Pengaruh Suhu dan Ketebalan Irisan Bakso Udang Terhadap Sifat Kimia Keripik Bakso Udang Menggunakan Mesin
Vacuum Frying
Anang Lastriyanto*, Dewi Maya Maharani, Yusuf Hendrawan, Rochima Nisaa’IL-Firdaus
Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145
*Penulis Korespondensi, Email:[email protected] ABSTRAK
Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri perikanan budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high demand product). Tahun 2013, capaian produksi udang nasional diproyeksikan sebesar 608.000 ton. Untuk menangani produksi udang nasional sebesar itu, perlu dilakukan pengolahan hasil perikanan, salah satunya pengolahan udang menjadi bakso udang. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan ketebalan irisan bakso udang serta perlakuan yang optimal terhadap mutu keripik bakso udang dengan menggunakan mesin Vacuum Frying. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah dengan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial. Faktor pertama yaitu suhu penggorengan, dengan menggunakan suhu 70, 80, dan 90 . Faktor yang kedua yaitu ketebalan irisan bakso udang yang terdiri dari 3 level, yaitu dengan menggunakan ketebalan irisan 4, 5, dan 6 mm. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode ANOVA. Berdasarkan hasil penelitian, analisis menggunakan metodeMultiple Attribute, perlakuan terbaik keripik bakso udang secara keseluruhan yaitu dengan suhu 80 ketebalan irisan 5 mm dengan hasil kadar air 2.37%, kadar protein 7.60%, kadar lemak 32.33%, serta kadar karbohidrat 53.10%. Sedangkan berdasarkan hasil uji organoleptik perlakuan optimal yang terbaik adalah suhu 90 ketebalan irisan 5 mm dengan hasil uji organoleptik sebesar 5.71, kadar air 1.96%, kadar protein 8.17%, kadar lemak 33.7%, kadar karbohidrat 52.9%.
Kata kunci: Keripik bakso udang, tebal irisan, suhu, vacuum frying
Effect of Temperature and Slices of Thickness Shrimp Meatballs on Chemical Properties of Shrimp Meatballs Chips
Using Vacuum Frying Machine
ABSTRACT
Shrimp was one of the main commodities in the aquaculture industry because it had high economic value and high demanded product. In year 2013, national shrimp production achievement was projected at 608.000 tons. To handled the national shrimp production of that size, it was necessary to process the fishery products, one of them was the processed of shrimp into shrimp meatballs. In this research aimed to determined the effect of temperature and sliced of thickness shrimp meatballs and optimal treatment of the quality of shrimp meatball chips by used Vacuum Frying machine. The method of implementation in this research was with a randomized block design group that was arranged factorially. The first factor was frying temperature, with used temperature 70, 80, and 90℃. The second factor was the sliced of thickness shrimp meatballs consisted of 3 levels, by used the sliced of thickness 4, 5, and 6 mm. The data obtained were analyzed used ANOVA method. Based on the resulted of the research, analysis used Multiple Attribute method, the best treatment of shrimp meatballs chips as a whole with temperature 80℃ sliced of thickness 5 mm with water content 2.37%, protein content 7.60%, fat content 32.33%, and carbohydrate content 53.10%.
Whiled based on organoleptic test resulted, the best optimal treatment was temperature of 90℃
sliced of thickness 5 mm with organoleptic test resulted of 5.71, water content 1.96%, protein content 8.17%, fat content 33.7%, carbohydrate content 52.9%.
Key words: Shrimp meatball chips, sliced of thickness, temperature, vacuum frying
PENDAHULUAN
Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri budidaya perikanan karena memiliki nilai ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high demand product). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi udang di dalam Negeri pada tahun 2013 dapat menembus hingga lebih dari 600.000 ton, sehingga dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak terkait guna merealisasikan target tersebut. Tahun 2013, capaian produksi udang nasional diproyeksikan sebesar 608.000 ton (KKP, 2013).
