PROPOSAL
PENGARUH KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK COGNITIVE RESTRUCTURING UNTUK MENGURANGI PERILAKU
IMPULSIVE BUYING SISWA DI SMAN 1 PEKANBARU
Oleh Nila Salsabila
2105125086
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS RIAU
Januari,2025
LEMBARAN PENGESAHAN PROPOSAL
PENGARUH KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK COGNITIVE RESTRUCTURING UNTUK MENGURANGI PERILAKU
IMPULSIVE BUYING SISWA DI SMAN 1 PEKANBARU
Oleh Nila Salsabila
2105125086
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Donal, S.Pd., M.Pd Isnaria Rizki Hayati, M.Pd NIDK.8894110016 NIP. 199210152023212050
Mengetahui
Koordinator Program Studi Bimbingan Konseling
Dr. Non Syafriafdi, M.Pd NIP. 197502071997011001
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN ...ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
A. Judul ... 1
B. Latar Belakang ... 1
C. Rumusan Masalah ... 3
D. Tujuan Penelitian ... 4
E. Manfaat penelitian ... 4
F. Definisi Operasional ... 5
1. Impulsive Buying ... 5
2. Konseling Kelompok ... 5
3. Teknik Cognitive Restructuring ... 5
G. Kajian Teoritis ... 6
1. Impulsive Buying ... 6
2. Konseling Kelompok ... 12
3. Teknik Cognitive Restructuring ... 19
H. Hasil Penelitian yang Relevan ... 23
I. Kerangka Berpikir ... 25
J. Hipotesis Penelitian ... 26
K. Metode Penelitian ... 26
DAFTAR PUSTAKA... 31
DAFTAR TABEL
Tabel 1 1 Contoh Kisi-Kisi Skala Impulsive Buying ... 28 Tabel 1 2 Skor Penilaian ... 29
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 1 Kerangka Berpikir ... 25 Gambar 1 2 Design Pretest-Posttest ... 27
A. Judul
Pengaruh Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Restructuring Untuk Mengurangi Perilaku Impulsive Buying Peserta Didik di SMAN 1 Pekanbaru.
B. Latar Belakang
Saat ini, Pertumbuhan ekonomi di Indonesia saaat ini terus berlangsung karena didukung oleh pola konsumsi individu masyarakat. Salah satu faktor yang mendorong perilaku ini adalah perubahan cara pandang manusia terhadap budaya belanja. Budaya belanja ini bisa terjadi dikalangan mana saja, seperti dikalangan orang dewasa, remaja, bahkan anak – anak. Kalangan remaja saat ini hampir semuanya menyukai yang namanya berbelanja atau shopping, karena belanja tidak hanya untuk membeli barang yang dibutuhkan atau untuk memenuhi kebutuhan saja, tetapi belanja juga telah menjadi aktivitas gaya hidup,kepuasan atau kesenangan, dan pemenuhan kebutuhan psikologis (Herabadi, Verplanken, & Knippenberg,2009).
Kurangnya pengendalian diri pada individu saat melakukan pembelian atau berbelanja tertentu dapat menyebabkan individu memiliki kecenderungan untuk impulsive buying. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aprilia dan Nio (2019) bahwa impulsive buying memiliki hubungan yang signifikan dengan pengendalian diri atau kontrol diri. Impulsive buying (pembelian impulsif) di kalangan remaja merujuk pada kecenderungan remaja untuk membeli barang atau jasa tanpa perencanaan atau pertimbangan yang matang, biasanya didorong oleh dorongan emosional atau rangsangan eksternal yang bersifat spontan. Fenomena ini menjadi semakin relevan di era digital, di mana remaja sering terpapar dengan iklan, media sosial, dan berbagai tawaran belanja online yang memudahkan mereka untuk melakukan pembelian secara impulsif.
Menurut Utami (2017:61), impulse buying atau pembelian impulsif adalah pembelian yang terjadi ketika konsumen melihat produk atau merek tertentu di dalam toko, kemudian melakukan tindakan yang berbeda dari apa yang telah direncanakan sebelumnya. Impulse buying adalah kondisi dimana konsumen merasakan keinginan mendadak karena adanya stimulus tertentu saat berbelanja (Larasati & Yasa, 2021).
Kajian yang dilakukan oleh (Jamjuri et al., 2022) mengungkapkan bahwa impulse
buying dapat terjadi karena dipengaruhi beberapa faktor, termasuk price discount, dan positive emotion. Hal ini berarti dengan memberikan potongan harga pada produk yang dijual maka akan menimbulkan emosi positif konsumen untuk melakukan impulse buying.
Parboteeah (2005; berdasarkan Piron, 1991:512) melakukan analisis mendalam tentang perilaku pembelian impulsif konsumen dan hasil penelitian yang disajikan oleh peneliti dan memperkenalkan definisi luas tentang pembelian impulsif -
“Pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak terencana, akibat paparan suatu stimulus, dan diputuskan saat itu juga. Setelah pembelian, pelanggan mengalami reaksi emosional dan/atau kognitif”.
Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan Asistensi Mengajar Merdeka Belajar Kampus Merdeka mulai bulan Februari sampai Bulan Juni 2024, didapatkan suatu situasi terdapat gejala dimana dalam satu kelas hampir semua peserta didiknya membeli barang tanpa memikirkan kegunaannya di kemudian hari, peserta didik juga membeli barang dikarenakan barang tersebut lagi booming atau viral pada saat itu. Salah satu siswa dikelas tersebut juga pernah menghabiskan beberapa ratusan ribu untuk satu barang dikarenakan barang tersebut lagi diskon.
