• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Konseling Dan Pemeriksaan Laboratorium Human Immunodeficiency Virus - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Konseling Dan Pemeriksaan Laboratorium Human Immunodeficiency Virus - Unud"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:

Dipersentasikan pada Hari/Tanggal : Waktu :

KONSELING DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Oleh:

Gde Ngurah Arya Ariwangsa

Pembimbing

Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RS SANGLAH DENPASAR

2015

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang termasuk kelompok lentivirus (subkelompok retrovirus). Memiliki pengetahuan terkait dengan informasi HIV/AIDS merupakan dasar bagi seseorang konselor konseling HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan infeksi HIV akan tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) untuk jangka waktu yang panjang tapi tetap dapat menularkan kepada orang lain.1,2,3

Perkiraan kematian akibat AIDS seluruh dunia pada akhir tahun 2011 sekitar 3,5 juta, dengan jumlah kematian sekitar 1,7 juta jiwa, di subsahara Afrika.

Penurunan kematian telah terjadi sebesar 32 % dalam 7 tahun terakhir dikarenakan oleh perluasan pelayanan pengobatan anti retroviral (ARV).3

Konseling adalah suatu proses dengan dialog antara sesorang yang bermasalah (klien) dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut.Konseling dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Konseling pada kedua cara tersebut menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV, dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS.4

Pemeriksaan laboratorium HIV adalah untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang yang dapat diselenggarakan di layanan kesehatan formal dan non formal. Pemeriksaan laboratorium HIV yang dapat digunakan yaitu Western blot dan Enzyme Like Immunosorbent Assay (ELISA). 1,3

Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV.

(3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus

2.1.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus

Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS, yang termasuk kelompok lentivirus (subkelompok retrovirus). Acquired Immunodeficiency Syndrome didefinisikan oleh Centers for Disease Control (CDC) sebagai kumpulan gejala pada HIV seropositif dengan jumlah sel T Cluster of Differention (CD4) + < 200/µL, persentase sel T CD4 <14, atau penyakit apapun yang dipertimbangkan indikatif terhadap kerusakan parah imunitas yang dimediasi sel. Tanpa pengobatan, rata-rata usia harapan hidup setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9-11 tahun. Infeksi HIV terjadi melalui transfusi darah, sperma, cairan vagina, atau ASI.1,2,5

2.1.2 Struktur Human Immunodeficiency Virus

Human Immunodeficiency Virus memiliki struktur yang berbeda dari retrovirus lainnya. Human Immunodeficiency Virus mempunyai bentuk seperti bola dengan diameter sekitar 120 nm, sekitar 60 kali lebih kecil dari sel darah merah.Virus terdiri dari dua salinan positif untai tunggal RNA yang mengkode sembilan gen tertutup oleh kapsid berbentuk kerucut yang terdiri dari 2.000 salinan dari p24 protein virus. Single-stranded RNA terikat erat dengan protein nukleokapsid, p7, dan enzim-enzim yang diperlukan untuk pengembangan virion seperti reverse transcriptase, protease, ribonuclease dan integrase. Sebuah matriks yang terdiri dari p17 protein virus mengelilingi kapsid, yang memastikan keutuhan partikel virion. 6,7,8

Virus dikelilingi oleh selubung virus yang terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang disebut fosfolipid diambil dari membran sel manusia ketika partikel virus yang baru terbentuk bertunas dari sel. Protein yang menempel pada selubung virus adalah protein dari sel host dan sekitar 70 salinan dari protein virus HIV yang menonjol melalui permukaan partikel virus. Protein ini, yang dikenal sebagai Env, terdiri dari penutup yang terbuat dari tiga molekul yang disebut glikoprotein (gp)

(4)

120, dan sebuah bentuk batang yang terdiri dari tiga molekul gp41 yang menempel pada selubung virus. Kompleks glikoprotein ini digunakan virus untuk menempel dan bergabung dengan sel-sel target untuk menginisiasi siklus infeksi. Kedua protein permukaan ini, terutama gp120, dipertimbangkan sebagai target pengobatan di masa depan atau vaksin terhadap HIV.8,9,10

Gambar 1. Diagram Virus HIV 9

2.1.3 Kemampuan Virus Human Immunodeficiency Virus Untuk Dapat Hidup di Suatu Sel/Jaringan

Human Immunodeficiency Virus dapat menginfeksi berbagai sel kekebalan tubuh seperti sel T CD4 +, makrofag, dan sel mikroglia. HIV-1 masuk ke makrofag dan sel T CD4 + diperantarai melalui interaksi dari glikoprotein selubung virion (gp120) dengan molekul CD4 pada sel target dan juga dengan co-receptors kemokin.9,11 Makrofag (M-tropic) strain HIV-1, atau strain non-syncytia inducing (NSI) menggunakan reseptor kemokin β chemokine co- receptor 5 (CCR5) untuk masuk, dengan demikian, mampu bereplikasi dalam makrofag dan sel T CD4

(5)

+.Co-receptor CCR5 ini digunakan oleh hampir seluruh isolat primer HIV-1.

Makrofag memainkan peran kunci dalam beberapa aspek penting dari infeksi HIV.

Makrofag merupakan sel pertama yang terinfeksi oleh HIV dan mungkin sumber produksi HIV saat sel T CD4 + habis dalam tubuh host. Makrofag dan sel mikroglia adalah sel yang terinfeksi oleh HIV pada sistem saraf pusat. Dalam tonsil dan adenoid pada pasien yang terinfeksi HIV, makrofag menyatu menjadi sel raksasa berinti banyak (multinucleated giant cell) yang memproduksi virus dalam jumlah besar.12,13

Human immunodeficiency virus -2 kurang patogen dari HIV-1 dan dibatasi distribusinya di seluruh dunia. Adopsi "gen aksesori" oleh HIV-2 dan pola penggunaan coreseptor yang tidak memilih-milih (termasuk CD4-independent) dapat membantu virus dalam adaptasinya untuk menghindari faktor restriksi pembatasan dalam sel host.14

2.1.4 Siklus Replikasi Virus Human Immunodeficiency Virus

Human Immunodeficiency Virus memasuki makrofag dan sel T CD4 + oleh adsorpsi glikoprotein pada permukaan reseptor pada sel target diikuti oleh penggabungan dari selubung virus dengan membran sel dan pelepasan kapsid HIV ke dalam sel.9,15

Masuknya HIV ke dalam sel dimulai melalui interaksi kompleks selubung trimerik (gp160 spike) dan kedua CD4 dan reseptor kemokin (umumnya baik CCR5 atau chemokine co- receptor 4 (CXCR4), tetapi yang lain dikenal untuk berinteraksi) pada permukaan sel gp120 berikatan pada integrin α4β7 yang mengaktifasi lymphocyte function associated antigen 1 (LFA-1) sebuah integrin pusat yang terlibat dalam pembentukan sinapsis virologi, yang memfasilitasi penyebaran sel ke sel yang efektif dari HIV-1. Lonjakan gp160 berisi domain pengikat untuk CD4 dan reseptor kemokin.9,15,16

