• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Indoor Environmental Quality Terhadap Persepsi Kesehatan Mental Karyawan Kantor di Jakarta - Repository PU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Pengaruh Indoor Environmental Quality Terhadap Persepsi Kesehatan Mental Karyawan Kantor di Jakarta - Repository PU"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

45

Bab V

Analisis Hasil dan Pembahasan

V.1 Analisis Data

Berikut merupakan hasil pengolahan data sebagai dasar untuk menjawab hipotesis yang telah dirumuskan pada awal penelitian:

Tabel V.1 Hasil Pengolahan Data Hipotesis Variabel

Bebas

Variabel Terikat

Koefisien Regresi

Signifikansi Keputusan

H1 Indoor Air

Quality (X1)

Persepsi Kesehatan Mental (Y)

0,171 0,185 H1

Diterima

H2 Thermal

Comfort (X2)

0,208 0,105 H2

Diterima

H3 Visual

Comfort (X3)

0,081 0,302 H3

Diterima

H4 Acoustic

Comfort (X4)

0,531 0,000 H4

Diterima (Sumber: Olahan Pribadi)

Persamaan Regresi:

𝑌 = 5,916 + 0,171𝑋1+ 0,208𝑋2+ 0,081𝑋3+ 0,531𝑋4+ 𝑒 (V.1) Hasil persamaan regresi berganda menunjukkan bahwa keempat hipotesis diterima karena memiliki nilai koefisien regresi yang positif. Nilai ini dapat diartikan sebagai adanya pengaruh positif dari masing-masing variabel Indoor Air Quality, Thermal Comfort, Visual Comfort, dan Acoustic Comfort terhadap variabel terikat persepsi kesehatan mental. Setiap variabel bebas memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan variabel terikat dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil uji secara simultan, didapatkan nilai signifikansi di bawah 0.05, yang berarti terdapat pengaruh signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat apabila dilihat sebagai kesatuan atau secara bersamaan. Namun jika dilihat dari nilai signifikansi secara parsial, hanya variabel Acoustic Comfort yang

(2)

46 memengaruhi variabel terikat secara signifikan, yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi kurang dari 0,05. Sementara, ketiga variabel bebas lainnya tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

Hal ini juga selanjutnya memengaruhi kekuatan variabel bebas secara keseluruhan terhadap variabel terikat, di mana didapatkan nilai koefisien determinasi berganda (R-Square) sebesar 36,9%. Angka ini menunjukkan bahwa variabel bebas dalam penelitian ini hanya memengaruhi variabel terikat sebesar 36,9%, sementara 63,1% lainnya berasal dari faktor lain yang tidak masuk ke dalam lingkup penelitian. Sesuai dengan teori Chin (1998), nilai R-Square pada penelitian ini dapat dikategorikan sebagai moderat atau sedang karena nilainya berada pada rentang 0,33 hingga 0,67.

Temuan di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat berbagai aspek di luar Indoor Environmental Quality yang memengaruhi persepsi kesehatan mental pekerja kantor. Dari beberapa literatur, ditemukan ada sedikitnya empat faktor yang berkaitan erat dengan kesehatan mental pekerja, yaitu:

1. Beban kerja yang berlebihan: pekerjaan yang terlalu banyak, rumit, atau monoton seringkali menjadi penyebab kelelahan (burnout) pada pekerja kantor (Li dkk., 2015).

2. Gaji: karyawan yang mendapatkan gaji lebih tinggi cenderung merasa puas dengan pekerjaan mereka serta lebih termotivasi dalam bekerja dan berkomitmen terhadap perusahaan mereka. (Kumari & Singh, 2017).

3. Work-life balance: pekerja kantor seringkali mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan tuntutan keluarga, yang kemudian berpotensi menjadi pemicu meningkatnya stres dan depresi (Grzywacz & Bass, 2003).

4. Perilaku atasan dan dukungan sosial: perilaku pemimpin yang berorientasi pada karyawan (employee-oriented) dinilai dapat menunjang kesejahteraan psikologis karyawan. Sebaliknya, pemimpin otoriter erat dikaitkan dengan peningkatan stres dan kecemasan pada karyawan (Artazcoz dkk., 2018).

Kesejahteraan psikologis pada pekerja kantor juga sangat dipengaruhi oleh dukungan sosial dari teman, keluarga, dan rekan kerja (Hu dkk., 2019).

(3)

47 V.2 Pembahasan

Besarnya persentase waktu yang dihabiskan masyarakat perkotaan untuk bekerja di dalam ruang kantor mendasari berbagai penelitian terkait faktor-faktor yang diperlukan untuk menunjang kesejahteraan pekerja kantor. Dengan tujuan yang sama, penelitian ini berfokus untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari lingkungan fisik ruangan kantor atau yang sering disebut Indoor Environmental Quality (IEQ) terhadap persepsi kesehatan mental karyawan perkantoran. Studi terdahulu yang relevan menilai bahwa terdapat empat parameter utama yang perlu diperhatikan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu indoor air quality, thermal comfort, visual comfort, dan acoustic comfort (Sarbu & Sebarchievici, 2013; Geng dkk., 2019; Mujan dkk., 2019). Untuk itu, digunakan parameter yang sama untuk menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini.

