• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Pada Korban Kekerasan Seksual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Pada Korban Kekerasan Seksual"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepada Yth :

Dipresentasikan pada :

Hari/Tanggal :

Waktu :

PENATALAKSANAAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Oleh :

Made Veranita Kris Dwijayanti Sukartha Pembimbing :

Dr. dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

ROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/ RSUP SANGLAH DENPASAR

2014

Dr. dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

(2)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN...1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...3

2.1. Definisi kekerasan seksual...3

2.2. Insiden kekerasan seksual...5

2.3. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik...7

2.3.1. Anamnesis...7

2.3.2. Pemeriksaan Forensik...8

2.3.3. Pemeriksaan Obstetri dan Ginekologi...9

2.4. IMS pada kekerasan seksual...10

2.4.1. Prevalensi...10

2.4.2. Pemeriksaan paska kekerasan seksual ...15

2.4.3. Profilaksis...18

2.4.4. Follow up...22

2.5. Komplikasi kekerasan seksual...22

2.5.1. Fisik...22

2.5.2. Psikologis...24

BAB III. RINGKASAN...28

DAFTAR PUSTAKA...29

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang paling sering dijumpai, baik pada perempuan maupun laki-laki pada semua kelompok usia. Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi maka angka kejadian kekerasan seksual ini semakin meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai berbagai kejadian kekerasan seksual saat ini meningkatkan rasa ingin tahu dan kepedulian berbagai pihak terhadap korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menuntut peningkatan pemahaman dan keterampilan klinisi mengenai penanganan masalah tersebut.

Pada tahun 2007 sekurangnya 794.000 anak-anak mengalami pelecehan di Amerika Serikat (AS) dengan 7,6% diantaranya ialah kekerasan seksual. Lebih dari separuh korban kekerasan seksual adalah perempuan (51,5%), dengan 46%

korban adalah kulit putih, 21,7% Afro-Amerika dan 20,8% adalah ras Hispanik.

Delapan puluh satu persen korban berusia antara 4-15 tahun. Pada suatu survey yang dilakukan pada lebih dari 2000 keluarga dengan anak-anak berusia 2-17 tahun dijumpai angka kejadian viktimisasi sekitar 82 per 1000 anak.1

Di Indonesia sendiri belum tersedia data komprehensif mengenai kejadian kekerasan seksual kumulatif dari semua kelompok umur, namun menurut Federal Bureau of Investigation (FBI) angka kejadian kekerasan seksual pada anak-anak di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia.2

Terdapat berbagai masalah yang timbul sebagai akibat dari suatu kekerasan seksual, baik secara fisik maupun psikis. Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu masalah medis terpenting pada korban kekerasan seksual. 2 Sulitnya penegakan diagnosis baik karena metode pemeriksaan yang terbatas keberadaannya maupun masa inkubasi organisme penyebab yang relatif panjang merupakan tantangan tersendiri dalam bidang kedokteran.

Beberapa jenis IMS seperti gonore, klamidiosis, HIV, sifilis, trikomoniasis dan herpes genitalis telah dihubungkan dengan terjadinya kekerasan seksual.

Karena itu maka deteksi dini akan keberadaan infeksi-infeksi ini dan pemberian profilaksis sangatlah penting dalam menghindari kebutuhan akan pengobatan lanjutan yang selain memakan waktu juga memakan biaya yang tidak sedikit.3,4

(4)

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka disusunlah tinjauan pustaka ini yang membahas tentang penatalaksanaan IMS pada korban kekerasan seksual.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi kekerasan seksual

Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan (assault, violence) adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan sendiri dibagi menjadi kekerasan fisik, emosional, verbal dan seksual.5 Pada tinjauan pustaka ini hanya akan dibahas mengenai kekerasan seksual (sexual assault, sexual violence).

Definisi kekerasan seksual sangat bervariasi, baik antara satu negara dengan negara lain maupun antar satu negara bagian dengan negara bagian lain, seperti yang dijumpai di AS.3 Secara umum kekerasan seksual didefinisikan sebagai kejahatan yang berupa serangan atau agresi dengan spektrum luas, dari aktivitas seksual koersi, kontak (ciuman, sentuhan atau belaian yang tidak diinginkan) sampai pemerkosaan. Pemerkosaan (rape) menurut definisi FBI terbaru ialah penetrasi oral, vaginal, anal ataupun objek pada seorang laki-laki maupun perempuan dengan disertai paksaan atau diluar kehendak. Selain itu juga tidak mutlak dibutuhkan adanya pemaksaan fisik untuk dapat mengkategorikan suatu perbuatan sebagai suatu pemerkosaan. Seluruh aktivitas seksual yang dilakukan pada kelompok yang dianggap tidak kompeten dalam memberikan izin seperti kelompok dengan intoksikasi alkohol, penderita cacat fisik maupun mental tanpa adanya indikasi persetujuan dari yang bersangkutan juga dapat dikategorikan sebagai pemerkosaan.6

Menurut O'Barnett et al, dalam Natlin 2008 kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual.

Kekerasan seksual ini biasanya disertai tekanan psikologis atau fisik. Sedangkan pemerkosaan ialah merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Pemerkosaan dapat didefinisikan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, dengan disertai oleh kekerasan fisik.5

Istilah kekerasan seksual sering kali dianggap sama dengan pelecehan seksual (sexual abuse, sexual harassment). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia tahun 1990 pengertian pelecehan seksual berdasarkan asal katanya yaitu

(6)

pelecehan, yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah dan mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti, hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan.7

Menurut Mboiek (1992) dan Stanko (1996) pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki-laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi jika perbuatan tersebut ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Sementara menurut Sanistuti (dalam Daldjoeni, 1994) pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya. Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan (misalnya secara verbal) maupun yang berat (seperti pemerkosaan) merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas.7

Pemerkosaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan revisi terakhir pada tahun 1999 ialah tindakan yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia diluar perkawinan. Istilah ini hanya mencakup hubungan seksual pervaginal pada seorang perempuan dengan disertai paksaan, tanpa menyertakan jenis hubungan seksual peroral, anal maupun yang terjadi pada seorang laki-laki.8

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa kekerasan seksual ialah bagian dari pelecehan seksual dan pemerkosaan merupakan suatu bentuk spesifik suatu kekerasan seksual.

Berdasarkan hubungan dengan pelaku pemerkosaan dapat dibedakan menjadi pemerkosaan kencan jika pelaku adalah teman kencan korban dan inses jika pelaku adalah anggota keluarga korban. Pemerkosaan dibawah umur merupakan istilah yang digunakan pada kasus dimana korban berusia lebih muda dari suatu patokan spesifik. Patokan ini biasanya berbeda-beda antar negara

(7)

maupun antar negara bagian. Biasanya di sebagian besar negara usia yang dianggap sudah layak dalam memberikan persetujuan untuk melakukan aktivitas seksual berkisar antara 16 sampai 18 tahun. Di Indonesia, ketika suatu kekerasan seksual dilakukan pada anak berusia kurang dari 18 tahun maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kekerasan seksual pada anak. Kekerasan seksual pada anak mencakup seluruh aktivitas penggunaan, persuasi, induksi atau koersi seorang anak untuk terlibat atau membantu orang lain dalam suatu aktivitas seksual, seluruh perilaku eksplisit atau stimulasi yang bertujuan menghasilkan suatu gambaran visual atas aktivitas tersebut atau pemerkosaan. Dalam kasus hubungan interfamilial kekerasan seksual mencakup kekerasan pada anak dibawah umur, pelecehan, prostitusi, eksploitasi seksual dan inses.6

2.2. Insiden kekerasan seksual

Insiden dan prevalen kekerasan seksual dan pemerkosaan ditentukan oleh definisi dan metode pengumpulan data yang dipergunakan.9

Melalui suatu survey yang dilakukan National Women's Study di AS pada tahun 1989 sampai 1993 diketahui bahwa 683.000 wanita mengalami pemerkosaan dengan 84% korbannya tidak melaporkan kejadian yang dialaminya.