Setelah HIV terikat pada sel target, HIV RNA dan berbagai enzim, termasuk reverse transcriptase, integrase, ribonuclease, dan protease, disuntikkan ke dalam sel. Selama transpor berbasis mikrotubulus ke inti, genom ribonucleic acid (RNA) untai tunggal virus ditranskripsi menjadi deoksiribonucleic acid (DNA) untai ganda, yang kemudian diintegrasikan ke dalam kromosom host.9,15

(6)

Human Immunodeficiency Virus dapat menginfeksi sel dendritik (SD) melalui CD4-CCR5 ini, akan tetapi cara lain menggunakan reseptor lektin tipe C yang spesifik dengan manosa/mannose specific type lectin receptors seperti DCSIGN juga dapat digunakan. SD adalah salah satu sel pertama yang dihadapi oleh virus selama transmisi seksual. SD diperkirakan memainkan peranan penting dengan mentransmisikan HIV pada sel T ketika virus ditangkap pada mukosa oleh SD. Kehadiran fasciculation and elongation protein zeta 1 (FEZ 1), yang terjadi secara alami di neuron, diyakini dapat mencegah infeksi sel oleh HIV.17,18

Masuknya HIV-1, serta masuknya banyak retrovirus lainnya, telah lama diyakini terjadi pada membran plasma. Baru – baru ini ditemukan infeksi produktif oleh endositosis dari HIV-1 bergantung kepada clathrin dan tidak bergantung pH.

Hal ini telah dilaporkan untuk membentuk satu-satunya rute masuk produktif.19,20,21 Rekombinasi virus menghasilkan variasi genetik yang kemungkinan memberikan kontribusi terhadap terjadinya resistensi terhadap terapi antiretroviral.

Rekombinasi dapat berkontribusi, pada prinsipnya untuk mengatasi pertahanan kekebalan dari host. 22,23,24

(7)

Gambar 2. Siklus Replikasi Virus HIV 15

2.1.5 Penyebaran Virus Human Immunodeficiency Virus Dalam Tubuh Human Immunodeficiency Virus kini diketahui menyebar di antara sel-sel T CD4 + oleh dua rute paralel: penyebaran tanpa sel dan penyebaran sel ke sel, sebagai contoh, ia menggunakan mekanisme penyebaran hibrida. Dalam penyebaran tanpa sel, partikel virus bertunas melalui sel T yang terinfeksi, memasuki darah / cairan ekstraseluler dan kemudian menginfeksi sel T lain saat bertemu. HIV dapat juga menyebar dengan transmisi langsung dari satu sel ke sel lain dengan proses penyebaran sel ke sel. Dua jalur transmisi sel ke sel telah dilaporkan. Pertama, sel T yang terinfeksi dapat menularkan virus secara langsung ke sel T target melalui sinaps virologi. Kedua, sel penyaji antigen / antigen presenting cell (APC) juga dapat menularkan HIV ke sel T melalui proses yang melibatkan infeksi produktif.

Infeksi melalui transfer sel ke sel dilaporkan jauh lebih efisien daripada transfer beberapa sel. Penyebaran sel-sel dianggap sangat penting dalam jaringan limfoid di mana limfosit T CD4 + sangat padat dan cenderung sering berinteraksi.25,26,27

(8)

2.2 Konseling HIV 2.2.1 Definisi Konseling

Adalah suatu proses dengan dialog antara sesorang yang bermasalah (klien) dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut. Semua pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection/linkage to prevention, care and treatment services) tetap diterapkan dalam pelaksanaannya. Prinsip 5C tersebut diterapkan pada semua model layanan konseling dan pemeriksaan laboratorium

HIV.28,29

2.2.2 Konseling Pra Pemeriksaan Laboratorium HIV

Konseling Pra-Pemeriksaan dilaksanakan pada klien/ pasien yang belum mantap atau pasien yang menolak untuk menjalani pemeriksaan HIV setelah diberikan informasi pra-pemeriksaan yang cukup.28,29

Konselor dalam konseling pra pemeriksaan membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien.

Masalah emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan pemeriksaan HIV karena berbagai alasan termasuk ketidaksiapan menerima hasil pemeriksaan, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat dan keluarga.29

Ruang lingkup konseling pra-pemeriksaan pada konseling dan VCT adalah:

1. Alasan kunjungan, informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HlV.

2. Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko.

3. Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HlV.

4. Memberikan pengetahuan implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HlV.

5. Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi kejiwaan jika diperlukan.

(9)

6. Meminta informed consent sebelum dilakukan pemeriksaan HIV.

7. Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan pencegahan pengobatan dan perawatan.

Pemberian informasi dasar terkait HIV bertujuan agar klien : 1. Memahami cara pencegahan, penularan HIV perilaku berisiko.

2. Memahami pentingnya pemeriksaan HIV

3. Mengurangi rasa khawatir dalam pemeriksaan HIV

Berbagai macam yang menjadi latar belakang dan alasan mengikuti konseling HIV, maka konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien tersebut dan memfasilitasi kebutuhan agar proses pemeriksaan HIV dapat memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat dan produktif.29,30

Saat memberi konseling HIV, penting untuk mengetahui pengetahuan pasien mengenai perbedaan antara HIV (virus) dan AIDS (kondisi klinis) dan untuk mengetahui apakah mereka paham bahwa pemeriksaan laboratorium antibodi positif menunjukkan infeksi HIV namun bukan sindrom klinis AIDS. Dokter harus mengklarifikasi bahwa pemeriksaan laboratorium antibodi dapat positif, negatif, atau meragukan, dan bahwa risiko pemeriksaan laboratorium antibodi positif palsu atau negatif palsu sangat rendah. Bagi klien dengan kemungkinan paparan HIV dalam 3 bulan terakhir, klinisi harus menjelaskan bahwa pemeriksaan laboratorium biasanya positif dalam 1 bulan setelah paparan namun dapat memerlukan 3 bulan sampai menjadi positif (periode jendela). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium ulang harus direkomendasikan 3 bulan pasca paparan, jika pemeriksaan laboratorium awal negatif. Jika kecurigaan klinis infeksi HIV primer tinggi, pemeriksaan laboratorium RNA dapat dikerjakan, yang dapat mendeteksi adanya virus secepatnya 11 hari pasca paparan.29,30

Sasaran konseling pemeriksaan laboratorium ini adalah yaitu orang yang positif terinfeksi HIV, gay, waria, lesbian, pekerja seks, pengguna narkoba psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), pasangan, keluarga, gangguan jiwa, binaan pemasyarakatan, penyingkapan status, paliatif dan duka cita, gizi, isu gender dalam konseling.28,29

(10)