Hasil dalam penelitian ini mendukung temuan Licina & Yildirim (2021), yaitu bahwa sumber keluhan yang paling banyak dilaporkan terkait IEQ adalah keluhan terkait kebisingan. Sebagian besar keluhan disebabkan oleh gangguan dari suara telepon, percakapan orang lain, dan minimnya tingkat privasi. Licina & Yildirim (2021) juga menemukan aspek kenyamanan termal (thermal comfort) sebagai sumber keluhan terbanyak kedua, dengan penyebab utamanya antara lain karena ketidakpuasan terhadap kualitas sistem HVAC dan akses pengaturan termal.

Namun, Veitch dalam Frontczak dkk. (2012) menemukan bahwa kualitas udara adalah parameter IEQ yang paling penting, diikuti dengan kenyamanan akustik, kenyamanan termal, dan kenyamanan visual di urutan terakhir.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa penerapan konsep bangunan hijau dapat dijadikan opsi dalam upaya mengoptimalkan aspek-aspek IEQ suatu bangunan, namun bangunan konvensional dengan perencanaan dan perawatan yang baik juga berpotensi menyaingi performa bangunan hijau. Terkait akses pengaturan, sebagian besar responden memberikan penilaian IEQ yang cukup rendah. Hal ini menandakan adanya keterbatasan akses pengaturan IEQ bagi responden sesuai preferensi, khususnya terkait pengaturan termal dan pencahayaan. Huizenga dkk. (2006) menuliskan, ketersediaan akses penghuni untuk mengatur aspek-aspek IEQ sesuai preferensi (personal control over

(4)

48 environmental conditions) memang menjadi salah satu aspek yang sangat menentukan tingkat kenyamanan penghuni. Sehingga, aspek ini juga menjadi penting untuk dijadikan tolok ukur dalam penilaian IEQ.

Secara keseluruhan, penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang berbanding lurus antara IEQ dengan skor kesehatan mental. Indikator WHO Wellbeing Index yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya potensi peningkatan skor kesehatan mental yang berhubungan dengan suasana hati (good spirits, relaxed) seperti pada penelitian oleh Bergefurt dkk., 2022; Lan dkk., 2010; dan Lamb & Kwok, 2016, juga terhadap kemampuan dalam bekerja (active, fresh, interest) seperti pada penelitian oleh Aries dkk., 2010; Bergefurt dkk., 2022; dan Viola dkk., 2008.

Hasil uji regresi yang telah dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel acoustic comfort (X4) memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel terikat persepsi kesehatan mental, diikuti dengan variabel thermal comfort (X2), indoor air quality (X1), dan yang terakhir adalah visual comfort (X3). Sehingga, dapat disimpulkan pengambilan keputusan hipotesis sebagai berikut:

▪ H4: Acoustic Comfort memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif (hipotesis diterima)

▪ H2: Thermal Comfort memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif (hipotesis diterima)

▪ H1: Indoor Air Quality memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif (hipotesis diterima)

▪ H3: Visual Comfort memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif (hipotesis diterima)

V.2.1. Pengaruh Acoustic Comfort terhadap Persepsi Kesehatan Mental

Kenyamanan akustik pada bangunan perkantoran memegang peranan penting terhadap kesejahteraan penghuni dalam beraktivitas, namun seringkali kurang diperhatikan dalam tahap perencanaan (Lou & Ou, 2018). Pengujian regresi berganda yang dilakukan dalam penelitian ini juga menunjukkan hal serupa.

Diperoleh nilai koefisien variabel acoustic comfort sebesar 0,531 pada persamaan

(5)

49 regresi linear berganda dan nilai signifikansi sebesar 0,000 pada tabel coefficients.

Kedua angka ini menunjukkan bahwa variabel acoustic comfort memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat. Koefisien persamaan regresi juga menunjukkan bahwa variabel acoustic comfort menjadi variabel dengan pengaruh paling signifikan terhadap variabel terikat dibandingkan dengan tiga variabel bebas lainnya.

Dalam penelitian ini, digunakan indikator noise annoyance dan acoustic privacy untuk mengukur persepsi tingkat kenyamanan akustik. Ditemukan bahwa responden lebih banyak terganggu dengan noise yang muncul dari suara percakapan, langkah kaki, dan aktivitas manusia lainnya di ruang kantor (X4.1).

Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata dari jawaban responden yang lebih rendah dibandingkan dengan dua butir parameter kenyamanan akustik lainnya, di mana nilai rata-rata yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kenyamanan akustik yang semakin baik sesuai dengan skala likert yang digunakan. Temuan ini mendukung hasil penelitian oleh Artan dkk. (2019) yang menemukan bahwa lebih dari setengah responden penelitian memilih suara yang bersumber dari percakapan orang lain sebagai sumber suara yang paling mengganggu di ruang kantor.

Penelitian terkait kenyamanan akustik pada lingkup perkantoran seringkali dikaitkan dengan tipe ruang kerja. Sehingga, pertanyaan terkait tipe ruang juga ditanyakan pada bagian awal kuesioner penelitian ini. Responden diberikan dua pilihan jawaban, yaitu tipe open-office (tata ruang kantor terbuka tanpa sekat atau dengan partisi rendah) atau private office (tata ruang kantor tertutup dan terpisah dari rekan kerja - ruang pribadi). Ditemukan bahwa sebagian besar responden (82%) bekerja pada tipe open-office. Penerapan tata ruang terbuka seperti ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dengan memudahkan komunikasi antar rekan kerja, namun di sisi lain juga meningkatkan potensi munculnya berbagai noise yang tidak diinginkan. Sebagai dampaknya, mereka yang bekerja di open- office dinilai lebih mudah terpapar stres, kelelahan, dan memiliki produktivitas rendah (Kamarulzaman dkk., 2011; Omari & Okasheh, 2017). Namun dalam penelitian ini, tidak ditemukan perbedaanya yang signifikan antar keduanya.

