PENERAPAN PIDANA PEMISKINAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI ERA
PANDEMI COVID-19
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan
mendapat gelar sarjana hukum (S.H) Fakultas Syari’ah program studi Hukum Pidana Islam
Oleh:
Dinda Khairunnisa NIM: S20174048
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI AHMAD SIDDIQ JEMBER
FAKULTAS SYARI’AH
MARET 2022
PENERAPAN PIDANA PEMISKINAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI ERA
PANDEMI COVID-19
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan
mendapat gelar sarjana hukum (S.H) Fakultas Syari’ah program studi Hukum Pidana Islam
Oleh:
Dinda Khairunnisa NIM: S20174048
Disetujui Pembimbing
Dr. Muhammad Faisol, S.S., M.Ag.
NIP: 19770609 200801 1 012
ii
MOTTO
َلَ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي ًةَراَِتِ َنوُكَت ْنَأ َّلَِإ ِلِطاَبْلاِب ْمُكَنْ يَ ب ْمُكَلاَوْمَأ اوُلُكْأَت
ْمُكْنِم ٍضاَرَ ت ْنَع ْمُكَسُفْ نَأ اوُلُ تْقَ ت َلََو ۚ
ْمُكِب َناَك َهَّللا َّنِإ ۚ
اًميِحَر
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa Ayat 29)1
Corruption is an extraordinary and systematic crime hence extraordinary efforts are also required in eradicating it2
1 Dikutip dari Qur’an.Kemenag.go.id
2 Ulang Mangun Sosiawan, “The Role of Corruption Eradication Commission (KPK) in Corruption Prevention and Eradication” jurnal penelitian hukum de jure vol 19 no 4, (Desember 2019), 517.
PERSEMBAHAN
ميِحَّرلا ِنَْحَّْرلا ِهَّللا ِمْسِب
Dalam penulisan karya tulis yang telah disusun tentu peneliti tidak hanya bermaksud menjadikan karya ini sebagai step formalitas mendapatkan gelar sarjana hukum (S.H) saja, lebih daripada itu peneliti berharap karya ini dapat menjadi salah satu rujukan penelitian lain di kemudian hari serta mendorong budaya hukum yang sesuai dengan Pancasila serta norma agama di lingkungan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember khususnya. Tidak lupa persembahan ini peneliti haturkan kepada seluruh pihak yang telah memberi dorongan berupa doa, inspirasi, motivasi dan berbagai hal baik lainnya. Diantara yang bisa peneliti sebut ialah:
1. Bapak Mulyadi (Ayah peneliti) dan ibu Siyamah (ibu peneliti) beserta keluarga besar.
2. Dr. Muhammad Faisol, S.S., M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya, memberi asupan pengetahuan yang tiada terhingga, saran dan arahan yang bermanfaat bagi peneliti guna menuntaskan penelitian ini.
3. Segenap alumni dan senior PMII Rayon Syariah, PMII Komisariat Universitas Islam Negeri Kyai Haji Ahmad Siddiq Jember umumnya yang telah menjadi inspirasi besar bagi peneliti. Penuh harap karya tulis membawa banyak manfaat bagi kader kedepannya.
4. Keluarga besar program studi Hukum Pidana Islam di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kyai Haji Ahmad Siddiq Jember.
v
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas dan patut diucap selain rasa syukur berkat doa dan restu orang-orang terdekat tuntaslah skripsi yang peneliti susun ini dengan harap membawa dampak baik untuk civitas akademika Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember khususnya dan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia pada umumnya. Segala kekurangan dalam karya tulis ini peneliti harap akan terus diperbaiki oleh para peneliti lain selanjutnya. Peneliti mengharap segala saran untuk kesempurnaan penelitian ini. Maka tuntas sudah karya ini untuk diuji dan disahkan sebagai persyaratan menyandang gelar akademik berupa sarjana hukum (S.H) dari institusi Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Kyai Haji Ahmad Siddiq Jember dengan judul: PENERAPAN PIDANA PEMISKINAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI ERA PANDEMI COVID-19.
Untaian rasa terimakasih peneliti haturkan untuk:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember, Prof. Dr. H.
Babun Suharto, S.E., M.M.
2. Dekan Fakultas Syariah, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil. I.
3. Dr. Muhammad Faisol, S.S., M.Ag selaku dosen pembimbing sekaligus wakil dekan 1 Fakultas Syari’ah.
4. Dr. Martoyo, S.H.I., M.H selaku wakil dekan 3 yang banyak membantu proses akademik dan perkembangan pengetahuan peneliti.
5. Abdul Wahab, M.H.I selaku ketua prodi Hukum Pidana Islam.
vi
6. Ibu Inayatul Anisah, S.Ag., M.Hum, ibu Rina Suryanti, S.H.I,. M.Sy dan Mbak Uul Fathur Rohmah, S.H.I sebagai dosen dan senior yang sangat menginspirasi peneliti.
7. Bapak, ibu dan keluarga kecil yang menjadi figur praktisi gender paling ideal dalam hidup peneliti.
8. Seluruh pihak yang tidak mampu peneliti sebut namanya.
Dalam hal ini peneliti menyadari banyaknya kekurangan, maka dari itu berbagai macam kritik dan saran peneliti harapkan untuk progresifitas penegakan hukum di Indonesia.
Jember, 07 Maret 2022 peneliti
vii
ABSTRAK
Dinda Khairunnisa, 2022: Penerapan Pidana Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Era Pandemi Covid-19
Kata Kunci: Penerapan, pidana pemiskinan, pelaku tindak pidana korupsi, era pandemi Covid-19
Seiring berkembangnya teknologi, laju produksi pasar hingga problematika kesehatan dunia mengakibatkan pidana-pidana yang semakin kompleks. Hal ini menyebabkan perlunya evaluasi besar-besaran terhadap pola pemidanaan. Penelitian hukum mestinya juga bergerak untuk memperkuat ekonomi melalui pencegahan virus korupsi yang akan memperparah dan memperlambat percepatan ekonomi. Dari berbagai sisi upaya pemberantasan korupsi dan formula pencegahannya mesti terus dikaji. Wacana pidana pemiskinan sebagai upaya memberi efek jera koruptor terus menerus diperdebatkan. Latar belakang dicetuskannya pun sudah jelas, karena minimnya efek jera, merajalelanya korupsi di Indonesia, korupsi dana penanggulangan pandemi dan berbagai hal timpang dalam proses pemberantasan korupsi.
Penelitian ini akan terfokus pada: Bagaimana pidana pemiskinan yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di era pandemi Covid-19? Dan Apakah pidana pemiskinan menjamin efek jera?. Tentu dengan tujuan untuk (1) Mengetahui pidana Pemiskinan yang diterapkan terhadap pelaku Tindak pidana Korupsi di era pandemi Covid-19 (2) Pidana Pemiskinan yang memberi Efek jera.
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan kajian mendalam terhadap masalah otentik terkait dengan penerapan pidana pemiskinan di Indonesia. Dengan 2 jenis data yakni primer dan sekunder. Data yang peneliti himpun juga didukung dengan berbagai macam riset tentang Legal principal dan legal doctrines untuk merespon actual legal issue.