Pada survey yang dilakukan oleh National Violence Against Woman Survey antara bulan November 1995 dan Mei 1996 diketahui bahwa selama rentang waktu ini telah terjadi 876.000 kasus pemerkosaan. Sementara pada sebuah survey yang dilakukan oleh National Crime Victimization Survey tercatat 147.000 kasus percobaan pemerkosaan dan pemerkosaan pada tahun 2000. Satu tahun setelahnya FBI mencatat 90. 491 kasus percobaan pemerkosaan dan pemerkosaan (62,2 pemerkosaan per 100.000 wanita). 10

Menurut survey yang dilakukan oleh National Intimate Partner and Sexual Violence Survey 1,3 juta kekerasan seksual terjadi setiap tahunnya.6 Survey lain yang dilakukan antara bulan November 1995 dan Mei 1996 di AS menemukan bahwa 18% perempuan dan 3% laki-laki telah mengalami pemerkosaan selama hidupnya.3 Hampir 80% korban melaporkan bahwa pemerkosaan pertama terjadi sebelum usia 25 tahun dan 42% sebelum usia 18 tahun.6

Sebuah studi menunjukkan bahwa 78% korban melaporkan teman, kerabat/saudara atau kenalan sebagai pelaku. Sebagian besar pemerkosaan hanya

(8)

melibatkan satu orang pelaku. Pada sekitar 20% kasus didapatkan pelaku berjumlah lebih dari satu atau multipel.3

Angka kejadian kekerasan seksual kumulatif di Indonesia belum dapat diketahui karena kurangnya data. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak aduan kekerasan pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 % terkait dengan kasus kekerasan. Dan dari kasus kekerasan tersebut yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 % (53 kasus). Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dan para pelakunya biasanya adalah guru sekolah, guru privat termasuk guru ngaji, dan sopir pribadi. Tahun 2007, jumlah kasus sodomi anak, tertinggi di antara jumlah kasus kejahatan anak lainnya. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 %, adalah kasus sodomi anak. Dari tahun 2007 sampai akhir Maret 2008, jumlah kasus sodomi anak sendiri sudah meningkat sebesar 50 persen.

Komisi Nasional Perlindungan Anak telah meluncurkan Gerakan Melawan Kekejaman Terhadap Anak, karena meningkatnya kekerasan tiap tahun pada anak.

Pada tahun 2009 lalu ada 1998 kekerasan meningkat pada tahun 2010 menjadi 2335 kekerasan dan sampai pada bulan maret 2011 ini paling tidak dari pantauan Komnas Anak ada 156 kekerasan seksual khususnya sodomi pada anak.4

KPAI Daerah Bali menyatakan kasus kekerasan seksual dengan pelaku dan korban anak-anak semakin meningkat. Pada bulan Februari 2010 ada enam kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak. Sementara pada tahun 2009, KPAI mencatat ada 214 kasus kekerasan terkait anak. Dari 214 kasus itu, sebanyak 25 kasus pemerkosaan anak-anak, dan 58 kasus penganiayaan anak.

Sementara anak sebagai pelaku kekerasan sebanyak 29 orang.11

Pada tahun 2012 jumlah korban anak yang mengalami kekerasan seksual ialah 256 orang dan pada 2013 jumlahnya meningkat menjadi 378 orang.

Mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak laki-laki dengan perbandingan persentase 60 % anak laki laki dan 40 % anak perempuan. Adapun profil pelaku di hampir semua kasus sama, yakni orang-orang terdekat anak. Pelaku adalah guru, paman, ayah kandung, ayah tiri, dan tetangga. Sebagian besar kasus pada tahun 2014 ini terjadi di sekolah.11

(9)

Selama bulan Januari sampai April 2014, anak yang menjadi korban kekerasan seksual berjumlah lebih dari 200 orang. FBI menyatakan bahwa kasus pedofilia di Indonesia ialah yang tertinggi di Asia.11

2.3. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik 2.3.1. Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan pada korban kekerasan seksual harus dilakukan secara berhati-hati, tidak terburu-buru dan dengan memperhatikan kebutuhan pasien.12,13 Beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan meliputi:13

a. Identitas pasien, yang terdiri dari:

1. Data rutin seperti: nama, jenis kelamin, umur, tanggal lahir, alamat, nomor telepon, nomor telepon orang tua atau kontak darurat, 2. Tanggal dan waktu kedatangan, 3. Pengantar pasien dan hubungan dengan pasien, 4. Jika menggunakan penerjemah perlu ditanyakan nama penerjemah dan bahasa yang digunakan dan 5. Nama petugas kepolisian yang mengantarkan

b. Riwayat kekerasan yang terjadi, yang terdiri dari:

1. Mengenai kekerasan seksual meliputi: 1. Sumber informasi, 2. Waktu, tempat dan lokasi kejadian, 3. Jumlah pelaku dan identitasnya jika diketahui, 4. Hubungan dengan pelaku dan 5. Rincian kejadian

2. Jenis kekerasan yang dipergunakan meliputi: 1. Apakah pasien mengalami gangguan kesadaran, 2. Obat atau alkohol yang diketahui atau dicurigai diberikan, 3. Ancaman verbal, 4. Penggunaan kekerasan fisik, 5.

Penggunaan senjata dan 6. Adanya paksaan

3. Data fisik terkait kekerasan meliputi: 1. Lokasi lubang tubuh yang mengalami kekerasan, 2. Oleh apa (jari, penis, mulut, benda asing), 3.

Penggunaan kondom, 4. Terjadinya ejakulasi, jika ada dimana, 5. Luka fisik dan 6. Apakah terdapat perdarahan atau nyeri

4. Aktivitas paska kekerasan meliputi: 1. Mandi pancuran atau berendam, 2.

Membersihkan dengan jari, membasuh mulut, buang air kecil atau buang air besar dan 3. Mengganti pakaian, menyerahkan pakaian pada polisi atau membawa pakaian yang dipergunakan pada saat kejadian ke unit gawat darurat (UGD)

5. Faktor risiko pelaku terhadap hepatitis B/C, sifilis dan HIV jika diketahui: 1.

Diketahui/dicurigai menggunakan obat-obatan intravena, 2. Laki-laki yang

(10)

berhubungan seksual dengan laki-laki, 3. Dari suatu daerah endemik, 4.

Riwayat IMS atau riwayat kontak seksual dengan pekerja seks komersil dan 5. Paparan darah atau membran mukosa

c. Riwayat penyakit dahulu yang terdiri dari: 1. Kondisi medis yang signifikan, riwayat operasi, trauma mayor, penyakit kronis, gangguan imun, perkembangan, kognitif, kesehatan jiwa dan atau cacat fisik, 2. Obat-obatan yang digunakan saat ini, 3. Alergi, 4. Riwayat kesehatan kandungan, 5. Metode kontrasepsi yang digunakan, 6. Waktu haid terakhir, 7. Senggama konsensual terakhir dan 8. Riwayat vaksinasi hepatitis B pasien atau penyakitnya

d. Diskusi dengan pasien mengenai: 1. Prosedur pemeriksaan medis dan forensik yang akan dilakukan dan 2. pelaporan pada aparat penegak hukum dan pelepasan laporan medis

2.3.2. Pemeriksaan forensik

Pemeriksaan medis forensik penting untuk dilakukan pada setiap kasus kekerasan seksual baik pada korban yang mau melaporkan kejadian tersebut pada pihak kepolisian maupun tidak. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dalam melakukan pemeriksaan khususnya dalam kasus kekerasan seksual.12

Pemeriksaan forensik meliputi pengumpulan, transportasi dan penyimpanan spesimen (spesimen biologis berupa cairan tubuh, rambut, debris, pakaian, kondom, pembalut dan bahan-bahan lain ) dan dokumentasi temuan fisik.13

Pemeriksaan forensik dengan keterlibatan kepolisian

Jika korban memutuskan untuk melaporkan kekerasan seksual tersebut pada pihak kepolisian, maka sebaiknya segera laporkan hal tersebut pada kepolisian setempat, sehingga petugas yang berpengalaman dan bertugas dalam menangani tuduhan kekerasan seksual akan mendampingi, melakukan pengumpulan data verbal singkat sebelum mengatur dilakukannya suatu pemeriksaan forensik pada rumah sakit setempat.11

Pemeriksaan forensik tanpa keterlibatan kepolisian

Jika korban memutuskan untuk tidak melaporkan kekerasan seksual pada pihak kepolisian maka dokter harus menawarkan pengambilan sampel double stranded nucleic acid (DNA) dan bukti-bukti lain tanpa keterlibatan pihak kepolisian. Hal

(11)

ini akan berguna jika korban memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut dikemudian hari.