Untuk menangani produksi udang nasional sebesar itu, perlu dilakukan pengolahan hasil perikanan, salah satunya pengolahan udang menjadi bakso udang. Selain dapat meningkatkan nilai tambah pada komoditas udang tersebut, udang juga mengandung banyak nutrisi seperti omega-3, kalsium, iodium, kadar lemak jenuh yang rendah, dan protein yang tinggi namun total kalori yang rendah.
Bakso udang merupakan salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Bakso udang merupakan makanan yang biasanya berbentuk bulat dan dibuat dari campuran daging udang, tepung, putih telur, bumbu-bumbu seperti bawang putih, bawang merah, merica yang digiling dan kemudian direbus dengan air mendidih. Bakso udang yang baik memiliki standar baku mutu yakni memiliki bau normal (khas daging udang), rasanya gurih, dan bertekstur kenyal (Wibowo, 2009).
Namun kadar air yang dimiliki dalam bakso udang menyebabkan bakso udang tidak tahan lama dan mudah rusak atau busuk. Untuk memperpanjang masa simpan bakso udang, diperlukan pembuatan keripik bakso udang dengan menggunakan teknologi yang dapat mengurangi kerusakan dan kebusukan bakso udang. Salah satunya teknologi yang dapat dimanfaatkan yaitu melalui penggorengan dengan mesin vacuum fryingsehingga menghasilkan produk keripik bakso udang yang memiliki kadar air rendah, umur simpan yang lebih lama, tidak mudah rusak atau busuk dan akan meningkatkan nilai ekonomis (Ismed, 2016).
METODE PENELITIAN Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vacuum Frying, Spinner, Kompor,Penjepit,Pisaustainless steel,Talenan,Wadah,Stopwatch,danFreezer.Alat untuk Analisa antara lain Timbangan digital,Oven,Cawan,Desikator,Gelas ukur, Kain saring, Pipet tetes, Mortar, Soxhlet, Buret, Labu lemak, Mantle hitter dan Erlenmeyer. Bahan yang digunakan penelitian antara lain Bakso udang, Minyak goreng “Sovia”, Aquades, Indikator pp 1% dan Larutan NaOH 0.1 N.
Metode Penelitian
Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial. Faktor perlakuan yang digunakan ada 2. Faktor pertama yaitu suhu penggorengan, dimana pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan suhu 70, 80, dan 90 sehingga didapatkan 3 sampel. Faktor yang kedua yaitu ketebalan irisan bakso udang yang terdiri dari 3 level, yaitu dengan menggunakan ketebalan irisan 4, 5, dan 6
Manalagi. Keripik bakso udang Manalagi merupakan keripik bakso udang yang dijual di pasaran.
Penggorengan vakum dengan menggunakan minyak sebanyak 10 L dan 400 gram irisan bakso udang beku untuk masing-masing ketebalan, dimana kapasitas maksimum keranjang 1 kg.
Penggorengan dilakukan pada tekanan -65 cmHg (vakum) dengan daya dorong pompa 25 m, daya hisap pompa 15 m, serta kemampuan maksimal pompa untuk mengalirkan air sebesar 120 L/menit. Penggorengan dilakukan dengan 3 perlakuan suhu yang berbeda (70, 80, dan 90 ).
Tahapan penelitian ini yaitu :
1. Tabung penggoreng diisi minyak goreng sebanyak 10 L, sesuai kapasitas tabung penggorengan. Pengisian minyak goreng hingga keranjang terendam oleh minyak.
2. Mesin dan kompor gas dihidupkan dan diatur suhunya.
3. Setelah suhu mencapai (70, 80, dan 90 ) bahan dimasukkan ke dalam keranjang penggoreng. Posisi keranjang berada di atas (tidak terendam minyak), selanjutnya tabung penggoreng dan kran tabung ditutup agar kondisi tabung menjadi vakum.
