadap Kinerja Penerimaan
Dalam pembahasan ini, lingkup dari regulasi pengelolaan penerimaan daerah mencakup UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU No I8 Tahun 1997 dan Peraturan Pelaksanaan berupa PP No 65 dan 66 Tahun 2001 serta UU No 25 Tahun 1999.
Secara umum, maksud regulasi tersebut disusun/ditetapkan dan dilaksanakan sebagai berikut:
a. Agar terjadi peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan.
Permintaan adanya pembagian sumber daya alam yang lebih adil sesuai potensi daerah dan mengurangi upaya monopoli pusat terhadap pembagian sumber daya alam daerah. Ini menyebabkan lahirnya UU 22 Tahun 1999 yang diikuti dengan UU No 25 Tahun 1999.
b. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Penerimaan daerah adalah semua
komponen pendapatan menurut struktur APBD yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain.
Ini adalah penerimaan daerah yang sah.
Bahwa besarnya target yang akan dicapai merupakan hasil analisa dan kajian yang mendalam dari setiap potensi pajak dan retribusi dengan memperhatikan tingkat kemampuan pembiayaan dalam pengelolaan pendapatan dimaksud serta kesiapan perangkat daerah yang mengelola pendapatan (upaya fiskal).
c. Desentralisasi fiskal sebagai wujud dari hadirnya regulasi tersebut diatas nantinya
diharapkan akan lebih
menumbuhkembangkan penerimaan daerah.
d. UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU No 18 Tahun 1997 tentang pajak dan retribusi daerah, menghendaki pelaksanaan otonomi daerah yang seluas- luasnya dan dijabarkan dalam konteks kemampuan untuk menggali, mengelola, dan mengalokasikan serta mempertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh semua sumber daya daerah khususnya dana publik..
e. Penyerahan kembali beberapa jenis pajak yang pernah menjadi komponen pendapatan kabupaten/kota saat UU No 18 Tahun 1997 berlaku dan belum diganti
dengan UU No 34 Tahun 2000, akan mendorong pemerintahan kabupaten/kota untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah untuk menutupi beberapa pajak daerah yang diserahkan ke Provinsi.
Di samping itu, hadirnya regulasi regulasi tersebut di atas, akan berimplikasi terutama terhadap kinerja di bidang keuangan daerah. Berikut diuraikan beberapa pengaturan dalam otonomi daerah yang terkait dengan peningkatan kinerja keuangan dan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Parameter Kinerja
3.4. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Kinerja (Performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dan ukuran keberhasilan pekerjaan.
Performance measurement atau pengukuran kinerja menurut kamus yang sama diartikan sebagi suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi.
Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang kinerja keuangan pemerintahan daerah adalah tingkat pencapaian dan suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selain
satu periode anggaran. Bentuk dan pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dan unsur laporan pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD.
Helfert dalam Lesmana Rico (2003) memahami rasio keuangan sebagai instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan yang ditujukan untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan
trend pola perubahan tersebut untuk menunjukkan risiko dan peluang yang melekat pada perusahaan yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa analisis rasio keuangan meskipun didasarkan pada data dan kondisi masa lalu tetapi dimaksudkan untuk menilai risiko dan peluang di masa yang akan datang.
Rasio keuangan digunakan analisis kredit untuk menilai kemampuan perusahaan-perusahaan dalam melunasi utang-utangnya, sedangkan analisis manajemen digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitasnya.
Manajemen pertanggungjawaban laporan keuangan atas sumber daya yang dipercayakan kepada para pemilik perusahaan atas kinerja yang telah dicapainya adalah laporan akuntansi utama yang mengkomunikasikan informasi kepada pihak- pihak yang berkepentingan dalam membuat analisa ekonomi dan peramalan untuk masa yang akan datang. Pihak yang melakukan reformasi keuangan perusahaaan bukan hanya manajer keuangan saja. Di samping manajer keuangan (pihak intern perusahaan), beberapa perusahaan juga perlu mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah para (calon) pemodal, dan kreditur. Kepentingan mereka mungkin berbeda-beda, mereka mengharapkan untuk memperoleh informasi dan laporan keuangan perusahaan.