Skala waktu forensik

Pengetahuan akan skala waktu forensik ini sangat bermanfaat dalam edukasi dan konseling yang diberikan kepada korban dalam hal pelaksanaan pengumpulan bukti dan pengujian DNA. Sampel DNA dapat diperoleh sampai dengan 7 hari setelah penetrasi vaginal, sampai dengan dua hari pada penetrasi oral dan sampai dengan 3 hari pada penetrasi peranal baik dengan ataupun tanpa pencucian ataupun mandi.12

Tabel 1. Skala waktu pengumpulan bukti forensik pada berbagai bentuk kekerasan seksual

Jenis kekerasan Perempuan Laki-laki Ciuman, jilatan, gigitan 48 jam atau lebih 48 jam atau lebih Penetrasi oral 48 jam (2 hari) 48 jam (2 hari) Penetrasi vaginal 7 hari -

Penetrasi jari 12 jam 12 jam

2.3.3. Pemeriksaan Obstetri dan Ginekologi

Pemeriksaan yang dilakukan pada korban harus dilakukan dengan mengutamakan kerahasiaan dalam cara yang sensitif dan tidak terburu-buru dengan dokumentasi temuan yang baik. Jika kekerasan baru terjadi juga perlu ditanyakan luka-luka yang terjadi dan periksa akan perlunya diberikan pengobatan. Pemeriksaan genital dapat mengingatkan korban akan kekerasan yang dialami dan beberapa mungkin menolak dilakukannya pemeriksaan ini. Jika pasien menolak pemeriksaan ini maka sebaiknya dokter tidak memaksa.12

Pada kasus dimana seorang remaja perempuan mengakui adanya riwayat penetrasi vagina oleh penis ataupun jari sebelumnya maka interpretasi himen dapat berguna sehingga kemampuan memeriksa dan mendeskripsikan temuan himen akan sangat berguna. Pada wanita, pemeriksaan vagina dalam dengan spekulum cusco akan menunjukkan luka-luka dan berbagai tanda infeksi.12

Pada laki-laki harus dilakukan pemeriksaan genitalia dan area perianal utuk mencari luka-luka dan berbagai tanda infeksi. Pada kedua jenis kelamin riwayat penetrasi oral merupakan alasan kuat dalam melakukan pemeriksaan rongga mulut atas keberadaan luka-luka karena biasanya infeksi menular seksual

(12)

pada mulut bersifat asimtomatik. Selain itu juga perlu dipertimbangkan untuk melakukan proktoskopi dalam kasus terjadinya penetrasi anal untuk mencari berbagai tanda infeksi.12

Dalam prakteknya dibutuhkan kerjasama yang baik antara pasien, petugas kepolisian, forensik dan obstetri dan ginekologi dalam penanganan pertama korban kekerasan seksual.

2.4. IMS pada kekerasan seksual 2.4.1. Prevalensi

Prevalensi berbagai IMS akibat kekerasan seksual dari berbagai studi sulit diinterpretasikan akibat banyaknya faktor yang mempengaruhi antara lain: usia subjek, rentang waktu antara terjadinya kekerasan dengan waktu pemeriksaan, jenis kelamin korban, tempat pemeriksaan dan jenis pemeriksaan yang dipergunakan untuk menegakkan diagnosis IMS.3 Alasan-alasan inilah yang menyebabkan sulitnya menentukan insiden IMS yang sebenarnya pada korban kekerasan seksual.

Tabel 2. Infeksi Menular Seksual pada anak-anak yang dicurigai/ diketahui mengalami kekerasan seksual15

Catatan: 0= pemeriksaan dikerjakan namun tidak ditemukan adanya infeksi; - = pemeriksaan tidak dikerjakan; BV = bakterial vaginosis atau Gardnerella vaginalis-kultur positif; CA = kondiloma akuminata atau infeksi HPV; CT = Chlamydia trachomatis; HSV = herpes simplex virus; NG = Neisseria gonorrhoeae; TP = Treponema pallidum; TV = Trichomonas vaginalis

Pada tabel 2 diperlihatkan 13 survey IMS yang dilakukan pada anak-anak yang dicurigai/ diketahui mengalami kekerasan seksual. Dari ke 13 survey ini didapatkan bahwa mayoritas partisipan (91,1 %) adalah perempuan. Alasan dicurigai terjadi kekerasan seksual antara lain:

(13)

1. Dari observasi dan laporan didapatkan perubahan tingkah laku dan anatomi yang mengindikasikan terjadinya kekerasan seksual atau

2. Korban tingggal satu rumah dengan anak lain yang mengalami kekerasan seksual.

Usia anak-anak ini bervariasi yaitu < 14 tahun, 1,5 - 14 tahun, 1 - 12 tahun, 2,1 - 14,9 tahun, < 11 tahun, 1 - 12 tahun, 10 bulan - 13 tahun, antara 3 - 16 tahun, 24 bulan - 12 tahun, < 12 tahun, 3 minggu - 18 tahun dan 2 - 13 tahun. Hasil studi ini diterbitkan dari tahun 1988 sampai 1996.

Pada partisipan survey dengan spesimen yang dikultur untuk N.

gonorrhoeae, prevalensi kultur positif bervariasi antara 1 - 4,6 %, sementara prevalensi infeksi C. trachomatis bervariasi antara 0,42 - 11,1 %. Pada sebagian besar kasus infeksi gonore pasien mengeluhkan adanya duh tubuh, namun pada suatu studi diperoleh 15% pasien dengan infeksi gonore bersifat asimtomatik.

Begitupula halnya pada kasus infeksi C. trachomatis, dimana infeksi ditemukan pada anak-anak asimtomatik dan pemeriksaan fisik normal.

Hanya 3 studi yang melaporkan adanya infeksi Human papilloma virus (HPV)/ kondiloma akuminata tanpa gejala yang dideteksi dengan teknik uji amplifikasi asam nukleat dari spesimen bilasan vagina. Bakterial vaginosis (BV) ditemukan melalui pemeriksaan sediaan basah pada 7 studi dan Trichomonas vaginalis (TV) ditemukan melalui kultur pada 4 studi. Pada korban dengan tanda infeksi HPV, prevalensi kekerasan seksual bervariasi dari 1,85 % - 33 %. Pada studi yang mencari keberadaan lebih dari 1 IMS pada korban kekerasan seksual, BV adalah infeksi tersering.

Sembilan dari 13 studi yang dilakukan ini menggunakan metode diagnostik dengan spesifisitas tinggi seperti kultur untuk deteksi C. trachomatis di vagina, uretra atau rektum dan kultur dengan media Thayer Martin akan keberadaan infeksi N. gonorrhoeae pada spesimen oral, anal dan genital.

Empat survey menggunakan metode diagnostik nonstandar untuk diagnosis IMS. Metode-metode ini meliputi polimerase chain reaction (PCR) spesimen bilasan vagina akan keberadaan infeksi HPV, kultur Gardnerella vaginalis dan metode diagnostik nonspesifik lain.

(14)

Tabel 3. Data dari survey dan laporan kasus pada anak-anak dengan IMS, diterbitkan tahun 1988-199514

Catatan: 0= pemeriksaan dikerjakan namun tidak ditemukan adanya infeksi; - = pemeriksaan tidak dikerjakan; BV = bakterial vaginosis atau Gardnerella vaginalis-kultur positif; CA = kondiloma akuminata atau infeksi HPV; CT = Chlamydia trachomatis; HSV = herpes simplex virus; NG = Neisseria gonorrhoeae; TP = Treponema pallidum; TV = Trichomonas vaginalis

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi terjadinya pelecehan seksual pada 25 studi yang dilakukan pada anak-anak dengan IMS bervariasi dari 3 - 100 %. Mayoritas laporan (20 dari 25/ 80 %) berfokus pada keberadaan infeksi HPV; 2 (8 %) dari 25 laporan berfokus pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV), 2 studi pada herpes simplex virus (HSV) dan 5 studi pada BV. Usia partisipan bervariasi antara 1 - 11 tahun (3 studi), 10 bulan - 12 tahun (4 studi), 1 - 9 tahun (1 studi), 1 - 3 tahun (1 studi), 0 - 17 tahun (2 studi), 3,5 - 13 tahun (1 studi), 1 - 14 tahun (2 studi), 6 - 14 tahun (1 studi), 2 - 12 tahun (2 studi), < 14 tahun (1 studi), 4 - 8 tahun (1 studi) dan 7 bulan - 12 tahun (1 studi). Proporsi perempuan bervariasi dari 36,3 % (1 studi) - 100 % (6 studi) dengan anak perempuan berusia lebih dari 2 tahun sebagai kelompok yang dilaporkan paling sering mengalami pelecehan seksual.

Sebelas dari 25 studi melakukan penyelidikan jenis HPV dan mengindikasikan prevalensi subtipe kutaneus yang tinggi pada lesi anogenital anak. Karena prevalensi tipe ini yang sangat jarang pada kondiloma akuminata anogenital dewasa yang diperoleh melalui kontak seksual, maka disimpulkan bahwa lesi-lesi pada anak ini ditularkan secara tidak sengaja oleh pengasuh anak saat memandikan atau mengganti popok anak. Pada suatu studi didapatkan bahwa

(15)

seorang anak dapat terinfeksi lebih dari 1 subtipe HPV dan anak dari ibu yang terinfeksi 1 subtipe HPV terbukti tidak terinfeksi HPV jenis apapun.

Pada studi yang disimpulkan pada tabel 1 dan 2, jumlah anak yang dilaporkan mengalami pelecehan seksual dengan infeksi kondiloma akuminata lebih rendah (42% ,bervariasi dari 3-100%) dari anak-anak dengan IMS lain (100 %, bervariasi dari 6,3 - 100 %). Anak-anak dengan kondiloma akuminata anogenital subtipe kutaneus khususnya dengan pengasuh yang memiliki veruka di telapak tangan dan dengan salah satu atau kedua orang tua memiliki subtipe yang sama, tampaknya lebih sering mengalami infeksi HPV melalui transmisi nonseksual.