4. Jarum penunjuk tekanan menunjuk pada angka -65 cmHg (vakum), keranjang penggoreng diturunkan pada posisi terendam minyak. Bahan digoreng hingga kondisi minyak dalam keadaan tenang (tidak ada gelembung). Proses penggorengan dilakukan selama 70 menit, setelah proses penggorengan selesai, posisi keranjang dipindahkan ke atas (tidak terendam minyak) dan kompor serta listrik dimatikan.
5. Kran pada tabung penggoreng dibuka hingga jarum pada penunjuk tekanan menunjuk pada angka 0.
6. Tutup tabung penggoreng dibuka, angkat bahan dari keranjang dan diletakkan pada spinner.
Analisa sampel yang dilakukan pada penelitian antara lain:
1. Kadar air, metode oven (AOAC, 2006)
Cawan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 selama 4 jam. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel ditimbang 10 gram lalu dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 selama 4 jam, setelah itu cawan dan sampel diangkat dan didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan dan sampel kembali dipanaskan di dalam oven selama 30 menit, didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang.
Pemanasan diulangi hingga tercapai berat (selisih penimbangan 3x berturut-turut kurang dari 0.2 mg). Kadar air diukur berdasarkan persamaan berikut :
M = x 100%
M = kadar air
a = berat awal sampel b = berat akhir sampel
2. Kadar protein (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 1.0 - 2.0 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml,
lalu ditambahkan 1.0 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.0 ml H2SO4 pekat. Setelah itu
didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan dingin, lalu ditambahkan
sedikit air suling dan 10 ml 60 % NaOH dan 5 % Na2S2O3 lalu didestilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3Bo3 dan 2-4 tetes
indikator merah metil serta metil biru hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat
yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N standar hingga titik akhir.
% N (bb) =
3. Kadar karbohidrat (Winarno, 2008)
Kadar karbohidrat dihitung secara
by difference, dengan perhitungan sebagaiberikut:
Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - % (air + abu + protein + lemak) Keterangan : bb = berat basah
4. Kadar lemak (AOAC, 2006)
Labu lemak dikeringkan dalam oven suhu 105 selama 1 jam, dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit, selanjutnya ditimbang (A). Sampel dihancurkan dan ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam tabung
soxhlet. Alat kondensor dipasang di atas labulemak yang telah diisi petroleum eter di bawahnya. Ekstraksi dilakukan selama 4 jam.
Labu lemak yang telah berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105 selama 1 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang (B) selisih berat tabung setelah ekstraksi dengan sebelum merupakan berat lemak. Kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut :
Kadar Lemak = x 100%
5. Organoleptik (uji skala hedonik) (Meilgaard et al., 1999)
Pada uji skala hedonik, sampel dianalisis berdasarkan parameter warna, kerenyahan, aroma, dan rasa. Produk keripik bakso udang dari penggorengan berbagai interval tersebut diberi kode kemudian disajikan kepada panelis dalam bentuk kemasan plastik PP
(polypropylene)yang tertutup rapat. Sebelum dan setelah mencicipi sampel, indera perasa dinetralkan menggunakan air putih. Selanjutnya panelis akan mengisi kuisioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keseimbangan Massa
Untuk pengukuran keseimbangan massa keripik bakso udang pada penelitian ini meliputi penimbangan massa bakso udang, kadar air bakso udang, massa keripik bakso udang, dan kadar air keripik bakso udang yang dihasilkan pada proses penggorengan vakum.
Gambar 1. Keseimbangan Massa Keripik Bakso Udang
Massa masuk pada penggorengan vakum berupa bakso udang 400 gram dengan total padatan
air yang terkandung dalam bakso udang mengalami penguapan dan akan disedot oleh pompa vakum dan didinginkan oleh kondensor. Uap air yang menjadi kondensat tidak diketahui massanya karena kondensat langsung dialirkan dan bercampur dengan air yang ada di bak air.