Indikator kinerja juga dikemukakan oleh Mardiasmo (2002). bahwa sekurang- kurangnya ada empat tolok ukur penilaian kinerja keuangan pemerintahan daerah yaitu:
a. Penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan dalam APBD.
b. Efisiensi biaya c. Efektivitas program d. Pemerataan dan keadilan
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh
kebijakan fiskal dalam konteks Otonomi daerah terhadap kemampuan fiskal pemerintah Kota Denpasar sekarang ini.
b. Untuk mengetahui perbandingan atas kemampuan fiscal Pemerintah Kota Denpasar sebelum dan setelah otonomi daerah.
c. Untuk mengetahui factor-faktor yang menunjang dan menghambat kinerja dan kemampuan fiscal dalam pengelolaan keuangan daerah Kota Denpasar.
d. Mendapatkan informasi pengetahuan dan teknis tentang pengelolaan keuangan daerah.
e. Mendapatkan hasil analisis mengenai peningkatan kinerja keuangan terhadap penerapan desentralisasi fiskal.
5. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian
Penelitian akan dilakukan dengan cara melakukan uji banding atas laporan keuangan Kota Denpasar yang didapat dari laporan realisasi anggaran. Laporan yang diperbandingkan adalah laporan tahun anggaran 1997 dan tahun anggaran 2013. Dari laporan keuangan Kota Denpasar ini diambil beberapa ratio yang dianggap cukup memadai dalam menilai kinerja keuangan Kota Denpasar tersebut. Pertama adalah jumlah PAD antara sebelum otonomi dan sesudah ex: tahun 1997 dan 2013. Dari Ratio inilah selanjutnya akan dijadikan sebagai alat ukur untuk menilai apakah terdapat peningkatan kinerja keuangan setelah melakukan uji perbandingan dari hasil PAD yang didapatkan. Kemudian diidentifikasi faktor yang meningkatkan kinerja maupun yang menghambat kinerja keuangan Kota Denpasar.
Beberapa faktor yang dapat dianalisis sebagai pendukung terhadap kinerja keuangan dapat dilihat dari faktor ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Variabel yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan pemerintah daerah yang mencakup beberapa parameter berupa rasio menurut Musgrave dan AbduI Halim (Reksohadiprojo;1999) yaitu:
Tabel 2. Variabel Penelitian
b. Jenis Data dan Sumber Data
Penelitian ini rnenggunakan data sekunder berupa Laporan Keuangan Daerah atau dengan nama lain Perhitungan APBD. Data dan informasi keuangan tersebut diperoleh dari Hasil Laporan Periodik Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD), Dinas Pendapatan Daerah, dan Badan Pengelolaan Aset Daerah Kota Denpasar.
Struktur data dan informasi keuangan yang disajikan untuk periode sebelum dan sesudah otonorni daerah oleh PJPKPD masih sama walaupun komponen pembentuk struktur APBD setelah otonomi daerah telah berganti nama. Hal ini memungkinkan dilakukan uji beda terhadap kinerja keuangan daerah.
c. Analisis Data
Data penelitian ini dilakukan analisis normalitas data yang bertujuan untuk menentukan metode alat uji hasil penelitian.
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui apakah data penelitian mernpunyai distribusional atau tidak. Analisis normalitas ini diperlukan sebagai prasyarat dan uji beda untuk dua sample yang berpasangan.
d. Batasan Waktu dan Lokasi
Penelitian ini mengambil batasan periode waktu Tahun Anggaran 1997 dan Tahun Anggaran 2013. Dan mengambil lokasi di : Kota Denpasar
6. Hasil dan Pembahasan
A. Kota Denpasar Sebelum Otonomi Daerah
Dalam penelitian Bapennas (2003) tentang “Peta Kemampuan Keuangan Provinsi/
Kabupaten dan Kota se-Jawa dan Bali sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Provinsi Bali umumnya dan Kota Denpasar khususnya lebih siap mengahadapi era otonomi daerah.
Kesiapan Provinsi Bali dikarenakan kedudukannnya yang lebih strategis khususnya (sebagai daerah wisata) yang berpeluang lebih besar untuk meningkatkan penerimaan dari berbagai pihak yang diperkenankan untuk dipungut. Kota Denpasar khususnya dalam temuan Bappenas tersebut dikategorikan di kuadran kondisi I: yaitu sebagai daerah dengan
kondisi paling ideal. Hal ini disebabkan Kota Denpasar mengambil peran besar dalam PAD dan total belanja daerah, sehingga berkemampuan mengembangkan potensi lokal dengan besaran pertumbuhan nilai yang sangat tinggi. Contohnya tahun 1997 PAD Kota Denpasar mencapai 373.272.050.9 rupiah, tetapi karena kemampuan menciptakan kemandirian dalam menyongsong desentralisasi fiskal tahun 2000, penciptaan ini berjalan dinamis setiap tahunnya. Oleh karenanya tidak mengherankan jika Denpasar mendapatkan posisi penilaian yang baik pula. Seperti dapat dilihat bagan di bawah ini:
Tabel 3. Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah sebelum Otonomi Berdasarkan Metode Kuadran (Sumber;
Bappenas tahun 2003)
Tabel.4. Penjelasan Kuadran dan Kondisinya.