Tabel 4. Data dari survey yang dilakukan pada laki-laki dan perempuan remaja dan dewasa yang mengalami kekerasan seksual tahun 1990-199214

Catatan: 0= pemeriksaan dikerjakan namun tidak ditemukan adanya infeksi; - = pemeriksaan tidak dikerjakan; BV = bakterial vaginosis atau Gardnerella vaginalis-kultur positif; CA = kondiloma akuminata atau infeksi HPV; CT = Chlamydia trachomatis; HSV = herpes simplex virus; NG = Neisseria gonorrhoeae; TP = Treponema pallidum; TV = Trichomonas vaginalis

F/U = data follow up

Delapan dari sembilan studi yang dilakukan pada laki-laki dan perempuan remaja dan dewasa yang mengalami kekerasan seksual ini melakukan penelitian dalam mendiagnosis infeksi N. gonorrhoeae dan C. trachomatis. Delapan survey hanya terdiri dari partisipan perempuan dan 1 survey hanya terdiri dari partisipan laki-laki. Proporsi median pasien yang terinfeksi oleh N. gonorrhoeae dan C.

trachomatis hampir sama yaitu 3,3 % (0 - 20 %) terinfeksi N. gonorrhoeae dan 3,27 % (0 - 7,8 %) terinfeksi C. trachomatis. Empat studi juga berusaha mendiagnosis trikomoniasis dan 3 studi berusaha mendiagnosis BV, kondiloma akuminata, herpes genitalis dan infeksi HIV. Proporsi partisipan dengan infeksi

(16)

TV, BV dan kondiloma akuminata secara berturut-turut ialah 9,4 %, 18,3 % dan 5,6 %.

Pada delapan studi dengan seluruh partisipan perempuan disimpulkan bahwa sebagian besar infeksi memang telah diderita sebelum kekerasan seksual terjadi, meskipun pada lima studi diperoleh adanya infeksi pada wanita-wanita yang mengaku tidak melakukan hubungan seksual antara waktu terjadinya kekerasan sampai follow up. Namun demikian, para partisipan ini semuanya diketahui aktif secara seksual dan penelitian dilakukan sesaat setelah terjadinya kekerasan seksual. Sehingga diasumsikan secara eksplisit pada 1 studi dan secara implisit pada beberapa studi bahwa infeksi organisme yang diisolasi sesaat setelah terjadinya kekerasan seksual tidak berhubungan dengan kekerasan seksual yang terjadi.

Meskipun prevalen patogen IMS pada populasi korban kekerasan seksual dikatakan tinggi, namun pada sebuah survey diperoleh hasil bahwa prevalen IMS pada wanita yang mengalami kekerasan seksual atau pemerkosaan lebih rendah dari wanita yang mendatang unit gawat darurat karena keluhan saluran kemih. Pada sebuah studi didapatkan infeksi hepatitis B dengan marker serologis pada 5 dari 92 wanita (5 %) partisipan. Pada studi yang sama juga diperoleh marker HIV yang menjadi positif 2 bulan setelah terjadi kekerasan seksual; walaupun pasangan tetap wanita ini seronegatif dan ia tidak mengakui adanya pasangan seksual lain maupun faktor risiko lainnya, infeksi HIV tidak dianggap terjadi akibat kekerasan seksual yang terjadi karena hasil positif ini diperoleh hanya 2 bulan setelah terjadinya kekerasan seksual.

Tabel 5 memperlihatkan angka kejadian berbagai IMS pada korban kekerasan seksual laki-laki dan perempuan dewasa dari 14 studi yang dilakukan sejak tahun 1990 sampai 2005. Walaupun hasil pada tiap penelitian berbeda-beda namun seperti penelitian-penelitian sebelumnya, bakterial vaginosis masih merupakan IMS yang paling sering dijumpai dan infeksi HIV jarang terjadi sebagai akibat suatu kekerasan seksual.

(17)

Tabel 5. Prevalen IMS setelah pemerkosaan pada korban usia dewasa pada berbagai studi yang diterbitkan pada periode 1990-20053

Jumlah dibawah kategori-kategori penyakit menunjukkan jumlah penyakit dan jumlah dalam tanda kurung menunjukkan persentase

*NG = Neisseria gonorrhoeae; CT = Chlamydia trachomatis; BV = Bakterial vaginosis; CA = Kondiloma akuminata atau infeksi human papiloma virus; TP = Treponema pallidum; HSV = Herpes simplex virus; HIV = Human immunodeficiency virus; F/U = follow up

**Infeksi-infeksi yang dilaporkan oleh pasien. Subjek mengalami kekerasan oleh pasangan domestik

2.4.2. Pemeriksaan paska kekerasan seksual15,16

Pemeriksaan yang dilakukan pada korban kekerasan seksual meliputi pemeriksaan fisik dan penunjang yang keduanya dilakukan dalam situasi yang tenang dengan mengutamakan kenyamanan dan privasi pasien. Pedoman Pengobatan Infeksi Menular Seksual Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2010 membagi pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual menjadi pemeriksaan pada korban usia dewasa dan remaja dan anak-anak.15

a. Dewasa dan remaja

Pada pemeriksaan awal (dalam 72 jam pertama paska terjadinya kekerasan seksual) terdapat beberapa pemeriksaan yang disarankan yaitu: 1. Uji amplifikasi asam nukleat untuk C. trachomatis dan N. gonorrhoeae. Pemeriksaan ini dilakukan untuk evaluasi diagnostik korban kekerasan seksual dan dapat

(18)

dilakukan pada seluruh tempat penetrasi atau percobaan penetrasi, 2. Pemeriksaan sediaan basah dan kultur dari swab vagina akan infeksi Trichomonas vaginalis.

Sediaan basah juga harus diperiksa akan keberadaan bakterial vaginosis dan kandidiasis, terutama jika ditemukan duh tubuh vagina berbau atau gatal dan 3.

Pemeriksaan serologi akan infeksi HIV, hepatitis B dan sifilis

Pada pemeriksaan lanjutan yang bertujuan untuk : mendeteksi infeksi baru yang didapat paska kekerasan seksual, menyelesaikan jadwal vaksinasi hepatitis B jika vaksin diberikan, menyelesaikan konseling dan terapi IMS lain dan memonitor efek samping dan kepatuhan akan PEP (jika diberikan) disarankan untuk melakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Pada pasien yang tidak memperoleh profilaksis pada pemeriksaan awal, dalam 1-2 minggu paska kekerasan seksual seluruh pemeriksaan awal harus diulangi dengan pengecualian pemeriksaan serologi. Jika pasien telah mendapat profilaksis pada pemeriksaan awal maka pemeriksaan ulangan hanya dilakukan jika ditemukan gejala terjadinya IMS dan 2. Pada minggu ke 6, 12 dan 24 uji serologi HIV dan sifilis harus diulangi jika hasil pemeriksaan awal negatif. Uji hepatitis B juga diulangi jika pasien tidak divaksinasi.

b. Anak-anak

Identifikasi agen IMS pada anak-anak diluar periode neonatal mengindikasikan terjadinya kekerasan seksual. Perlunya identifikasi agen IMS pada anak-anak sebagai bukti terjadinya pelecehan seksual bervariasi tergantung patogen penyebab. Keberadaan gonore postnatal, sifilis dan HIV yang diperoleh nonperinatal biasanya bersifat diagnostik untuk pelecehan seksual. Pelecehan seksual harus dicurigai pada anak dengan herpes genitalis. Pada tabel 6 dapat dilihat implikasi tiap IMS pada penegakan diagnosis dan pelaporan kasus kekerasan seksual antara bayi dan anak-anak prepubertas.

Pemeriksaan IMS pada anak-anak harus dilakukan dalam kondisi yang dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya trauma fisik dan psikologis, mengingat pengambilan spesimen khususnya spesimen vaginal pada anak prepubertas bisa sangat tidak nyaman. Pengambilan spesimen sangat disarankan untuk dilakukan oleh klinisi yang telah berpengalaman menangani korban kekerasan seksual.

(19)

Tabel 6. Jenis-jenis IMS dan implikasinya sebagai bukti kekerasan seksual

Jenis IMS Implikasi sebagai bukti kekerasan seksual

Gonore*

Sifilis*

HIV**

Chlamydia trachomatis*

Trichomoniasis vaginalis Kondiloma akuminata*

Herpes genitalis*

Bakterial vaginosis

Diagnostik Diagnostik Diagnostik Diagnostik

Sangat mencurigakan Mencurigakan Mencurigakan Tidak konklusif

* = jika tidak diperoleh secara perinatal dan secara nonseksual harus disingkirkan transmisi vertikal

** = jika tidak diperoleh secara perinatal atau melalui tranfusi darah

Terdapat beberapa situasi yang menempatkan seorang anak pada risiko tinggi untuk terinfeksi IMS, antara lain: anak memiliki tanda dan gejala IMS, bahkan jika tidak terdapat kecurigaan akan terjadinya pelecehan seksual, dimana tanda- tanda ini meliputi duh tubuh berbau, nyeri, gatal pada kelamin, gejala saluran kemih, ulkus dan lesi genital, orang yang dicurigai sebagai pelaku diketahui menderita suatu IMS atau berisiko tinggi memiliki IMS (multipartner atau riwayat IMS), saudara kandung/ anak lain dalam 1 rumah atau lingkungan tempat tinggal korban memiliki IMS, pasien atau orang tuanya meminta untuk dilakukan pemeriksaan dan terdapat bukti-bukti penetrasi genital, oral atau anal, atau jika pelaku mengalami ejakulasi.

