PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi sendiri mempunyai sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, ancaman hukuman mati dapat diterapkan kepada mereka yang dijerat Pasal 2 UU Tipikor dalam kondisi tertentu.
Rumusan Masalah
Dengan demikian, tujuan penerapan ancaman hukuman mati yaitu untuk memberikan efek jera menjadi tidak efektif dan kurang optimal, serta pupusnya harapan masyarakat.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisis “Penggunaan hukuman mati dalam penegakan hukum dalam perspektif tindak pidana korupsi di Indonesia.” Selain tujuan umum sebagaimana dijelaskan di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memenuhi kewajiban penulisan artikel ilmiah berupa tesis untuk dipertahankan di hadapan sidang ujian untuk memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Bhayangkara, Surabaya.
Manfaat Penelitian
Kajian Pustaka/Kerangka Teori
Konsep ilegalitas dalam hukum pidana dikenal dengan istilah Belanda “wederechtelijk”. Sedangkan ilegalitas berarti melanggar hukum atau tidak memenuhi larangan atau persyaratan hukum atau menyerang kepentingan yang dilindungi undang-undang. Melawan hukum sebagai syarat umum terjadinya tindak pidana terangkum dalam pernyataan van Hamel dalam buku Eddy O.S.
Jika terjadi perselisihan mengenai sifat melawan hukum suatu perbuatan atau tidak, maka hakim tetap terikat pada rumusan undang-undang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa konsep kesalahan dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua macam, yaitu. Sifat pelanggaran hukum formil atau Ilegalitas formil berarti terpenuhinya seluruh bagian (unsur) rumusan delik.
Menurut alinea pertama Pasal 1 KUHP, “setiap perbuatan diancam pidana”. Biasanya sifat pelanggaran terhadap undang-undang substantif ini dengan sendirinya dikaitkan dengan tindak pidana yang bersifat materil. Sama halnya dengan tindak pidana korupsi, sifat tidak sah dalam tindak pidana korupsi, secara konseptual sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, hanya memuat ajaran tentang sifat ilegalitas. dalam arti materi.
Metode Penelitian
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian proposal skripsi ini dibagi menjadi beberapa badan hukum yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, dan bahan hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahan hukum yang digunakan untuk menulis proposal skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, terbitan berkala, pasal-pasal dan literatur hukum yang ada.
Dalam penelitian ini tata cara pengumpulan bahan metode penelitian ini adalah dengan memperoleh bahan hukum dari literatur dengan cara membaca, mempelajari, menganalisis dan mengelompokkan bahan primer yaitu Peraturan Perundang-undangan dan bahan sekunder berupa literatur atau buku atau media internet mengenai hal-hal tersebut. berkaitan dengan topik – permasalahan utama dalam penulisan proposal disertasi ini. Analisis bahan hukum yang digunakan bersifat deduktif, yaitu suatu cara penalaran dari satu atau beberapa pernyataan yang bersifat umum untuk menarik suatu kesimpulan dan membuktikan suatu kebenaran baru yang bersumber dari kebenaran yang sudah ada dan yang telah diketahui sebelumnya.
Sistematika Penulisan
Karena penggunaan kata “boleh” dalam Pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi bersifat keliru. Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam perspektif perlindungan hak asasi manusia (HAM) Perspektif perlindungan hak asasi manusia (HAM). Berbeda dengan kasus banyak (bahkan puluhan) pelaku tindak pidana narkotika yang divonis hukuman mati.
Sinintha Yuliansih Sibarani (salah satu hakim Pengadilan Tipikor PN Semarang) menyatakan, hingga saat ini belum ada satu pun kasus korupsi yang divonis hukuman mati. Adanya penerapan ancaman hukuman mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Menurut Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqodas, ada tiga kriteria utama yang membuat pelaku tindak pidana korupsi layak mendapat hukuman mati: 1.
Sebab, hal ini didasari wacana perlunya perubahan undang-undang pemberantasan korupsi yang masih memiliki kelemahan.
KETENTUAN HUKUM ANCAMAN PIDANA MATI ETRHADAP
Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam
Upaya untuk membandingkan bentuk hukuman mati dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi tidak relevan untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Dengan demikian, hukuman mati pada dasarnya sesuai dengan semangat dan semangat Undang-Undang Perlindungan Hak Asasi Manusia. Bahkan dalam Pasal 36 dan 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusia.
Bentuk hukuman mati dalam UU Tipikor yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) (Hukuman mati dalam kasus tertentu) jauh lebih ketat dibandingkan rekomendasi UNCAC; rekomendasinya antara lain sanksi pekerjaan sosial, denda. pelepasan bersyarat. Pertama, hukuman mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang melanggar martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Hukuman mati pada prinsipnya merupakan bentuk pemidanaan klasik yang diyakini merupakan bentuk pemidanaan yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur tentang hukuman mati, yakni Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
EKSISTENSI PENERAPAN ANCAMAN PIDANA MATI
Eksistensi Penerapan Ancaman Pidana Mati Dalam Undang-undang
Sebagai upaya penanggulangan tindak pidana korupsi yang tindak pidananya tergolong kejahatan luar biasa, maka pembentuk undang-undang telah merumuskan beberapa hal penting yang dinilai dapat dijadikan instrumen untuk menjerat pelanggar dan menimbulkan efek jera, yaitu asas pembuktian terbalik dan asas pembuktian terbalik. sanksi berat, termasuk hukuman mati. Kebijakan penyusunan pasal terkait kedua hal tersebut tentunya didasarkan pada pemikiran dan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sebagaimana asas pembuktian terbalik enggan diterapkan dalam persidangan tindak pidana korupsi, hakim tindak pidana korupsi juga enggan menerapkan ancaman hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana, padahal sudah jelas bahwa asas pembuktian terbalik enggan diterapkan dalam persidangan tindak pidana korupsi. Negara telah mengalami kerugian miliaran, bahkan triliunan rupiah, dan banyak anggota masyarakat yang kehilangan kesempatan menikmati kesejahteraan akibat tindak pidana tersebut.