Adanya masalah ini, fenomena impulsive buying di kalangan siswa memang menjadi masalah yang perlu diatasi bersama, baik oleh pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat secara umum. Dengan pendekatan yang tepat, siswa dapat diajarkan untuk menjadi konsumen yang lebih bijak dan bertanggung jawab, serta memprioritaskan nilai-nilai yang lebih penting dalam kehidupan mereka.
Konseling kelompok adalah suatu bantuan pada individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya (Nurihsan dalam Kurnanto, 2013). Layanan konseling kelompok adalah layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok. Dinamika kelompok ialah suasana yang hidup, yang berdenyut, yang bergerak, yang ditandai
dengan adanya interaksi antar sesama anggota kelompok (Prayitno dalam Vitalis, 2008:63). Layanan konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina, dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan guru pembimbing, dimana komunikasi antar pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku petunjuk ke arah yang lebih baik (Winkel dan Hastuti, 2004:198).
Dalam pelaksanaannya, konseling kelompok dapat dilaksanakan dengan teknik, metode, model, ataupun pendekatan yang beragam. Salah satunya dengan teknik cognitive restructuring. Menurut sebuah penelitian penggunaan teknik Cognitive restructuring dalam konseling teruji efektif dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa, menurunkan prokrastinasi akademik dan control diri siswa (Hidayanti & Jafar, 2016). Cognitive restructuring merupakan teknik terapi kognitif yang berfokus pada prinsip belajar dan pikiran (Rufaidah & Karneli, 2020). Strategi retrukturing cognitive berprinsip dua prinsip yaitu prinsip irasional dan pikiran yang bersifat merusak menghasilkan penipuan diri dan pikiran serta pernyataan diri sendiri dapat di dasarkan pada ide dan kognisi perubahan (Asrori, 2015).
Berdasarkan fenomena sesuai dengan uraian diatas maka peneliti bermaksud untuk melakukan sebuah penelitian untuk “Pengaruh konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring untuk mengurangi perilaku impulsive buying di SMAN 1 PEKANBARU”.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat perilaku impulsive buying siswa sebelum dan sesudah diberikan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Reistructuring?
2. Apakah terdapat perbedaan perilaku impulsive buying siswa sebelum dan sesudah diberikan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Reistructuring?
3. Apakah konseling kelompok dengan Teknik Cognitive Restructuring efektif untuk mengurangi perilaku impulsive buying?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat perilaku impulsive buying siswa sebelum dan sesudah diberikan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Reistructuring?
2. Untuk mengetahui perbedaan perilaku impulsive buying siswa sebelum dan sesudah diberikan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Reistructuring?
3. Untuk mengetahui efektivitas perilaku impulsive buying siswa sebelum dan sesudah diberikan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Reistructuring?
E. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan pengetahuan dan wawasan Bimbingan dan Konseling dengan pemberian layanan Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Restructuringuntuk Mengurangi Perilaku impulsive buying.
b. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi pembaca atau guru BK bahwasannya Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive Restructuring untuk mengurangi perilaku impulsive buying.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah wawasan dan meningkatkan keterampilan serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada bidang yang diteliti.
b. Bagi pembaca, dapat dijadikan referensi serta menambah wawasan tentang efektivitas Konseling Kelompok dengan Teknik Cognitive RestructuringUntuk Mengurangi Perilaku impulsive buying.
c. Bagi guru BK, dapat dijadikan referensi dan masukan untuk memberikan layanan konseling yang tepat untuk memecahkan atau mencegah permasalahan yang dialami oleh siswa.
F. Definisi Operasional
1. Impulsive Buying
Impulsive buying adalah perilaku membeli secara spontan tanpa perencanaan sebelumnya, yang didorong oleh emosi atau dorongan sesaat, bukan karena kebutuhan. Biasanya, keputusan ini diambil dengan cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensi atau manfaat produk secara mendalam.
Menurut Nagadeepa, dkk (2021) impulse buying adalah Pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak terencana, akibat paparan stimulus, dan diputuskan saat itu juga. Setelah pembelian, pelanggan mengalami reaksi emosional dan/atau kognitif. Menurut Nagadeepa, dkk (2021), Klasifikasi Impulsive Buying adalah: Pure Impulse Purchase (Pembelian Impuls Murni), Suggestive Impulse Purchase (Pembelian impuls yang timbul karena sugesti), Reminder Impulse (pembelian impuls pengingat), Planned Impulse (Pembelian impulse yang terjadi apabila kondisi penjualan tertentu diberikan). Menurut Larasati & Yasa (2021), indikator dari impulse buying terdiri atas hal-hal sebagai berikut: (1) Spontaneity (2) Strength, Compulsion, and Intensity (3) Excitement and Stimulation dan (4) Indifference to Consequence.
2. Konseling Kelompok
Tohirin (2014:172) layanan konseling kelompok dapat dimaknai sebagai suatu upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan oleh masing-masing anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal. Tahap konseling kelompok dalam POP BK (2016) terbagi menjadi empat tahapan, yaitu : a) Tahap pembentukan b)Tahap peralihan c)Tahap kegiatan d)Tahap pengakhiran.
3. Teknik Cognitive Restructuring
Menurut Ellis (dalam Nursalim, 2013), teknik cognitive restructuring (CR) adalah metode yang berfokus pada upaya mengenali dan mengubah pikiran atau pernyataan diri yang negatif dan irasional menjadi pikiran yang positif dan rasional. Teknik Cognitive Restructuring bertujuan untuk mengubah pemikiran maladaptif menjadi pemikiran yang lebih adaptif dan
realistis. Langkah - langkah Teknik Cognitive Restructuring, menurut Cormier (1985) : 1) Rasional; tujuan dan tinjauan singkat prosedur, 2) Identifikasi pikiran konseli dalam situasi problem, 3) Pengenalan dan latihan coping thought (CT), 4) Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke coping thought (CT), 5) Pengenalan dan latihan penguatan positif, dan 6) Tugas rumah dan tindak lanjut.