Jika pada anak ditemukan tanda-tanda atau gejala akan terjadinya infeksi yang kemungkinan ditularkan secara seksual maka anak tersebut harus diperiksa akan kemungkinan keberadaan seluruh IMS sebelum terapi apapun diberikan.

Waktu dilakukannya pemeriksaan lanjutan harus disesuaikan dengan rentang waktu antara terjadinya kekerasan seksual dengan waktu pemeriksaan. Jika kekerasan seksual baru saja terjadi maka pemeriksaan sebaiknya diulang setelah 2 minggu terjadinya kekerasan seksual. Jika kekerasan seksual terjadi jauh sebelum pemeriksaan maka satu kali pemeriksaan dianggap cukup. Namun demikian pemeriksaan serologis sebaiknya diulang pada minggu ke 6, 12 dan 24. Jadwal pemeriksaan ini harus ditentukan secara individual, disesuaikan dengan kebutuhan pasien guna meminimalkan trauma psikologis dan stigma sosial.

Rekomendasi pemeriksaan pada anak meliputi : 1. Pemeriksaan awal dan lanjutan (2 minggu)

Selama pemeriksaan awal dan lanjutan (2 minggu) direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan sebagai berikut : 1. Inspeksi visual area genital,

(20)

perianal dan oral akan keberadaan duh tubuh genital, bau, perdarahan, iritasi, kutil dan lesi ulseratif. Klinisi harus selalu mengingat bahwa manifestasi beberapa IMS berbeda antara anak dan dewasa, 2. Diagnosis infeksi gonore dan C. trachomatis pada spesimen dari urethra anak laki-laki dan ekstragenital (faring dan anus) pada anak laki-laki dan perempuan disarankan untuk dilakukan dengan metode kultur sebagai metode utama, sedangkan spesimen vagina dan urine pada anank perempuan dapat dilakukan dengan uji amplifikasi asam nukleat yang menawarkan sensitifitas yang lebih superior dari kultur. Pemeriksaan gram tidak disarankan untuk dilakukan dalam menegakkan diagnosis. Hasil positif dengan uji amplifikasi asam nukleat terhadap infeksi C. trachomatis harus diperkuat dengan pemeriksaan kedua yang menggunakan prinsip kerja yang berbeda, 3. Selain itu juga harus dilakukan pemeriksaan kultur dan sediaan basah swab vagina terhadap infeksi Trichomonas vaginalis dan bakterial vaginosis dan 4. Pemeriksaan serologis terhadap infeksi HIV, HBV dan sifilis

2. Pemeriksaan pada minggu ke 6, 12 dan 24. Pada minggu ke 6, 12 dan 24 uji serologi HIV dan sifilis harus diulangi jika hasil pemeriksaan awal negatif. Uji hepatitis B juga diulangi jika pasien tidak divaksinasi.

2.4.3. Profilaksis

Profilaksis penting untuk diberikan pada korban kekerasan seksual karena rendahnya kepatuhan pasien korban kekerasan seksual dalam melakukan follow up.

Regimen yang disarankan oleh CDC sebagai terapi preventif pada korban kekerasan seksual dewasa dan remaja antara lain:15,16

1. Vaksinasi Hepatitis B paska paparan (tanpa Hepatitis B Immunoglobulin/

HBIG). Vaksin harus diberikan pada pemeriksaan awal jika pasien belum pernah divaksinasi. Vaksin harus diulangi setelah 1-2 bulan dan 4-6 bulan setelah dosis pertama

2. Regimen antimikrobial empirik terhadap infeksi C. trachomatis, N.

gonorrhoeae dan TV

3. Kontrasepsi darurat (perlu diberikan jika kekerasan seksual yang terjadi berisiko menyebabkan terjadinya kehamilan pada korban)

4. Profilaksis antimikrobial yang disarankan terdiri dari: Ceftriakson 250 mg intramuskular dosis tunggal atau cefiksim 400 mg peroral dosis tunggal,

(21)

ditambah metronidazol 2 gram peroral dosis tunggal ditambah azitromisin 1 gram peroral dosis tunggal atau doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari

Efikasi regimen-regimen ini dalam mencegah terjadinya infeksi setelah kekerasan seksual belum dievaluasi secara klinis. Pasien harus dikonsultasikan mengenai keuntungan dan toksisitas penggunaan terapi ini. Efek samping pada saluran gastrointestinal sering kali dijumpai pada penggunaan antimikrobial kombinasi ini.

Pada pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjutan pasien harus diberitahukan akan gejala-gejala terjadinya IMS dan perlunya pemeriksaan segera jika ditemukan gejala dan pasien juga diinstruksikan untuk menghindari melakukan kontak seksual dengan siapapun sampai terapi profilaksis selesai diberikan.

Sampai saat ini telah ditemukan kasus dimana infeksi HIV terjadi pada korban kekerasan seksual tanpa adanya hubungan seksual lain yang berisiko, meskipun angka kejadiannya rendah. Pada hubungan seksual konsensual, risiko terjadinya infeksi HIV dari senggama pervaginal adalah 0,1-0,2% dan pada reseptif senggama anal 0,5-3%. Risiko infeksi HIV dari hubungan seksual peroral dilaporkan lebih rendah. Beberapa faktor sepeerti perdarahan, terjadinya ejakulasi dan lokasi terjadinya ejakulasi, jumlah virus yang tinggi pada cairan ejakulat dan keberadaan IMS atau lesi genital pada pelaku ataupun korban dapat meningkatkan risiko transmisi HIV.

Risiko terjadinya penularan infeksi HIV lebih tinggi pada anak-anak karena pelecehan seksual pada anak-anak sering kali dihubungkan dengan terjadinya kekerasan seksual berulang yag berisiko menimbulkan trauma mukosa.

Dengan melihat efikasi pemberian post exposure prophylaxis (PEP) HIV pada petugas medis yang tertusuk jarum dengan kontaminasi darah penderita HIV dan pada binatang percobaan maka pemberian PEP direkomendasikan pada korban kekerasan seksual.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian PEP, antara lain:

kemungkinan pelaku terinfeksi HIV melalui penilaian risiko, jenis kekerasan seksual yang dialami dan risiko penularan HIV, rentang waktu antara terjadinya kekerasan seksual dan waktu pemeriksaan dan keuntungan dan kerugian terkait pemberian PEP.

(22)

Pada sebagian besar kasus kekerasan seksual status HIV pelakunya tidak diketahui sehingga klinisi harus melakukan estimasi risiko dengan mengumpulkan informasi mengenai: perilaku pelaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi HIV (pengguna obat-obatan terlarang dengan jarum suntik, berhubungan seksual dengan laki-laki dan riwayat dipenjara sebelumnya), epidemiologi HIV/AIDS lokal, jenis kekerasan seksual yang terjadi , terjadinya ejakulasi pada membran mukosa, adanya pelaku multipel dan adanya lesi mukosa pada korban/

pelaku.

Pada tabel 7 dan 8 dapat dilihat risiko terjadinya infeksi HIV berdasarkan jenis hubungan seksual yang terjadi dan beberapa faktor risiko yang menempatkan pasien pada risiko tinggi, sedang dan rendah atas terjadinya infeksinya HIV. Namun harus diingat bahwa alat penilai risiko ini belum diuji secara klinis.3

Jika PEP akan diberikan, maka hal-hal sebagai berikut harus didiskusikan dengan pasien: manfaat PEP yang belum diketahui dan toksisitas antiretroviral yang diketahui, pentingnya follow up, keuntungan kepatuhan minum obat dan pentingnya memulai PEP sesegera mungkin untuk mengoptimalkan keuntungan (segera setelah terjadi kekerasan seksual sampai 72 jam setelah terjadinya kekerasan seksual).