Sebaliknya, ditemukan nilai rata-rata indikator noise annoyance yang lebih tinggi pada kelompok responden yang bekerja di private office. Beberapa faktor seperti

(6)

50 kurangnya pemahaman responden dan data yang tidak terdistribusi merata diduga menjadi salah satu pengaruh munculnya temuan yang menyimpang ini.

Meskipun penilaian subjektif dapat memberikan gambaran terhadap tingkat kenyamanan akustik, Navai & Veitch (2003) menuliskan bahwa pengukuran objektif tetap perlu dilakukan untuk memahami batas toleransi individu terhadap tingkat kebisingan, yang kemudian akan sangat membantu untuk merancang ruangan sesuai dengan kebutuhan penghuni. Sebuah kajian literatur yang ditulis oleh Mui dalam Huang dkk. (2012) menyebutkan bahwa ambang batas kenyamanan akustik di ruang kerja yang direkomendasikan berada pada rentang 45 dB hingga 70 dB, dengan rata-rata 57.5 dB. Dalam kajian Navai & Veitch (2003) yang berfokus pada tipe ruang kantor terbuka (open-office), disimpulkan bahwa responden cenderung merasa nyaman dalam hal akustik ketika tingkat kebisingan rata-rata berada di antara 45 dB hingga 50 dB. Namun, angka ini bisa berbeda sesuai dengan kebutuhan penghuni ruangan, seperti berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pekerjaan yang memerlukan tingkat fokus lebih tinggi tentu memerlukan keadaan akustik dengan tingkat kebisingan lebih rendah.

Sebagai contoh, standar tingkat kebisingan yang direkomendasikan untuk ruangan kelas adalah tidak melebihi 35 dB (Brunner & Rostiyanti, 2020). Sementara, batas normal tingkat kebisingan pada ruangan yang ditujukan untuk kegiatan produksi adalah 60-70 dB (Rahayuningsih, 2014).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kenyaman akustik dalam tahap perencanaan adalah dengan pemilihan material yang dapat meredam suara. Dalam bukunya, Adam (2016) menyarankan beberapa opsi material dengan kemampuan absorpsi suara yang baik, antara lain: panel kayu MDF (Medium- Density Fiberboard), panel dari bahan serat mineral, busa akustik dari bahan poliester, serta peredam suara karet.

V.2.2. Pengaruh Thermal Comfort terhadap Persepsi Kesehatan Mental

Newsham dkk. (2013) menuliskan bahwa kenyamanan termal adalah faktor kunci yang memengaruhi kepuasan dan kesejahteraan penghuni suatu bangunan, yang juga akan berdampak pada produktivitas mereka dalam bekerja. Dari hasil uji

(7)

51 regresi yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa variabel thermal comfort terbukti memiliki pengaruh positif terhadap persepsi kesehatan mental sebagai salah satu parameter kesejahteraan pekerja. Setiap penambahan nilai variabel thermal comfort sebesar 1 satuan akan menambahkan skor kesehatan mental sebesar 0,208. Namun jika dilihat dari nilai signifikansinya, variabel ini memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,105; yang mana nilainya lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel thermal comfort tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat persepsi kesehatan mental.

Dari ketiga butir kuesioner sebagai parameter kenyamanan termal dalam penelitian ini, nilai rata-rata yang paling rendah ditemukan pada indikator thermal control, yaitu pertanyaan terkait kemudahan akses pengaturan suhu ruangan. Rata- rata dari indikator ini hanya mencapai 2,85 dari 5 sebagai skor maksimum skala likert, yang juga menjadi nilai rata-rata terendah dari keseluruhan indikator yang digunakan. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum memiliki kemudahan akses untuk mengatur kondisi termal di sekitarnya sesuai preferensi mereka. Mengulas temuan pada penelitian terdahulu, ketersediaan akses pengaturan suhu di ruang kerja perlu lebih diperhatikan karena dapat menjadi alternatif yang sederhana namun efektif untuk membantu memaksimalkan kenyaman termal penghuni bangunan (Lan dkk., 2010). Namun, nilai rata-rata persepsi responden terhadap kualitas sistem AC (pendingin ruangan) yang tersedia pada tempat kerjanya mencapai angka yang cukup tinggi, yaitu 4,48 dari 5. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bangunan perkantoran di Jakarta yang menjadi tempat kerja responden sudah menyediakan sistem pendingin ruangan dengan kualitas yang cukup memadai.

Standar kenyamanan termal di Indonesia sendiri mengacu pada ASHRAE 55- 1992, di mana rentang suhu yang direkomendasikan untuk penghuni merasa nyaman adalah antara 22°C - 26°C. Namun, Smolander dalam Horr dkk. (2016) menuliskan bahwa perbedaan jenis kelamin, rentang usia, serta lokasi dan kondisi iklim juga turut memengaruhi pandangan penghuni terhadap kenyamanan termal yang dirasakannya. Dalam penelitian ini, ditemukan lebih banyak kaum perempuan yang merasakan ketidaknyamanan akibat keterbatasan akses pengaturan suhu. Kelompok laki-laki memiliki nilai rata-rata 1,22 kali lebih tinggi

(8)

52 daripada kelompok perempuan, di mana nilai ini dapat diartikan sebagai tingkat kepuasan terhadap akses pengaturan suhu. Sebuah penelitian oleh Kim dkk.