Ancaman hukuman mati tidak berlaku bagi koruptor salah satunya karena kalimat ancaman hukuman mati tersebut diikuti dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2), yaitu “keadaan tertentu”. Dalam penjelasan pasal ini dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dimaksudkan sebagai beban bagi pelaku tindak pidana korupsi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada saat negara dalam keadaan bernegara. . risiko sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pada saat terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara berada dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Ketentuan tersebut dijawab oleh Artidjo Alkostar yang menyatakan bahwa ketentuan tipikor diterapkan pada saat negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, terulangnya tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan perekonomian dan. krisis moneter justru bertolak belakang dengan pemberantasan korupsi, karena tidak jelas parameternya.
Hukuman terberat yang pernah dijatuhkan atas tindak pidana korupsi di Indonesia hanya hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada Dicky Iskandar Dinata yang terbukti berulang kali melakukan tindak pidana korupsi terhadap Bank Duta dan Bank BNI.
Pidana Mati bagi Koruptor dalam Ius Constituendum
Alasan utamanya adalah hukuman mati memberikan efek jera bagi pejabat publik yang akan melakukan korupsi. Kelompok retensionis juga menolak pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor bertentangan dengan kemanusiaan. Kelompok retensionis di Indonesia berpendapat bahwa hukuman mati bagi pejabat korup tidak melanggar konstitusi, sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi.
Melihat kenyataan bahwa Indonesia kini berada dalam masa darurat korupsi karena telah menimbulkan kemiskinan sehingga merugikan hak hidup jutaan rakyat Indonesia, maka berdasarkan pertimbangan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, hukuman mati masih tetap diberlakukan. diperlukan. akan dirumuskan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di kemudian hari. Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana mati yang terdapat dalam UU Narkotika, maka ketentuan pidana mati dalam UU Tipikor masih jauh dari kata sempurna, padahal tindak pidana korupsi dan tindak pidana narkotika sama-sama merupakan kejahatan luar biasa (luar biasa). kejahatan umum). . Terkait dengan hukuman mati, kesalahan ini dapat berakibat fatal karena penerapan hukuman mati tidak dapat diubah.
Kajian mengenai perlindungan hak untuk hidup jelas tidak sesuai apabila ia dikaitkan dengan hukuman mati bagi orang yang korup.
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukuman mati di Indonesia pada dasarnya telah diperkenalkan dan tercantum dalam KUHP yang terdapat pada Peraturan Buku Pertama Bab II Pasal 10 tentang Tindak Pidana. Sementara itu, kelompok dan komunitas lain menilai hukuman mati masih relevan untuk digunakan. Hukuman mati diyakini akan memberikan efek jera sehingga mencegah terulangnya tindak pidana serupa yang dilakukan orang lain (pelaku). Namun kenyataannya, sudah sebelas tahun lebih sejak terbitnya UU Nomor 31 Tahun 1999 hingga saat ini, belum ada satu pun pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman mati.
Dalam konteks ini, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi bukanlah merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan hukuman mati sendiri merupakan alat yang efektif untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa, lembaga legislatif telah merumuskan beberapa hal penting yang diyakini dapat digunakan sebagai alat untuk menjerat dan membuat jera para pelakunya, yaitu asas pembuktian terbalik dan asas pembuktian berat. sanksi, termasuk hukuman mati. Dari sudut pandang hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi dengan putusan MK no. 3/PUU-V/2007 pada dasarnya menemukan bahwa hukuman mati terhadap kejahatan berat merupakan salah satu bentuk penghapusan hak asasi manusia.
Perdebatan mengenai hukuman mati juga masih masuk akal, karena pada kenyataannya, secara internasional dan regional, negara-negara di dunia sedang menuju pada kesamaan pemikiran dan kesepakatan untuk menghapuskan hukuman mati.
SARAN
Berdasarkan Resolusi 2857 Tahun 1971 dan Resolusi 32/61 Tahun 1977, PBB telah mengambil langkah untuk menyatakan penghapusan hukuman mati sebagai tujuan universal yang ingin dicapai, meskipun berlaku secara terbatas pada kejahatan tertentu. Untuk menghindari terjadinya tindak pidana korupsi, penulis berharap agar seluruh pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah jujur dalam menjalankan tugas, pekerjaan dan setiap tindakannya, serta menaati prosedur atau aturan yang telah ditetapkan dan dipatuhi. dirumuskan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi yang dapat merugikan berbagai pihak.