Tabel 7. Estimasi risiko penularan HIV pada setiap jenis paparan tanpa proteksi terhadap sumber terinfeksi HIV3

Jalur paparan Risiko per 10.000 paparan terhadap sumber

terinfeksi Reseptif senggama anal

Reseptif senggama penis-vaginal Insertif senggama anal

Insertif senggama penis-vaginal Reseptif senggama oral Insertif senggama oral Tusukan jarum perkutan

50 10 6,5 5 1 0,5 30

Sangatlah penting untuk menjelaskan pasien bahwa makin cepat PEP diberikan setelah suatu paparan terjadi maka PEP akan bekerja semakin efektif dalam mencegah terjadinya infeksi. Selanjutnya pasien harus dikonsultasikan dengan dokter spesialis pengobatan dan pencegahan HIV dan melakukan pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, uji HIV dan uji kehamilan. Jika PEP sudah pasti akan diberikan maka pasien harus diberikan pasokan PEP selama 3-5 hari dan di follow up 72 jam setelah konsumsi obat pertama. Pada follow up selanjutnya akan dinilai toleransi pasien akan PEP yang diberikan.

(23)

Panduan CDC terkini menyarankan penggunaan regimen yang terdiri dari 3 obat untuk paparan nonokupasional terhadap sumber yang diketahui terinfeksi HIV.

Regimen-regimen yang disarankan meliputi regimen berbasis non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) seperti efavirenz ditambah (lamivudin atau emtricitabin) ditambah (zidovudin atau tenofovir) atau dengan regimen berbasis protease inhibitor (PI) seperti koformulasi lopinavir/ritonavir ditambah (lamivudin atau emtricitabin) ditambah zidovudin. Meskipun tidak terdapat bukti bahwa regimen 3 obat lebih efektif daripada regimen 2 obat untuk pasien berisiko tinggi akan namun tetap disarankan pemberian regimen 3 obat.3

Jika pasien dikategorikan berisiko paparan sedang, CDC tidak memiliki rekomendasi resmi. Para ahli lain merekomendasikan pemberian regimen 2 obat untuk mengurangi efek samping, toksisitas dan biaya. Regimen ini meliputi koformulasi zidovudin dan lamivudin atau tenofovir dan emtricitabin. Sebelum memberikan regimen manapun harus dilakukan konsultasi dengan pakar pengobatan dan pencegahan HIV.

Tabel 8. Kategori risiko yang dipertimbangkan pada kasus kekerasan seksual ketika mengevaluasi pasien akan profilaksis paska paparan3

Pasien dengan risiko tinggi akan terjadinya HIV paska kekerasan seksual

Pasien-pasien dengan penetrasi pervaginal, anal atau oral oleh pelaku HIV positif yang dikenal

Seropositivitas pelaku tidak diketahui namun terdapat faktor-faktor lain yang dapat memodifikasi risiko dari paparan seperti

Keberadaan trauma anogenital

Terdapat pelaku multipel

Pelaku diketahui berasal dari populasi berisiko tinggi, atau

Korban juga memiliki infeksi anogenital

Pasien dengan risiko sedang akan terjadinya HIV paska kekerasan seksual

Pasien-pasien dengan penetrasi pervaginal, anal atau oral dan pelaku berejakulasi, dengan seropositivitas pelaku tidak diketahui, namun terdapat faktor-faktor yang memodifikasi atau berpotensi meningkatkan risiko paparan

Pasien dengan risiko rendah akan terjadinya HIV paska kekerasan seksual

Kekerasan tidak melibatkan penetrasi anal, vaginal ataupun oral

Kekerasan melibatkan penetrasi oral tanpa ejakulasi

Pelaku diketahui berstatus HIV negatif

Pasien-pasien dengan risiko paparan HIV rendah sebaiknya tidak secara rutin disarankan untuk menggunakan PEP. Namun jika pasien menderita stres psikologis berat terkait kemungkinan paparan atau penularan HIV karena kekerasan seksual yang dialaminya, maka pasien harus diberikan konseling, diyakinkan dan dijadwalkan untuk konsultasi lanjutan. Pada kasus yang jarang dimana pasien tidak

(24)

dapat menerima rekomendasi untuk tidak menggunakan PEP, klinisi dapat meninjau kembali pemberian PEP dan memberikan PEP tergantung dari kebutuhan tiap pasien.3

Pemberian profilaksis tidak disarankan pada anak-anak korban kekerasan seksual karena insiden IMS pada anak-anak paska terjadinya kekerasan seksual rendah, anak perempuan prepubertas memiliki risiko mengalami infeksi ascenden yang lebih rendah dari perempuan remaja atau dewasa dan follow up berkala pada anak-anak biasanya baik.15

2.4.4. Follow up12

Pengamatan lanjutan sangat disarankan untuk dilakukan pada semua kasus kekerasan seksual. Bagi pasien yang mendapatkan PEP HIV follow up pertama harus dilakukan dalam 72 jam setelah pemberian obat untuk mengetahui terjadinya efek samping obat. Follow up ini meliputi pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, gula darah, lipid dan amilase.3,12 Selanjutnya jika tidak ditemukan gangguan follow up berikutnya dapat dilakukan setiap 2 minggu sampai terapi selesai. Namun jika ditemukan kelainan pada salah satu fungsi ini follow up dilakukan setiap minggu sampai terapi selesai.12

Skrining IMS diharapkan diulangi setelah 2 minggu dari terjadinya kekerasan seksual. Lakukan pemeriksaan serologi sifilis dan HIV pada minggu ke 6, 12 dan 24 paska kekerasan seksual terlepas dari apakah pasien menerima PEP HIV atau tidak. Jika PEP diberikan uji serologis HIV sebaiknya diulangi setelah 3 bulan dari berakhirnya terapi. Uji serologis hepatitis B harus diulangi pada minggu ke 6, 12 dan 24 paska kekerasan seksual jika pasien tidak memperoleh vaksin hepatitis B, jika pasien menerima vaksin hepatitis B vaksinasi harus diselesaikan sesuai jadwal.3,12

Uji kehamilan yang wajib dilakukan pada saat kunjungan pertama harus diulangi sebelum pemberian PEP dimulai (jika diberikan) dan follow up konsultasi psikiatri harus disesuaikan dengan kebutuhan.12

2.5. Komplikasi kekerasan seksual 2.5.1. Fisik

Diantara para korban pemerkosaan berusia diatas 18 tahun, 31,5% wanita dan 16,1% laki-laki menyatakan bahwa mereka mngalami cedera-cedera lain diluar pemerkosaan itu sendiri. Diantara para perempuan yang mengalami cedera ini

(25)

74% melaporkan cakaran dan lebam sebagai jenis luka yang terjadi.4

Evaluasi dari seluruh korban kekerasan seksual perempuan yang datang ke UGD selama rentang waktu 34 bulan memperoleh data bahwa cedera tubuh ditemukan pada 52% pasien meskipun jarang dijumpai cedera serius. 20% dari mereka yang diperiksa mengalami lesi genital atau anal. 15% mengalami memar atau abrasi pada vulva atau perineum dan 7% mengalami laserasi. Cedera pada genitalia atau anak dilaporkan dua kali lebih sering terjadi pada korban berusia diatas 49 tahun. Terdapat 29.3% perempuan dengan riwayat kekerasan seksual yang melaporkan setidaknya 6 gejala somatik. Gejala-gejala yang paling sering terjadi meliputi:4,17

1. Nyeri muskuloskletal termasuk nyeri kepala, nyeri otot, fibromyalgia, nyeri sendi dan nyeri generalisata

2. Gangguan saluran gastrointestinal meliputi irritable bowel syndrome

3. Gejala kardiopulmoner termasuk nyeri dada, sesak, aritmia dan penyakit jantung iskemik dan

4. Obesitas (body mass index/ BMI  30)

Ketakutan akan terjadinya kehamilan merupakan ketakutan yang paling sering dirasakan oleh oleh korban kekerasan seksual perempuan. Menurut survey yang dilakukan National Vivtim Center 34% korban pemerkosaan melaporkan ketakutan akan terjadinya kehamilan. Enam puluh dua persen remaja perempuan yang hamil atau telah melahirkan diketahui mengalami pelecehan seksual, percobaan pemerkosaan atau pemerkosaan sebelum kehamilan pertamanya dan sepertiga sampai setengahnya mengalami kekerasan seksual berulang. Antara 11%

sampai 20% remaja yang tengah mengandung ialah akibat dari pemerkosaan.

Sampai dengan 75% anak yang dilahirkan oleh remaja sekolah menengah atas memiliki ayah berusia lebih tua yang umumnya berusia diatas 20 tahun.12

Lima persen pemerkosaan berakhir dengan kehamilan.18 Terdapat beberapa metode pencegahan kehamilan yang dapat dipergunakan pada korban pemerkosaan antara lain:12

1. Intra uterine device (IUD)

Alat kontrasepsi intrauterin disarankan penggunaannya pada wanita korban pemerkosaan yang datang dalam 5 hari paska kejadian karena angka keberhasilannya yang tinggi, yakni 99%. Alat ini dapat dipergunakan pada

(26)

siklus menstruasi manapun dengan syarat bahwa kejadian pemerkosaan yang dialaminya merupakan satu-satunya hubungan seksual tanpa proteksi yang dilakukan pasien dan terjadi dalam jangka waktu kurang dari 5 hari. Jika terdapat aktivitas seksual tanpa proteksi lain maka alat ini hanya akan efektif sampai hari ke 19 dari siklus menstruasi 28 hari.12,19

2. Kontrasepsi hormonal darurat

Terdapat beberapa jenis kontrasepsi hormon darurat yang dapat dipergunakan pada kasus pemerkosaan. Seperti misalnya levonorgestrel (levonelle) 1,5 mg.