(2013) juga menemukan hal serupa, di mana tingkat ketidakpuasan kaum perempuan terhadap suhu ruangan kerjanya adalah 1,65 kali lebih tinggi daripada kaum pria. Karjalainen (2007) menjelaskan bahwa perbedaan preferensi ini dapat terjadi karena perempuan cenderung memiliki metabolisme tubuh yang lebih lambat dan sensitif terhadap perubahan suhu. Dari segi rentang usia, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam penelitian ini. Hoof dkk.

(2017) menuliskan bahwa individu yang lebih tua umumnya cenderung memiliki preferensi suhu yang lebih tinggi, namun perbedaan ini tidak selalu konsisten dan lebih dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis aktivitas yang dilakukan, jenis pakaian yang dikenakan, dan keadaan fisik individu. Sementara, untuk aspek lokasi dan kondisi iklim tidak menjadi lingkup pembahasan dalam penelitian ini.

Dalam sebuah penelitian oleh Karyono (2001) yang dilakukan di beberapa bangunan tinggi Jakarta, ditemukan bahwa penghuni cenderung merasa nyaman pada suhu yang lebih tinggi dari standar yang direkomendasikan ASHRAE.

Karyono (2001) menuliskan bahwa hal ini diduga karena standar ASHRAE dirumuskan dari hasil penelitian di negara Eropa dan Amerika Utara, namun masyarakat di daerah tropis seperti Indonesia, khususnya Jakarta, cenderung telah melakukan proses adaptasi terhadap suhu udara luar yang lebih tinggi. Dengan demikian, salah satu strategi yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan kenyamanan termal pada iklim tropis adalah dengan mengurangi perpindahan panas dan menjaga suhu ruangan tetap stabil. Beberapa opsi pemilihan material yang dapat digunakan antara lain: dinding bata insulasi, jendela dengan bahan Low-E Coated Glass, serta material insulasi lainnya seperti lilin parafin (Kaynakli, 2012).

V.2.3. Pengaruh Indoor Air Quality terhadap Persepsi Kesehatan Mental

Penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat memengaruhi kesehatan mental karyawan di tempat kerja, termasuk dengan meningkatkan kecemasan, memengaruhi suasana hati, dan mengurangi kemampuan kognitif (Beemer dkk., 2021). Mendukung pernyataan tersebut,

(9)

53 penelitian ini menemukan adanya pengaruh positif dari variabel indoor air quality terhadap persepsi kesehatan mental yang diukur dengan menggunakan WHO-5 Wellbeing Index. Koefisien regresi sebesar 0,171 menunjukkan adanya penambahan skor kesehatan mental pada setiap penambahan nilai indoor air quality sebesar 1 satuan. Namun, nilai signifikansi dari variabel ini menunjukkan bahwa pengaruhnya terhadap variabel terikat tidak signifikan.

Dalam penelitian ini, digunakan indikator pollution sources and control, ventilation system, dan perception of IAQ sebagai parameter kualitas udara dalam ruangan yang dirasakan responden di ruang kerjanya. Untuk pertanyaan terkait sumber dan kontrol polusi, 95% responden menjawab bahwa ruang kantornya bebas dari asap rokok dan berbagai polutan udara lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh gedung perkantoran di Jakarta sudah menerapkan peraturan dilarang merokok dan sebagian besar responden tidak merasa terganggu dengan kadar polutan udara di dalam ruangan kerja mereka.

Sebanyak 90,5% responden juga tidak merasakan ketidaknyamanan akibat udara yang terasa lembap, pengap, ataupun berbau tidak sedap secara berlebihan.

Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk dapat memahami persepsi penghuni terhadap IAQ dengan lebih baik. Sebagai contoh, Bluyssen dkk. (1996) menggunakan skala yang cukup bervariasi untuk melakukan penilaian subjektif terhadap IAQ, mulai dari skala kelembapan (1=kering hingga 7=lembap), skala kesegaran udara (1=segar hingga 7=pengap), hingga skala bau tidak sedap (1=tidak berbau hingga 7=sangat berbau). Pengukuran langsung terhadap nilai kelembapan udara juga sangat penting untuk dilakukan sebagai parameter aktual kualitas udara. Dalam ASHRAE 55-2020, kelembapan relatif mengacu pada persentase perbandingan jumlah uap air dalam udara dengan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung ruangan tersebut. Razjouyan dkk. (2020) dalam penelitiannya menemukan bahwa kelembapan relatif juga berpengaruh terhadap kesehatan mental penghuni. Dalam hal ini, mereka yang berada dalam ruangan dengan tingkat kelembapan relatif 30%-60% sesuai dengan standar ASHRAE memiliki tingkat stress yang lebih rendah dan kualitas tidur yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak. Terkait sistem ventilasi, 30% responden dalam penelitian ini menjawab bahwa ruang kantor mereka belum menyediakan sistem

(10)

54 ventilasi udara yang memadai sebagai akses pertukaran udara. Hal ini berkaitan erat dengan lantai lokasi perusahaan responden, dengan asumsi bahwa semakin tinggi lokasi kantor, ketersediaan jendela yang dapat dioperasikan akan semakin terbatas. Hasil pengolahan data dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden yang bekerja di lantai 40 ke atas memberikan nilai rata-rata terendah terkait ketersediaan sistem ventilasi di ruangan kantornya.