G. Kajian Teoritis
1. Impulsive Buying
a. Pengertian Impulsive Buying
Parboteeah (2005;berdasarkan Piron, 1991:512) melakukan penelitian mendalam tentang perilaku pembelian impulsif konsumen dan hasil penelitian yang disajikan oleh peneliti dan memperkenalkan definisi luas tentang pembelian impulsif “Pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak terencana, akibat paparan suatu stimulus, dan diputuskan saat itu juga. Setelah pembelian, pelanggan mengalami reaksi emosional kognitif”.
Rook dalam Verplanken (2001), pembelian impulsif (impulsive buying) adalah pembelian yang tidak rasional, cepat, dan tidak direncanakan, serta disertai dengan konflik pikiran dan dorongan emosional.
Menurut Nagadeepa, dkk (2021) impulse buying adalah “Pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak terencana, akibat paparan stimulus, dan diputuskan saat itu juga. Setelah pembelian, pelanggan mengalami reaksi emosional dan/atau kognitif". Impulse buying dapat didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk membeli secara spontan, reflektif, atau kurang melibatkan pikiran, segera, dan kinetik. Individu yang sangat impulsif lebih mungkin terus mendapatkan stimulus pembelian yang spontan, daftar belanja lebih terbuka, serta menerima ide pembelian yang tidak direncanakan secara tiba-tiba. (Murray dalam Dholakia,2000).
Menurut Surveyandini (2021), impulse buying biasanya terjadi ketika seseorang mendapat keinginan secara tiba-tiba untuk membeli sesuatu, tanpa
mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin timbul setelah pembelian tersebut.
Jadi, dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa impulsive buying merupakan tindakan seseorang dalam membeli suatu barang atau jasa yang dilakukan secara tiba-tiba, tanpa perencanaan, dan sering kali tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau manfaatnya dan cenderung dipicu oleh dorong emosional.
Penelitian yang dilakukan oleh Verplanken dan Herabadi (2001) yang diterbitkan oleh European journal of personality, menyatakan bahwa, alasan pembelian impulsif terjadi karena kurangnya perencanaan pembelian dan itu adalah reaksi emosional dari pelanggan, yang sebagian besar datang dengan motif non–logis seperti berniat untuk mengubah suasana hati, mengekspresikan identitas atau menikmati dan bersenang-senang dengan belanja.
b. Indikator – indikator Impulsive Buying
Menurut Larasati & Yasa (2021), indikator dari impulse buying terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
1. Spontaneity (Spontanitas), yaitu pembelian terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga.
2. Strength, Compulsion, and Intensity (Kekuatan, Paksaan, dan Intensitas), yaitu mengesampingkan hal- hal lain dan bertindak melakukan pembelian secepatnya.
3. Excitement and Stimulation (Kegembiraan dan Stimulasi), yaitu kegembiraan dan stimulasi yang menyertai keinginan untuk membeli secara tiba-tiba.
4. Indifference to Consequence (Ketidakpedulian terhadap Konsekuensi), yaitu keinginan membeli yang tidak dapat ditolak sehingga mengabaikan konsekuensi negatif yang mungkin terjadi.
c. Klasifikasi Impulsive Buying
Menurut Nagadeepa, dkk (2021), Klasifikasi Impulsive Buying adalah:
1. Pure Impulse Purchase (Pembelian Impuls Murni).
Pure impulse purchase berarti barang tidak dibeli karena hal biasa, tetapi dibeli karena kebaruaannya dan diawali oleh daya tarik emosional. Ini adalah pembelian yang berbeda dari pola dan perilaku pembelian pelanggan yang normal, misalnya seseorang yang sedang berjalan – jalan di toko kerajinan tangan dan membeli patung kayu cendana yang lebih disukainya. Sebuah pembelian menyimpang dari pola pembelian normal. Tipe ini dapat dinyatakan sebagai novelty / escape buying.
2. Suggestive Impulse Purchase (Pembelian impuls yang timbul karena sugesti).
Pembelian impulsif sugestif adalah jenis pembelian yang terjadi secara spontan ketika konsumen melihat suatu produk dan membayangkan bagaimana produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam situasi ini, keputusan pembelian dipicu oleh daya tarik visual atau keberadaan produk yang secara langsung menyentuh kebutuhan atau keinginan konsumen. Namun, meskipun pembelian ini terjadi secara mendadak, konsumen tetap mempertimbangkan alasan rasional atau manfaat dari produk tersebut sebelum membuat keputusan. Oleh karena itu, pembelian ini tidak sepenuhnya bersifat impulsif murni, yang biasanya hanya didasarkan pada dorongan emosional tanpa alasan logis. Sebagai contoh, seseorang yang lapar mungkin membeli makanan ringan setelah melihatnya di toko.
Keputusan ini bersifat impulsif karena terjadi tanpa perencanaan, tetapi tetap ada elemen rasional, yaitu kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar. Dengan demikian, pembelian impulsif sugestif adalah kombinasi antara dorongan emosional dan pemikiran rasional terhadap produk.
3. Reminder Impulse (pembelian impuls pengingat).
Meskipun produk tidak ada dalam pikiran pelanggan, pelanggan tetap membeli produk berdasarkan sesuatu yang mengingatkan
pelanggan setelah melihat produk. Umumnya, produk rutin yang tidak diingat pelanggan saat bersiap berbelanja. Saat berbelanja, pajangan di dalam toko mengingatkan pelanggan tentang produk tersebut. Contoh, Seseorang pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan, tetapi tidak teringat untuk membeli pasta gigi. Namun, saat melewati lorong produk perawatan tubuh, ia melihat pajangan pasta gigi dan langsung teringat bahwa stok di rumah sudah habis, sehingga ia memutuskan untuk membelinya. Keputusan ini didorong oleh pengingat visual dari pajangan, bukan oleh perencanaan sebelumnya.