Adapun hasil dari penelitian pustaka ini menunjukkan bahwa adanya beberapa indikasi, diantaranya: 1) Pidana pemiskinan pelaku tindak pidana korupsi di era pandemi tidak massif dilakukan, 2) Pidana pemiskinan koruptor kita saat ini belum memberikan efek jera.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ... i
PERSETUJUAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL………... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Fokus Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Definisi Istilah ... 12
F. Sistematika Pembahasan ... 14
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN ... 16
A. Penelitian Terdahulu ... 16
B. Kajian Teori ... 20
1. Pidana……… 20
2. Pidana Pemiskinan……… 27
3. Korupsi……….. 48
ix
BABA III METODE PENELITIAN ... 66
A. Jenis Penelitian ... 67
B. Pendekatan Penelitian ... 67
C. Sumber Bahan Hukum ... 69
D. Teknik Pengumpulan Data ... 70
E. Analisis Data ... 70
F. Tahapan Penelitian ... 71
BAB IV PEMBAHASAN ... 73
A. Pidana Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Era Pandemi ... 73
B. Efek Jera Pidana Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Era Pandemi Covid 19 ... 89
BAB V PENUTUP ... 92
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
x
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
1. Tabel 1.1 ……… 5
2. Table 4.1 ……… 82
3. Table 4.2 ……… 85
4. Gambar 4.1………. 86
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Korupsi di masa pandemi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Virus yang dengan ganas memperlambat laju ekonomi nasional, statusnyapun berada dalam taraf luar biasa. Hal ini tidak hanya terjadi di era pandemi Covid-19, namun di masa pandemi segala hal menjadi serba sulit. Virus3 korupsi akan terus berkembang jika tidak diberantas sedari akarnya. Salah satu indikasi merebaknya virus ini ialah hingga detik ini masyarakat dan birokrasi Indonesia seakan terbiasa akan gratifikasi.4 Dalam penelitian lain gratifikasi diartikan sebagai suatu pemberian berupa hadiah atau imbalan oleh seorang yang pernah menerima jasa dari orang yang sedang berada di kursi pemerintahan.5 Korupsi, kolusi dan nepotisme dengan berbagai upaya-upaya untuk memberantas korupsi telah banyak diusahakan termasuk dengan didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003.6
Dalam proses pemberantasan korupsi tentu tidak hanya melibatkan elemen pengadilan, namun berbagai riset menjadi salah satu elemen penting
3 Pernyataan virus ini merujuk pada korupsi seperti yang disebutkan sebelumnya.
4 Tindak pidana gratifikasi disetarakan dengan tindak pidana korupsi pada UU No. 20 Tahun 2001 dalam pasal 12B, dalam pasal ini hanya berlaku bagi penerima gratifikasi. Untuk pemberi gratifikasi diatur dalam pasal 5. Di lain sisi aturan dalam pasal 12C menyatakan bahwa apabila pelaporan gratifikasi kepada KPK melebihi batas 30 hari sejak gratifikasi diterima maka ketentuan 12B ayat (1) tidak berlaku lagi.
5 Nadia Syafira, “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana penerima Gratifikasi berdasarkan Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” JOM fakultas hukum vol 2 ( Maret 2015), 2.
6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pelaksanaannya berpedoman kepada lima asas yaitu; kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia diakses tanggal 17 Desember 2020 Pukul 18.51 WIB.
1
untuk memberantas korupsi. Salah satu penelitian jaksa yang menjadi satuan khusus pemberantasan tindak pidana menyebutkan keserakahan, kebutuhan dan peluang menjadi alasan terbanyak yang mendorong perilaku korupsi.7
Dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa terdapat 8 pendukung maraknya kasus korupsi di Indonesia, yakni:8
1. Sistem penyelenggaraan negara yang problematik;
2. Tunjangan pegawai negeri sipil yang cenderung rendah;
3. Keserakahan pejabat publik;
4. Proses saling mengawasi dan menjaga antara pemangku trias politica tidak berjalan sebagaimana semestinya;
5. Hukuman koruptor yang tidak menimbulkan efek jera;
6. Pengawasan yang tidak efektif;
7. Minimnya keteladanan pemimpin;
8. Kondusifitas tradisi korupsi, kolusi, nepotisme di masyarakat dan birokrasi.
Adapun pendapat dari Marwan Mas yang dikutip oleh Hartiwiningsih dan Lushiana Primasari dalam modul tindak pidana ekonomi tindak pidana korupsi juga terjadi karena hal-hal berikut9:
1. Sistem pemerintahan yang kurang baik.
7 Dessy Rochman Prasetyo, “Penyitaan dan Perampasan Aset hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor,” DiH jurnal ilmu hukum volume 12, no. 24 (T.b. 2016), 149.
8 Pernyataan disampaikan oleh Abdullah Hehamahua dalam buku Agus Kasiyanto, Teori dan Praktik Proses Pemeriksaan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tindak pidana korupsi Tingkat Pertama (Jakarta: Kencana, 2020), 43.
9 Buku Materi Pokok Modul Hukum Kejahatan Ekonomi,”HKUM 4311/MODUL 8”. T.t.
Negara-negara yang tergolong baru merdeka cenderung memiliki keterbatasan sumberdaya hingga manajemen. Maka dari itu perlu adanya pembaharuan dan perbaikan sistem yang kondusif apabila terjadi korupsi.
2. Rendahnya upah kerja
Meski cenderung sexy’s, namun upah kerja menjadi salah satu alasan masih mudahnya suap menyuap terjadi di lingkungan birokrasi.
3. Ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat
Macetnya Law enforcement, bergumulnya kabar ketimpangan penerapan hukum. Sering terdengarnya gap antara cita-cita hukum dengan kenyataan. Seperti hasil putusan pencuri ayam yang dihukum lebih berat dari pejabat yang melakukan korupsi sehingga merugikan negara. Bahkan isu suap pejabat berwenang yang menimbulkan korupsi sistemik.
4. Rendahnya daya jera hukuman pengadilan
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa hukuman yang timpang menjadi salah satu alasan mengapa tingkat kepercayaan publik kurang baik terhadap penegakan hukum. Hukuman ringan yang dijatuhkan kepada koruptor menjadi salah satu alasan mengapa pemberantasan korupsi masih sangat sulit. Kriteria koruptor yang dapat dihukum mati sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi masih sangat jauh dari efektifitas efek jera untuk diterapkan.
Akhirnya dalam pelaksanaanya pun tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Apa yang dirasakan oleh pelaku maupun orang yang akan melakukan tindak pidana korupsi tetap melaksanakannya.
5. Figur publik yang kurang memberikan contoh baik
Sebagai salah satu negara yang memiliki sejarah dan nenek moyang pelaut dan petani, pola masyarakat cenderung paternalistik.
Artinya penokohan menjadi salah satu hal penting. Diantara contohnya ialah pemimpin, tokoh agama, tokoh masyarakat dan sebagainya. Namun untuk masalah tindak pidana korupsi ini pemerintah cenderung kurang memberikan contoh yang baik sehingga terjadi kekecewaan di hati masyarakat.
6. Masyarakat yang minim partisipasi
Dalam rangka menjadikan masyarakat sebagai elemen penting untuk memberantas korupsi, pemerintah telah mengetok peraturan pemerintah nomor 68/1999. Selain itu Deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat yang bertugas menerima dan memproses laporan dari masyarakat juga dibentuk oleh KPK guna menunjang efisiensi pemberantasan korupsi di masyarakat. Namun kenyataanya partisipasi masyarakat dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi ini masih minim.