Meskipun kebanyakan penghuni tidak merasakan pentingnya ventilasi secara langsung, namun banyak studi menuliskan bahwa akses pertukaran udara dalam ruangan tertutup tidak boleh diabaikan karena dapat menyebabkan efek jangka panjang, seperti penyakit pernapasan (Sundell dkk., 2011). Tingkat ventilasi (ventilation rate) minimum untuk ruang kantor yang direkomendasikan Sundell dkk. (2011) adalah tidak kurang dari 10 liter per detik per orang atau 0,12 meter kubik per detik per meter persegi. Namun, beberapa studi menekankan bahwa pengukuran objektif perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait kualitas udara dengan akurat, khususnya dengan pengukuran konsentrasi debu halus, formaldehida, dan senyawa organik volatil atau VOC (Wolkoff, 2018). Hal ini dikarenakan penghuni bangunan seringkali tidak merasa terganggu meskipun berada dalam ruangan dengan kualitas udara di bawah standar yang direkomendasikan, sebab mereka telah terbiasa dengan kondisi tersebut dan menganggapnya normal (Du dkk., 2015). Adapun ambang batas konsentrasi polutan udara dalam ruangan yang direkomendasikan dalam Permenkes Nomor 48 Tahun 2016 adalah 0,15 mg/m3 untuk konsentrasi debu halus (PM10); 0,1 ppm untuk konsentrasi formaldehida; 3 ppm untuk konsentrasi VOC.

Dalam hasil penelitannya, Tran dkk. (2020) menuliskan beberapa opsi material ramah lingkungan yang dapat menunjang kualitas udara, antara lain dengan penggunaan filter udara HEPA (High-Efficiency Particulate Air) yang dapat menghilangkan partikel-partikel debu halus dalam udara serta material penyerap formaldehida seperti karbon aktif dan zeolit. Lebih lanjut, Sundel dkk. (2011) juga menyarankan penggunaan teknologi sensor untuk memantau kualitas udara dalam ruangan dan menerapkan sistem ventilasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, antara lain dengan memperhatikan kualitas udara di luar ruangan, jumlah orang yang ada di dalam ruangan, serta tingkat aktivitas fisik di dalam

(11)

55 ruangan. Selain itu, perawatan rutin dan pembersihan sistem ventilasi secara berkala juga tetap perlu dilakukan untuk memastikan bahwa sistem ventilasi berfungsi dengan optimal.

V.2.4. Pengaruh Visual Comfort terhadap Persepsi Kesehatan Mental

Dalam penelitian ini, variabel bebas visual comfort terbukti memengaruhi variabel terikat persepsi kesehatan mental karyawan kantor secara positif, namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Kesimpulan ini diperoleh dari nilai koefisien regresi sebesar 0,081 yang dapat dikatakan cukup kecil jika dibandingkan dengan ketiga variabel bebas lainnya serta ditemukannya nilai signifikansi sebesar 0,302 > 0,05.

Carlucci dkk. (2015) menjelaskan bahwa kenyamanan visual sangat ditentukan oleh intensitas pencahayaan yang memadai bagi penghuni untuk melakukan aktivitasnya. Dalam penelitian ini, 100 dari 105 responden menjawab setuju dan sangat setuju pada butir kuesioner yang menanyakan apakah pencahayaan di ruang kerja mereka sudah memadai. 88,6% responden juga menjawab bahwa ruangan kantornya sudah terekspos paparan cahaya matahari dengan intensitas yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak memiliki keluhan terhadap kualitas pencahayaan di ruang kantornya.

Dalam penerapannya, standar pencahayaan ruangan kantor di Indonesia dapat mengacu pada SNI 03-6197-2000 tentang konservasi energi pada sistem pencahayaan. Untuk tingkat pencahayaan, batas yang direkomendasikan dalam SNI adalah tidak kurang dari 350 lux (lumen per meter persegi). Namun, terdapat beberapa penelitian yang merekomendasikan standar lebih tinggi, seperti pada Mui & Long (2006) yang menyimpulkan bahwa setidaknya diperlukan tingkat pencahayaan 500 lux untuk membuat penghuni merasa nyaman. Carlucci dkk.

(2015) menambahkan bahwa kenyamanan visual yang dirasakan penghuni dalam suatu bangunan tidak hanya berkaitan erat dengan tingkat pencahayaan buatan (artificial), namun juga diperlukan pencahayaan alami (daylight) yang memadai.

Di Indonesia sendiri, tata cara perancangan sistem pencahayaan alami untuk bangunan gedung dapat mengacu pada SNI 03-2396-2001.

(12)

56 Penelitian ini juga menemukan masih banyak responden yang merasa belum memiliki akses pengaturan tingkat pencahayaan sesuai preferensi. Studi terdahulu oleh Escuyer & Fontoynont (2001) menuliskan bahwa keluhan terkait hal ini seringkali muncul karena preferensi penghuni terkait pencahayaan memang sangat beragam, begitu pun terkait preferensi sistem pengaturan yang digunakan.