4. Planned Impulse (Pembelian impulse yang terjadi apabila kondisi penjualan tertentu diberikan).
Konsumen menyadari kebutuhan akan produk, pembelian tidak akan terjadi hingga kondisi pasar tertentu. Pembelian dilakukan berdasarkan penawaran diskon, kupon, poin loyalitas, dan promosi penjualan lain yang ditawarkan oleh penawar. Contoh, Seorang konsumen ingin membeli peralatan dapur baru, tetapi menunggu hingga toko menawarkan diskon 50%. Ketika promosi dimulai, mereka segera membeli produk tersebut. Meskipun keputusan membeli sudah direncanakan, pelaksanaannya dipicu oleh adanya penawaran menarik, yang membuat pembelian menjadi lebih impulsif.
d. Aspek – aspek Impulsive Buying
Verplanken dan Herabadi (2001) mengemukakan bahwa Impulsive Buying memiliki dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek ini merupakan aspek-aspek yang dialami oleh pembeli, sehingga menciptakan suatu perilaku impulsive buying :
a. Aspek Kognitif
Aspek kognitif adalah aspek yang kurang mampu mempertimbangkan dan merencanakan sesuatu ketika melakukan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Pembeli terfokus pada harga dari suatu produk dan keuntungan yang diperoleh ketika membeli produk tersebut (Herbadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009). Hal ini
didasari oleh pernyataan Verplanken dan Aarts (dalam Verplanken
&Herabadi, 2001) bahwa pembayaran yang dilakukan mungkin tidak direncanakan atau dipertimbangkan dengan matang untuk berbagai macam alasan, misalnya ketika pembayaran tak terencana tampak tak direncanakan dalam waktu yang panjang atau dalam kasus pengulangan pembayaran atau kebiasaan pembayaran.
b. Aspek Afektif
Herabadi et al. (2009) menyebutkan bahwa aspek afektif adalah faktor paling dominan yang memengaruhi perilaku pembelian impulsif.
Aspek ini menjelaskan bahwa pembelian impulsif terjadi karena pembeli merasakan kebahagiaan dan kegembiraan saat menginginkan suatu barang, serta kesulitan untuk menahan keinginan tersebut. Oleh karena itu, pembeli cenderung melakukan pembelian ketika melihat produk yang membuat mereka merasa senang, bersemangat untuk memilikinya, dan merasa harus membeli barang tersebut demi memuaskan diri (Coley & Burgess, 2003). Rook (1987) juga menyatakan bahwa aspek afektif selalu hadir dalam perilaku pembelian impulsif, dan intensitasnya yang meningkat dapat memengaruhi aspek kognitif seseorang.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa pada aspek kognitif, individu kurang mampu membuat pertimbangan atau perencanaan matang ketika melakukan pembelian, sehingga lebih fokus pada harga dan keuntungan langsung. Sebaliknya, aspek afektif menjadi faktor paling dominan yang mendorong pembelian impulsif, di mana individu secara emosional diliputi rasa senang dan gembira saat membeli tanpa perencanaan sebelumnya.
e. Faktor – faktor yang mempengaruhi Impulsive Buying
Beberapa faktor yang membuat konsumen membeli suatu produk tanpa perencanaan sebelumnya (Impulsive Buying):
1. Terkait Harga dan Promosi
Promosi adalah salah satu elemen kunci dari bauran promosi; ini digunakan secara luas oleh pengecer dan pemasar untuk bersaing dan mempertahankan keunggulan kompetitif dan meningkatkan penjualan dengan merangsang keputusan pembelian konsumen.
Penelitian kali ini telah mengidentifikasi dan mempertimbangkan berbagai teknik promosi penjualan yang mempengaruhi pembeli untuk membeli pakaian. Berbagai teknik promosi penjualan penting yang digunakan oleh pemasar untuk menarik pelanggan adalah penawaran Rabat & Diskon, Kupon, Program Loyalitas, Paket harga seperti: Beli satu Gratis satu, Beli dua seharga 299.000 dan Dapatkan yang ketiga di 149.000 dan Kontes termasuk undian berhadiah dipertimbangkan dalam penelitian ini.
2. Faktor terkait produk
Pakaian terdiri dari banyak karakteristik fisik, yang dianggap berbeda oleh konsumen. Faktor yang terkait dengan produk adalah fitur produk seperti gaya/desain, kualitas, harga, merek, kesesuaian, dll.
Komposisi produk pakaian mengacu pada faktor-faktor seperti kesesuaian, daya tahan, bentuk, ukuran, warna, tekstur, pola, dll.
Penelitian sebelumnya telah mengevaluasi kontribusi atribut produk pakaian jadi terhadap perilaku pembelian impulsif konsumen. Pemasar pakaian mencoba menyediakan pakaian yang Trendi dan modis, memperkenalkan desain, pola dan variasi pakaian yang baru dan unik, menyajikannya dengan menarik, penampilan yang unik, skema warna, pola, dll.
3. Suasana atau Lingkungan toko
Perilaku impuls membeli dipicu ketika konsumen menemukan stimulus visual terkait di lingkungan ritel. Terdapat berbagai stimulus di dalam toko seperti suasana toko, tata letak toko, berbagai skema tampilan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pelanggan. Suasana toko mencakup atribut seperti ukuran toko,
suasana, desain dan format, pencahayaan, tata letak, tampilan barang dagangan, perlengkapan, penutup lantai, warna, musik latar, bau, perilaku dan pakaian tenaga penjualan/pelayanan.