Selain itu Rafid abbas dalam penelitiannya menyatakan bahwa korupsi ditandai dengan penghianatan kepercayaan, serba rahasia, bermuatan penipuan bagi publik/masyarakat, sengaja menutupi dengan pengesahan administrasi. Melalaikan kepentingan umum untuk suatu yang lebih “’Aam” atau umum,10
10 Rafid Abbas, “Korupsi dan Solusinya dalam Perspektif Islam”, Al Ahwal vol 6 (T.b 2014), 105.
Pemberlakuan dan dasar pemidanaan sebagai penguat hukum (Ultimum remidium)11 terus menyesuaikan. pidana pokok dan pidana tambahan yang termaktub di dalam KUHP12. Dalam aspek lain beberapa ahli menambahkan kriteria pemberat pidana dengan beberapa alasan.
Diantaranya dikemukakan oleh Jonkers “landasan umum pemberlakuan straverhogingsgroden atau pemberlakuan pemberatan pidana adalah: (1) Posisi pelaku sebagai Pegawai Negeri; (2) Residivis atau pengulangan pidana13; (3) Samenlop/concursus yakni melakukan beberapa delik sekaligus.14 Dalam kesempatan lain pemberat pidana diklasifikasikan menjadi:
1. Orang-orang yang menjabat sebagai pegawai negeri dan memiliki kewajiban khusus lalu melanggarnya.
2. Penggunaan lambang dan bendera negara untuk keperluan pidana.
3. Pelaksanaan tindak pidana secara terencana, sistematis dan kejam.
4. Penyalahgunaan profesi dan keahlian untuk melakukan tindak pidana.
5. Mengajak bahkan memaksa anak di bawah umur untuk melakukan tindak pidana.
6. Tindak pidana yang dilakukan saat negara berada dalam masa krisis.
11 I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringanan dan Pemberat Pidana, (Malang: Bayumedia Publishing, 2012), 11-17.
12 Pidana pokok yang terdiri dari; A. Pidana pokok (1) pidana mati, (2) pidana penjara, (3) pidana Kurungan, (4) pidana denda, (5) pidana tutupan. B. Pidana tambahan (1) pencabutan hak-hak tertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu, (2) pengumuman putusan hakim.
13 Dalam hal ini pemberlakuan bagi pelaku pengulangan pidana diatur dalam pasal 486, 487 dan
488 KUHP.
14 Agus Kasiyanto, Teori dan Praktik Proses Pemeriksaan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tindak pidana korupsi Tingkat Pertama (Jakarta: Kencana, 2020), 244.
Dari beberapa poin khusus di atas, ternyata pandemi Covid-19 merupakan salah satu bentuk dari poin ke-6.15
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana menjadi alasan formil pemberlakuan status bencana pada fenomena pandemi Covid-19, di dalamnya menyebut pada pasal 1 angka 3: bencana atau serangkaian tragedi yang disebabkan oleh faktor selain alam dapat dikategorikan sebagai bencana non ala. Dapat berupa gagal teknologi maupun faktor lain-lain. Maka dengan adanya peraturan tersebut dan berbagai pertimbangan situasi pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai bencana non-alam.16
Selain itu dalam tatanan peradilan hakim juga memiliki kuasa untuk memperberat atau mengurangi sanksi dengan pertimbangan peralihan tatanan sosial-politik secara mendasar tentu mesti memperhatikan data yang kongkret.17
Sejauh ini sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia berbagai macam putusan dan pemberlakuan sanksi tidak mampu melangkahi kebiasaan yang ada, artinya ketika pembuktian di pengadilan menyatakan terdakwa bersalah namun di lain sisi terpidana juga tetap merasakan kebebasan.18
15 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar grafika, 2018), 93-94.
16 Badan nasional penanggulangan bencana menyebutkan apa yang sebut sebagai kejadiaan luar biasa ialah meningkatnya jumlah kematian atau penyakit di area tertentu, artinya secara epidemis pada wilayah yang cukup luas di Republik Indonesia legalitas pemberlakuan status ini ditap pada per-menteri kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
17 Ahmad l dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: t.p 2005), 119.
18 Maidin Gultom, Suatu Analisis Tentang Korupsi di Indonesia (Bandung: Refita Aditama 2018), 148.
Menimbang bahwa keruntuhan ekonomi yang disebabkan oleh pendemi ini membuat keterpurukan yang luar biasa, menurut beberapa ahli penurunan ekonomi global pada tahun-tahun terdampak pandemi Covid- 19 berpotensi menurun seperti depresi 1930. Kondisi ini juga memicu penurunan perdagangan bahkan perdagangan internasional.19
Keadaan ini ditunjang dengan derasnya arus peralihan keuangan besar-besaran untuk beberapa kementrian20 sehingga sukar dideteksi adanya kecurangan-kecurangan. Munculnya kasus-kasus korupsi baru, ekspor benih Lobster, penangkapan menteri sosial tersangka korupsi bantuan sosial Covid-19 dinilai sangat tidak manusiawi mengingat betapa ambruknya perekonomian di tataran masyarakat menengah ke bawah.21 Bahkan ancaman berupa jerat pidana mati juga merupakan hal yang potensial.22
Dalam hal sanksi denda, pemiskinan dan beberapa aspek lainnya keadaan aset yang dituju dan perkarakan mesti jelas keberadaanya agar dapat dieksekusi. Selama ini pidana pemiskinan23 terus menjadi dialektika legal yang diterapkan dalam bentuk pidana tambahan, maka dari itu
19 Dikutip dari https://www.uii.ac.id/ekonomi-di-masa-pandemi-covid-19/ diakses pada 22 Desember 2020.
20 Dikutip dari
https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/03/26/1195171/bpk-dan- pemerintah-bahas-pengalihan-anggaran-untuk-penanganan-covid-19 diakses 27 Desember 2020 pukul 12.18 WIB.
21 Dikutip dari
https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/tren/read/2020/12/06/143500765/korupsi- bansos-ini-sangat-jahat diakses 23 Desember 2020 pukul 22.39 WIB.
22 https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol7486/hukuman-mati-bagi-koruptor diakses 27 Desember 2020 Pukul 21.07 WIB.
23 Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi
penting rasanya peneliti mengupas pidana pemiskinan sebagai upaya perluasan maknanya.
Perampasan aset sebagai salah satu hal paling erat kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Tercantum dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Pemiskinan selaras fungsinya dengan pengambilan aset. Apabila dalam persidangan hakim menemukan alasan kuat untuk mencari kebenaran untuk pembuktian perilaku korupsi terhadap tersangka, hakim dapat memerintah penuntut umum untuk diteruskan kepada penyidik guna menyita aset korupsi berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak. Dalam pasal 1 ayat 16 KUHAP. Sedangkan pihak berwenang termaktub dalam pasal 13 jo 14 huruf J KUHAP.24
Dilain sisi pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi berbunyi: Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang hukum pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
24 Dessy Rochman Prasetyo, “Penyitaan dan Perampasan Aset hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor,” DiH jurnal ilmu hukum volume 12 (T.B 2016): 151,
Pasal di atas bertendensi terhadap tujuan pemidanaan yang bersifat gabungan atau utilitarianism. Meski kandungan maknanya berbeda.