Daerah-daerah lain tersebut di atas, yang tidak memiliki potensi wilayah strategis dapat dijelaskan adanya kekurangan dalam kemandiran daerahnya karena masih tergantung kepada dana perimbangan yang diberikan oleh pusat.
B. Kinerja Keuangan Kota Denpasar Sesudah Otonomi
1. Upaya Desentralisasi Fiskal Kota Denpasar Seteleh Otonomi
Desentralisasi fiskal dalam otonomi dearah sebenarnya ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah. Artinya pemerintah daerah di wilayah Indonesia diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal) khususnya PAD, sehingga mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dalam hal ini Kota Denpasar selain memiliki kesiapan dan berkemampuan dalam merealisasikan desentralisasi fiskal juga didukung oleh penghasilan PAD yang cukup signifikant.
Contohnya PAD Kota Denpasar tahun 2013 memperoleh: 578.818.021.154,18, sedangkan sebelum otonomi, tahun 1998 hanya mencapai: 36.621.783.390,00.
Perbedaan yang cukup jauh tersebut menunjukkan rasio perbandingan yang cukup penting untuk diperhatikan yakni 1:16 (PAD sebelum otonomi: setelah
tidak langsung juga menunjukkan adanya pola perubahan kinerja yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Denpasar untuk mengupayakan dan menghasilkan PAD sebesar-besarnya.
Dengan adanya desentralisasi fiskal dimana pemberian kebebasan seluas- luasnya atas kewenangan dan tanggung jawab daerah dalam mengelola keuangannya sendiri. Sehingga membuat daerah harus berupaya keras untuk mencari sumber penerimaan dan pendapatan daerahnya agar kehidupan daerah dapat berjalan optimal. Sedangkan pemerintah pusat hanya memberikan aturan dan arahan dalam hal pengelolaan keuangan yang masing-masing daerah harus bersandar pada aturan pusat agar operasionalisasi pemeriksaan keuangan lebih mudah dan cepat.
Oleh karenanya, dapat dianalisa bahwa kinerja keuangan Kota Denpasar perlu diperhitungkan dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi Kota/
Kabupaten di Propinsi Bali. Seiring dengan meningkatnya PAD, menggambarkan tingkat kemandirian pemerintah daerah semakin meningkat dan tingkat kemandirian ini ditunjukkan dengan memberikan kontribusi dalam mendanai belanja-belanja daerahnya.
Misalnya terdapat kejadian terbalik yang ditemukan oleh Susilo dan Adi (2007), bahwa dalam era Otonomi daerah terdapat juga daerah yang peningkatan PAD nya tinggi tetapi justru menunjukkan adanya penurunan kemandirian daerah misalnya yang terjadi di beberapa Kota/
Kabupaten di Jawa Tengah. Daerah ini umumnya belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan desentralisasi fiskal sebab daerah tidak memiliki wilayah potensial untuk menghasilkan PAD yang tinggi, dan juga masih memiliki ketergantungan dengan penyediaan anggaran pusat.
Hal senada juga pernah dialami oleh Provinsi Bali dan Denpasar, ketika Pulau Bali sempat diterjang tragedi Bom Bali I dan II tahun 2002 dan 2005, kinerja keuangan Kota Denpasar khususnya sempat mengalami penurunan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan kondisi Pulau Bali yang dianggap tidak aman untuk berinvestasi dan bisnis, karena menjadi salah satu target serangan teorois, sehingga semua sektor pendapatan dan penerimaan Kota Denpasar sempat mengalami guncangan. Akan tetapi setelah melalui pemulihan dan pemutihan kota dari serangan teroris, Propinsi Bali kini menjadi tempat yang aman, nyaman untuk peluang bisnis, ekonomi dan parawisata. Meskipun
harga tanah dan bangunan di Bali khususnya Denpasar terbilang cukup mahal, hal ini tidak menurunkan minat para investor asing maupun domestik untuk berinvestasi dan melakukan perdagangan dan bisnis di Bali. Sehingga wajar bila pendapatan daerah Kota Denpasar semakin tahun semakin besar. Dan pendapatan maupun penerimaan yang paling besar diperoleh dari bidang pajak daerah yaitu bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BHPHTB) atau pajak bumi dan bangunan.
2. Upaya Fiskal setelah Otonomi
Peningkatan pendapatan PAD maupun Penerimaan Keuangan Kota Denpasar secara langsung konsekuensinya berdampak pada peningkatan jumlah pengeluaran dan belanja daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh transfer yang lebih besar.