2.2.3 Konseling Pasca Pemeriksaan Laboratorium HIV

Konseling pasca pemeriksaan biasanya diberikan 1-3 minggu kemudian pada kasus pemeriksaan laboratorium antibodi konvensional dan 20-40 menit kemudian jika yang dikerjakan adalah pemeriksaan laboratorium HIV cepat. Saat konseling pasca pemeriksaan, klinisi harus menginformasikan kepada klien mengenai hasil pemeriksaan laboratorium dan interpretasinya, mendorong untuk menjalani rencana mengurangi risiko yang disesuaikan dengan kondisi pasien baik yang seropositif maupun seronegatif, serta melakukan follow-up klinis dan psikologis bagi orang dengan HIV positif yang baru teridentifikasi. Bagi mereka yang HIV seronegatif, klinisi harus mendorong mereka untuk tetap HIV negatif dan memastikan bahwa klien mengulang konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV, sesuai waktu paparan terakhir.29,30

Kadang klinisi dihadapkan dengan konseling klien mengenai hasil yang meragukan, yang terjadi pada 10% spesimen EIA reaktif. Hasil pemeriksaan laboratorium HIV yang meragukan dapat terjadi pada serokonversi HIV akut, dan pada kondisi tidak adanya infeksi HIV. Pada HIV akut, pita p24 awal muncul pada Western blot yang diikuti oleh pita amplop tambahan (gp41, gp120, dan gp160) dan kemudian pita HIV lain dalam beberapa minggu selanjutnya. Hal ini menekankan pentingnya penilaian risiko HIV dengan hati-hati serta follow-up serologis orang berisiko tinggi dengan hasil Western blot yang meragukan. Jika memungkinkan, pemeriksaan laboratorium RNA harus digunakan untuk

mendiagnosis infeksi HIV akut.30,31

Sebagian besar orang dengan Western blot HIV yang meragukan memang tidak terinfeksi HIV dan memiliki alloantibodi reaksi silang atau autoantibodi. Orang berisiko rendah dapat diyakinkan mengenai kecilnya kemungkinan terinfeksi dan harus menjalani pemeriksaan laboratorium ulang dalam 3 dan 6 bulan berikutnya untuk memastikan rendahnya serokonversi. Wanita hamil dengan Western blot yang meragukan sering cemas mengenai kemaknaan hasil pemeriksaan laboratorium mereka; klinisi dapat menjelaskan produksi aloantibodi saat hamil dan

(11)

mengerjakan pemeriksaan laboratorium HIV tambahan (misalnya pemeriksaan laboratorium RNA) untuk memastikan hasil yang meragukan

tersebut.28,29,30

Sementara pentingnya konseling pra dan pasca pemeriksaan laboratorium telah ditunjukkan, pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan HIV memiliki keuntungan utama dalam hal diagnosis HIV secara cepat dan rutin. CDC saat ini telah bergeser ke pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan HIV di semua sektor publik dan untuk subjek risiko tinggi. WHO menyesuaikan untuk masyarakat dengan epidemi general, namun terus merekomendaasikan skrining berbasis gejala dan risiko untuk masyarakat dimana prevalensi HIV pada wanita hamil <1%.29,30

2.2.3.1 Konseling Pasca Pemeriksaan Laboratorium jika Hasil Negatif Bagi mereka yang HIV seronegatif, klinisi harus mendorong mereka untuk tetap HIV negatif dan memastikan bahwa klien mengulang konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV, sesuai waktu paparan terakhir.30,31

Konseling penyampaian hasil pemeriksaan laboratorium jika hasil negatif : 1. Berikan kesempatan pada pasien untuk merasa lega atau bereaksi positif yang

lain.

2. Berikan konseling tentang pentingnya tetap negatif degan cara menggunakan kondom secara benar dan konsisten atau perilaku seksual yang lebih aman lainnya.

3. Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien.

4. Apabila pajanan baru saja terjadi atau pasien termasuk dalam kelompok risiko tinggi, jelaskan bahwa hasil negatif tersebut dapat berarti tidak terinfeksi HIV atau sudah terinfeksi namun belum sempat terbentuk antibodi untuk melawan virus (disebut Periode Jendela = “Window Period”, 3-6 bulan).29,30

(12)

2.2.3.2 Konseling Pasca Pemeriksaan Laboratorium jika Hasil Positif Klinisi yang memberi konseling kepada klien mengenai diagnosis infeksi HIV yang baru harus memiliki waktu cukup untuk mengatasi kemungkinan gangguan emosional dan memastikan bahwa klien memiliki kesempatan untuk menanyakan semua pertanyaan serta mengekspresikan reaksinya terhadap hasil pemeriksaan laboratorium. Jika hasil yang telah dikonfirmasi positif tidak terduga meskipun riwayat pasien mendukung, serum harus diambil kembali untuk konfirmasi hasil dan menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium. Sejumlah klinisi secara rutin mengkonfirmasi hasil seropositif HIV yang baru, mengingat pentingnya hasil pemeriksaan laboratorium yang positif baik secara klinis dan psikososial. Klinisi harus kembali memastikan bahwa klien mengerti perbedaan antara infeksi HIV dan AIDS, mendiskusikan perjalanan alami infeksi HIV dan imunosupresi, serta menekankan potensi memperlambat progresi penyakit dengan intervensi dini melalui pengawasan teratur terhadap sistem imun dan viral load, terapi antiretroviral, dan profilaksis terhadap infeksi oportunistik. Penyedia layanan kesehatan harus berbicara dengan pasien HIV seropositif mengenai rencana pribadinya untuk menjalani praktik seks yang aman, baik untuk menghindari penularan HIV ke partner yang seronegatif, menghindari akuisisi infeksi menular seksual (IMS) lain yang secara teori mampu mempercepat perjalanan penyakit HIV, dan menghindari strain baru yang resisten terhadap antiretroviral (superinfeksi).

Rujukan medis harus dibuat jika follow-up untuk perawatan HIV tidak tersedia di tempat tersebut dan kebutuhan akan layanan sosial dan psikologis harus dinilai.