Obat ini bekerja paling efektif dalam 24 jam pertama (efikasi 95%) dan dalam 72 jam pertama (efikasi 58%) paska kejadian, namun masih tetap dapat diberikan sampai dengan 120 jam pertama. Pada pasien yang menerima PEP HIV atau pada mereka yang sedang mengkonsumsi obat-obatan penginduksi enzim hati dosis kontrasepsi ini harus digandakan. Uji kehamilan harus dilakukan sebelum kontrasepsi manapun diberikan dan kontrasepsi dikontra indikasikan jika hasil uji kehamilan positif.12,19

Pada kasus dimana terjadi kehamilan paska pemerkosaan terdapat beberapa pilihan yang dapat ditempuh, antara lainterminasi kehamilan, uji paternitas dan penggunaan hasil konsepsi sebagai bukti kejahatan12

jika pasien memutuskan akan melanjutkan kehamilannya, sebaiknya kita membuat rujukan pada dokter umum atau dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan infromasi lengkap mengenai pemerkosaan yang terjadi dan dengan menyertakan kekhawatiran utama pasien. Jika pasien memutuskan untuk mengakhiri kehamilan maka fetus dapat dipergunakan sebagai bukti deoxyribonucleic acid (DNA). Jika terdapat keraguan mengenai ayah janin, apakah pelaku ataukah pasangan pasien maka dapat dilakukan uji paternitas dengan teknik biopsi vilus korionik oleh seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi, yang selanjutnya akan mempermudah pasien dalam mengambil keputussan akan tindak lanjut pada kehamilannya.12

2.5.2. Psikologis

Beberapa kelainan psikiatri yang sering dijumpai pada korban kekerasan seksual antara lain:4,20-22

1. Kepribadian borderline

Lebih dari 80% wanita yang didiagnosis dengan kepribadian borderline yang dicirikan oleh tingkah laku impulsif seperti kemarahan intens, kecenderungan

(27)

bunuh diri, mutilasi diri dan kesulitan dalam menjalin hubungan melaporkan suatu bentuk trauma masa kanak-kanak. Dimana perempuan-perempuan ini 71% melaporkan mengalami kekerasan fisik, 68% melaporkan mengalami kekerasan seksual dan 62% melaporkan melihat terjadinya kekerasan rumah tangga. Selanjutnya perempuan yang terdiagnosis memiliki kepribadian borderline ini: tiga sampai empat kali lipat lebih sering menjadi korban kekerasan seksual anak, khususnya yang dilakukan oleh ayahnya dibandingkan dengan perempuan dengan kelainan psikiatri lainnya, 70%

perempuan yang mengalami pelecehan oleh ayahnya juga mengalami pelecehan oleh orang lan dan 80% juga mengalami kekerasan fisik dan banyak yang juga ditelantarkan oleh ibunya.23

Kekerasan seksual juga merupakan faktor risiko terjadinya kepribadian borderline pada korban laki-laki.

2. Depresi

Korban pemerkosaan berisiko mengalami depresi berat 3 kali lebih tinggi dari pada bukan korban. Depresi merupakan gejala tersering yang dijumpai pada korban kekerasan seksual pada anak-anak. Jika dibandingkan dengan laki-laki yang tidak mengalami kekerasan seksual, korban kekerasan seksual laki-laki 4 kali lipat lebih sering mengalami depresi berat.24

3. Gangguan makan dan mutilasi diri

Pada suatu survey yang dilakukan pada 6000 wanita dewasa pada tahun 1996 menemukan bahwa korban kekerasan seksual lebih sering melaporkan terjadinya satu atau lebih gangguan makan.25 Gangguan makan ini lebih sering dihubungkan dengan riwayat kekerasan seksual selama masa kanak- kanak, kekerasan seksual oleh orang tua atau kekerasan seksual berulang.

Sebanyak 2/3 penderita anoreksia atau bulimia memiliki riwayat kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. Jika dibandingkan dengan laki-laki yang tidak mengalami kekerasan seksual, korban kekerasan seksual laki-laki 3 kali lebih sering mengalami bulimia. 70% korban kekerasan seksual anak dilaporkan melakukan mutilasi diri baik dengan overdosis, meracuni, memotong maupun membakar diri mereka sendiri. Sementara korban kekerasan seksual masa kanak-kanak berusia dewasa lebih sering mengalami obesitas dan penyakit terkait obesitas.26

(28)

4. Gangguan stres paska trauma

Korban kekerasan seksual sering kali mengalami gangguan stres paska trauma yang dapat berupa ketakutan, mati rasa emosional, kilas balik, mimpi buruk, pikiran obsesif dan kemarahan. Gangguan stres paska trauma ini dapat terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah terjadinya kekerasan seksual.

Korban kekerasan seksual juga dapat mengalami reaksi psikologis yang berhubungan secara spesifik dengan pelaku kekerasan seksual. Korban dapat merasa takut pada pelaku selama hidupnya. Selain itu korban juga biasanya merasa malu dan menyalahkan diri sendiri. Jika pelaku kekerasan seksual ialah kenalan, keluarga, teman atau kekasih maka selanjutnya korban sering kali mengalami masalah dalam mempercayai orang lain. Karena rasa malu dan takut akan bagaimana reaksi orang-orang akan kejadian yang menimpanya korban sering kali memilih untuk tidak menceritakan kejadian ini pada orang lain.

5. Penyalahgunaan zat terlarang

Bila dibandingkan dengan bukan korban, korban kekerasan seksual 5,3 kali lebih sering menggunakan obat tanpa indikasi medis, 6,4 kali lebih sering menggunakan obat-obat keras dan 3,4 kali lebih sering menggunakan mariyuana.27

Pada suatu studi ditemukan bahwa 70% wanita pengguna obat-obat terlarang memiliki riwayat kekerasan seksual bila dibandingkan dengan 12%

laki-laki. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen korban kekerasan seksual laki-laki maupun perempuan dilaporkan menjadi peminum alkohol berat atau pengguna obat penenang. Korban perempuan juga diketahui memulai kebiasaan merokok 2 tahun lebih awal dari wanita bukan korban serta lebih sering menyalahgunakan obat-obat lain.

6. Bunuh diri

Korban pemerkosaan 4,1 kali lipat lebih sering merencanakan bunuh diri dibandingkan bukan korban dan 13 kali lipat lebih sering melakukan percobaan bunuh diri. Sekitar 56% korban pelecehan seksual pada anak melakukan upaya percobaan bunuh diri.28 Suatu studi yang dilakukan pada korban kekersan seksual di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat menemukan bahwa 30% korban pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Korban kekerasan seksual laki-laki memiliki risiko melakukan percobaan

(29)

bunuh diri 13 sampai 14 kali lipat lebih sering dari laki-laki bukan korban.29 7. lain-lain

Jika dibandingkan dengan laki-laki yang tidak mengalami kekerasan seksual, korban kekerasan seksual laki-laki 2 kali lebih sering mengalami kepribadian antisosial, 2 kali lebih sering mengalami gangguan tingkah laku, 2 kali lebih sering mengalami krisis kepercayaan diri, 2 kali lebih sering kabur dari rumah dan 2 kali lebih sering mengalami masalah dengan hukum.30

Selain itu, korban kekerasan seksual laki-laki juga lebih sering terlibat dalam perilaku berisiko tinggi seperti aktivitas seksual dengan pekerja seks, hubungan seksual anal tanpa pengaman, pasangan seksual multipel, penggunaan kondom yang rendah, IMS berulang dan kehamilan tidak diinginkan pada pasangannya. Korban kekerasan seksual laki-laki juga 4 kali lipat lebih sering terlibat dalam kekerasan seksual lain setelahnya.

(30)

BAB III RINGKASAN

Kekerasan seksual merupakan bagian dari pelecehan seksual yang didefinisikan sebagai kejahatan dalam bentuk serangan atau agresi dengan spektrum luas, dari aktivitas seksual koersi, kontak (ciuman, sentuhan atau belaian yang tidak diinginkan) sampai pemerkosaan.

Korban kekerasan seksual berpotensi mengalami komplikasi fisik maupun psikis dengan IMS sebagai masalah medis tersering. Uji diagnostik akan keberadaan IMS, pemberian profilaksis antimikrobial, profilaksis HIV dan kontrasepsi darurat merupakan inti penanganan medis pada korban kekerasan seksual. Berbagai kemajuan teknologi berdampak pada ditemukannya metode- metode diagnostik dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih superior dari metode yang sebelumnya digunakan. Mengingat kepatuhan kontrol pasien korban kekerasan seksual yang rendah serta besarnya kerugian baik waktu, biaya maupun sumberdaya akibat kompikasi yang dapat ditimbulkan oleh suatu kekerasan seksual maka pemberian profilaksis dianggap sangat tepat pada kasus-kasus kekerasan seksual.