Pemiskinan koruptor pada dasarnya memiliki makna yang berbeda dengan konsep miskin pada umumnya. Bahwa pemiskinan berbeda makna dengan konsep miskin dalam kamus besar bahasa Indonesia, namun penyitaan ini bersifat penyitaan aset secara menyeluruh guna pemulihan kondisi negara yang terpuruk.25
Sanksi pidana pemiskinan koruptor yang saat ini dilakukan dengan merampas aset yang besarnya disesuaikan dengan aset hasil korupsi, ini tidak menjamin kerugian sama sekali apalagi efek jera.26 Pemberlakuan pidana pemiskinan juga mesti sesuai dengan konsep penciptaan keseimbangan antara kepentingan korban dan dan pelaku. Dalam konsep ini pemidanaan berbasis ekonomi juga diwacanakan dalam pasal 55 dan 56 Rancangan kitab Undang-undang hukum pidana namun bersifat abstrak serta tidak kunjung usai diperdebatkan. Hal yang dimaksud ialah seberapa besar motif tindak pidana mempengaruhi pemidanaan sebagai esensi hukum pidana yang mengarah pada besaran pemidanaan yang dapat mengembalikkan suatu hal yang tidak adil menjadi adil.27
Penyitaan aset koruptor mestinya menjadi formulasi yang sangat membantu di saat masa pandemi: khususnya dalam segi perekonomian.
25 Dessy Rochman Prasetyo, “Penyitaan dan Perampasan Aset hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor,” DiH jurnal ilmu hukum volume 12 (T.B 2016): 151.
26 Ahmad Yani, “Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi,” sol justicia vol. 2, no. 1 (TB 2019), 41.
27 Gazalba Saleh, T.J. Gunawan, Gagasan Pemidanaan yang Berkeadilan, Berkepastian, Berdaya Jera, Restoratif dan Responsif , Varia pengadilan no. 391 (tb 2018), 35-43.
Meski menurut penganut legal utilitarianism menganggap bahwa jeratan hukum hanya ditujukan sebagai pemberi kemanfaatan dan kebahagiaan seluas-luasnya.28 Jauh daripada itu, sesuai dengan teori pertanggungjawaban pidana bahwa sanksi pidana sebagai beban yang dilimpahkan oleh negara kepada seseorang atau subjek hukum karena melanggar peraturan dan mesti benar-benar dilaksanakan.29
Penelitian yang peneliti tulis ini tidak sembarang berpijak pada tendensi subjektif, permasalahan korupsi ini bersifat sangat sistemik.
Diantara permasalahan ini dimulai dengan budaya masyarakat yang ramah korupsi kolusi dan nepotisme. Sehingga secara tidak langsung budaya ini hidup sampai mengakar di Indonesia dan menyebabkan tindakan manipulatif untuk menipu administrasi negara. Aparat sipil yang melakukan tindak pidana korupsipun menciderai amanah yang diberikan sebagai orang-orang yang seharusnya bekerja membangun pemerintahan yang bersih apalagi mereka yang melakukan tindak pidana korupsi di masa darurat pandemi. Bahkan ini marak dilakukan pada masa pandemi. Lantas ini benar-benar menjadi masalah darurat yang harus segera diperbaiki.
Maka dari itu peneliti memanifestasikannya dalam bentuk penelitian ilmiah ini dengan judul “PENERAPAN PIDANA PEMISKINAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI ERA PANDEMI COVID-19”
28 Rihantoro Bayuaji, Hukum Pidana Korupsi (Yogyakarta: Laksbang, 2019), 33
29 Bayuaji, hukum, 36.
B. Fokus Masalah
Dengan didasari latar belakang yang telah peneliti jabarkan sebelumnya, maka peneliti memecah 2 fokus utama, diantaranya:
1. Bagaimana pidana pemiskinan yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di era pandemi Covid-19?
2. Apakah pidana pemiskinan menjamin efek jera?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pidana pemiskinan yang diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di era pandemi Covid-19
2. Mengetahui apakah pidana pemiskinan menjamin efek jera D. Manfaat Penelitian
Selayaknya penelitian hukum pada umumnya, terdapat 2 (dua) aspek manfaat dalam penelitian peneliti ini, ialah:
1. Aspek teoritis
a. Penelitian ini mendorong berbagai pihak untuk melegalkan pidana pemiskinan secara total melalui perundang-undangan.
b. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran mengenai sistematika pemiskinan koruptor di tengah keadaan darurat/pailit negara.
2. Aspek praktis secara praktis
a. Kebermanfaatan bagi seluruh pembaca di segala lapisan.
b. Dalam rangka pengembangan dan memperluas wawasan pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi, bencana luar biasa, perubahan sistem pemidanaan dan efektifitas efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.
c. Pengembangan pengetahuan kerangka teoritik pidana bagi almamater secara khusus dan bagi sistem hukum di negeri tercinta umumnya.
Lebih daripada itu karena penelitian dapat bersifat deskriptif30 dan inferensial31 maka peneliti mengharap pada kemanfaatan umum sebagai implementasi hasil analisis.
E. Definisi Istilah 1. Korupsi
Menurut Maidin gultom dalam bukunya menyatakan bahwa korupsi berasal dari kata corruptus yang asal muasalnya merupakan bentuk bahasa latin, kemudian kata corruptus berintegrasi ke berbagai bahasa termasuk bahasa Eropa corruption, corruptie. Kemudian seluruh kata ini mengacu pada hal-hal tidak bermoral, ketidakjujuran, kebusukan dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia corruptus berintegrasi menjadi kata korupsi yang diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara.32 Unsur suatu tindakan sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana ialah unsur melawan hukum.
30 Penelitian yang berakhir pada pelukisan tanpa adannya maksud mengambil suatu kesimpulan general.
31 Penelitian yang berbanding lebih jauh dari dekriptif, artinya selain mendeskripsikan penelitian ini juga sampai pada tahap penyimpulan
32 Maidin Gultom, Suatu Analisis Tentang Korupsi di Indonesia, (Bandung: PT Refika adhitama, 2018), 1.
Juangga Saputra Dalimunthe menyatakan dalam jurnalnya bahwa alasan ciri serta spesifikasi khusus yang menjadi unsur dalam tindak pidana korupsi dapat menjadi pembeda korupsi dengan tindak pidana lainnya.33
2. Pidana pemiskinan
Dalam keterangan lain dalam bahasa Inggris pemiskinan juga bermakna improverisment. Improverish mengacu pada (1) Dalam rangka mengurangi kemiskinan (to lessen proverty); (2) Dalam rangka mengurangi pengaruh, kekuatan, wewenang hingga kekayaan pelaku Tindak pidana korupsi.34
3. Covid-19
World health organization (WHO) menetapkan Penyakit menular yang disebabkan oleh Corona virus disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi. Virus baru ini berjangkit serempak di berbagai belahan dunia, namun kasus ini muncul pertama kali di kota Wuhan, Tiongkok.35
Adapun maksud dari ketika definisi istilah yang telah peneliti tuliskan memberi variabel tersendiri untuk penelitian ini sebagai maksud bahwa penelitian ini akan meneliti penerapan pidana pemiskinan yang dijatuhkan khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi di masa pandemi. Sebagai dampak bahwa pandemi
33 . Juangga Saputra Dalimunthe,”Penegakan Hukum Pidana Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, jurnal Indonesia sains vol 1 (2020), 65.