2. Konseling Kelompok
a. Pengertian Konseling Kelompok
Tohirin (2014:172) layanan konseling kelompok dapat dimaknai sebagai suatu upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan oleh masing-masing anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal.
Menurut Ward (Kurnanto, 2013:2) prosedur kelompok dalam konseling dan psikoedukasi telah lama dipertimbangkan dan digunakan oleh konselor sebagai metode yang dipandang lebih bijaksana dalam membantu konseli.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kelompok untuk berbagai fungsi pendidikan dan konseling memberikan keuntungan yang bermanfaat.
Konseling kelompok merupakan suatu bantuan pada individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya (Nurihsan dalam Kurnanto,2013). Latipun (dalam Lumongga, 2017) mengatakan konseling kelompok adalah bentuk konseling yang membantu beberapa individu yang diarahkannya mencapai fungsi kesadaran secara efektif untuk jangka waktu pendek dan menengah.
Adhiputra (2014) mengemukakan konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan pengembangan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka pengembangan dan pertumbuhannya. Konseling kelompok merupakan suatu sistem layanan bantuan yang amat baik untuk membantu pengembangan kemampuan pribadi, pencegahan, dan mengenai konflik- konflik antar pribadi atau pemecahan masalah (Gazda, 1984 dalam Adhiputra, 2014).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah layanan yang dilakukan dalam suasana kelompok untuk membantu individu memecahkan masalah, mencegah permasalahan, dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan yang optimal. Metode ini melibatkan upaya pembimbing atau konselor dalam memberikan kemudahan bagi anggota kelompok untuk mengembangkan kemampuan pribadi, menyelesaikan konflik antarpribadi, serta mencapai fungsi kesadaran yang lebih efektif dalam jangka pendek maupun menengah.
b. Tujuan Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (1995: 178) konseling kelompok bertujuan : 1. Mampu berbicara dimuka orang banyak.
2. Mampu mengeluarkan pendapat, ide, saran, tanggapan, perasaan, dan lain sebagainya kepada orang banyak.
3. Belajar menghargai pendapat orang banyak.
4. Bertanggung jawab atas pendapat yang dikemukakannya
5. Mampu mengendalikan diri dan menahan emosi (gejolak jiwa yang bersifat negatif).
6. Dapat bertenggang rasa.
7. Menjadi akrab satu sama lainnya.
8. Dapat saling membantu memecahkan masalah pribadi yang dikemukakan dalam kelompok (khusus dalam konseling kelompok).
Menurut Winkel dan Hastuti (2013:592-593), tujuan umum dari pelayanan bimbingan dalam bentuk konseling kelompok sebagai berikut:
1) Masing-masing konseli memahami dirinya dengan lebih baik dan menemukan dirinya sendiri. Berarti bahwwa konseli dapat menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif yang ada dalam kepribadiannya.
2) Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase perkembangan mereka.
3) Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antar pribadi di dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya.
4) Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain. Kepekaan dan penghayatan ini akan membuat mereka lebih sensitif juga terhadap kebutuhan psikologis dan alam perasaan sendiri.
5) Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.
6) Para konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima oleh orang lain.
7) Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hal-hal yang memprihatinkan bagi dirinya kerap juga menimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain. Dengan demikian, dia tidak akan merasa terisolir lagi, seolah- olah hanya dia yang mengalami ini dan itu.
8) Para konseli belajar belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian.
Dalam POP BK (2016), tujuan dari konseling kelompok adalah untuk memfasilitasi peserta didik dalam perubahan tingkah laku, mengkonstruksi pikiran, mengembangkan kemampuan dalam mengatasi situasi kehidupan, membuat keputusan yang bermakna dari dirinya sendiri, dan berkomitmen mewujudkan apa yang diputuskannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
c. Asas – asas Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (2004:13-15) kegiatan konseling kelompok terdapat sejumlah aturan ataupun asas-asas yang harus diperhatikan oleh para anggota yaitu:
1) Asas Kerahasiaan, asas kerahasiaan ini memegang peranan penting dalam konseling kelompok karena masalah yang dibahas dalam konseling
kelompok bersifat pribadi, maka setiap anggota kelompok diharapkan bersedia menjaga semua (pembicaraan ataupun tindakan) yang ada dalam kegiatan konseling kelompok dan tidak layak diketahui oleh orang lain selain orang-orang yang mengikuti kegiatan konseling kelompok.
2) Asas Kesukarelaan, kehadiran, pendapat, usulan, ataupun tanggapan dari anggota kelompok bersifat sukarela, tanpa paksaan.
3) Asas Keterbukaan, keterbukaan dari anggota kelompok sangat diperlukan sekali, karena jika ketrbukaan ini tidak muncul maka akan terdapat keragu- raguan atau kekhawatiran.
4) Asas Kegiatan, hasil layanan konseling kelompok tidak akan berarti bila klien yang dibimbing tidak melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan–
tujuan bimbingan. Pemimpin kelompok hendaknya menimbulkan suasana agar klien yang dibimbing mampu menyelenggarakan kegiatan yang dimaksud dalam penyelesaian masalah.
5) Asas Kenormatifan, dalam kegiatan konseling kelompok setiap anggota harus dapat menghargai pendapat orang lain, jika ada yang ingin mengeluarkan pendapat maka anggota yang lain harus mempersilahkannya.