Kekerasan seksual juga berdampak pada kesehatan psikis korban. Berbagai kelainan psikologis sering dijumpai pada korban kekerasan seksual antara lain gangguan kepribadian, depresi, gangguan makan dan mutilasi diri, gangguan stres paska trauma, penggunaan zat terlarang, kecenderungan bunuh diri dan berbagai kelainan lain yang membutuhkan intervensi segera.

Besarnya dampak kekerasan seksual yang dapat terjadi pada korban menyebabkan pentingnya kerjasama dari berbagai disiplin ilmu dalam penanganan korban kekerasan seksual guna menghindari terjadinya komplikasi lanjutan yang destruktif pada korban.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kirsten Bechtel. Sexual abuse and sexually transmitted infections in children and adolescents. Curr opin Pediatr. 2010; 22: 94-99.

2. Silalahi, Mustafa. Kasus Pedofilia di Indonesia Tertinggi di Asia. Tempo 5 Mei-11 Mei 2014.

3. Carole Jenny dan Amy P. Goldberg. Sexual Assault and STD. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H. Sexually Transmitted Diseases. 4th edition. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 2029-38.

4. Illinois Coalition Against Sexual Assalt. Emotional and Physical Effects of Sexual Assault. 2007. 47-55.

5. Sumera, Marcheyla. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual terhadap Perempuan. Lex et Societatis. 2013; 1 (2): 39-41.

6. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Sexual Assault.

Agustus 2011; 592: 1-5.

7. Kinasih, Sri Endah. Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual. Jurnal Universitas Airlangga, Masyarakat Kebudayaan dan Politik. 2007; 20 (4): 1-5.

8. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Kejahatan terhadap Kesusilaan. Available at hukumpidana.bphn.go.id/.../bab-xiv-kejahatan-terhadap-kesusilaan/, 10 September 2014.

9. American College of Emergency Physicians. Evaluation and Management of the Sexually Assaulted or Sexually Abused Patient 2nd edition. 2013. 1- 177.

10. Agency for Healthcare Research and Quality U.S. Department of Health and Human Services. Medical Examination and Treatment for Victims of Sexual Assault: Evidence-based Clinical Practice and Provider Training.

1999. 1-66.

11. Angka Kejadian Kasus Pedofilia dan Kekerasan Seksual pada Anak di Indonesia dan Dunia. 6 Mei 2014. Available at http://savethechildren indonesia.wordpress.com/2014/05/06/angka-kejadian-kasus-pedoflia-dan- kekerasan-seksual-pada-anak-di-indonesia-dan-dunia/, 10 September 2014.

12. Cybulska, Beata, Greta Forster, Jan Welch, Helen Lacey, Karen Rogstad dan Neil Lazaro. UK National Guidelines on the Management of Adult and Adolescent Complainants of Sexual Assault 2011. BASHH. 2013.1-50.

13. Attorney General's Sexual Assault Task Force-Medical Forensic Committee. Recommended Medical Guideline Acute Sexual Assault Emergency Medical Evaluation for The State of Oregon. 2005. 1-19

14. Consuelo, M, Beck-Sague dan Felicia Solomon. Sexually Transmitted Disease in Abused Children and Adolescent and Adult. Clinical Infectious Diseases. 1999; 28: 74-83.

15. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2010. MMWR Recomm Rep. 2010; 59 (12): 90-5.

16. Agency for Healthcare Research and Quality of U.S. Department of Health and Human Services. Sexual Assault and STDs. In National Guideline

(32)

Clearinghouse: Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines.

2010; 55 (11): 80-6.

17. Irish, Leah, Ihori Kobayashi dan Douglas L. Delahanty. Long term Physical Health Consequences of Childhood Sexual Abuse: A Meta- Analytic Review. Journal of Pediatric Psychology. 2010; 35 (5): 450-61.

18. Guedes, Alessandra, Sarah Bott, and Y. Cuca. Integrating Systematic Screening for Gender-Based Violence into Sexual and Reproductive Health Services: Results of a Baseline Study by the International Planned Parenthood Federation, Western Hemisphere Region. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 2002; 78 (3): 58-59.

19. Madadin, Mohammed. Medical Aftercare of Sexually Assaulted Victims by Forensic Physician. J Forensic Res. 2012; 3 (8): 1-3.

20. Ontario Hospital Association. Hospital Guidelines for the Treatment of Persons Who Have Been Sexually Assaulted 2nd edition. 1993. 1-53.

21. Harris, Lauren dan Julie Freccero. Sexual Violence: Medical and Psychosocial Support. 2011. 1-28

22. Kawsar, M, A. Anfield, E. Walters, S. McCabe dan G.E. Forster.

Prevalence of Sexually Transmitted Infections and Mental Health Needs of Female Child and Adolescent Survivors of Rape and Sexual Assault Attending a Specialist Clinic. Sex Transm Infect. 2004; 80: 138-41.

23. Westen, Drew, Ph.D., et al. Physical and Sexual Abuse in Adolescent Girls with Borderline Personality Disorder. American Journal of Orthopsychiatry.1990; 60(1): 55-66.

24. Green, Arthur H., M.D. Sexual Abuse: Immediate and Long-Term Effects and Intervention. Journal of American Academy of Child Adolescent Psychiatry. 1993; 32(5): 890-902.

25. Herzog, D.B., et al. Childhood Sexual Abuse in Anorexia and Bulimia Nervosa: A Pilot Study. Journal of American Academy of Child Adolescent Psychiatry. 1993; 32(5): 962-66.

26. Drossman, D.A., et al. Sexual and Physical Abuse and Gastrointestinal Illness: Review and Recommendations. Annals of Internal Medicine.

1995; 123(10): 782-94.

27. Silverman, Jay G. et al. Dating Violence Against Adolescent Girls and Associated Substance Use, Unhealthy Weight Control, Sexual Risk Behavior, Pregnancy, and Suicidality. Journal of the American Medical Association. 2001; 286(5): 572-79.

28. Beitchman, J.H., et al. A Review of the Long Term Effects of Child Sexual Abuse. Child Abuse and Neglect. 1992; 16 (1): 101-18.

29. Holmes, W. C., M.D., MSCE, and G.B. Slap, M.S., Sexual Abuse of Boys.

Journal of the American Medical Association. 1998; 280(1): 1855-62.

30. Cunningham, R.M., et al. The Association of Physical and Sexual Abuse with HIV Risk Behaviors in Adolescence and Young Adult: Implications for Public Health. Child Abuse and Neglect. 1994; 18(3): 233-45.

Gambar

Tabel  1.  Skala  waktu  pengumpulan  bukti  forensik  pada  berbagai  bentuk  kekerasan seksual
Tabel  2.  Infeksi  Menular  Seksual  pada  anak-anak  yang  dicurigai/  diketahui  mengalami kekerasan seksual 15
Tabel  3.  Data  dari  survey  dan  laporan  kasus  pada  anak-anak  dengan  IMS,  diterbitkan tahun 1988-1995 14
Tabel  4.  Data  dari  survey  yang  dilakukan  pada  laki-laki  dan  perempuan  remaja dan dewasa yang mengalami kekerasan seksual tahun 1990-1992 14
+4

Referensi

Dokumen terkait

Wanita korban kekerasan seksual pada masa kanak- kanak yang berusaha melepaskan diri dari belenggu trauma masa lalunya menghadapi banyak masalah dalam menjalin hubungan dengan

TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL ” , Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :.. Kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, T.M

Pengaruh Utilisasi Kondom Terhadap Kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Wanita Pekerja Seksual (WPS) Di Kabupaten Tulungagung, Indonesia.. Pembimbing I:

sekitar 21,45 pelaku tindak kekerasan seksual berasal dari golongan masyarakat miskin dan. sekitar 25,5% pelaku tindak kekerasan seksual yang berhasil di ekspos

Berdasarkan hasil penelitian Hubungan Konsistensi Pemakaian Kondom Dengan Infeksi Menular Seksual (servisitis gonore, servisitis non spesifik, trikomoniasis), Ppada Wanita Pekerja

Media alternatif khususnya pada Magdalene.co adalah fokus penelitian ini dalam mengkaji wacana permberitaan perlindungan korban kekerasan seksual yang diproduksi di media ini

Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keterjangkitan IMS pada WPS di Resosialisasi Argorejo, di antaranya adalah intensitas hubungan seksual, sikap antisipatif ketika

Risiko ini meningkat sejalan dengan kecenderungan konsumsi alkohol, ganja dan kekerasan seksual yang umum ditemukan pada lesbian, gay dan biseksual.Telaah artikel