Disarankan untuk membuat perjanjian untuk follow-up untuk menilai ulang kemampuan klien mengatasi hasil positif, mengatasi kekhawatiran klien, dan membahas konseling partner serta layanan rujukan. Pada kunjungan ini, penyedia layanan kesehatan harus memastikan reaksi pasien yang terdiagnosis HIV positif terhadap diagnosis tersebut, dan mendiskusikan lebih dalam mengenai kepentingan dan arti memiliki partner dengan status HIV yang tidak diketahui ataupun negatif untuk dirujuk dan menjalani konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV, dan untuk partner yang HIV positif, perawatan klinis dan konseling. Rasionalisasi dan

(13)

metode konseling dan rujukan untuk partner klien digarisbawahi dalam CDC Operational Guidelines for Partner Counseling and

Referral Services.29,30

Sebagian besar negara bagian telah lolos peraturan yang memungkinkan klinisi untuk membuat hasil pemeriksaan laboratorium positif dalam bentuk peringkat dan memberitahukan hasil pemeriksaan laboratorium kepada klinisi lain, karena membuka rahasia tersebut berhubungan dengan perawatan klinis dan pasien telah menandatangani pernyataan untuk merilis informasi tersebut. Klinis harus familiar dengan hukum yang mengatur kerahasiaan hasil pemeriksaan laboratorium yang positif dan laporan berbasis nama di negara bagian atau yuridikasi tempat praktik tersebut dikerjakan. Pada akhir tahun 2007, semua negara bagian Amerika Serikat dan Washington DC akan mulai mencatat kasus HIV menggunakan sistem pelaporan berbasis nama, bukan laporan berbasis kode, untuk memperoleh dana terapi dari pihak federal. CDC menolak sistem berbasis kode setelah mengetahui bahwa hal itu dapat menyebabkan penghitungan ganda dan sulit dikerjakan oleh penyedia layanan kesehatan. CDC mengumumkan dukungannya untuk pelaporan kasus HIV berbasis nama pada tahun 1999, dan memperkuat rekomendasi tersebut untuk memperoleh pendanaan dari Ryan White pada tahun 2005. Meskipun terdapat banyak kekhawatiran yang mengekspresikan pengaruh dari kewajiban untuk melaporkan kasus dengan nama, saat ini hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan adanya pengaruh negatif pemeriksaan laboratorium HIV atau perilaku mencari perawatan kesehatan.28,29,30

Sebagai akibat dari kepentingan klinis dan sosial hasil pemeriksaan laboratorium HIV yang positif, disarankan untuk mendokumentasikan hasil positif tersebut sebelum memberi layanan klinis atau sosial yang berhubungan dengan HIV, terutama sebelum memulai terapi antiretroviral. Kadang mereka yang datang untuk mendapat perawatan HIV percaya bahwa mereka HIV positif hanya berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium cepat atau enzyme immunoassay

(EIA) standar baik dengan Western blot negatif ataupun meragukan.29,30

Pedoman nasional merekomendasikan semua pemeriksaan laboratorium HIV dan program konseling dan laboratorium untuk mengerjakan pemeriksaan laboratorium

(14)

konfirmasi dengan pemeriksaan konfirmasi yang disetujui oleh FDA seperti dengan Western blot atau imunofluoresens untuk semua sampel EIA yang HIV reaktif (hasil ulangan). Pemeriksaan laboratorium konfirmasi membedakan mereka yang memiliki hasil EIA positif palsu (mereka dengan hasil pemeriksaan laboratorium dengan konfirmasi negatif) dan mereka yang memang dengan infeksi HIV (pemeriksaan laboratorium dengan konfirmasi positif). Pada kondisi global, WHO merekomendasikan dua sampai tiga EIA cepat yang akurat untuk skrining dan konfirmasi, bukan hanya Western blot atau pemeriksaan laboratorium konfirmasi immunofluorescent assay (IFA) yang lebih mahal. Banyaknya pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk konfirmasi tergantung kepada prevalensi HIV lokal.30,31

Kemajuan terbaru dalam perluasan akses untuk pemeriksaan laboratorium HIV dan penggunaan alat pemeriksaan yang dapat dikerjakan di rumah (alat tersebut belum terdaftar) dari perusahaan luar negeri dapat menyebabkan semakin banyaknya orang yang datang dengan hasil EIA positif namun belum terkonfirmasi. Penyedia layanan kesehatan harus menanyakan tentang jenis dan waktu pengerjaan pemeriksaan laboratorium HIV yang positif tersebut.30,31

Konseling penyampaian hasil pemeriksaan laboratorium jika hasil positif : 1. Jelaskan bahwa pasien tersebut telah terinfeksi

2. Berikan konseling pasca – pemeriksaan laboratorium dan dukungan

3. Tawarkan perawatan berkelanjutan dan rencanakan kunjungan tindak lanjut 4. Berikan nasehat pentingnya melakukan perilaku seks dengan kondom agar tidak

menularkan kepada orang lain dan terhindar dari IMS lain, dan terhindar dari infeksi virus HIV jenis lain. Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien.

5. Berikan saran kepada pria dewasa untuk tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah, untuk menghindari penularan kepada orang lain.

6. Bila perlu, rujuklah pasien untuk mendapatkan layanan pencegahan dan perawatan lebih lanjut, seperti kepada dukungan sebaya dan layanan khusus untuk kelompk rentan.29,30

(15)

2.3. Tujuan Konseling

1. Menyediakan dukungan psikologis, misalnya : dukungan yang berkaitan dengan kesejahteraan emosi, psikososial dan spiritual seseorang yang terinfeksi HIV.

2. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang perilaku yang tidak berisiko dan membantu orang dalam mengembangkan ketrampilan pribadi untuk melindungi diri dari penularan HIV, reinfeksi HIV serta memiliki perilaku yang berkualitas.

3. Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, psikososial, dan ekonomi melalui mekanisme rujukan dan keterkaitan dengan layanan dukungan, perawatan dan pengobatan HIV/AIDS.2,4

2.4 Langkah Konseling

Dalam proses konseling bila konselor bersama klien belum dapat mengenali dengan rinci permasalahan yang dihadapi klien kemungkinan besar pada tahaptahap berikutnya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu konselor perlu mengajak klien melihat kembali ke tahap dan bersama menggali lebih dalam lagi informasi.

Konselor harus selalu tegas dan konsisten serta mampu mengajak klien untuk bersama-sama mendefinisikan kembali bagaimana permasalahan sebenarnya. Hal ini bermanfaat sebagai panduan konselor dalam menangani permasalahan klien dan dapat diterapkan dalam konseling masalah apa saja.28,30 Langkah - langkah kegiatan konseling yaitu :

1. Menjalin hubungan. Konselor harus menciptakan suasana yang membuat klien merasa santai, tidak takut, merasa aman dan bebas mengungkapkan perasaan dan pertanyaan yang ada dalam hatinya untuk didiskusikan.

2. Eksplorasi. Konselor berusaha mengetahui secara mendalam tentang perasaan klien, situasi klien dan alasannya datang untuk meminta bantuan.

3. Pemahaman. Konselor membantu klien mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah, serta membantu klien merancang alternatif pemecahan masalah.

Langkah awal, konselor harus mengetahui apakah benar ada masalah yang dirasakan oleh klien. Biarkan klien yang menceritakan dan merumuskan, baru

(16)

konselor melanjutkan menggali untuk mengetahui apakah masalah ada pada klien sendiri atau orang lain (yang terkait dengan klien). Gali kemungkinan adanya masalah lain.

4. Perencanaan kegiatan. Dalam langkah ini, klien membuat rencana untuk mengatasi masalahnya.28,29

2.5 Konseling Kelompok Khusus

2.5.1 Konseling pada kelompok Gay/Waria/Lesbian/PSK

Konselor perlu mendiskusikan orientasi seksual klien dalam menurunkan risiko penularan. Penggunaan kondom mutlak diperlukan pada setiap hubungan seksual vaginal, anal dan oral.