Logika pemiikiran pengelolaan keuangan semacam ini tidak menyurutkan upaya dan kerja keras Pemerintahan Kota Denpasar dengan didukung penuh oleh staff dan terutama pemimpin walikota yang selalu progresif, dan ambisif dalam mereformasi sistem kinerja pemerintahan dan juga pengelolaan keuangan daerah. Seperti perbaikan sistem peningkatan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
Meskipun diakui kendala SDM di jajaran pemerintahan Kota Denpasar untuk tenaga profesional pengelolaan keuangan belum memadai, sampai saat ini Pemda masih menggunakan tenagaoutsourcing yang dianggap memiliki skill dalam pengelolaan keuangan ataupun konsultan keuangan di luar seperti perguruan tinggi. Meskipun demikian, Pemda Kota Denpasar tetap melakukan upaya fiskal dalam rangka meningkatkan kinerja keuangan dan PAD nya. Berikut ini Beberapa aspek dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk meningkatkan PAD antara lain:
1). Melakukan koordinasi dengan dinas/
instansi terkait.
2). Membentuk tim intensifikasi dan ekstensifikasi PAD.
3). Melakukan pembinaan berkelanjutan kepada wajib pajak.
4). Melaksankan penilaian wajib pajak terbaik.
5). Melakukan audit pajak secara berkala dengan melibatkan Universitas Udayana sebagai lembaga independen.
6). Melakukan pendataan, penyuluhan, monitoring secara terus menerus terhadap wajib pajak.
Meskipun upaya fiskal Kota Denpasar telah dianggap berhasil, namun semua itu tidak terlepas dari hambatan dan tantangan yang kerap menghampiri. Misalnya keterlambatan penetapan APBD yang tidak sesuai dengan pedoman penyusunan APBD yang diterbitkan oleh Mendagri, disamping itu masyarakat kurang aktif serta berpartisipasi dalam proses penyusunan APBD pada awal perencanaan, sehingga banyak program kerja di SKPD-SKPD tidak mengacu pada aspek partisipatoris (program kebutuhan rakyat).
Di samping itu dalam rangka meningkatkan upaya fiskal dan kinerja keuangan bagi para para staff pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah Kota Denpasar juga melakukan bimtek (bimbingan teknologi) dan pelatihan- pelatihan di bidang keuangan, yang narasumbernya didatangkan dari kalangan profesional yaitu konsultan keuangan dan guru besar perguruan tinggi. disamping Pemda Kota Denpasar juga harus mempunyai pedoman keuangan daerah yang memuat perda pokok pengelolaan keuangan daerah, perwali tentang kebijakan dan sistem akuntasi pemerintah daerah, dan sistem prosedur pengelolaan keuanagan daerah. Hal ini sebagai panduan dan pedoman bagi semua staff
untuk siap mengimplementasikan bagaimana mengelola aset dan keuangan daerah yang baik.
3. Kemampuan Pembiayaan Setelah Otonomi
Kota Denpasar adalah ibu kota Provinsi Bali yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan Kota dengan pendapatan perkapita dan pertumbuhan tinggi di Provinsi Bali. Sebagai pusat bisnis, perdagangan, maka pendapatan untuk pajak daerah juga sangat tinggi. Misalnya Pendapatan Asli daerah (PAD) tahun 2013 telah mencapai 513.061.591.494,85 yang terdistribusikan dari pajak, retribusi dan yang lainnya, seperti tabel di bawah ini.
Tabel 5. Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Denpasar tahun 2013
Atas dasar Penghasilan PAD yang cukup besar yang dihasilkan dari distribusi pendapatan pajak dan lain-lain menunjukkan Kota Denpasar telah cukup mandiri untuk
melakukan pembiayaan dearah dan juga mendanai belanja-belanja daerahnya.
Pendapatan PAD yang besar sepantasnya didukung dengan hasil kinerja pengelolaan keuangan yang baik dan efisien pula. Pengelolaan keuangan Kota Denpasar setelah otonomi mengikuti standar laporan perhitungan, ketentuan dan peraturan pemerintah pusat yakni menggunakan SAP (sistem operasional prosedur) yang sudah ditentukan oleh pusat, sedangkan sistem terdahulu sebelum otonomi masih memakai manual administrasi keuangan daerah (makuda) Dari Perbedaan perhitungan anggaran sekarang ini tentu saja lebih mempermudah kerja biro keuangan karena ditunjang dengan alat dan program tekhnologi komputer yang lebih canggih dan yang lebih penting adanya pengawasan dan audit oleh BPK, ini semata- mata bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota.