34 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, (Bali, udayana press 2014), 10.
35 Aprista Ristyawati, “Efektifitas Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam masa Pandemi Corona Virus 19 oleh pemerintah sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945”, administrative law & governance journal vol 3 (TB 2020), 241.
Covid-19 sebagai suatu bencana yang menjadi dasar pemidanaan koruptor, peneliti menakar efektifitas efek jera yang dijatuhkan selama masa pandemi.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka memudahkan dan menjelaskan secara sistematis, skripsi ini ditulis menjadi 5 (lima) bab. Di setiap bab ini terdiri dari beberapa sub-bab yang akan peneliti jelaskan berikut ini:
BAB I: Pendahuluan. Pada bab ini peneliti akan menyampaikan latar belakang permasalahan mengapa peneliti perlu mengangkat penelitian ini.
dilanjutkan dengan fokus kajian yang akan menjelaskan tentang arah pembahasan kajian penelitian ini. Tujuan penelitian merupakan subbab selanjutnya pada bab 1 dan akan dilanjutkan manfaat penelitian, definisi istilah dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
BAB II: Penjabaran kajian kepustakaan akan menjadi topik pembahasan pada bab kedua ini. Terdiri dari penelitian terdahulu dan kajian teori.
BAB III : Metode penelitian merupakan pokok pembahasan Bab III pada penulisan penelitian ini. Terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, kemudian teknik pengumpulan data yang akan menunjang kredibilitas penelitian peneliti. Dilanjutkan dengan teknik analisis data lalu diakhiri dengan tahap-tahap penelitian.
BAB IV : Bab ini berisi tentang penjelasan hasil penelitian. Dikemas dengan analisis konsep pidana pemiskinan pelaku tindak pidana korupsi yang
dilakukan pada masa pandemi Covid-19 serta analisis efek jera pelaku korupsi.
BAB V : Bab ini akan menjadi akhir penulisan penelitian ini.
Bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dari keseluruhan bab dan hasil penelitian. Tidak terlupa saran-saran yang peneliti harap menjadi stimulus untuk pembenahan sistem pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Penelitian Terdahulu
Peneliti berupaya untuk terus menyajikan penelitian yang lebih aktual dan komprehensif melalui berbagai macam sumber. Sebagai bahan pertimbangan dan pendekatan yang senada dengan kapasitas gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia, peneliti menyajikan beberapa kajian pendahulu:
1. Penelitian pendahulu pertama berasal dari Alfitra dengan judul penelitian
“Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam”. Secara luas penelitian Alfitra membidik pidana pemiskinan melalui 2 gerbong besar: Hukum pidana positif dan jinayah. Kedua pendekatan ini berakhir pada kesimpulan bahwa pidana pemiskinan sama-sama menciderai prinsip hak asasi manusia. 36
Adapun persamaan penelitian tersebut dengan penelitian peneliti adalah persamaan objek penelitian dimana pidana pemiskinan sebagai sampel, hukum positif dan hukum islam sebagai perspektif penelitian guna mendapatkan sampel baru. Perbedaan mendasar terletak pada waktu dan situasi penelitian.
2. Penelitian kedua berasal dari penelitian jaksa (satuan khusus pemberantasan tindak pidana korupsi) Dessy Rochman Prasetyo dengan
36 Alfitra, “Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam”, sol justicia MIQOT vol. XXXIX, no. 1 (TB 2015), 94.
16
judul penelitian “Penyitaan dan Perampasan Aset Hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor”. Secara luas jaksa Dessy menjabarkan tentang sistematika perampasan aset terpidana korupsi sesuai dengan berbagai sumber.37
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian peneliti adalah menjelaskan tentang sistem perampasan aset bagi koruptor. Namun perbedaan mendasar penelitian ini ialah penelitian Dessy menyatakan bahwa tiada berhak penyitaan barang yang tidak terbukti menjadi barang korupsi sedangkan penelitian peneliti meneliti tentang perampasan aset secara menyeluruh karena mempertimbangkan kemungkinan penggemukan uang.
3. Penelitian ketiga berasal dari Margaretha Yesicha Priscyllia dan Aloysius Wisnubroto dengan judul penelitian “Pemiskinan Koruptor sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Bidikan penelitian tersebut fokus terhadap pemiskinan sebagai salah satu alternatif pemidanaan tindak pidana korupsi, sedangkan pada penelitian peneliti pemiskinan menjadi pidana pokok dan pidana tambahan dengan grade tinggi pada situasi darurat seperti pandemi Covid-19.38
4. Penelitian selanjutnya berasal dari Ahmad Yani yang berjudul “Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Fokus penelitian ini terpusat pada bagaimana konsep pemikiran
37 Dessy Rochman Prasetyo, “Penyitaan dan Perampasan Aset Hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor”, DiH jurnal ilmu hukum, volume 12 (2016), 151.
38 Margaretha Yesicha Priscyllia, Aloysius Wisnubroto, “Pemiskinan Koruptor sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta (2014), 3.
pada koruptor dan penerapan pidana pemiskinan koruptor di Indonesia.39 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti terletak pada fokus kajian yang mana tulisan penelitian sebelumnya mendalami pemiskinan sebagai hukuman alternatif, peneliti meneliti bagaimana pidana pemiskinan dapat menjadi sanksi pokok bagi pelaku delik korupsi di tengah keadaan darurat.
5. Penelitian kelima berasal dari tulisan Yogi Bayu Aji yang berjudul
“Pemiskinan Koruptor Sebagai Hukuman Alternatif Dalam Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Indonesia”. Fokus penjelasan riset ini adalah pemaknaan dan menjelaskan tentang pidana pemiskinan sebagai pidana alternatif yang mengobati gejolak pidana korupsi yang tiada henti di Indonesia.40 Adapun topik senada dari penelitian ini ialah sama meneliti pidana pemiskinan bagi koruptor sebagai jalur penegakan hukum yang efektif. Dalam hal ini perbedaan mencolok pada penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada penyajian teks dan tempus delicti, dimana sajian penelitian ini pidana pemiskinan pada tahap awal diterapkan pada masa darurat dan menjadi pidana yang dianjurkan sedangkan penelitian Yogi Bayu Aji bertumpu pada penerapan pidana pemiskinan sebagai hukuman alternatif.
6. Penelitian selanjutnya berasal dari tulisan Kadek Krisna Sintia Dewi yang dengan judul riset “Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana
39 Ahmad Yani, “Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi”, sol justicia, vol. 2, no. 1 (2019), 38.
40 Yogi Bayu Aji, “Pemiskinan Koruptor Sebagai Hukuman Alternatif Dalam Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Indonesia”, jurnal kriminologi Indonesia, vol 9 (2013), 12.
Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar)”. Fokus penelitian tersebut ialah menguji pidana tambahan untuk terdakwa tindak pidana korupsi agar efektif serta efisien.41
Tabel 2.1 Persamaan dan perbedaan penelitian
No Nama
Peneliti Judul Penelitian Perbedaan Persamaan
1. Alfitra Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian saya terletak pada waktu dan situasi penelitian.
Serta Pemiskinan sebagai objek kajian sedangkan saya menguliti pidana pemiskinan di era Pandemi Covid-19.