Waspadai adanya infeksi menular seksual dan diskusikan serta rujuk untuk terapi.

Infeksi dapat terjadi pada oral, vaginal, anal, penis, dan mukosa/kulit disekitarnya.

Pendekatan mental emosional atas hubungan seksual, relasi, individu dengan pasangannya serta keluarganya terkait beban mental karena paham dan perilaku tidak sesuai dengan norma/kepercayaan masyarakat :

1. Perasaan bersalah, perasaan dikucilkan

2. Insekuritas hubungan pasangan yang membuat klien lebih sensitif, rentan terhadap gangguan mental emosional

3. Rasa penerimaan diri dan ambiguitas, terhadap peran gender, peran hidupnya dalam masyarakat.29,30

2.5.2 Konseling pada pengguna NAPZA Konselor memiliki tugas :

1. Mengkaji dan mendiskusikan penggunaan Napza yang memperberat terjadinya gangguan pikiran dan perasaan dan akan menghambat kemampuan penurunan pencegahan

2. Mendiskusikan tentang interaksi silang antara Napza yang digunakan, ARV, obat infeksi dan farmakoterapi lain yang digunakan dalam pengobatan

(termasuk metadon, buprenorfin, dan obat-obat psikiatri)

(17)

3. Mendiskusikan strategi pengurangan risiko dari hubungan seksual, dan penggunaan alat suntik bersama (termasuk kapas swab, sendok, dan lainnya) terkait penggunan napza.

4. Mendiskusikan strategi penurunan penularan lewat pembuatan tato, dan penindikan bagian tubuh.

5. Mendorong klien untuk mengikuti terapi rehabilitasi Napza sesuai jenis zat yang digunakannya, seperti terapi rumatan metadon atau buprenorfin untuk mereka yang ketergantungan opioid, atau terapi lainnya termasuk yang berorientasi abstinensia melalui program rehabilitasi rawat inap jangka panjang.

6. Mengkaji permasalahan lain yang dialami klien, seperti gangguan kejiwaan, masalah legal, ketiadaan dukungan keluarga/sosial, dan permasalahan lain yang dapat menghambat adanya perubahan perilaku.

7. Melakukan rujukan kepada institusi penerima wajib lapor (IPWL) baik secara internal ataupun eksternal.29,30

2.5.3 Konseling pada Klien/Pasien dengan Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah berbagai gangguan yang dikarakteristikkan oleh beberapa kombinasi pola pikir, emosi, perilaku, dan hubungan dengan orang lain yang abnormal. Hal ini mencakup gangguan jiwa ringan seperti kecemasan, gangguan tidur, dan depresi sampai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, gangguan depresi mayor, gangguan bipolar, dan gangguan jiwa lainnya.29,30

2.5.4 Konseling pada Warga Binaan Pemasyarakatan

Koseling bagi warga binaan (WB) umumnya berjalan dalam format konseling individual. Konseling dapat dilakukan oleh konselor atau petugas kesehatan yang terlatih konseling. WB pada umumnya mengalami gangguan jiwa ringan, terutama bila kondisi lapas/rutan melebihi kapasitas atau tidak terdapat program pengembangan diri yang berkesinambungan.28,29

(18)

2.6 Konseling Komunikasi Perubahan Perilaku

Konseling komunikasi perubahan perilaku unsur penting yaitu :

1. Penilaian risiko dan kerentanan. Disini klien menilai risiko dirinya akan infeksi HIV dan beberapa hambatan yang dapat terjadi dalam proses perubahan perilaku

2. Penjelasan dan praktik ketrampilan perilaku aman. Pesan pencegahan, pesan penggunaan kondom, jarum bersih harus ditekankan guna memotivasi klien terhadap kebutuhan, kepercayaan, kepedulian dan kesiapan klien untuk hidup lebih sehat.

3. Membuat rencana. Dalam konseling pra maupun pasca pemeriksaan, klien didorong merencanakan perubahan perilaku dengan mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang tersedia.

4. Penguatan dan komitmen. Dalam konseling pasca pemeriksaan, konselor harus membuat kesepakatan yang jelas dan rinci tentang perencanaan klien untuk hidup lebih sehat.

5. Lingkungan yang mendukung. Menciptakan lingkungan yang mendukung untuk praktik perilaku yang aman, termasuk ketersediaan pilihan jenis kondom dan alat suntik, bahan komunikasi informasi dan edukasi (leaflet, brosur) serta layanan konseling rujukan/hotline bagi individu, keluarga maupun masyarakat sekitar.29,30

2.7 Konseling Pengobatan 2.7.1 Terapi pilihan

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan antiretroviral virus (ARV) berdasarkan 5 aspek yaitu : efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, harga obat.

Prinsip dalam pemberian ARV adalah :

1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.

(19)

2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan ARV.

3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik.28,29,31

Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama.

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah :

2 Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) + Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Tabel 1. Daftar obat ARV yang ada di Indonesia.31

2.7.2 Efek Samping Terapi

Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti dan menghentikan pengobatan ARV. Bahkan pasien kadang menghentikan sendiri terapinya karena adanya efek samping.31

(20)

Tabel 2. Efek samping.31

2.8 Pemeriksaan Laboratorium HIV

2.8.1 Macam Pemeriksaan Laboratorium HIV

Uji diagnostik pertama untuk HIV, yaitu EIA disetujui oleh FDA pada tahun 1985 untuk skrining darah transfusi supaya suplai darah aman. Dalam 2 tahun berikutnya, klinis konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV yang dibiayai publik didirikan sehingga mereka yang dicurigai terinfeksi memiliki alternatif ke bank darah untuk diagnosis.30,31

Model konseling dikembangkan bersama dengan pemeriksaan HIV untuk mengakomodasi penundaan pemeriksaan konfirmasi yang dibutuhkan selama 1-2 minggu yaitu menggunakan pemeriksaan laboratorium Western blot atau immunofluorescence assay (IFA). Model standar konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV dirancang untuk mencapai empat tujuan utama: (1) untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi HIV untuk intervensi klinis; (2) untuk memberi konseling mengenai penurunan risiko bagi orang yang negatif HIV yang berisiko terinfeksi HIV dan orang positif HIV yang berisiko menularkan HIV; (3) untuk memberi rujukan bagi layanan kesehatan dan penanganan kasus untuk HIVseropositif dan untuk intervensi pencegahan bagi mereka yang berisiko tinggi

(21)

terinfeksi HIV; dan (4) untuk memulai pemberian informasi kepada partner klien yang positif HIV.29,30,31

Dalam 2 minggu sejak pemeriksaan laboratorium HIV pertama pada tahun 1985, tempat pemeriksaan yang berganti-ganti dibuat untuk menyediakan tempat bagi orang risiko tinggi untuk pemeriksaan antibodi HIV selain di bank darah.

