• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K) Kekerasan Seksual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K) Kekerasan Seksual"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

579

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

ILUSTRASI

Suci – bukan nama sebenarnya – adalah se-orang gadis remaja yang senang bergaul dan dikenal periang oleh keluarga dan teman-temannya. Namun, sudah beberapa waktu ini Suci berubah pendiam dan sering mengu-rung diri di kamarnya. Ibunya yang pertama kali memperhatikan perubahan tersebut, bertanya ke Suci - Apa mungkin sedang ada masalah di sekolah? Atau masalah klasik se-orang gadis yang sedang patah hati? Betapa kagetnya ibunda Suci ketika akhirnya Suci memberanikan diri untuk bercerita.Ternyata sudah dua bulan ini Suci tidak haid, sejak seorang kakak kelasnya memaksanya untuk bersetubuh di rumah temannya. Dengan pikiran yang kalut dan hati yang menangis,

ibunda Suci mengajaknya ke Polsek terdekat untuk melapor. Oleh penyidik, Suci dan ibu-nya diantar ke RS ABC untuk divisum. Dr. D, yang kebetulan sedang jaga di UGD, diminta menangani Suci. De-ngan sedikit termangu, dr. D mulai mengingat-ingat pelajaran foren-sik yang ia dapatkan saat koass, “Apa ya, yang harus saya lakukan pada pasien ini?”

PENDAHULUAN

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan di se-luruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006 (National

Violence against Women Survey/NVAWS)

me-laporkan bahwa 17,6% dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah menga-lami kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan polisi.1 Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus kekerasan seksual ter-hadap perempuan di seluruh Indonesia. De-ngan demikian rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap harinya. Hal yang lebih mengejutkan ada-lah bahwa lebih dari 3/4 dari jumada-lah kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang

Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban

(P3K)

Kekerasan Seksual

Putri Dianita Ika Meilia

Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia (dan seluruh dunia) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Korban-korban kekerasan seksual tentunya ingin mencari keadilan bagi dirinya. Salah satu upayanya adalah dengan membuat laporan kepolisian, dengan harapan kasus yang mereka alami dapat terungkap. Komponen penting dari pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum yang dibuat oleh dokter. Visum et repertum yang memuat tentang hasil pemeriksaan medis mengenai bukti-bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban berserta interpretasinya, dapat membantu membuat terang perkara bagi aparat penegak hukum. Selain membuat visum et repertum, dokter juga sangat berperan dalam penyembuhan trauma fi sik dan psikis yang dialami korban. Karena itu, dokter hendaknya memahami dan menguasai Prinsip Pemeriksaan & Penatalaksanaan Korban (P3K) Kekerasan Seksual agar dapat seoptimal mungkin membantu korban menda-patkan keadilan.

Kata kunci: kekerasan seksual, pemeriksaan dan penatalaksanaan korban, visum et repertum

ABSTRACT

Every year, the incidence of sexual violence in Indonesia, as well as other countries, is increasing dramatically. The victims of sexual violence are certainly craving for justice. In order to seek justice for themselves, victims turn to authorities. In solving a case of sexual violence, visum et repertum is a very important component because it contains the documentation and interpretation of evidence of sexual violence on the victim’s body. Through visum et repertum, assessing physicians can help law-enforcement agencies in solving sexual violence cases by provid-ing evidence in “he-said-she-said” disputes. In addition to berprovid-ing assessprovid-ing physicians, doctors also have the obligation to mend physical dan psychological traumas of victims of sexual violence. Hence, doctors need to understand and be able to conduct a thorough examination and provide much needed care for victims in order to help victims and prevent a miscarriage of justice. Putri Dianita Ika Meilia. Principles of the

Examination and Management of Sexual Violence Victims.

Key words: sexual violence, victim examination and care, visum et repertum

579

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 579

(2)

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

580

masih memiliki hubungan dengan korban.2 Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan me-lapor, mungkin karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor ke mana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilapor-kan pun mengalami peningkatan.