Pidana pemiskinan sebagai sampel, hukum positif dan hukum islam sebagai perspektif penelitian guna mendapat hasil penelitian baru.
2. Dessy Rochman Prasetyo
Penyitaan dan Perampasan Aset Hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor
Menyatakan bahwa
tiada berhak
penyitaan barang yang tidak terbukti menjadi barang korupsi sedangkan penelitian meneliti tentang perampasan
aset secara
menyeluruh karena mempertimbangkan kemungkinan penggemukan uang.
Menjelaskan tentang sistem perampasan aset bagi koruptor.
3. Margaretha Yesicha Priscyllia dan Aloysius Wisnubroto
Pemiskinan Koruptor sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi
pemiskinan sebagai salah satu alternatif pemidanaan tindak Pidana Korupsi, sedangkan pada penelitian
Persamaan
penelitian dengan penelitian ini ialah sama mengkaji tentang pidana pemiskinan bagi
41 Kadek Krisna Sintia Dewi, “Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar),” Jurnal Magister Hukum Udayana Vol 7 (bulan 2014), 360.
pemiskinan menjadi pidana pokok dan Pidana Tambahan dengan grade tinggi pada situasi darurat pandemi Covid-19
pelaku Tindak Pidana Korupsi.
4. Ahmad Yani
Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tindak Pidana Korupsi
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terletak pada fokus kajian yang mana tulisan penelitian sebelumnya
mendalami
pemiskinan sebagai hukuman alternatif, meneliti bagaimana pidana pemiskinan dapat menjadi sanksi pokok bagi pelaku delik korupsi di tengah keadaan darurat.
Persamaan
penelitian ialah sama mengkaji tentang Pidana Pemiskinan yang mampu menjadi pidana penjamin efek jera bagi koruptor.
5. Yogi Bayu Aji
Pemiskinan Koruptor Sebagai Hukuman Alternatif Dalam Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Indonesia
Mengkaji tentang pidana pemiskinan sebagai pidana alternatif sedangkan penelitian menyasar pada pemberlakuan pidana pemiskinan bagi koruptor di masa pandemi
Mengkaji tentang sistem pemiskinan koruptor
6. Kadek Krisna Sintia Dewi
Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar)
Penelitian tersebut hanya menakar pengembalian Aset hasil korupsi sebagai pidana tambahan di zona pengadilan Tindak pidana korupsi Denpasar sedangkan meneliti penerapan pidana pemiskinan yang ada di Indonesia.
Menakar efektifitas efek Jera Koruptor
B. Kajian Teori 1. Pidana
a. Pengertian Pidana
Dalam bahasa Belanda hukum pidana ialah strafrecht Straf, menurut Prof. Soedarto Hukum pidana peraturan yang mengatur tentang peraturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan- perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.42 Sedangkan Moelyatno memaknai hukum pidana sebagai satu kesatuan yang berada dalam kajian hukum di suatu negara serta bermaksud memetakan dan melegalkan perbuatan yang diperbolehkan dan tidak. Sifatnya terancap sanksi. Maka untuk menjamin prinsip kemanusiaan, tindak pidana yang dimaksud wajib memiliki unsur, 3 hal paling utama pemenuhan unsur tindak pidana ialah legalitas keberadaan hukum serta kepastian Tempus dan locus delicti.43
Perbuatan pidana menurut Moeljatno dalam bukunya dimaknai sebagai perilaku yang diatur sebagai larangan oleh negara, dan jika melaksanakannya menimbulkan akibat hukum berupa sanksi.44
b. Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana terdapat unsur formil dan materiil. maka untuk menetapkan tindak pidana mesti memenuhi unsur tersebut.
42 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (memahami Tindak Pidana dan pertanggungjawaban sebagai Syarat Pemidanaan (Yogyakarta, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, 2012), 2.
43 Ilyas, Asas, 3.
44 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 59.
Untuk dapat dinyatakan sebagai tindakan pidana, perbuatan yang dilakukan mesti memenuhi kedua unsur ini. tidak lupa efek perbuatan pidana ini juga mestinya dinilai masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan. S. R. Sianturi meringkas unsur tindak pidana menjadi45 :
1) Unsur subjek;
Dalam hal tindak pidana Korupsi subjek yang dikatakan sebagai pelaku adalah person atau korporasi.
2) Adanya unsur kesalahan;
Unsur kesalahan atau juga kealpaan adalah unsur perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai.
3) Perlawanan hukum;
Perlawanan hukum yang dimaksud ialah segala tindakan yang dinilai tidak sesuai dengan aturan. Unsur ketidaksesuaian perilaku dengan aturan yang berlaku.
4) Perbuatan yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan serta terdapat ancaman sanksi bagi yang melakukannya.
Dalam hukum pidana hal ini disebut sebagai asas legalitas dengan asas Nullum delictum noella poena sine praveia lege poenali.
5) Terjadi dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu. Ini disebut sebagai Tempus dan locus delicti.
c. Kebijakan hukum pidana dan Teori pemidanaan
45 Dikutip dari Ulasan lengkap : Mengenal Unsur Tindak Pidana dan Syarat Pemenuhannya (hukumonline.com) diakses pada 13 Januari 2021 pukul 16.16 WIB.
M Friedman menerangkan tentang Legal System Theori atau yang kita sebut sebagai sistem hukum membaginya menjadi tiga hal berikut:
a) Substansi keberadaan hukum (Legal Substance)
Substansi hukum yang dimaksudkan oleh M friedman ialah norma atau aturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aturan tentang korupsi ini juga didukung oleh Undang-undang lain, salah satunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan beberapa Undang-undang lainnya.
b) Struktur hukum
Struktur hukum atau Legal Structure mengacu pada kerangka, unsur yang mendirikan Lembaga hingga sistem hukum. Pada pembentukannya struktur hukum tidak dapat melepaskan diri dari adanya arah gerak politik hukum46. Dalam hal ini struktur juga dapat dimaknai sebagai sistem. H. Ismail Saleh menjelaskan dlam seminar
46 Otong Rosadi menjelaskan bahwa politik hukum ini dapat dipahami melalui dua acara yakni dengan memberi pengertian tersendiri untuk kata “Politik” dan “hukum” lalu menggabungkan keduanya atau dengan mengartikan keduanya menjadi satu kesatuan. Moh. Mahfud MD menyebut Politik hukum sebagai kompas kebijakan hukum, baik yang akan ataupun yang telah dilaksanakan serta mengandung pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum.
Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan asas Hukum Nasional pada tahun 1995 bahwa ciri suatu sistem ini merujuk pada47:
a. Relasi antara satu dengan yang lain, yakni adanya pembatasan namun juga memperkuat antara seluruh komponen;
b. Terjaganya keserasian dan keseimbangan (dinamis);
c. Terbuka;
d. Mengalir.
c) Budaya Hukum
Adanya pergolakan pembentukan hukum ini tidak terlepas dari adanya kebijakan hukum. Maka tidak salah apabila dibutuhkan pembaharuan hukum di Indonesia. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tiada artinya Hukum Pidana48 diperbaharui, apabila tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya. 49
Produk hukum pidana di Indonesia saat ini yang merupakan turunan hukum Kolonial. Pada dasarnya produk hukum yang merupakan produk hukum asli dianut oleh masyarakat pribumi sebelum penerapan hukum koloni ialah hukum adat. Maka sudah sewajarnya lahir berbagai kebijakan dan teori baru yang diharapkan
47 Rocky Marbun, Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia (Malang: Setara Press), 51.
48 Dalam catatan buku Rocky Marbun Hukum pidana di catat sebagai KUHP, namun dalam perspektif penumpasan tidak pidana korupsi peneliti memaknainya menjadi dua hal, yakni pemberantasan tindak pidana korupsi dalam jalur penal dan yang kedua melalui non penal. Artinya perlu adanya pembaharuan antara penumpasan korupsi dalam hal Undang-undang sebagai pijakan legalitas dan pembaharuan penafsiran hukum pidana. Hukum pidana yang disebutkannya bersifat legal sedang pada kalimat akhir disebutkan ilmu hukum pidana yang kemudian dimaksudkan sebagai pengetahuan materiil pembentukan hukum formil.
49 Rocky Marbun, Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia (Malang: Setara Press, 2019), 10.
dapat menekan laju perkembangan korupsi di Indonesia. Yong Ohoitimur dalam bukunya Tujuh Teori Etika Tentang Tujuan Hukum yang dikutip oleh Rocky Marbun berpendapat bahwa: “Setidaknya sistem hukum mengandung unsur-unsur diantaranya:50
1) Peraturan yang disahkan oleh pemerintah Legislatif;
2) Putusan Lembaga Yudikatif, bersifat legal dan mengikat. Baik berupa legal formil maupun tradisi.;
3) Berbagai lembaga hukum menjadi pelaksana legal.
Dalam Ilmu Hukum Teori pemidanaan terbagi menjadi tiga, diantaranya:
1) Teori Absolout (Retribution)
Menurut teori ini sanksi pidana yang dijatuhkan harus bersifat pembalasan yang setimpal (Quia Peccatum est).51 Teori Absolout disebut juga dengan teori Retribution, dimana pembenaran pidana tertuju pada adanya pembalasan.52
Karl. O. Christiansen menyebut Teori Retributif memiliki sifat seperti berikut 53:
a) Pembalasan merupakan tujuan final pemidanaan;
b) Munculnya kesalahan menjadi syarat tindak pidana;
50 Marbun, Politik, 2.
51 I Gede Widhiana suarda, Hukum Pidana: materi penghapus, peringanan dan pemberat pidana (malang: Bayumedia Publishing, 2012),14.
52 Suarda, hukum, 14.
53 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali, Udayana Press 2014), 25. url
c) Tidak ada tujuan lain selain pembalasan, baik itu kesejahteraan masyarakat atau selainnya;
d) Penjatuhan sanksi disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan;
e) Pidana murni sebagai metode pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2) Teori Relative (Utilitarian)
Menurut teori ini bersifat utilitarian atau pidana dinilai sebagai suatu hal yang digunakan sebagai alat pencapai kesejahteraan masyarakat.54
Teori Utilitarian erat kaitannya dengan pergerakan teori perjanjian masyarakat (social contract), dimana aliran sejarah, kedaulatan negara. Hukum sebagai perwujudan kemauan orang dalam masyarakat yang bersangkutan dengan cara ditetapkan oleh negara.55
2. Teori Gabungan (Pellegrino Rossi)
Teori ini beranggapan bahwa pembalasan sebagai asas dasar pidana namun demi menjamin hak asasi manusia pembalasan tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil.56 Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal (1828)” seperti yang dikutip
54 I Gede Widhiana suarda, Hukum Pidana: materi penghapus, peringanan dan pemberat pidana (Malang: Bayumedia Publishing, 2012), 14.
55 Nur Solikin, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jember: STAIN Jember Press, 2014), 112.
56 Suarda, hukum, 16.
dari skripsi Moh. Abd. Rauf menyatakan bahwa: “Sekalipun pembalasan sebagai asas yang berat, namun pidana memiliki bermacam dampak baik ataupun hancurnya pada prevensi general”.57
2. Pidana Pemiskinan
Pastika sebagai pakar sastra Indonesia Universitas Udayana, menyebut bahwa diksi kata “pemiskinan” diadopsi dari kata “miskin”
yang memiliki arti serba kekurangan.58 Gandjar Laksmana Bonaprapta ahli hukum pidana Universitas Indonesia menyatakan bahwa adanya penerapan sanksi tambahan berupa beban biaya sosial korupsi dapat memperkuat dan mempertajam daya jera pelaku tindak pidana korupsi.59
Pemiskinan koruptor termasuk pada rumpun pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu. Klasifikasi upaya pemberantasan korupsi berupa pidana pemiskinan ini dimaksudkan pada penggunaan pemidanaan berbasis ekonomi. Menurut Richard posner analisis ekonomi berbasis hukum (economic analys of law) ialah persoalan hukum yang dianalisis menggunakan konsep dan pilihan rasional ilmu ekonomi.
Dalam sudut pandang ekonom, penjatuhan sanksi terhadap terpidana
57 Moh. Abd. Rauf, “Rancangan Formulasi Perluasan Penerapan Hukuman Mati Dalam Undang- undang Tindak Pidana Korupsi (Telaah Yuridis Normatif Perspektif Maqashid Syari’ah)”, (Skripsi, IAIN Jember, 2020), 33.
58 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali: Udayana press 2014), 9.
59 Yogi Bayu Aji, “Pemiskinan Koruptor Sebagai Hukuman Alternatif Dalam Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Indonesia”, jurnal kriminologi Indonesia, Vol 9 (TB 2013), 17.
serupa harga jual barang. Masyarakat cenderung merespon suatu tindakan berat yang dijatuhi hukuman dengan ancaman ringan.60
Secara teoritis belum terdapat kesepakatan mutlak dari berbagai ahli hukum terkait pidana pemiskinan bagi koruptor, namun secara teknis pidana pemiskinan telah dipraktikkan oleh almarhum Hakim Agung Artidjo. Hal ini terjadi pada kasus peralihan dana dari Kementrian pemuda dan olahraga ke kemendiknas yang dilakukan oleh Angelina Sondakh senilai 3 (tiga) miliyar rupiah. Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, hakim memutus 4 tahun 6 bulan penjara lebih ringan dari dakwaan jaksa penuntut umum yang menuntut 12 Tahun penjara di tingkat pertama ditambah denda Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta.
Sedangkan denda 12,58 miliyar dijatuhkan pada tingkat kasasi oleh hakim agung Artidjo sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum.61
Efek jera dalam konteks kriminologi berangkat dari berbagai macam dampak pada sisi sosiologis dan psikis seseorang agar tidak ingin melakukan/mengulangi tindak pidana.62 Pengaruh efek jera juga dipengaruhi oleh norma masyarakat seperti yang diterangkan dalam teori Retributif bahwa suatu sanksi atau hukuman dapat dibenarkan sebab menjadi retribusi terhadap tindak pelanggaran yang merugikan orang lain.
Penjelasan lain menyatakan bahwa hukuman/sanksi hanya bisa dijatuhkan
60 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali, Udayana Press 2014), 12-13.