Seiring waktu, tempat pemeriksaan yang berganti-ganti berkembang dengan menekankan pada konseling untuk mengurangi risiko. Setelah laporan pertama pada tahun 1989 mengenai efikasi zidovudin pada pasien terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 <500, fokus lokasi konseling dan pemeriksaan laboratorium bergeser ke arah deteksi dini pasien seropositif untuk intervensi klinis.30,31

WHO dan UNAIDS baru-baru ini merevisi pedoman mereka untuk mengikuti rekomendasi terbaru. Rekomendasi terbaru berfokus kepada panduan operasional dasar untuk pemeriksaan laboratorium dan konseling HIV yang diinisiasi oleh penyedia layanan kesehatan (PITC) di tempat layanan kesehatan.

Pemeriksaan laboratorium HIV direkomendasikan sebagai bagian rutin perawatan medis dengan pendekatan “menyingkirkan” pada kondisi epidemi HIV secara general dimana prevalensi HIV prenatal >1%. Mereka merekomendasikan tempat klinik prioritas secara bertahap pada pemeriksaan laboratorium HIV rutin.30

Tahun 2007 UNAIDS mempublikasikan panduan baru untuk pemeriksaan laboratorium dan konseling yang disarankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Kerangka rekomendasi berpusat pada panduan operasional dasar untuk pemeriksaan laboratorium dan konseling HIV yang disarankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Pemeriksaan laboratorium HIV disarankan sebagai bagian rutin dari pelayanan kesehatan dengan pendekatan “opt out” dengan epidemi HIV yang luas. Mereka menyarankan prioritas pada klinik untuk melakukan pemeriksaan laboratorium HIV rutin.28,30

Pemeriksaan HIV dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Jika pemeriksaan tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka pemeriksaan dapat dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas tersebut, maka pemeriksaan HIV yang digunakan sesuai dengan pedoman pemeriksaan laboratorium HIV kementerian kesehatan.29,30

(22)

Sebaiknya pemeriksaan HIV menggunakan pemeriksaan laboratorium cepat HIV yang sudah dievaluasi oleh kementerian kesehatan. Pemeriksaan laboratorium cepat yang sesuai prosedur sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara cepat serta meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan kepercayaan akan hasilnya serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau tertukarnya hasil antar pasien. Pemeriksaan laboratorium cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di sarana kesehatan

primer.28,29

Pemeriksaan laboratorium ELISA mungkin lebih layak dilakukan di sarana kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan tidak perlu hasil pemeriksaan laboratorium segera (misalnya untuk pasien rawat inap di rumah sakit) dan laboratorium rujukan.29,30,31

Pemilihan antara menggunakan pemeriksaan laboratorium cepat HIV atau pemeriksaan laboratorium ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan pemeriksaan laboratorium HIV; biaya dan ketersediaan perangkat pemeriksaan laboratorium, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, sumber daya manusia (SDM) serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil.29,31

Dalam melaksanakan pemeriksaan laboratorium HIV, perlu merujuk pada alur pemeriksaan sesuai dengan pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan dianjurkan menggunakan alur serial.29,30

Pemeriksaan laboratorium HIV secara serial adalah apabila pemeriksaan laboratorium yang pertama memberi hasil non reaktif atau negatif, maka pemeriksaan laboratorium antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil pemeriksaan laboratorium pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium HIV kedua pada sampel yang sama dengan menggunakan antigen dan / atau dasar pemeriksaan yang berbeda dari yang pertama. Perangkat pemeriksaan laboratorium yang persis sama namun dijual

(23)

dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil pemeriksaan laboratorium kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka akan di daerah atau di kelompok populasi dengan prevalensi HIV 5% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di daerah kelompok prevalensi rendah yang cenderung memberikan hasil positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium HIV ketiga. WHO, UNAIDS dan dalam Pedoman Nasional dianjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan pemeriksaan laboratorium kedua dianjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan pemeriksaan laboratorium kedua hanya diperlukan bila pemeriksaan laboratorium pertama memberi hasil reaktif saja.29,31

Indonesia dengan prevalensi HIV di bawah 10% menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitasnya. Dalam melakukan pemeriksaan laboratorium HIV dari alur tersebut direkomendasikan untuk menggunakan reagen pemeriksaan laboratorium HIV sebagai berikut : 1. Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%.

2. Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%.

3. Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%.29

Kombinasi pemeriksaan laboratorium HIV tersebut perlu dievaluasi secara nasional sebelum digunakan secara luas.29,30

Pemeriksaan HIV harus disertai dengan adanya sistem jaminan mutu dan program perbaikannya untuk meminimalkan hasil positif palsu dan negatif palsu, kalau tidak maka klien/pasien akan menerima hasil yang tidak benar dengan akibat serius yang panjang. Jaminan mutu juga diperlukan untuk kualitas konseling.29

(24)

Gambar 3. Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV Strategi III 29

Keterangan :

A1, A2, dan A3 merupakan tiga jenis pemeriksaan antibodi HIV yang berbeda.

1. Spesimen darah yang tidak reaktif sesudah pemeriksaan laboratorium cepat pertama dikatakan sebagai sero negatif, dan kepada klien disampaikan bahwa hasilnya negatif. Tidak dibutuhkan pemeriksaan laboratorium ulang.

2. Spesimen darah yang sero-Reaktif pada pemeriksaan laboratorium cepat pertama membutuhkan pemeriksaan laboratorium ulang dengan pemeriksaan laboratorium kedua yang mempunyai prinsip dan metode reagen yang berbeda.

3. Bila hasil pemeriksaan laboratorium pertama Reaktif dan hasil pemeriksaan laboratorium kedua Reaktif maka dikatakan hasilnya positif. Perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium cepat ketiga.

(25)

4. Apabila ketiganya Reaktif maka dikatakan positif.

5. Apabila dari ketiga pemeriksaan laboratorium cepat salah satu hasilnya non Reaktif maka dikatakan tidak dapat ditentukan/indeterminate.

6. Bila setelah pemeriksaan laboratorium kedua salah satunya non Reaktif dan dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium ketiga hasilnya non Reaktif maka dikatakan hasilnya tidak dapat ditentukan /indeterminate.

7. Hasil yang dikatakan positif tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium konfirmasi pada laboratorium rujukan.