Uap air yang keluar dari bakso udang meninggalkan rongga-rongga kosong, yang dapat terisi oleh minyak penggoreng, sehingga menyebabkan perubahan sifat kimia pada bakso udang seperti kadar air, protein, lemak, dan karbohidrat. Massa yang keluar selama proses penggorengan vakum berupa padatan keripik bakso udang sebesar 46,675% dengan massa 227 gram, kadar air sebesar 5,89% dengan air yang menguap sebesar 257,63 gram. Menurut Jamaluddin et al., (2011), perpindahan panas dari minyak panas ke permukaan padatan kemudian merambat ke dalam, sehingga kandungan air keluar ke permukaan menyebabkan perubahan volume dan rasio densitas pada padatan yang digoreng.
2. Kadar Air
Berdasarkan diagram hasil uji kadar air keripik bakso udang pada gambar 2, diperoleh hasil kadar air yang tertinggi yaitu 6.37% pada suhu 70 dengan ketebalan irisan 4 mm.
Gambar 2. Kadar Air Keripik Bakso Udang pada Variasi Ketebalan Irisan dan Suhu Penggorengan
Kadar air terendah sebesar 1.96% dengan suhu 90 dan ketebalan irisan 5 mm, kadar air keripik bakso udang Manalagi diketahui sebesar 2.09%. Keripik bakso udang Manalagi didapat dari keripik bakso udang yang dijual di pasaran. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kandungan kadar air pada keripik bakso udang hasil penelitian lebih rendah dari kadar air keripik bakso udang Manalagi, karena kadar air yang dihasilkan kurang dari 2.09%. Hasil ini sesuai dengan SNI 01-2713-2009 tentang kerupuk ikan, dimana kadar air maksimal dalam kerupuk ikan adalah 12%.
Menurut Rahmawati (2008), semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin besar air yang menguap, sehingga air yang terkandung dalam keripik akan berkurang. Jadi jika bahan mempunyai irisan yang tipis, dan suhu penggorengan yang digunakan semakin tinggi, maka kandungan air yang berada dalam bahan akan cepat menguap dibandingkan bahan yang mempunyai irisan yang tebal, karena kandungan air yang dimiliki bahan yang mempunyai irisan tipis, lebih sedikit dibandingkan kandungan air yang dimiliki bahan yang mempunyai irisan yang lebih tebal, walaupun suhu yang digunakan sama.
3. Kadar Protein
Berdasarkan diagram hasil uji kadar protein keripik bakso udang pada gambar 3, diperoleh hasil kadar protein yang tertinggi yaitu 11.71% pada suhu 70 dengan ketebalan irisan 6 mm.
Gambar 3. Kadar Protein Keripik Bakso Udang pada Variasi Ketebalan Irisan dan Suhu Penggorengan
Kadar protein terendah sebesar 7.60% dengan suhu 80 dan ketebalan irisan 5 mm, kadar protein keripik bakso udang Manalagi diketahui sebesar 3.79%. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kandungan kadar protein pada keripik bakso udang hasil penelitian lebih tinggi dari kadar protein keripik bakso udang Manalagi, karena kadar protein yang dihasilkan lebih dari 3.79%. Hasil ini sesuai dengan SNI 01-2713-2009 tentang kerupuk ikan, dimana kadar protein minimal dalam kerupuk ikan adalah 5%, kecuali untuk kadar keripik bakso udang Manalagi masih belum memenuhi standar karena kurang dari 5%.
Menurut Winarno (2008), panas atau suhu tinggi, pH, bahan kimia, kejadian mekanik, dan sebagainya akan menyebabkan denaturasi pada struktur protein. Namun melalui penggorengan vakum ini, protein yang dihasilkan keripik bakso udang masih cukup tinggi dan melebihi standar SNI yang telah ditetapkan, karena penggunaan suhu yang rendah sehingga protein yang ada di dalam bakso udang tidak mengalami denaturasi, hanya saja mengalami kenaikan kadar protein setelah bakso udang digoreng menjadi keripik.