Pelaporan tentu hanya merupakan langkah awal dari rangkaian panjang dalam meng-ungkap suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen penting dalam pengungka-pan kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum yang dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan interpretasi bukti-bukti fi sik kekerasan seksual. Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh manusia, tentunya memiliki peran yang be-sar dalam pembuatan visum et repertum dan membuat terang suatu perkara bagi aparat penegak hukum. Karena itu, hendaknya se-tiap dokter – baik yang berada di kota besar maupun di daerah terpencil, baik yang ber-praktik di rumah sakit maupun di tempat praktik pribadi – memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam melaku-kan pemeriksaan dan penatalaksanaan kor-ban kekerasan seksual. Tinjauan pustaka ini akan memaparkan tentang Prinsip Pemerik-saan dan Penatalaksanaan Korban (P3K) Keke-rasan Seksual. Karena sebagian besar korban kekerasan seksual adalah wanita, maka fokus pembahasan dalam tinjauan pustaka ini ada-lah P3K pada korban wanita.

DEFINISI

Terdapat beberapa defi nisi kekerasan seksual, baik defi nisi legal, sosial, maupun medis. Salah satu defi nisi yang luas mengartikan kekeras-an seksual sebagai segala jenis kegiatkekeras-an atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau tanpa persetujuan (consent) dari korban.3, 4 Se-dangkan defi nisi yang lebih sempit menyama-kan kekerasan seksual dengan perkosaan (rape), dan mengharuskan adanya persetubuh-an, yaitu penetrasi penis ke dalam vagina.5, 6 Defi -nisi-defi nisi tersebut sedikit banyak tergantung dari hukum yang dianut di suatu negara. Di Indonesia, pada umumnya defi nisi dan jenis kekerasan seksual yang dianut diambil dari

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Salah satu pasal utama adalah pasal 285 tentang Perkosaan yang ber-bunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, di-ancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Sedangkan Persetubuhan dengan Wanita di Bawah Umur diatur dalam pasal 287 ayat 1 yang berbunyi, “Barang siapa bersetubuh

de-ngan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum wak-tunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Dalam

pasal 289 sampai 294 KUHP, juga diatur ten-tang perbuatan cabul sebagai salah satu ke-jahatan terhadap kesusilaan; perbuatan cabul diartikan sebagai semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Selain dalam KUHP, pasal tentang kekerasan seksual terdapat pula dalam pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlin-dungan Anak serta pasal 5 dan 8 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pemahaman defi nisi dan jenis kekerasan seksual tersebut penting dimiliki oleh se-orang dokter. Tujuannya adalah untuk dapat menentukan hal-hal apa saja yang harus di-periksa dan bukti-bukti apa saja yang harus dicari pada P3K kekerasan seksual. Dalam pasal-pasal tersebut terkandung unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi dalam upaya pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana berupa kekerasan seksual.

PENATALAKSANAAN

Sebelum membahas tentang P3K kekerasan seksual, perlu dipahami terlebih dahulu dua jenis peran yang dapat dimiliki seorang dok-ter7:

• Attending doctor: Peran dokter klinis yang

umum, yang bertujuan mendiagnosis dan mengobati atau menyembuhkan pasien. • Assessing doctor: Peran dokter dalam

mem-bantu pencarian bukti tindak pidana, khusus-nya dengan membuat visum et repertum. Kedua peran tersebut kadang tidak dapat dipisahkan dan harus dijalankan secara

ber-sama-sama. Dalam P3K kekerasan seksual, seorang dokter bukan saja harus mencari dan mengamankan bukti-bukti yang terdapat pada korban atau tersangka yang diperiksa, tapi sekaligus juga memberikan terapi fi sik maupun psikis.

Aspek etik dan medikolegal

Dalam melakukan P3K kekerasan seksual, ter-dapat beberapa aspek etik dan medikolegal yang harus diperhatikan. Karena korban juga berstatus sebagai pasien, dan yang akan di-periksa adalah daerah “sensitif”, hal utama yang harus diperhatikan adalah memperoleh

informed consent.6,8-10 Informasi tentang pe-meriksaan harus diberikan sebelum peme-riksaan dimulai dan antara lain, mencakup tu-juan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam medis dan foto, serta pembukaan se-bagian rahasia kedokteran guna pembuatan visum et repertum.6,11 Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hu-kum adalah berusia 21 tahun atau lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani hukuman, serta ber-jiwa sehat dan berakal sehat.12 Apabila korban tidak cakap hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban tidak setuju diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk diperiksadan dokter harus menghormati ke-putusan korban tersebut.6

Selain itu, karena pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap peme-riksaan untuk pembuatan visum et repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertu-lis (Surat Permintaan Visum/SPV) dari potertu-lisi penyidik yang berwenang. Korban juga harus diantar oleh polisi penyidik sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti dapat terjamin.6 Apabila korban tidak diantar oleh polisi penyi-dik, dokter harus memastikan identitas korban yang diperiksa dengan mencocokkan antara identitas korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki kor-ban, seperti KTP, paspor, atau akta lahir. Catat pula dalam rekam medis bahwa korban tidak diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan un-tuk menghindari kemungkinan kesalahan identifi kasi dalam memeriksa korban.

CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 580

(3)

581

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

Seorang dokter yang memeriksa kasus ke-kerasan seksual harus bersikap objektif-impar-sial, konfi denobjektif-impar-sial, dan profesional.8 Objektif-imparsial artinya seorang dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-buk-ti objekbukti-buk-tif yang didapatkan secara sistemabukti-buk-tis dan menyeluruh. Tetap waspada terhadap upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false

allegation) dari korban. Hindari pula perkataan

atau sikap yang “menghakimi” atau menyalah-kan korban atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfi densialitas hasil pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta penyidik kepolisian yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et repertum sesuai keperluan saja, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis yang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam melakukan P3K kekerasan seksual ditunjukkan dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan memper-hatikan hak dan kewajiban korban (sekaligus pasien) dan dokter.

PEMERIKSAAN

Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk11, 13, 14:

• melakukan identifi kasi, termasuk mem-perkirakan usia korban;

• menentukan adanya tanda-tanda perse-tubuhan, dan waktu terjadinya, bila mungkin; • menentukan adanya tanda-tanda ke-kerasan, termasuk tanda intoksikasi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA); • menentukan pantas/tidaknya korban utk dikawin, termasuk tingkat perkembangan seksual; dan

• membantu identifi kasi pelaku.

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan da-lam pemeriksaan korban kekerasan seksual6, 8, 9: • Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih berat. • Pada saat pemeriksaan, dokter harus

di-dampingi perawat yang sama jenis kelamin-nya dengan korban (biasakelamin-nya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur pemeriksaan dan pengambilan sam-pel. Selain itu, hal ini juga perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduh-an palsu bahwa dokter melakuktuduh-an perbuattuduh-an tidak senonoh terhadap korban saat pemerik-saan.

• Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.

• Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

Langkah-langkah pemeriksaan adalah seba-gai berikut6, 8-11, 13:

Anamnesis

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekali-pun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain: • Umur atau tanggal lahir,

• Status pernikahan,

• Riwayat paritas dan/atau abortus,

• Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),

• Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah ke-jadian kekerasan seksual, dengan siapa, peng-gunaan kondom atau alat kontrasepsi lain-nya),

• Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),

• Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta

• Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fi sik, seperti:

• What & How:

 jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuh-an, pencabulpersetubuh-an, dan sebagainya),

 adanya kekerasan dan/atau ancaman ke-kerasan, serta jenisnya,

 adanya upaya perlawanan,

 apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,

 adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah kejadian,

 adanya penetrasi dan sampai mana (par-sial atau komplit),

 apakah ada nyeri di daerah kemaluan,  apakah ada nyeri saat buang air kecil/be-sar,

 adanya perdarahan dari daerah kemalu-an,

 adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina,

 penggunaan kondom, dan

 tindakan yang dilakukan korban sete-lah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.

• When:

 tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan  apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.

• Where:

 tempat kejadian, dan

 jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat ke-jadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).

• Who:

 apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,

 jumlah pelaku,  usia pelaku, dan

 hubungan antara pelaku dengan korban.

Pemeriksaan fi sik

Saat melakukan pemeriksaan fi sik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya, pemeriksaan fi sik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fi sik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fi sik, perhatikan kesesuaian de-ngan keterade-ngan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fi sik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan

CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 581

(4)

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

582

khusus. Pemeriksaan fi sik umum mencakup: • tingkat kesadaran,

• keadaan umum, • tanda vital,

• penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),

• afek (keadaan emosi, apakah tampak se-dih, takut, dan sebagainya),

• pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),

• status generalis,

• tinggi badan dan berat badan, • rambut (tercabut/rontok)

• gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),

• kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut atau patah),

• tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,

• tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta • status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan. Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka

Pemeriksaan fi sik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fi sik yang terkait dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:

• daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak

atau bercak cairan mani;