8. Hasil yang tidak dapat ditentukan/indeterminate perlu dilakukan konfirmasi dengan Western Blot (WB)

9. Bila tetap indeterminate setelah dua belas bulan maka dapat dikatakan hasilnya negatif.29

Pemeriksaan virologi yang lebih canggih dan mahal hanya dianjurkan untuk diagnosis anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan. Pemeriksaan HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV positif tidak dibenarkan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu. Pemeriksaan darah dengan tujuan untuk diagnosis HIV harus memperhatikan gejala atau tanda klinis serta prevalensi HIV di wilayah tempat tinggal atau kelompok seperti terpapar pada tabel 3 di bawah ini.29,31

Tabel 3. Strategi Pemeriksaan HIV bedasarkan Tujuan dan Prevalensi Setempat 29

(26)

2.8.2 Monitoring (Viral Load dan CD4)

Viral load adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan jumlah virus HIV dalam darah. Viral load diukur melalui pemeriksaan sampel darah.28

Jenis pemeriksaan viral load : ada tiga jenis pemeriksaan viral load yang sekarang umum dipergunakan yaitu : Q-PCR, bDNA dan NASBA. Q-PCR

(quantitative polymerase chain reaction) dikenal dengan Amplicor HIV- l Monitor test, dibuat oleh Roche Molecular Systems. Sedangkan bDNA (branched-chain DNA, atau quantiplex) dibuat oleh Bayer, dan NASBA (nucleic acid sequence based amplification) Organon Teknika.28,29,30

Viral load biasanya dinyatakan sebagai jumlah turunan HIV untuk setiap ml darah. Pemeriksaan laboratorium ini dapat menghitung sampai 1,5 juta turunan virus dan terus ditingkatkan sensitivitasnya. Pemeriksaan laboratorium bDNA generasi I hanya mampu mendeteksi paling rendah 10.000 turunan virus, sedangkan generasi ke-2nya mampu mendeteksi sampai 500 turunan virus. Sekarang ada pemeriksaan laboratorium yang sangat sensitif dapat mendeteksi sampai kurang dari 5 turunan virus. Namun demikian, menurut Departemen Kesehatan Amerika, viral load disebut tidak terdeteksi bila kurang dari 50 turunan virus/ml darah.28,29

Pemeriksaan CD4+. Sebelum pemeriksaan viral load, pemeriksaan yang biasa dipergunakan adalah hitung sel T. Hitung sel T dipergunakan pemeriksaan jumlah sel CD4 dan CD8. Hitung sel T masih tetap penting dan dipergunakan bersama - sama dengan pemeriksaan viral load.28,30

Jumlah sel CD4 memberikan gambaran kasar tentang kesehatan sistem imun. Jumlah sel CD4 yang normal berkisar antara 500 dan 1600. Sedangkan jumlah sel CD 8 berkisar antara 375 dan 1.100. CD4 menggambarkan kesehatan dari sistem imun pada saat pemeriksaan dan seberapa kerusakan sistem imun yang terjadi oleh virus tersebut. Jadi, merupakan ukuran tentang apa yang telah

terjadi.28,31

Untuk menentukan kapan pengobatan pencegahan infeksi oportunistik, patokan dipakai, bila: CD4 < 200, perlu profilaksis untuk Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), CD4 < 100, perlu profilaksis untuk toksoplasmosis dan

(27)

kriptokokosis dan CD4 < 75, perlu profilaksis untuk Mycobacterium avium complex (MAC).28,29,31

Nilai normal persentase CD4+ adalah 20-40%. Indikator yang lain adalah rasio CD4+/CD8+. Nilai normal rasio ini adalah 0,9 – 1,9. Pada infeksi HIV rasio ini akan terbalik sel-sel CD8+ akan meningkat, sedangkan sel-sel CD4+

menurun.28,29,31

Pemeriksaan laboratorium CD4 dapat dilakukan di Klinik, Laboratorium, Rumah Sakit Swasta maupun. Pemerintah yang menyediakan layanan tersebut.

Jumlah limfosit berhubungan dengan kenaikan/penurunan CD4. Hal ini kemungkinan bisa dipergunakan sebagai kerusakan sistem imun bila pemeriksaan CD4 tidak bisa dilakukan. Jumlah limfosit > 2000 sesuai dengan CD4 > 500, jumlah limfosit 1000-2000 sesuai dengan CD4 200-500, dan jumlah limfosit < 1000 sesuai dengan CD4 < 200.28,29,31

Beberapa indikasi untuk memulai terapi ARV sesuai CD4 : Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah dapat terapi ARV (ARV - naive) yaitu CD4 < 350, ODHA dengan gejala klinis dan belum pernah dapat terapi ARV yaitu stadium klinis 2 bila CD4 < 350 / stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4. Perempuan hamil dengan HIV yaitu semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan koinfeksi tuberculosis (TB) yang belum pernah mendapat terapi ARV yaitu mulai terapi berapapun jumlah CD4. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan koinfeksi Hepatitis B yang belum pernah mendapat terapi ARV yaitu ODHA dengan koinfeksi hepatitis B (kronis aktif), berapapun jumlah CD4.29,31

(28)

BAB III RINGKASAN

Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS, yang termasuk kelompok lentivirus (subkelompok retrovirus). Acquired Immunodeficiency Syndrome didefinisikan oleh CDC sebagai kumpulan gejala pada HIV seropositif dengan jumlah sel T CD4+ < 200/µL, persentase sel T CD4 <14, atau penyakit apapun yang dipertimbangkan indikatif terhadap kerusakan parah imunitas yang dimediasi sel. Tanpa pengobatan, rata-rata usia harapan hidup setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9-11 tahun, tergantung pada subtipe HIV. Infeksi HIV terjadi melalui transfusi darah, air mani, cairan vagina, cairan pra ejakulasi, atau ASI.

Konseling adalah suatu proses dengan dialog antara sesorang yang bermasalah (klien) dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut. Semua pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection/linkage to prevention, care and treatment services) tetap diterapkan dalam pelaksanaannya.

Prinsip 5C tersebut diterapkan pada semua model layanan konseling dan pemeriksaan laboratorium HIV.

Pemeriksaan laboratorium HIV yang dapat digunakan yaitu Western blot dan Enzyme Like Immunosorbent Assay (ELISA). Pemilihan antara menggunakan pemeriksaan laboratorium cepat HIV atau pemeriksaan laboratorium ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan pemeriksaan laboratorium HIV; biaya dan ketersediaan perangkat pemeriksaan laboratorium, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

1. Weiss, R.A. How does HIV cause AIDS. Science 1993; 260:1273-1279.

2. Douek, D.C., Roederer, M., Koup, R.A. Emerging concepts in the immunopathogenesis of AIDS. Annual review of medicine 2009; 60:471484.

3. Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman konseling dan tes HIV. Jakarta : Kementerian kesehatan RI; 2013. p.4 – 53.

4. Merati, T.P., Sumiartha, M.E., Yuliana, Edi, A., Pantja, N.M., Wontu, N.,et al.

Prosedur layanan konseling tes HIV sukarela dan terapi ARV. Denpasar:

Yayasan Citra Usada Indonesia; 2007. p. 3.

5. Uihlein L.C., Saavedra A.P., Johnson R.A. Cutaneus Manifestations Of Human Imunodeficiency Virus. In: Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest

B.A, Paller A.S, Leffell D.J, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012.p. 2439-55.

6. McGovern, S.L., Caselli, E., Grigorieff, N., Shoichet, B.K. A common mechanism underlying promiscuous inhibitors from virtual and highthroughput screening. Journal of medicinal chemistry 2002; 45:1712-1722.