Beberapa penghuni merasakan kenyamanan dengan diterapkannya sistem pengaturan otomatis, karena dengan demikian, mereka tidak perlu membuang energi untuk mengatur pencahayaan. Namun, beberapa penghuni menunjukkan kepuasan yang lebih tinggi dengan penerapan sistem pengaturan manual. Escuyer

& Fontoynont (2001) menambahkan, penggunaan sistem pencahayaan manual dan dapat diredupkan (dimmable general lighting) yang diletakkan di meja kerja dapat menjadi strategi untuk mengatasi keberagaman preferensi penghuni terkait tingkat pencahayaan yang diperlukan. Dalam Shen dkk. (2014) juga disajikan beberapa pilihan strategi yang dapat diterapkan, mulai dari sistem pengaturan manual, otomatis, dan juga terintegrasi antar keduanya. Shen dkk. (2014) menuliskan bahwa hal ini diperlukan tidak hanya untuk membentuk lingkungan visual yang nyaman, tetapi juga sebagai upaya memaksimalkan efisiensi penggunaan energi.

Dalam penelitian yang berkaitan dengan visual dan pencahayaan, berbagai studi juga memperhatikan beberapa faktor selain iluminansi atau tingkat pencahayaan, seperti pengukuran terkait suhu warna cahaya lampu. Sebuah jurnal oleh Hoffmann dkk. (2008) menunjukkan bahwa pencahayaan yang lebih rendah dengan suhu warna yang lebih hangat menyebabkan produksi melatonin yang lebih tinggi dan suasana hati yang lebih tenang dan santai. Sedangkan pencahayaan yang lebih tinggi dengan suhu warna yang lebih dingin menyebabkan produksi melatonin yang lebih rendah dan suasana hati yang lebih aktif dan fokus. Di Indonesia, standar yang direkomendasikan SNI terkait suhu warna (Correlated Colour Temperature = CCT) pada ruang kerja adalah kategori cool white (3300-5300 K), namun apabila tingkat iluminansi yang diperlukan cukup tinggi, maka sebaiknya digunakan jenis lampu kategori daylight dengan CCT sekitar >5300 K.

Walaupun tidak ditemukan dalam penelitian ini, berbagai studi yang relevan banyak menemukan adanya pengaruh signifikan dari kenyamanan visual terhadap

(13)

57 psikologis penghuni. Boubekri dkk. (2014) menuliskan bahwa keberadaan jendela dan paparan cahaya alami pada ruangan kerja memiliki dampak positif pada kesehatan mental pekerja kantor, secara khusus terhadap kualitas tidur. Carlucci dkk. (2015) juga menemukan adanya hubungan positif dari kualitas pencahayaan dengan peningkatan kualitas tidur, peningkatan konsentrasi, dan penurunan tingkat stres. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berbagai aspek perlu diteliti lebih lanjut untuk mendukung penilaian subjektif seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan untuk dimasukkan ke dalam lingkup penelitian serupa selanjutnya.

V.2.5. Klasifikasi Bangunan

Berdasarkan jawaban responden, ditemukan sebanyak 46 gedung perkantoran yang menjadi lokasi tempat responden bekerja, di mana mayoritas gedung terletak di wilayah Jakarta Selatan (50,5%). Ditemukan rentang nilai sebesar 17% dari selisih rata-rata skor IEQ tertinggi dan terendah berdasarkan pengelompokkan wilayah, di mana rata-rata IEQ tertinggi berada pada wilayah Jakarta Utara (65 dari 75) dan rata-rata terendah pada wilayah Jakarta Barat (52 dari 75).

Hasil pengolahan data juga menunjukkan beberapa temuan terkait klasifikasi gedung berdasarkan sertifikasi bangunan hijau. Sebanyak 14 gedung dalam penelitian ini telah memperoleh sertifikasi bangunan hijau dan 32 gedung lainnya tidak tersertifikasi (konvensional). Berikut adalah hasil uji regresi linear berganda berdasarkan klasifikasi bangunan:

Tabel V.2 Uji Regresi untuk Bangunan Hijau Coefficientsa Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 9,313 6,032 1,544 0,133

Indoor Air Quality 0,181 0,288 0,113 0,626 0,536 Thermal Comfort -0,296 0,215 -0,228 -1,377 0,178 Visual Comfort 0,181 0,298 0,114 0,606 0,549 Acoustic Comfort 0,462 0,207 0,379 2,229 0,033

a. Dependent Variable: Persepsi Kesehatan Mental (Sumber: Hasil Output IBM SPSS V26)

(14)

58 Persamaan regresi:

𝑌 = 9,313 + 0,181𝑋1− 0,296𝑋2+ 0,181𝑋3+ 0,462𝑋4+ 𝑒 (V.2) Persamaan di atas dapat diintepretasikan sebagai berikut:

1. Nilai konstanta 9,313 menunjukkan bahwa ketika nilai variabel X1, X2, X3, dan X4 sama dengan 0, nilai variabel Y (persepsi kesehatan mental) adalah 9,313; di mana nilai maksimumnya adalah 25

2. Setiap peningkatan nilai variabel X1 (Indoor Air Quality) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,181 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

3. Setiap peningkatan nilai variabel X2 (Thermal Comfort) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan menurun sebesar 0,296 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

4. Setiap peningkatan nilai variabel X3 (Visual Comfort) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,181 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