6) Asas Kekinian, masalah yang dibahas dalam kegiatan konseling kelompok harus bersifat sekarang. Maksudnya, masalah yang dibahas adalah masalah yang saat ini sedang dialami yang mendesak, yang mengganggu keefektifan kehidupan seharihari, yang membutuhkan penyelesaian segera, bukan masalah dua tahun yang lalu ataupun masalah waktu kecil.
d. Struktur konseling Kelompok
Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi kelompok pada umumnya. Struktur kelompok yang dimaksud menurut Latipun (2008:185-188) yaitu:
1) Jumlah anggota kelompok
Konseling kelompok berkisar antara 4-12 orang. Apabila jumlah kurang dari 4 orang maka dinamika kelompoknya akan kurang hidup, sedangkan apabila anggota lebih dari 12 orang maka akan terlalu berat dalam pengelolaan kelompoknya. Untuk menentukan jumlah anggota kelompok dapat ditetapkan berdasarkan kemampuan konselor dan pertimbangan efektivitas konseling.
2) Homogenitas kelompok
Tidak ada ketentuan mengenai homogenitas konseling kelompok. Sebagian konseling kelompok dibuat homogen dari segi jenis kelamin, jenis masalah, kelompok usia, dan sebagainya. Pada saat lain homogenitas tidak diperhitungkan secara khusus.
Penentuan homogenitas keanggotaan disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok.
3) Sifat kelompok.
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika suatu saat dapat menerima anggota baru, dan tertutup jika keanggotaannya tidak memungkinkan untuk ditambah.
Pertimbangan penggunaan anggota terbuka atau tertutup bergantung pada keperluan. Sifat kelompok adalah terbuka maka setiap saat kelompok dapat menerima anggota baru sampai batas yang dianggap cukup. Namun adanya anggota baru dalam kelompok akan menyulitkan pembentukan kohesivitas anggota kelompok. Konseling kelompok yang menerapkan anggota tetap dapat lebih mudah membentuk dan memelihara kohesivitasnya.
Tetapi jika terdapat anggota kelompok yang keluar, dengan sistem
keanggotaan demikian tidak dapat ditambahkan lagi dan harus menjalankan konseling berapa pun jumlah anggotanya.
4) Waktu pelaksanaan
Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat bergantung kepada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan, dengan frekuensi antara satu sampai tiga kali dalam seminggunya, dan durasinya 60 sampai 90 menit. Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Penyelenggaraan dengan interval yang lebih sering akan mengurangi penyerapan dari informasi dan umpan balik yang didapatkan selama proses konseling. Jika terlalu jarang, misalnya satu dalam dua minggu maka banyak informasi dan umpan balik yang dapat dilupakan.
Pelaksanaan konseling kelompok dalam penelitian ini terdiri dari 5-8 orang, mengenai homogenitas kelompok dibuat homogen dari jenis kelamin, jenis masalah dan kelompok usia. Waktu pelaksanaan yang digunakan 5 kali pertemuan yang dilaksanakan dengan interval yang sering dengan frekuensi 2 sampai 3 pertemuan dalam satu minggu. Durasi dalam setiap pertemuan kurang lebih 60 menit.
e. Tahap – Tahap Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (2004: 18 – 19 ) ada empat tahapan, yaitu:
1) Tahap I Pembentukan
Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok.
Pada tahap ini pada umumnya para anggota saling memperkenalkan
diri dan juga mengungkapkan tujuan ataupun harapan-harapan yang ingin dicapai baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota. Memberikan penjelasan tentang bimbingan kelompok sehingga masing-masing anggota akan tahu apa arti dari bimbingan kelompok dan mengapa bimbingan kelompok harus dilaksanakan serta menjelaskan aturan main yang akan diterapkan dalam bimbingan kelompok ini.
2) Tahap II Peralihan
Tahap kedua merupakan “jembatan” antara tahap pertama dan ketiga. Ada kalanya jembatan ditempuh dengan amat mudah dan lancar, artinya para anggota kelompok dapat segera memasuki kegiatan tahap ketiga dengan penuh kemauan dan kesukarelaan.
3) Tahap III Kegiatan
pakan inti dari kegiatan kelompok, maka aspek- aspek yang menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak, dan masing-masing aspek tersebut perlu mendapat perhatian yang seksama dari pemimpin kelompok. ada beberapa yang harus dilakukan oleh pemimpin dalam tahap ini, yaitu sebagai pengatur proses kegiatan yang sabar dan terbuka, aktif akan tetapi tidak banyak bicara, dan memberikan dorongan dan penguatan serta penuh empati.
4) Tahap IV Pengakhiran
Pada tahap pengakhiran bimbingan kelompok, pokok perhatian utama bukanlah pada berapa kali kelompok itu harus bertemu, tetapi pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu.
Winkel dan Hastuti (2006 : 607-613) menambahkan terdapat lima fase proses konseling dalam kelompok yang meliputi:
1) Pembukaan, dimana diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antarpribadi (working relationship) yang baik, yang
memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah pada penyelesaian masalah.
2) Penjelasan masalah, dimana masing-masing konseli mengutarakan masalah yang dihadapi berkaitan dengan masalah diskusi, sambil mengungkapkan fikiran dan perasaaannya secara bebas.
3) Penggalian latar belakang masalah, dimana karena para konseli pada fase dua biasanya belum menyajikan gambaran lengkap mengenai kedudukan masalah dalam keseluruhan situasi hidup masing-masing, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan mendalam.
4) Penyelesaian masalah, diakukan berdasarkan apa yang telah digali dalam fase analisis kasus, konselor dan para konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi.
5) Penutup, bilamana kelompok sudah siap untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan bersama. Proses konseling dapat diakhiri dan kelompok dapat dibubarkan pada pertemuan terakhir.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan tahap – tahapan dalam konseling kelompok yang harus dilakukan, meliputi : tahap pembukaan berisi pengenalan dan pembentukan hubungan baik antara konselor dan konseli, tahap peralihan dilakukan sebagai jembatan antara tahap peralihan dan tahap kegiatan, tahap kegiatan berisi penyelesaian permasalahan – permasalahan yang akan di pecahkan dan pengakhiran sebagai evaluasi kegiatan konseling kelompok dari awal hingga berakhirnya kegiatan.