7. Fisher, Bruce, Harvey, Richard, P., Champe, Pamela C. Lippincott's Illustrated Reviews: Microbiology (Lippincott's Illustrated Reviews Series). Hagerstown, MD. Lippincott Williams & Wilkins 2007. p. 3.

8. Kuiken, C., Foley, B., Marx, P., Wolinsky, S., Leitner, T., Hahn, B.,et al.

HIV Sequence Compendium 2008. New Mexico : Los Alamos National Laboratory; 2009. P. 4-7.

9. Chan, D.C., Fass, D., Berger, J.M., Kim, P.S. Core structure of gp41 from the HIV envelope glycoprotein. Cell 1997; 89:263-273.

10. Klein, Joshua, S., Bjorkman, Pamela, J., Rall, Glenn, F.. "Few and Far Between:

How HIV May Be Evading Antibody Avidity". PLoS Pathogens 2010; 6(5):

e1000908.

11. Arrildt, Kathryn, T., Joseph, Sarah, B., Swanstrom, Ronald. "The HIV-1 Env Protein: A Coat of Many Colors". Current HIV/AIDS Reports (Current HIV/AIDS Reports) 2012; 53–63.

12. Berger, E.A., Doms, R.W., Fenyö, E.M., Korber, B.T., Littman, D.R., Moore, J.P., et al. "A new classification for HIV-1". Nature 1998; 240.

13. Coakley, E., Petropoulos, C.J., Whitcomb, J.M.. "Assessing chemokine co- receptor usage in HIV". Current Opinion in Infectious Diseases 2005; 18 (1): 9–

15.

(30)

14. Cheney K, McKnight, A.. "HIV-2 Tropism and Disease". Lentiviruses and Macrophages: Molecular and Cellular Interactions 2010; 60: 8.

15. Wyatt, R., Sodroski, J.. "The HIV-1 envelope glycoproteins: fusogens, antigens, and immunogens". Science 1998; 280 (5371): 1884–8.

16. Arthos, J., Cicala, C., Martinelli, E., Macleod, K., Van Ryk, D., Wei, D.,et al.

"HIV-1 envelope protein binds to and signals through integrin alpha(4)beta(7), the gut mucosal homing receptor for peripheral T cells". Nature Immunology 2008; In Press (3): 301–9.

17. Pope, M., Haase, A.T.. "Transmission, acute HIV-1 infection and the quest for strategies to prevent infection". Nat Med 2003. 9 (7): 847–52.

18. Haedicke, J., Brown, C., Naghavi, M.H.. "The brain-specific factor FEZ1 is a determinant of neuronal susceptibility to HIV-1 infection". Proceedings of the National Academy of Sciences 2009; 106 (33): 14040– 45.

19. Daecke, J., Fackler, O.T., Dittmar, M.T., Kräusslich, H.G.."Involvement of clathrin-mediated endocytosis in human immunodeficiency virus type 1 entry".

J Virol 2005; 79 (3): 1581–94.

20. Miyauchi, K., Kim, Y., Latinovic, O., Morozov, V., Melikyan, G.B.. "HIV Enters Cells via Endocytosis and Dynamin-Dependent Fusion with Endosomes". Cell 2009; 137 (3): 433–44.

21. Koch, P., Lampe, M., Godinez, W.J., Müller, B., Rohr, K., Kräusslich, H.G.,et al. "Visualizing fusion of pseudotyped HIV-1 particles in real time by live cell microscopy". Retrovirology 2009; 6: 84.

22. Thorley, J.A., McKeating, J.A., Rappoport, J.Z.. "Mechanis ms of viral entry:

sneaking in the front door". Protoplasma 2010; 244 (1–4): 15–24.

23. Permanyer, M., Ballana, E., Esté, J.A.."Endocytosis of HIV: anything goes".

Trends Microbiol 2010; 18 (12): 543– 51.

24. Nora, T., Charpentier, C., Tenaillon, O., Hoede, C., Clavel, F., Hance, A.J..

"Contribution of recombination to the evolution of human immunodeficiency viruses expressing resistance to antiretroviral treatment". J. Virol 2007; 81 (14):

7620–8.

25. Zhang, C., Zhou, S., Groppelli, E., Pellegrino, P., Williams, I., Borrow, P., et al."Hybrid Spreading Mechanisms and T Cell Activation Shape the Dynamics of HIV-1 Infection". PLOS Computational Biology 2015; 11 (4): e1004179.

26. Jolly, C., Kashefi, K., Hollinshead, M., Sattentau, Q.J. "HIV-1 cell to cell transfer across an Env-induced, actin-dependent synapse". Journal of Experimental Medicine 2004; 199 (2): 283–93.

27. Sattentau, Q."Avoiding the void: cell-to-cell spread of human viruses". Nature Reviews Microbiology 2008; 6 (11): 815–26.

(31)

28. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNUD. Buku Pegangan Konselor HIV AIDS. Surabaya. Yayasan Kerti Praja; 2005. p.1.3-3.31.

29. Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional tes dan konseling HIV. Jakarta : Kementerian kesehatan RI; 2013. p.3,9,20-26,27-30,53-54.

30. Spielberg, F., Kurth, A.E. Sexually Transmitted Diseases 4th edition. New York:

Mc Graw Hill, Inc.p; 2008. 1311-28.

31. Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta : Kementerian kesehatan RI; 2012.

p.15-16,38-39.

Gambar

                                    Gambar 1. Diagram Virus HIV  9
Tabel 2. Efek samping. 31
Tabel 3. Strategi Pemeriksaan HIV bedasarkan Tujuan dan Prevalensi Setempat  29

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sarana dan prasarana laboratorium kimia siswa SMA di Kabupaten Deli Serdang sehingga bisa dapat memberikan

Ikterus cukup sering didapatkan pada bayi baru lahir dan pada umumnya hilang dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan, tetapi juga dapat membahayakan apabila

Dengan menerapkan sistem informasi yang terkomputerisasi dapat diperoleh data secara cepat dan akurat, sehingga sistem manajemen penjadwalan peralatan laboratorium

Apakah edukasi yang diberikan oleh apoteker dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan menggunakan terapi obat Antiretroviral (ARV) pada pasien HIV/AIDS di RSUD

Untuk mengetahui hubungan antara kualitas pelayanan laboratorium dengan tarif pemeriksaan laboratorium dengan kepuasan pasien rawat jalan di RSUD Andi Makkasau

Beberapa mitos yang beredar di masyarakat meliputi : penggunaan dua kondom dapat meminimalisasi risiko kebocoran, faktanya jelas tidak benar bahkan penggunaan kondom

• Bahan kontrol harus disertakan dalam semua tes yang dilakukan di laboratorium dan dapat digunakan untuk memvalidasi prosedur, instrumen dan peralatan pemeriksaan.. • Kebanyakan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang dapat dikembangkan adalah: H2 : etika pemeriksa mampu memoderasi pengaruh pengalaman kerja pada kualitas hasil pemeriksaan