5. Setiap peningkatan nilai variabel X4 (Acoustic Comfort) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,462 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

Hasil uji regresi untuk kelompok responden yang bekerja pada bangunan hijau menjelaskan bahwa variabel indoor air quality, visual comfort, dan acoustic comfort memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan variabel terikat dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh positif dari ketiga variabel ini terhadap persepsi kesehatan mental responden. Sebaliknya, nilai negatif pada koefisien variabel thermal comfort menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik dengan variabel terikat. Namun, nilai standard error yang relatif tinggi menunjukkan bahwa model regresi tersebut kemungkinan tidak cukup reliabel untuk menjelaskan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang diamati. Salah satu hal yang diasumsikan menjadi dasar dari temuan ini adalah kesenjangan jumlah data yang mewakili kelompok yang diamati. Dalam hal ini, kelompok responden yang bekerja pada bangunan hijau hanya berjumlah 36 dari total 105 responden, atau sebesar 34,3% dari keseluruhan data.

(15)

59 Tabel V.3 Persamaan Regresi untuk Bangunan Konvensional

Coefficientsa Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 4,834 2,007 2,409 0,019

Indoor Air Quality 0,072 0,150 0,059 0,484 0,630 Thermal Comfort 0,500 0,163 0,331 3,063 0,003 Visual Comfort 0,023 0,085 0,030 0,269 0,788 Acoustic Comfort 0,582 0,167 0,421 3,483 0,001

a. Dependent Variable: Persepsi Kesehatan Mental (Sumber: Hasil Output IBM SPSS V26)

Persamaan regresi:

𝑌 = 4,834 + 0,072𝑋1+ 0,500𝑋2+ 0,023𝑋3+ 0,582𝑋4+ 𝑒 (V.3) Persamaan di atas dapat diintepretasikan sebagai berikut:

1. Nilai konstanta 4,834 menunjukkan bahwa ketika nilai variabel X1, X2, X3, dan X4 sama dengan 0, nilai variabel Y (persepsi kesehatan mental) adalah 4,834; di mana nilai maksimumnya adalah 25

2. Setiap peningkatan nilai variabel X1 (Indoor Air Quality) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,072 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

3. Setiap peningkatan nilai variabel X2 (Thermal Comfort) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,500 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

4. Setiap peningkatan nilai variabel X3 (Visual Comfort) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,023 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

5. Setiap peningkatan nilai variabel X4 (Acoustic Comfort) sebesar 1 satuan, nilai persepsi kesehatan mental akan meningkat sebesar 0,582 dengan asumsi tidak ada perubahan nilai pada variabel lainnya

Hasil uji regresi untuk kelompok responden pada bangunan konvensional menyerupai hasil uji regresi yang telah dilakukan terhadap keseluruhan data. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi dari masing-masing variabel yang

(16)

60 bernilai positif, atau dapat diartikan sebagai adanya hubungan yang berbanding lurus antara setiap variabel bebas dengan variabel terikat yang diamati. Nilai koefisien determinasi berganda menunjukkan bahwa terdapat dua variabel bebas yang memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel terikat, yaitu variabel acoustic comfort dan thermal comfort.

Setelah melakukan uji regresi, dilakukan juga analisis deskriptif dengan perhitungan nilai rata-rata untuk melihat komparasi antara kelompok responden di bangunan hijau dengan bangunan konvensional. Perbandingan skor kedua kategori ini adalah sebagai berikut:

Tabel V.4 Perbandingan Skor pada Bangunan Hijau vs Konvensional IEQ (X) Persepsi Kesehatan Mental (Y)

min max mean min max mean

Bangunan Hijau 45 71 59,9 11 25 18,3

Konvensional 23 74 55,4 6 25 17,7

(Sumber: Olahan Pribadi)

Apabila dilihat dari skor IEQ, ditemukan bahwa gedung dengan sertifikasi bangunan hijau mempunyai rata-rata sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan konvensional. Perbedaan yang lebih signifikan terlihat pada rentang nilai, di mana ditemukan skor IEQ terendah yang diberikan responden pada bangunan konvensional adalah 23 dari 75, sementara skor terendah pada kelompok bangunan hijau mencapai dua kali lipatnya. Temuan ini kembali mendukung berbagai studi terdahulu yang menemukan bahwa penerapan konsep bangunan hijau dapat dijadikan alternatif dalam upaya meningkatkan IEQ suatu bangunan, secara khusus pada bangunan perkantoran (Liang dkk., 2014) yang kemudian akan berdampak juga terhadap peningkatan kesejahteraan penghuni (Horr dkk., 2016). Temuan serupa juga diperoleh pada nilai variabel terikat kesehatan mental dalam penelitian ini. Data nilai minimum menunjukkan bahwa mereka yang bekerja di bangunan hijau memiliki nilai kesehatan mental 20%

lebih baik daripada mereka yang bekerja di bangunan konvensional.

Lebih lanjut, kelompok bangunan hijau dalam penelitian ini menunjukkan nilai IEQ yang lebih tinggi secara khusus pada variabel visual comfort, indoor air quality, dan acoustic comfort. Sementara, nilai variabel thermal comfort

(17)

61 ditemukan sedikit lebih tinggi pada kelompok bangunan konvensional. Sebanyak 12% responden yang bekerja di bangunan konvensional memberikan penilaian yang sangat rendah terkait aspek kenyamanan visual di kantornya (<10 dari total 25 poin). Sementara, ditemukan penilaian yang jauh lebih merata pada kelompok bangunan hijau, yaitu pada rentang 18 sampai 25 poin. Perbedaan serupa juga diperoleh pada variabel indoor air quality. Sedangkan, rentang nilai pada variabel acoustic comfort cukup merata baik pada kelompok bangunan hijau maupun bangunan konvensional.