61 Hartiwiningsih. Lushiana primasari, “Modul hukum pidana ekonomi”.
62 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali, Udayana Press 2014), 9.
terhadap seorang yang terbukti bersalah, hal ini dijelaskan juga pada teori Retributivisme Teologis hasil pemikiran H.L.A Hart dan R.A Duff. K.63
Oxford Dictionary atau kamus oxford menjelaskan efek jera sebagai hal yang melemahkan dan bertujuan untuk mengurangi keberanian seseorang untuk melakukan tindak pidana.64
Pidana pembalasan pernah dilaksanakan pada masa Imanuel kant pada kisaran tahun1724-1804 M dan George wihelm friedrich hegel pada tahun 1770-1831 M. Nampaknya pidana dengan sistem pembalasan ini juga sempat dipersoalkan.65 Oleh karena korupsi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana khusus, komisi pemberantasan korupsi juga menetapkan kriteria efek jera66 untuk menjadi formulasi pemiskinan koruptor, sebagai berikut: 67
a. Hukuman badan dan denda pada pelaku sebagai tuntutan pidana yang tinggi pada para pelaku korupsi.
b. Memberi dampak sosiologis berupa pemiskinan yang menjadi bomerang bagi koruptor yang takut akan rasa kekurangan. Secara aktif nan progresif menimbulkan daya jera.
63 Frederikus Fios, “Keadilan Hukum Jeremy Betham dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer”, Humaniora vol 3 ( TB 2012), 303.
64 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali, Udayana Press 2014), 10.
65 I Ketut Mertha juga menyampaikan dalam bukunya bahwa tujuan pemidanaan pada mulanya tidak semata-mata bertujuan pada adanya pembalasan, namun pidana ini ada dimaksudkan untuk menjadi teori menakutkan, memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan atau mereka yang memiliki potensi melakukan kejahatan. Oleh karena muatan penjeraan di atas I ketut Mertha menyimpulkan efek jera mengandung hal-hal berikut: A. menciptakan rasa takut di lingkungan penjahat yang berdampak pada ketidakinginan untuk mengulangi. B. membuat dan mempengaruhi seorang yang berpotensi melakukan kejahatan tidak melakukan. C. mengancam pidana berat melalui Undang-undang.
66 Merta, efek, 11-12.
67 Merta, efek, 11.
c. Pemberian pidana pengganti, pencabutan hak politik dapat menjadi salah satu opsi.
d. Integritas dalam penegakan hukum menjadi paradigma untuk penegakan hukum.
Dalam segi pemaknaan tentu pemiskinan tidak jauh berbeda dengan pemahaman efek jera pada umumnya. Secara normatif memang pemiskinan hanya tercantum secara implisit dalam sistem perundang- undangan kita, namun di lain sisi demi keberlangsungan pengetahuan hukum istilah pemiskinan muncul melalui doktrin dan riset oleh para peneliti.68
Di beberapa dekade ini pidana pemiskinan menjadi hal yang banyak diperbincangkan, mulai dari adanya pro dan kontra dan sebagainya. Tentu munculnya usulan sanksi ini bersumber pada adanya ketidakpercayaan atau putusan pengadilan yang dinilai kurang aktif memberi penjeraan bagi pelaku tindak pidana korupsi selama ini.69
Adapun latar belakang munculnya wacana pemiskinan korupsi ini dilatar belakangi oleh beberapa hal, diantaranya70:
 Korupsi semakin mengganas
 Koruptor tidak merasa jera, hukuman denda, penjara tidak menimbulkan rasa takut bagi orang yang akan melakukan korupsi.
68 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali, Udayana Press 2014), 12.
69 I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana (Bali, Udayana Press 2014), 12.
70 Agus Sugiarto, “Pidana Pemiskinan Pada Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, jurnal yustitia vol 6 (2020),76.
 Keunikan tindak pidana korupsi
 Banyaknya vonis hakim yang rendah bagi koruptor.
Bryan Gunner dalam Black law dictionary menjelaskan bahwa penegakan hukum adalah pendeteksi dan hukuman dari pelanggaran hukum. Penegakan hukum juga tidak terbatas pada penegakan hukum pidana (artinya pendeteksi dari sanksi dari pelanggaran hukum, tentu istilah ini tidak boleh dibatasi oleh penegakan hukum pidana).71 Artinya penegakan hukum tidak boleh berpaku pada hukum pidana saja, sebagai pendeteksi penegakan hukum yang berfungsi sebagai radar ketidakselarasan hukum yang komprehensif, penegakan hukum boleh menelisik pada cabang hukum lain (perdata, bisnis, pertambangan dan lain-lain semampang hal tersebut bersinggungan baik secara langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana korupsi). Maka oleh karena itu dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi yang bersifat luas pemerintah dan penegak hukum mesti berkomitmen memberantas korupsi yang merugikan negara serta ekstra menanganinya karena bersinggungan dengan segala sektor.
Terdapat 2 hal fundamental yang perlu diamati dalam hal pengembalian aset72, diantaranya :
71 Alfitra,”Pemiskinan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam”, MIQOT vol 39 (2015), 101.
72 Pusat perencanaan Pembangunan Hukum, “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana”, 2012.
 Memperhatikan dan menimbang dengan dilakukan penyitaan, penegak hukum mesti mempersiapkan harta apa saja yang mesti dipertanggungjawabkan oleh tersangka;
 Memperhitungkan landasan hukum penyitaan aset korupsi.
Agus Sugiarto membagi strategi memberantas Korupsi di Indonesia menjadi tiga hal73, diantaranya;
1. Strategi preventif
Strategi preventif dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan upaya pencegahan sebelum korupsi terjadi. Upaya ini bertujuan untuk meminimalkan kasus.
2. Strategi detektif
Strategi detektif merupakan upaya mendeteksi adanya korupsi, maka apabila terdapat indikasi korupsi upaya inilah yang kemudian dapat menghimpun data secara akurat.
3. Strategi advokasi
Strategi advokasi adalah formula penyelesaian kasus korupsi.
Strategi ini mestinya bersifat solutif karena harus menyelesaikan permasalahan sistemik agar memberikan hukuman setimpal dan memberikan daya jera bagi pelaku.
Adapun pidana pemiskinan yang gagas ini berada pada tahap ketiga, yakni strategi advokasi karena berbentuk sanksi. Namun di lain sisi efek pemiskinan yang dirasakan koruptor ini dapat sekaligus
73 Agus Sugiarto, “Pidana Pemiskinan Pada Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, jurnal yustitia vol 6 (TB 2020), 73.
menjadi daya jera bagi pelaku sekaligus bagi orang yang melakukan karena insting manusiawi koruptor salah satunya ialah menolak kemiskinan bagi dirinya dan keluarganya.
Konsep kitab Undang-undang hukum pidana juga melegalkan adanya pidana tambahan. Namun secara teknis apabila pidana pemiskinan dikategorikan sebagai pidana tambahan hal ini akan mengurangi efektifitas pemidanaan dan penjatuhan vonis. Untuk itu alangkah baiknya jika peneliti menjabarkan bunyi pasal 18 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terlebih dahulu:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-undang hukum pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
Dalam point A ini disebutkan beberapa hal yang dapat dirampas, diantaranya: barang bergerak serta memiliki wujud, barang bergerak namun tidak memiliki wujud, serta barang yang tidak bergerak. Namun penyitaan aset ini hanya berlaku untuk aset-aset yang digunakan dan diperoleh dari korupsi.