• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Prof. Dr. H. Idri, M.Ag. - uinsby.ac.id

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PDF Prof. Dr. H. Idri, M.Ag. - uinsby.ac.id"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN…

HADIS AH Ȃ D DAN MUTAW Ȃ TIR MENURUT

Definisi dan Kriteria Hadis Ahâd dan Mutawâtir

  • Definisi Hadis Ahâd dan Mutawâtir
  • Kriteria Hadis Ahâd dan Mutawâtir

Selain ketiga-tiga hadis tersebut, terdapat juga hadis mutawâtir yang diriwayatkan oleh ramai perawi pada setiap peringkat sanad. Tidak mungkin hadis selain taraf ahâd juga berstatus mutawâtir, maka menurut takrifan di atas, hadis yang tidak memenuhi syarat hadis mutawâtir dinamakan hadis ahâd. Menurut Mahmûd al-Thahhân, takrif hadith mutawâtir ialah hadith yang diriwayatkan oleh ramai perawi yang menurut kebiasaannya bersetuju untuk berdusta (tentang hadith yang diriwayatkan).8 Maksud definisi ini ialah hadith atau berita yang diriwayatkan oleh

Ulûm al-Hadîts al-Nabawî, menyatakan bahawa definisi hadith ialah hadith mutawâtir yang diriwayatkan oleh sebilangan besar orang yang tidak mungkin bersetuju dengan pendustaan ​​(dari awal sanad) hingga akhir sanad. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahawa hadith mutawâtir ialah hadith sahih yang diriwayatkan oleh ramai perawi yang secara logik dan kebiasaannya mustahil untuk bersetuju dengan dusta.

Macam-macam Hadis Ahâd dan Mutawâtir

  • Macam-macam Hadis Ahâd
  • Macam-macam Hadis Mutawâtir

Takrifan ini juga menunjukkan bahawa hadis yang diriwayatkan oleh ramai perawi tetapi tidak memenuhi syarat mutawâtir dalam salah satu tabaqahnya, walaupun bukan tabaqah sahabat, dianggap sebagai hadis yang masyhur. Hadis-hadis yang masyhur diriwayatkan oleh perawi-perawi hadis yang bilangannya lebih daripada dua orang tetapi tidak mencapai had. Maka, hadis yang masyhur boleh dikatakan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya tiga orang perawi dalam salah satu tabaqahnya, walaupun banyak perawi yang diriwayatkan dalam tabaqah sebelum atau sesudahnya yang mencapai had mutawâtir.

Takrifan serupa ditemui oleh Muhammad 'Ajjâj al-Khâthîb yang mendefinisikan hadith azîz sebagai hadith yang diriwayatkan oleh dua orang perawi sehingga tidak diriwayatkan oleh kurang daripada dua perawi daripada dua perawi. Jadi, hadith yang sanadnya diriwayatkan oleh dua orang perawi dalam satu tabaqah, walaupun banyak perawi dalam tabaqah yang lain, maka hadith itu dinamakan hadith azîz. Ini kerana sukar untuk mencari hadith yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada setiap peringkat sanad dari awal hingga akhir sanad.

Hadis yang diriwayatkan secara bersendirian tidak disalurkan oleh sanad yang lain sama ada secara lisan atau menewi.54 Manakala hadis gharîb nisbi pula ialah hadis yang diriwayatkan sendirian di tengah-tengah sanad walaupun diriwayatkan oleh ramai perawi dalam dulang para sahabat. 55 Menurut 'Ajjâj al-Khâthîb, hadis gharîb nisbi ialah hadis yang keunikannya disandarkan kepada sifat tertentu, walaupun hadis tersebut pada dasarnya masyhur. 56. Hadis mutawatir lafzhî ialah hadis yang mutawatir baik lafaz dan maknanya.60 Menurut Muhammad al-Shabbâgh, hadis mutawatir lafzhî ialah hadis yang diriwayatkan oleh ramai perawi dari awal hingga akhir sanad dengan menggunakan suntingan yang sama.61.

Menurut istilahnya, hadits mutawatir ma'nawî adalah hadits yang berstatus mutawatir berdasarkan maknanya, bukan lafalnya.66 Hadits mutawatir dalam kategori ini diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya dan mereka menyepakati tafsirnya dari segi makna, tetapi perawinya berbeda. Muhammad 'Ajjâj al-Khâthîb mendefinisikan hadits mutawatir ma'nawî sebagai hadits yang maknanya bulat tetapi lafalnya tidak. Hanya karena redakturnya berbeda hadits dengan makna yang sama, maka hadits tersebut disebut hadits mutawatir ma'nawî.