4. Kadar Lemak
Berdasarkan diagram hasil uji kadar lemak keripik bakso udang pada gambar 4, diperoleh hasil kadar lemak yang tertinggi yaitu 34.42% pada suhu 90 dengan ketebalan irisan 4 mm.
Gambar 4. Kadar Lemak Keripik Bakso Udang pada Variasi Ketebalan Irisan dan Suhu Penggorengan
Kadar lemak terendah sebesar 16.23% dengan suhu 70 dan ketebalan irisan 4 mm, kadar lemak keripik bakso udang Manalagi diketahui sebesar 38.25%. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kandungan kadar lemak pada keripik bakso udang menurut hasil penelitian lebih rendah dari kadar lemak keripik bakso udang Manalagi, karena kadar lemak yang dihasilkan kurang dari 38.25%. Hasil ini tidak sesuai dengan SNI 01-2713-2009 tentang kerupuk ikan, dimana kadar lemak maksimal dalam kerupuk ikan adalah 0.8%. Menurut Jamaludinet al. (2008), proses penyerapan minyak terjadi ketika massa minyak secara perlahan
vakum. Pada penelitian ini, saat proses penggorengan vakum air yang dikandung dalam bakso udang menguap dan rongga-rongga kosong yang dihasilkan saat penguapan terbuka dan terisi oleh minyak.
5. Kadar Karbohidrat
Berdasarkan diagram hasil uji kadar karbohidrat keripik bakso udang pada gambar 5, diperoleh hasil kadar karbohidrat yang tertinggi yaitu 61.66% pada suhu 70 dengan ketebalan irisan 4 mm.
Gambar 5. Kadar Karbohidrat Keripik Bakso Udang pada Variasi Ketebalan Irisan dan Suhu Penggorengan
Kadar karbohidrat terendah sebesar 41.92% dengan suhu 70 dan ketebalan irisan 5 mm, kadar karbohidrat keripik bakso udang Manalagi diketahui sebesar 46.41%. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kandungan kadar karbohidrat pada keripik bakso udang menurut hasil penelitian lebih tinggi dari kadar karbohidrat keripik bakso udang Manalagi, karena kadar karbohidrat yang dihasilkan lebih dari 46.41%. Kadar karbohidrat ditentukan dari hasil pengurangan 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein (by difference) sehingga kadar karbohidrat sangat tergantung dari faktor pengurangannya (Winarno, 1997).
Pada penelitian ini, kadar karbohidrat bergantung pada hasil kadar air, kadar lemak, dan kadar protein.
6. Organoleptik
Berdasarkan gambar 6 dapat diketahui kombinasi perlakuan yang memiliki nilai organoleptik terbaik untuk semua parameter yaitu sebesar 5.71 dengan suhu 90 dan ketebalan irisan 5 mm.
Gambar 6. Skor Uji Organoleptik Keripik Bakso Udang pada Variasi Ketebalan Irisan dan Suhu Penggorengan
Perlakuan tersebut menurut panelis memiliki aroma, rasa, kerenyahan, dan warna yang paling enak atau paling disukai terhadap produk keripik bakso udang. Hasil parameter sifat kimia untuk suhu 90 dan ketebalan irisan 5 mm adalah kadar air 1.96%, kadar protein 8.17%, kadar lemak 33.7%, serta kadar karbohidrat 52.9%. Berdasarkan analisis menggunakan metode Multiple Attribute (Zeleny, 1982), perlakuan terbaik keripik bakso udang secara keseluruhan
yaitu dengan suhu 80 ketebalan irisan 5 mm dengan hasil kadar air 2.37%, kadar protein 7.60%, kadar lemak 32.33%, serta kadar karbohidrat 53.10%.
KESIMPULAN
Semakin tinggi suhu penggorengan, maka kadar air cenderung akan semakin rendah.