Kegiatan semacam inipun mencitrakan bahwa daerah juga memiliki kemampuan dalam rangka mencukupi keinginan pusat untuk mempercepat penyusunan laporan keuangan daerah dengan dukungan adanya peningkatan transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan yang tetap menjadi prioritas, meskipun selama ini informasi APBD yang ada di daerah terutama Kota Denpasar belum banyak disosialisasikan
kepada publik, dan juga banyak masyarakat masih kurang aktif partisipasinya dalam pembangunan.
Dengan adanya peraturan, ketentuan dan pedoman penyusunan laporan dan pengelolaan keuangan dari pusat yang memiliki kemudahan untuk bekerja, namun tidak dapat dipastikan apakah ini baik untuk sistem pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi. Karena betapapun cermatnya sistem yang disiapkan pemerintah pusat, sistem tersebut tidak mungkin mampu memperhitungkan berbagai perbedaan yang ada antara daerah. Misalnya kalau suatu peraturan mengharuskan daerah menggunakan suatu sistem yang membutuhkan pegawai dalam jumlah tertentu, sedang daerah hanya dapat menyediakan separuh dari jumlah pegawai yang diperlukan. Sistem ini jelas tidak sesuai dengan daerah tersebut. Namun biasanya daerah tidak terkesan membandel dengan perintah pusat, maka daerah yang bersangkutan akan berusaha mengikuti peraturan itu sejauh mungkin, tanpa mempertimbangkan cara-cara lain yang lebih cocok. Peranan pemerintah pusat yang terlalu berlebihan dalam memberikan tuntutan pada daerah menimbulkan kecenderungan mengikuti peraturan secara dangkal tanpa memikirkan samasekali tujuan peraturan yang bersangkutan yang sebenarnya. Dan juga terkadang tidak
memperhitungkan samasekali perbedaan luas dan keadaan antara daerah.
Nampaknya sekarang ini, setiap daerah khususnya Denpasar masih tetap berpangkal dan berkeyakinan pada pihak pemerintah pusat atas prosedur dan peraturan mengenai pengelolaan keuangan. Ini dilakukan untuk menghindari resiko kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan dalam pengelolaan keuangan daerah. Oleh karenanya penerapan desentralisasi tidak memberikan efek keleluasaan daerah sama sekali. Hal ini tidak berlaku terutama bagi daerah yang wilayahnya sangat berpotensi untuk menghasilkan PAD serta didukung oleh kualitas SDM dan efektifitas kinerja daerah.
4. Efisiensi Penggunaan Anggaran
Efisensi adalah salah satu kunci dari penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada Good Governance. Seiring dengan konsep tersebut terkadang daerah yang PAD nya sangat besar akan selalu diikuti dengan belanja atau pengeluaran yang juga cukup besar, sehingga tidak menutup kemungkinan akan sulit dalam melakukan efisiensi penggunaan anggaran, dan sebaliknya daerah yang kurang potensial akan lebih banyak menghemat sumber anggaran pendapatan daerahnya, sehingga besar kemungkinan untuk menyegerakan efisensi anggaran.
Berbeda dengan pernyataan di atas, meskipun PAD yang dihasilkan oleh Pemerintah Kota Denpasar setiap tahunnya mengalami progres yang signifikant, namun daerah ini telah melakukan jembatan efisiensi tersebut. misalnya Dinas DKP Kota Denpasar tahun 2013 telah melakukan pemotongan biaya untuk anggaran asuransi perindang pohon, disebabkan anggaran untuk melakukan kegiatan ini tidak sebanding dengan realisasinya yang cukup berat di lapangan. Misalnya Pemkot Denpasar sering mengalami kerugiaan materiil akibat adanya klaim dan tuntutan masyarakat. Juga efisiensi-sfisiensi di dinas-dinas lain seperti mengurangi jumlah kunjungan kerja ke daerah lain yang tidak terlalu signifikant, menggunakan sarana teknologi berbasis on line dalam memudahkan proses perijinan. ini dilakukan oleh Dinas Perijinan Kota Denpasar. Kegiatan efisiensi yang lain adalah melakukan efisiensi dari sisa tender, sisa anggaran saat pelaksanaan kegiatan dengan menentukkan skala prioritas program yang diunggulkan di masing-masing SKPD atau dinas.
Provinsi Bali dan Kota Denpasar khususnya adalah daerah yang potensi wilayah PAD nya lebih banyak bersumber dari pajak daerah, sedangkan SDA dan pengelolaan kekayaan daerah belum menjadi sumber prioritas memadai dalam pendapatan PAD.