3. Teknik Cognitive Restructuring
a. Pengertian Teknik Cognitive Restructuring
Menurut Ellis (dalam Nursalim, 2013), teknik cognitive restructuring (CR) adalah metode yang berfokus pada upaya mengenali dan mengubah
pikiran atau pernyataan diri yang negatif dan irasional menjadi pikiran yang positif dan rasional.
Menurut Oemarjoedi (dalam Nurrohmah, 2019) menyatakan bahwa CR merupakan salah satu teknik dalam CBT yang bertujuan untuk menata ulang pola pikir, menghilangkan keyakinan irasional yang dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan, serta memengaruhi emosi dan perilaku individu.
Murk dalam (Damayanti dan Nurjannah, 2016) mendefinisikan Restrukturisasi Kognitif, yaitu teknik yang menghasilkan kebiasaan baru pada konseli dalam berpikir, merasa, bertindak dengan cara mengidentifikasi kebiasaan bermasalah, memberi label pada kebiasaan tersebut, dan menggantikan tanggapan/perspsi diri yang negatif/irasional menjadi lebih rasional/relistis.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa teknik cognitive restructuring (CR) merupakan metode yang efektif dalam terapi perilaku-kognitif (CBT) yang bertujuan untuk mengenali dan mengubah pikiran negatif atau irasional menjadi pikiran yang lebih positif dan rasional.
Teknik ini tidak hanya membantu individu dalam menata ulang pola pikir, tetapi juga berfungsi untuk menghilangkan keyakinan yang dapat menyebabkan ketegangan dan kecemasan. Dengan mengidentifikasi kebiasaan berpikir yang bermasalah dan menggantinya dengan tanggapan yang lebih realistis, CR dapat menghasilkan perubahan positif dalam emosi dan perilaku individu, sehingga meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan.
b. Tujuan Teknik cognitive restructuring
Teknik cognitive restructuring (CR) bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan kesejahteraan emosional serta kepercayaan diri individu. Menurut Connolly, restrukturisasi kognitif membantu konseli untuk mengembangkan cara berpikir yang berbeda, dengan mengubah pemikiran yang keliru dan mendasar menjadi pemikiran yang lebih rasional, realistis, dan positif. Kesalahan dalam berpikir sering kali tercermin dalam pernyataan diri yang negatif, yang menunjukkan
adanya pikiran, pandangan, dan keyakinan yang tidak rasional. (Damayanti dan Nurjannah, 2016).
Menurut Beck,1976 (dalam Barriyah, 2009) menyatakan bahwa tujuan konseling kelompok teknik cognitive restructuring adalah:
(a) memberikan bantuan kepada klien agar dapat mengevaluasi perilaku siswa dengan kritis dan menitik beratkan pada hal pribadi yang negatif.
(b) agar klien tampil dan mengenali dan mengamati sejauh mana pikiran dan perasaan pada saat itu.
(c) mengubah cara berfikir yang salah.
(d) agar klien dapat mengevaluasi perilaku siswa, yang menitik beratkan pada pribadi yang negatif.
Dipilihnya teknik cognitive restructuring dalam penelitian ini didasarkan pada fungsinya sebagai salah satu metode CBT yang bertujuan untuk mengubah pemikiran maladaptif menjadi pemikiran yang lebih adaptif dan realistis. Dalam penelitian ini, fokusnya adalah mengubah pemikiran negatif yang menyebabkan ketidakpuasan terhadap kondisi fisik dan penampilan konseli. Pemikiran negatif tersebut akan direkonstruksi menggunakan teknik cognitive restructuring sehingga dapat berkembang menjadi pemikiran yang positif mengenai tubuh dan penampilan.
c. Langkah – langkah Teknik cognitive restructuring
Cormier (1985) mengungkapkan bahwa, tahapan-tahapan prosedur CR (Cognitive Restructuring) terdapat enam bagian utama yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Rasional; tujuan dan tinjauan singkat prosedur.
Rasional digunakan untuk memperkuat keyakinan konseli bahwa
“pernyataan diri” dapat mempengaruhi perilaku, dan khususnya pernyataan- pernyataan diri negatif atau pikiran-pikiran menyalahkan diri dapat berisikan penjelasan tentang tujuan terapi, gambaran singkat prosedur yang akan dilaksanakan, dan pembahasan tentang pikiran - pikiran diri positif dan negatif.
2) Identifikasi pikiran konseli dalam situasi problem.
Setelah klien menerima rasional yang diberikan, langkah berikutnya adalah melakukan suatu analisa terhadap pikiran-pikiran klien dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan.
3) Pengenalan dan latihan coping thought (CT).
Pada tahap ini terjadi perpindahan focus dari pikiran- pikiran klien yang merusak diri menuju ke bentuk pikiran lain yang tidak kompatibel dengan pikiran yang merusak diri. Pikiran- pikiran yang tidak kompatibel ini disebut sebagai pikiran yang menanggulangi (coping thought = ct) atau pernyataan yang menggulangi (coping statement = cs) atau intruksi diri yang menanggulangi (coping slfinstruction= csi). Semuanya dikembangkan untuk klien. Pengenalan dan pelatihan cs tersebut penting untuk mendukung keberhasilan seluruh prosedur Restrukturisasi Kognitif.
4) Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke coping thought (CT)
Setelah konseli mengidentifikasikan pikiran-pikiran negatif dan mempraktikkan CS alternatif, konselor selanjutnya melatih konseli untuk pindah dari pikiran pikiran negatif ke CS. Terdapat dua kegiatan dalam prosedur ini, yaitu : pemberian contoh peralihan pikiran oleh konselor dan latihan peralihan pikiran oleh konseli.