Semakin rendah suhu penggorengan, maka kadar protein cenderung akan semakin tinggi.
Semakin tinggi suhu penggorengan, maka kadar lemak cenderung akan semakin tinggi.
Semakin tinggi suhu penggorengan, maka kadar karbohidrat cenderung akan semakin rendah.
Semakin tebal irisan bahan yang digunakan, maka kadar air cenderung akan semakin rendah.
Semakin tebal irisan bahan yang digunakan, maka kadar protein cenderung akan semakin tinggi.
Semakin tebal irisan bahan yang digunakan, maka kadar lemak cenderung akan semakin rendah.
Semakin tipis irisan bahan yang digunakan, maka kadar karbohidrat cenderung akan semakin tinggi. Semakin rendah kadar air yang dihasilkan maka semakin renyah mutu keripik bakso udang. Jika kadar protein dan kadar karbohidrat tinggi, namun kadar lemak rendah, maka kandungan gizi menggunakan mesin Vacuum Frying pada mutu keripik bakso udang akan semakin baik dibandingkan kandungan gizi yang dihasilkan melalui penggorengan konvensional. Perlakuan optimal yang terbaik berdasarkan hasil penelitian adalah suhu 90 ketebalan irisan 5 mm dengan kadar air 1.96%, kadar protein 8.17%, kadar lemak 33.7%, kadar karbohidrat 52.9%, serta hasil uji organoleptik sebesar 5.71.
DAFTAR PUSTAKA
Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1995. ‘Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist’. Dalam Harmain, R. M. dan N. Yusuf.
2012. Formulasi Produk Ilabulo Ikan Patin (Pangasius sp.). Fakultas Ilmu Pertanian.
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo
Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 2006. ‘Official Method 980.17 Preservatives in Ground Beef Spectrophotometric Method’. Dalam Usman, R. 2014.
Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dengan Penambahan Tepung Porang (Amorpophallus Oncophyllus). Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (KKP). 2013. Kebangkitan Budidaya Udang Windu
Melalui Penerapan Teknologi. Dilihat 17 April 2013.
<http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=845>,
Ismed. 2016. Analisis Proksimat Keripik Wortel (Daucus carota, L.) pada Suhu dan Lama Penggorengan yang Berbeda menggunakan Mesin Vacuum Frying. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas. 20(2) : 25-32
Jamaludin, R.B., Hastuti P., dan Rochmadi. 2008. Model Matematik Perpindahan Panas dan Massa Proses Penggorengan Buah pada Keadaan Hampa. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Jamaluddin, Suardy, Siswantoro dan S. Laga. 2011. Pengaruh Suhu dan Tekanan Vakum terhadap Penguapan Air, Perubahan Volume, dan Rasio Densitas Keripik Buah Selama dalam Penggorengan Vacum.Jurnal Teknologi Pertanian. 12 (2) : 100-108
Meilgaard, M., Civille, G. V., dan Carr, B. T. 1999. ‘Sensory Evaluation Techniques 3rdEdition’.
Dalam Romaria, M. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng pada Proses Penggorengan Berulang dan Umur Simpan Kacang Salut yang Dihasilkan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rachmawati, R. 2008. Pengaruh Komposisi Tepung Tapioka dan Suhu Penggorengan terhadap
Skripsi. Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya Malang
Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 01.2713-2009. Syarat Mutu Kerupuk Ikan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Wibowo, S. 2009.Membuat Bakso Sehat dan Enak. Penebar Swadaya. Jakarta Winarno, F. G. 1997.Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia pustaka utama. Jakarta
Winarno, F. G. 2008. ‘Kimia Pangan dan Gizi’. Dalam Usman, Rayis.Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dengan Penambahan Tepung Porang (Amorpophallus Oncophyllus). Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Zeleny, M. 1982.Multiple Criteria Decision Making. Mc Graw-Hill. New York