Proses Periwayatan Hadis Ahâd dan Mutawâtir

  • Proses Periwayatan Hadis Ahâd
  • Proses Periwayatan Hadis Mutawâtir

Periwayatan hadis dilakukan secara berurutan bermula dengan penyampaian sabda Rasulullah kepada para Sahabat, maka riwayat pertama dalam setiap hadis yang muttasil (bersambung dengan Nabi) ialah Sahabat. Para sahabat berpindah ke kawasan baru diiringi dengan membawa perbendaharaan hadis yang mereka miliki, sehingga hadis tersebar di kawasan yang berbeza. Tokoh-tokoh di kalangan tâbi'în: Abû Idris, Qabishah bin Zuaib, Makhûl bin Abî Muslim dan lain-lain.

Tokoh-tokoh dari kalangan tabi'în: Yazid bin Abî Hubayb, Abu Bashrah al-Ghifârî, dan lain-lain 72. Sebagian hadis yang diterima tabi'in berupa catatan atau kitab suci dan sebagian harus dihafalkan, serta dalam bentuk yang dibentuk dalam ibadah dan amalan para sahabat yang disaksikan dan diikutinya. Narasi tersebut tidak hanya menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfû'), tetapi riwayat yang berasal dari Sahabat (mawqûf) dan tabi'în (maqthû') dan bahkan pernyataan sebagian Ahli Kitab yang telah masuk Islam, mengambilnya dari pernyataan Bani Israel atau shuhûf mereka untuk perbandingan setelah masuk Islam.

Pemalsuan hadits yang dimulai pada masa 'Ali bin Abi Thalib terus berlanjut dan bertambah banyak, tidak menyangkut masalah politik melainkan masalah lainnya. Masa kodifikasi diikuti dengan masa seleksi hadis, yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan di sini adalah masa usaha para pemuda hadis muda yang melakukan seleksi ketat, sebagai kelanjutan dari usaha para ulama sebelumnya yang berhasil menghasilkan kitab tadwîn. Munculnya periode seleksi ini karena pada masa tadwîn tidak mungkin memisahkan berbagai hadits yang berasal dari para sahabat (mawqûf) dan tabi'in (maqthû') dari hadits-hadits yang berasal dari Nabi (marfû').

Mereka berhasil membedakan hadis-hadis dha'if dengan yang shahih dan hadits-hadits mawqûf dan maqthû' dengan marfû', meskipun penelitian para ulama kemudian menemukan bahwa hadis-hadis dha'if dimasukkan ke dalam kitab-kitab yang shahih. Karena sifatnya, tidak mungkin bagi perawi untuk memalsukan atau memalsukan hadits yang mereka diriwayatkan. Kalaupun ada kekeliruan atau bahkan pemalsuan hadits oleh orang-orang tertentu, mereka telah merencanakan semua ini dengan matang agar bisa membedakan antara hadits yang sah dan yang batil.

Keotentikan dan Kehujjahan Hadis Ahâd

  • Keotentikan dan Kehujjahan Hadis Ahâd
  • Keotentikan dan Kehujjahan Hadis Mutawâtir

Hanya saja, istilah masyhûr hadits yang valid lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan hadits 'azîz atau gharîb yang juga valid.82 Dari berbagai definisi istilah hadits populer di atas diketahui bahwa perawi hadits jenis ini termasuk di antara perawi hadits mutawatir. Mayoritas ulama, baik para sahabat, tabi'in, maupun ulama sesudahnya dari kalangan ahli hadits, ahli fikih, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadits ahâd yang sah (yaitu masyhûr, aziz, atau gharîb) dapat dijadikan dalil yang wajib diamalkan. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Muslim ibn al-Hajjaj bahwa zakat dengan hadits-hadits yang memenuhi syarat maqbul (yang dapat diterima) adalah wajib.87 Bahkan menurut beberapa ahli hadits.

Al-Jubbâ'î di kalangan Mu'tazilah berpendapat bahwa tidak wajib beramal dengan hadits ahâd kecuali jika hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang yang menerimanya dari dua orang lainnya (hadis 'azîz). Tentunya penentuan kesahihan dan keabsahan hadits ahâd dilakukan setelah dilakukan penelitian dan kajian agar diketahui apakah hadits tersebut maqbûl (dapat diterima), yaitu kualitasnya shahih atau hasan, sehingga dinyatakan shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil apakah hadits tersebut mardûd (ditolak) karena kualitas maqbûl (diterima) atau kurang dianggap atau kurang. tidak dapat digunakan sebagai bukti (argumen) agama. Menurut Muhammad al-Shabbagh, ilmu yang disampaikan dalam hadis-hadis mutawatir harus bersifat dharûrî yang diperoleh melalui pengamatan panca indera.91 Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan berdasarkan ilmu.