Tabel V.5 Rata-Rata Skor IEQ pada Bangunan Hijau vs Konvensional Bangunan Hijau Konvensional

Indoor Air Quality (X1) 17,3 16,1

Thermal Comfort (X2) 9,9 10,7

Visual Comfort (X3) 22,2 18,7

Acoustic Comfort (X4) 10,4 9,9

(Sumber: Olahan Pribadi)

Namun, tidak semua responden penelitian memberikan skor yang lebih tinggi pada bangunan hijau. Sebagian responden yang merepresentasikan bangunan konvensional juga menunjukkan bahwa bangunan konvensional dapat menyediakan IEQ yang baik. Temuan ini mendukung pernyataan dari Zaid dkk.

(2017) yang menuliskan bahwa bangunan konvensional dengan sistem operasional yang dikelola dengan baik dan efisien berpotensi menunjukkan performa yang sama atau bahkan lebih baik daripada bangunan hijau tersertifikasi.

Dalam penelitian ini, responden pada bangunan hijau cenderung memberikan skor lebih rendah pada indikator thermal control, yang menunjukkan adanya keterbatasan akses untuk melakukan pengaturan suhu pada bangunan hijau.

Temuan ini juga diduga berkaitan erat dengan kondisi iklim seperti pada pembahasan di sub-bab sebelumnya, di mana penerapan bangunan hijau berfokus pada efisiensi energi, antara lain dengan penghematan penggunaan sistem AC.

Namun karena berada pada daerah iklim panas, besar kemungkinannya bahwa masyarakat cenderung merasa lebih nyaman dengan penggunaan AC. Dengan pengolahan data yang telah dilakukan, penelitian ini menemukan adanya celah terkait variabel kenyamanan termal. Berdasarkan uji regresi pada kelompok

(18)

62 bangunan hijau, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif dari variabel thermal comfort. Perhitungan rata-rata juga menunjukkan bahwa kelompok bangunan hijau memiliki nilai kenyamanan termal yang paling rendah dibandingkan dengan ketiga variabel bebas lainnya, bahkan nilainya lebih rendah daripada kelompok bangunan konvensional. Sementara, uji regresi yang dilakukan untuk mengamati kelompok bangunan konvensional menunjukkan bahwa variabel thermal comfort mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Celah yang menjadi salah satu keterbatasan untuk dijawab dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan tantangan untuk disempurnakan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

Mengacu pada penelitian terdahulu, terdapat beberapa temuan yang berbeda dengan hasil temuan dalam penelitian ini. Salah satunya, berbeda dengan penelitian ini yang menemukan bahwa bangunan hijau memiliki skor IEQ terendah pada thermal comfort, Esfandiari dkk. (2017) dalam studi literaturnya menemukan sumber ketidakpuasan penghuni paling banyak pada bangunan hijau adalah terkait indoor air quality. Aspek termal dan akustik berada di urutan kedua, dan aspek visual (pencahayaan) menduduki peringkat terakhir. Mengenai aspek visual, temuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, di mana kelompok bangunan hijau memiliki nilai IEQ tertinggi pada variabel visual comfort, yang kembali memperkuat pernyataan bahwa penerapan konsep bangunan hijau dapat meningkatkan kepuasan terhadap kenyamanan visual.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai 0,991 menyatakan jika media pembelajaran meningkat satu poin maka skor prestasi belajar akan meningkat sebesar 0,991 (dengan asumsi variabel motivasi belajar

Nilai koefisien persepsi kemudahan sebesar 0,299 yang berarti bahwa jika persepsi kemudahan meningkat sebesar satu satuan maka kepuasan pengguna akan meningkat sebesar

berpengaruh positif terhadap minat beli. Jika variabel persepsi kualitas meningkat maka minat beli juga akan meningkat dan sebaliknya. Nilai koefisien b 2 adalah sebesar 0,409

Nilai Koefisien Budaya Organisasi (β3) = -0,006 menunjukkan jika Budaya Organisasi meningkat satu satuan, maka akan menurunkan pula Budaya Organisasi sebesar 0,006 dengan

Nilai koefisien regresi Orientasi Pasar adalah (-0.644), artinya jika variabel Orientasi Pasar (X1) meningkat sebesar 1 satuan dengan asumsi variabel Orientasi Kewirausahaan

Untuk variabel norma subyektif, diperoleh nilai koefisien sebesar 0,160 dengan tanda positif yang berarti apabila pada variabel norma subyektif meningkat sebesar 1 satuan,

Nilai koefisien regresi X4 fasilitassebesar 0,442, artinya jika lokasi naik sebesar satu satuan, maka fasilitas akan naik sebesar 0,442 untuk setiap satuannya, dengan asumsi variabel

Nilai koefisien regresi suku bunga LPS adalah 0,319 artinya bahwa jika variabel suku bunga LPS meningkat sebesar 1 satuan dengan asumsi variabel tingkat inflasi, variabel LPS, variabel