• penyisiran rambut pubis (rambut kemalu-an), yaitu apakah adanya rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani;

• daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada jaring-an lunak, bercak cairjaring-an mjaring-ani);

• labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani; • vestibulum dan fourchette posterior (per-temuan bibir kemaluan bagian bawah), apa-kah ada perlukaan;

• hymen (selaput dara), catat bentuk, dia-meter ostium, elastisitas atau ketebalan, ada-nya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robek-an mencapai dasar (insersio) atau tidak, drobek-an adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;

• vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;

• serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya cairan atau lendir;

• uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;

• anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis; • mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

• daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani atau air liur dari pelaku; serta

• tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi (Gambar 2). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-li-patan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perla-han, yang diikuti dengan penelusuran tepi se-laput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tam-pak dengan tepi yang tajam.

Gambar 2 Beragam jenis selaput dara15

Saat melakukan pemeriksaan fi sik, dokumen-tasi yang baik sangat penting. Selain melaku-kan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fi sik yang ditemukan.16 Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan se-cara detil setelah pemeriksaan selesai.

Pemeriksaan penunjang

Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tu-buh korban. Sampel untuk pemeriksaan pe-nunjang dapat diperoleh dari, antara lain: • pakaian yang dipakai korban saat ke-jadian; diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau daun-daun kering;

• rambut pubis; yaitu dengan meng-gunting rambut pubis yang menggumpal atau mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran;

• kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban;

• swab; dapat diambil dari bercak yang di-duga bercak mani atau air liur dari kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks

poste-CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 582

(5)

583

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

rior, kulit bekas gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual;

• darah; sebagai sampel pembanding un-tuk identifi kasi dan unun-tuk mencari tanda-tan-da intoksikasi NAPZA; tanda-tan-dan

• urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.

Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari sam-pel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

TINDAK LANJUT

Setelah pemeriksaan forensik terhadap korban selesai, dilakukan tindak lanjut baik dari aspek hukum maupun medis. Dari segi hukum, tin-dak lanjut pada umumnya berupa pembuatan visum et repertum sesuai SPV dari penyidik polisi. Bagian-bagian yang terkandung dalam visum et repertum terdiri dari kata-kata “Pro Justisia”, bagian pendahuluan, bagian pem-beritaan, kesimpulan, dan penutup. Apabila

korban belum melapor ke polisi sehingga be-lum ada SPV, hasil pemeriksaan dapat diminta oleh korban secara tertulis. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk surat keterangan medis. Secara umum, surat ke-terangan medis mengandung bagian-bagian yang sama dengan visum et repertum, kecuali bagian “Pro Justisia”.6 Dalam visum maupun su-rat keterangan medis, semua temuan dipapar-kan dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan dapat dimengerti orang awam, hindari penggunaan terminologi medis.

Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan layanan pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut medis. Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan pe-natalaksanaan bidang obstetri-ginekologi. Tidak jarang seorang korban kekerasan sek-sual mengalami trauma psikis sehingga mem-butuhkan terapi atau konseling psikiatrik.8 Terapi tersebut dapat membantu korban mengatasi trauma psikis yang dialaminya sehingga tidak berkepanjangan dan korban dapat melanjut-kan hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi, korban kekeras-an seksual mungkin memerlukkekeras-an tindakkekeras-an pencegahan kehamilan serta pencegahan atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah

terjadi kehamilan, korban mungkin membu-tuhkan perawatan kehamilan atau terminasi kehamil-an sesuai ketentuan undang-undang. Dalam melakukan tindak lanjut, sangat pen-ting bagi dokter untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.8 Koordinasi yang baik diperlukan antara dokter pemeriksa de-ngan dokter yang memberikan tata laksana lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu, dokter juga harus menjalin kerjasama yang baik dengan pihak polisi penyidik agar hasil pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi pengungkapan kasus.

PENUTUP

Penatalaksanaan yang baik dan sesuai prose-dur terhadap korban akan sangat membantu pengungkapan kasus kekerasan seksual. Pe-meriksaan yang dilakukan oleh dokter hen-daknya sistematis, menyeluruh, dan terarah untuk menemukan bukti-bukti kekerasan sek-sual yang terdapat pada tubuh korban untuk dituangkan dalam visum et repertum. Dalam melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan korban kekerasan seksual, dokter harus mem-perhatikan aspek etika dan medikolegal agar dapat membantu korban seoptimal mungkin dalam mendapatkan keadilan, tanpa menam-bah penderitaan korban.