Mahmûd al-Thahhân menyatakan bahwa hadits mutawatir adalah dharûrî, yaitu ilmu yang meyakinkan yang mewajibkan orang untuk beriman dan membenarkannya sepasti orang yang menyaksikannya sendiri, tanpa ada keraguan sedikit pun. Dengan demikian, semua hadits mutawatir dapat diterima (maqbûl) untuk dijadikan dalil tanpa mempelajari para perawi 94 Pendapat senada diungkapkan oleh Muhammad 'Ajjâj al-Khâthîb bahwa hadits mutawatir tidak menelaah kualitas perawi melainkan harus diamalkan 95. Berbeda dengan hadis ahâd shahih, hadits mutawatir tidak mensyaratkan kelanjutan sanad (ittishâl al-sanad), keadilan dan dhâbith nar rator ('adâ lah wa dhabth al-ruwâh), pemisahan syâdz dan 'illat ('adam al-'illah wa al-syâdz) tidak.

Hal ini karena dalam hal syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadits mutawatir di atas, beberapa syarat atau kriteria tersebut masuk di dalamnya. Misalnya, kesinambungan sanad harus terjadi dalam hadis-hadis mutawatir karena diriwayatkan oleh banyak perawi dalam setiap thabaqah. Maka dari segi otentisitasnya, menurut para ulama hadis dapat dipastikan bahwa hadis-hadis mutawatir benar-benar berasal dari Nabi sehingga dinilai qath'i al-wurud (pasti berasal dari Nabi) dan karenanya juga dapat dijadikan sebagai hujjah atau pembuktian Islam.

HADIS AH Ȃ D DAN MUTAW Ȃ TIR MENURUT

Riwayat-riwayat yang menjadi penyambung umum inilah yang menjadikan hadis-hadis yang kemudian disandarkan kepada generasi terdahulu dan seterusnya kepada Nabi. Justeru, menurut teori penghubung umum, hadith-hadith yang diriwayatkan dengan satu baris (hadith ahâd) bukanlah sahih daripada Nabi, tetapi dibuat oleh perawi-perawi yang menjadi penghubung umum dan oleh itu tidak layak untuk dijadikan hujah atau hujah bagi ajaran dalam Islam. Kajian tentang definisi dan kriteria hadith ahâd dan mutawâtir kedua-duanya di kalangan ulama hadith dan mengikut teori pautan umum mempunyai banyak perbezaan yang penting.

Oleh karena itu, tidak ada kesamaan antara pandangan ulama hadits dengan teori common link mengenai definisi dan kriteria hadits hadits. Kedua, dari segi istilah, hadits yang ditransmisikan melalui saluran tunggal disebut hadits ahâd oleh para ulama hadits, sedangkan dalam teori common connection disebut ayat tunggal. Mengenai proses periwayatan hadits, juga terdapat perbedaan antara pendapat ahli hadits dengan teori common connection yang dikembangkan oleh G.H.A.

Pertama, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur oleh para ulama hadits disebut hadits ahâd, sedangkan dalam teori persambungan biasa disebut ayat tunggal. Berbeda dengan ini, menurut teori hubungan umum, hadits yang ditransmisikan melalui saluran tunggal diragukan atau. Dari segi terminologi, hadits yang ditransmisikan melalui saluran tunggal oleh para ulama hadits disebut hadits ahâd, sedangkan dalam teori common connection disebut ayat tunggal.

3] Para ulama hadits telah menetapkan hadits mutawatir sebagai tolak ukur untuk menentukan hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini tidak ada persamaan dan persamaan antara pendapat para ulama dengan teori common link mengenai definisi hadits mutawatir. Meskipun terdapat perbedaan, baik pendapat ilmiah maupun teori common link mengakui bahwa hadits yang diturunkan melalui banyak saluran di setiap tingkat sanad dapat dijelaskan secara historis.

Dengan kata lain, menurut teori common link, semua hadits ahad adalah palsu karena tidak dapat dijelaskan secara historis, yang dibuat oleh perawi yang membentuk common link dalam isnad hadits-hadits tersebut. Munculnya sikap skeptis di kalangan sebagian masyarakat yang dipengaruhi oleh teori common link, yang nampaknya lebih ilmiah dari pada teori-teori ilmu hadits yang dikembangkan para ulama hadits.

Referensi

Dokumen terkait