Oleh karena itu Pemkot Denpasar harus pintar
dalam mengelola sumber pendapatan dan juga pintar dalam pengeluaran maupun pembelanjaan daerahnya. Untuk itulah penggunaan efisiensi anggaran menjadi sangat penting dalam rangka menjaga stabilitas PAD yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seperti Kaltim, yang sebagian besar PAD nya bersumber dari pendapatan kekayaan alam tersebut. Sehingga kekayaan alam tersebut menjadi penopang kehidupan daerah yang tidak perlu dicari. kelemahannya daerah terkadang kurang pintar dalam menggali dan mengelola kekayaan alam tersebut, ini biasanya disebabkan minimnya kualitas SDM yang dihasilkan di daerah tersebut. Akibatnya efisiesi penggunaan anggaran juga terkadang diabaikan.
C Analisa Keuangan Daerah
Beragam tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mereformasi anggaran dan keuangan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selain berupa peraturan yang yang saling bertentangan yang dikeluarkan oleh departemen di tingkat nasional, kesulitan muncul dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah, mulai dari pengesahan anggaran sampai ke penyusunan laporan keuangan, yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan, kurangnya SDM, buruknya koordinasi dan tidak memadainya teknologi yang digunakan.
Beberapa contoh yang lebih spesifik antara lain: keterpaduan perencanaan dan penganggaran. keterkaitan antara UU no 25/
1999, UU no 17/2003 dan UU no 32/2004 dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM). Perencanaan tahunan kebijakan umum anggaran (KUA/
PPS), dan anggaran tahunan tidak jelas.
Sedangkan tujuan dari PP no 58/2005 dan penyediaan layanan yang digunakan dalam perencanaan, serta tidak adanya kaitan dengan indikator target dalam anggaran tahunan yang berbasiskan kinerja.
Dalam Kep. Mendagri no 29 tahun 2002, DPRD (pihak legislatif) menetapkan arah kebijakan umum (AKU) yang berfungsi sebagai panduan kebijakan umum bagi eksekutif dalam menyusun rancangan anggaran (RAPBD). Sementara, dalam Permendagri no 13 tahun 2006, DPRD mengeluarkan KUA, yang mirip dengan AKU tapi dengan program dan kegiatan yang jauh lebih rinci. AKU membatasi eksekutif dalam penyusunan rancangan anggaran sampai batas rincian yang mungkin tidak realistis atau tidak praktis. Hasilnya, rancangan anggaran yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan KUA sehingga menyebabkan sering terjadi konflik antara DPRD dan eksekutif.
Hasilnya, rancangan anggaran yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan KUA
sehingga menyebabkan konflik eksekutif dan legislatif. Tertundanya pengesahan APBD juga merupakan hal yang sangat lazim terjadi, akibat prosesnya sendiri yang seringkali berjalan tidak sesuai dengan kalender anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
D. Politik Penentuan Anggaran Keuangan Hampir semua kabupaten dan kota di indonesia khusunya juga Kota Denpasar, bahwa kinerja pemerintahan pada era otonomi daerah dipengaruhi oleh suasana politik baik yang ada ditingkat nasional maupun daerah itu sendiri.
Tentu berbeda dengan sebelum otonomi yang mesin politiknya dibawa kendali satu partai yakni Golkar. Garis birokrasi yang diharapkan menjadi lebih singkat, namun menjadi lebih panjang dan bahkan rumit. Salah satu contohnya adalah rumitnya dan lamanya pengesahan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) oleh DPRD kabupaten/ kota tersebut. Sehingga kinerja yang diharapkan tidak dapat sesuai apa yang direncanakan semula. Hal ini karena beberapa hal:
1. Kurangnya implementasi kewenangan daerah secara mutlak
Era otonomi daerah bukan berarti kewenangan mutlak semua pada daerah namun, kewenangan daerah justru dibatasi oleh ketentuan-ketentuan pusat yang sudah ditentukan. Sehingga dekosentrasi daerah bekerja di bawah kendali
pemerintah pusat. Hal ini pun juga masih memicu adanya kecemburuan sosial antara daerah yang lain yang memiliki para wakil rakyat terbanyak di Jakarta/
Senayan.
Secara lebih mendasar pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan adalah dengan memperhatikan aspek economies of scale, akuntabilitas dan eksternalitas. Betapapun luasnya otonomi yang diberikan kepada daerah haruslah berkorelasi dengan pelayanan riil yang dibutuhkan masyarakat. Konsekuensinya perlu adanya penataan ulang kewenangan antara pusat, propinsi, kabupaten dan kota dengan memperhatikan hak-hal di atas.
2. Kepegawaian Pemda (SDM)
Kemampuan pemerintah daerah dalam menangani persoalan-persoalan SDM-nya tentu berbeda-beda. Beberapa daerah bahkan telah melakukan lompatan besar dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik.
Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah, Kabupaten Pare pare dan Kota Takalar Sulawesi Selatan dan Kota Banda Aceh serta Kabupaten Aceh Besar di Nangroe Aceh Darussalam merupakan contoh beberapa pemerintah daerah yang relatif maju dalam meningkatkan transparansi
keuangannya. Daerah-daerah tersebut menerapkan pendekatan yang komprehenshif yang pada saat bersamaan juga mereformasi susunan organisasi dan pengelolaan keuangan serta meningkatkan mutu SDM nya.
3. Pengawasan
Unit dekosentrasi sebagai perangkat Gubernur UU no 22 /1999 (pasal 33) telah mengatur mengenai kegiatan supervisi yang difasilitasi oleh pusat agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal.
PP no 20/2001 tentang pembinaan pengawasan juga telah mengatur peranan gubernur selaku wakil pusat di daerah untuk melakukan pengawasan, supervisi dan fasilitasi terhadap jalannya otonomi kabupaten/kota di wilayahnya namun, tidak terdapat kejelasan mengenai perangkat dekosentrasi yang melibatkan gubernur dan kapasitasnya sebagai wakil pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan di wilayahnya. Kelembagaan yang dibentuk dipropinsi lebih bertumpu pada dinas adalah unit pelaksana otonomi daerah dan bukan unit pelaksana dekonsentrasi.
Revitalisasi peran gubernur sebagai wakil pusat di daerah seharusnya berperan aktif sebagai wakil pusat dalam melakukan pengawasan, supervisi dan fasilitasi
terhadap pelaksanaan otonomi daerah, memang sebagai daerah otonom propinsi tidaklah membawahi kapubaten/kota, namun sebagaai wakil pusat dalam rangka NKRI, gubernur berkewajiban mengawasi dan memfasilitasi otonomi daerah
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis temuan, studi ini menarik beberapa kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah sebagai berikut:
Penerapan desentralisasi fiskal dalam era otonomi daerah membawa konsekuensi pada perubahan cara dan tata kelola anggaran keuangan daerah. Perubahan ini pun diikuti oleh Pemerintah kota Denpasar untuk melakukan perubahan kinerja pada SDM dalam rangka upaya fiskal pada penyusunan standar operasional sistem (SOP) mengenai pengelolaan keuangan atau anggaran daerah.
Peningkatan kinerja pemkot Denpasar dalam pengelolaan keuangan tersebut dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini:
1. Sebelum sistem desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan, Pemerintah Kota Denpasar jauh sebelumnya sudah melakukan kesiapan dan berkemampuan dalam merealisasikan bentuk dan kerja dari desentralisasi fiskal. Hal ini dibuktikan
dengan pertumbuhan PAD nya setiap tahun selalu yang meningkat. Ditambah lagi dengan menciptakan daerah dengan tujuan investasi bisnis, perdagangan khususnya di bidang parawisata.
2. Dalam upaya fiskal yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mencapai target PAD antara lain adalah:
a). Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak misalnya dnegan membentuk tim intensifikasi dan ekstensifikasi PAD; melalui kegiatan-kegiatan seperti mendata wajib pajak yang belum melaporkan usahanya untuk ditetapkan menjadi wajib pajak daerah.
b). Melakukan pemeriksaan audit wajib pajak yang belum optimal membayar pajak
c). Memberikan penghargaan dan hadiah uang kepada wajib pajak terbaik di Kota Denpasar.
Upaya fiskal yang lain untuk menunjang kinerja pengelolaan keuangan daerah adalah membina dan memberikan pelatihan kepada staff pengelolaan keuangan dengan diikutsertakan pada kegiatan bimtek (bimbingan teknologi) dan pelatihan-pelatihan di bidang keuangan, yang nara sumbernya didatangkan dari
kalangan profesional yaitu konsultan keuangan dan guru besar perguruan tinggi.
Hal ini dilakukan agar semua staff siap mengimplementasikan dan mengelola aset dan keuangan daerah yang lebih baik.
3. Untuk meningkatkan pendirian pembiayaan, yang dilakukan oleh Pemkot Denpasar adalah meningkatkan PAD sebesar-besarnya dengan jalan meningkatkan sumber pendapatan pajak daerah, karena ini merupakan sumber utama penerimaan dan pendapatan PAD Kota Denpasar serta meminimalisir pengeluaran dan belanja daerah.
4. Efisiensi penggunaan anggaran dilakukan dengan cara membagi pos-pos keuangan pada program-program SKPD yang mengarah pada kepentingan publik, dan mengedepankan partisipasi masyrakat.
Bentuk efisiensi yang lain adalah dengan cara mengefisiensi anggaran dari sisa tender saat pelaksanaan kegiatan dengan menentukkan skala prioritas program.