DAFTAR PUSTAKA

1. Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW, editors. Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca Raton (FL): CRC

Press; 2009. p. 3-23.

2. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan; 2011. p. 1-5.

3. Savino JO, Turvey BE. Defi ning rape and sexual assault. In: Savino JO, Turvey BE, editors. Rape investigation handbook. USA: Elsevier Inc.; 2005. p. 1-22.

4. Cattaneo C, Ruspa M, Motta T, Gentilomo A, Scagnelli C. Child sexual abuse: An Italian perspective. Am J Forensic Med Pathol. 2007; 28: 163-7.

5. Smith MD, ed. Encyclopedia of rape. Wesport (CT): 2004. p. 169.

6. Budijanto A, Sudiono S, Purwadianto A. Kejahatan seks dan aspek medikolegal gangguan psikoseksual. Jakarta: Kalman Media Pusaka; 1982. p. 5-34.

7. Atmadja DS. Aspek medikolegal pemeriksaan korban perlukaan dan keracunan di rumash sakit. In: Prosiding Simposium Tata laksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus

Per-lukaan dan Keracunan di Rumah Sakit; 2004 Jun 23; Jakarta; 2004. p. 1-5.

8. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence. Geneva: WHO; 2003. p. 17-55.

9. Rogers D, Newton M. Sexual assault examination. In: Stark MM, editor. Clinical forensic medicine: A physician’s guide. 2nd ed. Totowa (NJ): Humana Press Inc.; 2005. p. 61-126.

10. Linden JA, Lewis-O’Connor A, Jackson MC. Forensic examination of adult victims and perpetrators of sexual assault. In: Olshaker JS, Jackson MC, Smock WS, editors. Forensic emergency medicine. 2nd ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 86-125.

11. National Center for Women & Policing. Successfully investigating acquaintance sexual assault: A national training manual for law enforcement. [cited 2008 May 21]. Available from: http:// www.mincava.umn.edu/documents/acquaintsa/participant/allegations.pdf.

12. Lestari NP. Kecakapan bertindak dalam melakukan perbuatan hukum setelah berlakunya Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. [Unpublished thesis] [cited 2012 Jul 10]. Available from: http://eprints.undip.ac.id/18403/1/Ningrum_Puji_Lestari.pdf.

13. Idries AM. Sistematik pemeriksaan ilmu kedokteran forensik khusus pada korban kejahatan seksual. In: Idries AM, Tjiptomartono AL, editors. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2008. p. 113-32.

14. LeBeau M, Mozayani A. Collection of evidence from DSFA. In: LeBeau M, Mozayani A, editors. Drug-facilitated sexual assault: A forensic handbook. UK: Academic Press; 2001. p. 197-209. 15. Anil Aggrawal’s Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology. 2001; 2(2) [cited 2012 Jul 10]. Available from: http://www.anilaggrawal.com/ij/vol_002_no_002/reviews/tb/page008.

html.

16. Smock WS, Besant-Matthews PE. Forensic photography in the emergency department. In: Olshaker JS, Jackson MC, Smock WS, editors. Forensic emergency medicine. 2nd ed. USA: Lip-pincott Williams & Wilkins; 2007. p. 268-91.

CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 583

Gambar

Gambar 1 Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka

Referensi

Dokumen terkait

(2) proses konseling dengan menggunakan teknik Reframing dalam komunikasi inklusi sebagai upaya penanganan anak korban kekerasan seksual di UPTD Dinas Sosial

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari data mengenai upaya kepolisian dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban kejahatan kekerasan seksual. Penelitian

tindak pidana kekerasan seksual, padahal dalam paradigma perlindungan korban, korban kekerasan seksual yang mayoritas merupakan perempuan sudah semestinya mendapat suatu

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MELINDUNGI ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM.. LINGKUNGAN KELUARGA

Monitoring data anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia tahun 2011 menunjukkan dari 110 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di

Kekerasan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan penyakit menular seksual (PMS). Korban kekerasan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal

Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam: Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memberikan perlindungan bagi anak terhadap kekerasan seksual,

Berkaitan dengan tanggungjawab tersebut, salah satu bentuk upaya melindungi korban kekerasan seksual khususnya pada anak juga harus diperhatikan terkait tanggungjawab terhadap anak oleh