Namun demikian, keberhasilan atas kinerja pengelolaan anggaran Pemerintah kota Denpasar juga harus didukung dengan persetujuan atas rancangan anggaran yang diajukan oleh pihak legislatif yang lebih mengedepankan muatan politis. Tarik menarik kepentingan dan logika pemikiran yang berbeda antara legislatif dan eksekutif membuat
pengesyahan RAPBD menjadi APBD membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu menjalin koordinasi dan sinergi antara eksekutif dan legislatif menjadi sesuatu yang penting dalam harmonisasi hubungan antar lembaga. Terakhir pengawasan terhadap pengelolaan keunagan daerah juga diperlukan sebagai audit yang mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
8. Rekomendasi
1. Pemerintah Kota Denpasar harus lebih serius kembali memikirkan, menyediakan pegawai pemda yang memiliki skill dalam pengelolaan keuangan, sehingga tenaga outsourcing lebih diminimalisir. Hal ini sebgai upaya meningkatkan SDM pegawai daerah pemkot Denpasar.
2. Persoalan politik anggaran bagi legislatif merupakan sesuatu yang rumit untuk diselesaikan, apalagi dalam konteks pengesyahan RAPBD. oleh karenanya pihak legislatif harus lebih mengedepankan logika kepentingan publik dibanding politisnya.
3. Studi ini hanya mengkaji pada aspek bagaimana pengaruh implementasi desentralisasi fiskal terhadap upaya fiskal yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan daerahnya.
Sehingga hasilnya masih terlalu dangkal dan selanjutnya diperlukan kajian yang menyeluruh dan mendalam tentang studi pengelolaan keuangan daerah dengan kajian dari aspek yang lain.
Daftar Pustaka
Bappenas .2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Se-jawa dan Bali Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah; Tinjauan atas Kinerja PAD dan Upaya yang dilakukan Daerah.
Jakarta; Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah.
Hilton, W Ronald. 2003.Cost Management, Strategis for Business Decision, International Edition. Edisi Kedua, McGraw-Hill Companies.
Hariyadi, Bambang. 2002.Analisis Fiskal Stress Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Makasar;
Simposium Nasional Akuntansi ke-12.
Lesmana, Rico. 2003. Financial Performance Analyzing:Pedoman Menilai Kinerja Keuangan Untuk Perusahaan Tbk, Yayasan, BUMN, BUMD dan Organisasi Lainnya, Jakarta; Elex Media Komputindo, Mardiasmo. 2002.Otonomi dan Manajemen
Keuangan Daerah:Good
Governance, Democratization, Local Government Financial Management. Edisi Bahasa Indonesia, Yogyakarta; Penerbit Andi.
Mafruhah, Izzah. 2000. Kepastian Daerah Tingkat II di Provinsi Kalimantan Timur dalam Menghadapi Implementasi UU No. 25 Tahun 1999, Thesis Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Mc Andrew, Collin & Ichlasul Amal.
2003.Hubungan Pusat – Daerah Dalam Pembangunan, Edisi Bahasa Indonesia, Cetakan Keempat.
Jakarta; PT. Radja Grafindo Indonesia.
Reksohadiprojo, Sukanto. 1999.. Ekonomi Publik, Edisi Pertama,Yogyakarta;
Penerbit BPFE.
Tangkilisan, Hesel S. 2003. Manajemen Modern untuk Sektor Publik : Strategic Management, Total Quality Management, Balance Score Card and Scenario Planning, Edisi Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama.Yogyakarta; Penerbit Balairung
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 2004.
Laporan Keuangan Daerah Historis.
Dinas Pendapatan Kota Denpasar 1997 dan 2013. Laporan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Denpasar, Bulan Juli Biro Keuangan Kota Denpasar, 1997 &2013.
Laporan Belanja Rutin dan pengeluaran Daerah. Bulan Desember
Undang-Undang
UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintah daerah
UU nomor 5 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
UU nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
UU no 22 dan 25 tahun 1999 tentang Sistem Perusahaan Pembiayaan Daerah
Permen nomor 5 dan 6 tahun 1975
Permendagri nomor 2 tahun 1991
UU no 34 tahun 2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah
UU no 25 tahun 1999 tentang Penerimaan Daerah
Peraturan pemerintah nomor 105 dan PP no 110 tahun 2000 tentang Tata cara Penyusunan Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban APBD dan Keuangan Kepala daerah dan DPRD
Sumber Lain
Bali Post, 2010: “Laporan Keuangan Kota Denpasar melebihi Kewajaran” Laporan Keuangan Kota Denpasar 2010