5) Pengenalan dan latihan penguatan positif
Bagian terakhir dari Cognitive Restructuring berisikan kegiatan mengajar konseli tentang cara-cara memberikan penguatan bagi dirinya sendiri untuk setiap keberhasilan yang dicapainya. Ini dapat dilakukan dengan cara konselor memodelkan dan konseli mempraktikkan pernyataan- pernyataan diri yang positif.
6) Tugas rumah dan tindak lanjut
Meskipun tugas rumah merupakan bagian integral dari setiap tahapan prosedur cognitive restructuring, konseli pada akhirnya dapat
mampu untuk menggunakan cognitive restructuring kapan pun diperlukan dalam situasi yang menekan. Tugas rumah ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada konseli untuk mempraktikkan ketrampilan segera untuk mengerjakan tugas yang diperoleh dalam menggunakan CS dalam situasi yang sebenarnya.
Menurut Cristi dan Muhari (2013) melakukan penelitian tentang penggunaan teknik cognitive restructuring (CR) untuk meningkatkan efikasi diri siswa kelas X. Desain penelitian yang digunakan adalah pre- experimen dengan jenis one group pre-test and post test design, karena disesuaikan dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui peningkatan efikasi diri melalui strategi CR. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan strategi CR dapat meningkatkan efikasi diri siswa kelas X.
H. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmatia Putri Diah Harum Anggraeni, Rischa Pramudia Trisnani, Suharni dari Universitas PGRI Madiun, yang berjudul “Keefektifan Konseling Kelompok dengan Teknik Reframing untuk Mereduksi Perilaku Impulsive Buying” Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan konseling kelompok dengan teknik reframing efektif untuk mereduksi perilaku impulsive buying. Melalui teknik ini, individu diajak untuk mengubah sudut pandang irasional menjadi rasional, meningkatkan kesadaran diri, dan fokus pada tujuan keuangan jangka panjang. Hasil dari analisis literatur mendukung bahwa konseling kelompok teknik reframing dapat membantu individu mengelola perilaku impulsif, yang pada akhirnya mengurangi rasa penyesalan dan masalah keuangan akibat pembelian impulsif.
2. Penelitian yang berjudul “Pengaruh Layanan Konseling Kelompok dengan Teknik Self Management Terhadap Perilaku Konsumtif Pada Siswa Kelas XI MA Nurul Islam Tengaran” yang dilakukan oleh Aanisaturahmah „Aziza, Dini Rakhmawati, dan Ismah pada tahun 2024, bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh perhitungan uji paired T test, diperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,750 an 0,751 pada masing-masing uji maka, Ho
ditolak dan Ha diterima, yang artinya ada pengaruh konseling kelompok dengan teknik self management terhadap perilaku konsumtif pada siswa kelas XI MA Nurul Islam Tengaran.
3. Penelitian yang berjudul “Pengaruh harga, online customer review, rating terhadap minat beli di Lazada (Studi Kasus Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kudus Angkatan 2017” yang dilakukan oleh Sayyidati Fatihatul Mawa dan Iwan Fahri Cahyadi pada tahun 2021, bahwa hasil analisis regresi linier berganda secara simultan variable harga, online customer review dan rating berpengaruh signifikan terhadap minat beli. Dibuktian dengan nila t- hitung sebesar 3,362.
4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vanessa Br. Hutagaol, Tri Umari, Donal dari Universitas Riau, yang berjudul ”PENGARUH KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK COGNITIVE RESTRUCTURING TERHADAP PENINGKATAN SELF CONTROL SISWA PENGGEMAR K- POP”. Hal ini dapat dilihat bahwa teknik cognitive restructuring yang diterapkan melalui konseling kelompok memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan self-control siswa penggemar K-Pop. Sebelum diberikan intervensi, self-control siswa berada pada kategori rendah. Namun, setelah menjalani konseling, terjadi peningkatan yang nyata, di mana self-control siswa naik ke kategori sedang dan tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pengaruh konseling kelompok dengan teknik ini mencapai 78%, sementara sisanya sebesar 22% dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal lainnya. Dengan demikian, penelitian ini menegaskan bahwa konseling kelompok menggunakan teknik cognitive restructuring efektif dalam membantu siswa meningkatkan kemampuan pengendalian diri mereka, terutama dalam konteks perilaku terkait fanatisme.
5. Berdasarkan penilitian yang dilakukan oleh Yati, Elita Yessy, dan Afriyati Vira pada tahun 2019 dengan judul “Pengaruh Layanan Konseling Kelompok Dengan Teknik Kontrak Perilaku Untuk Mengurangi Perilau Konsumtif Dalam Membeli Produk Fashion Pada Mahasiswa BK UNIB” bahwa Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa pre-test dan post-test dengan uji wilcoxon menunjukkan p<0,05. Ini berarti terdapat pengaruh layanan konseling kelompok dengan teknik kontrak perilaku terhadap perilaku konsumtif dalam membeli produk fashion.
I. Kerangka Berpikir
Gambar 1 1 Kerangka Berpikir Konseling Kelompok
( Perilaku Impulsive Buying ) Klasifikasi Impulsive Buying :
1. Pure Impulse Purchase 2. Suggestive Impulse Purchase
3. Reminder Impulse 4. Planned Impulse
Post-test Pre-test
Teknik Cognitive Restructuring 1. Tahap pembentukan
2. Tahap peralihan 3. Tahap kegiatan 4. Tahap pengakhiran
Tidak Berpengaruh Pengaruh
J. Hipotesis Penelitian
Hipotesis ialah asumsi atau dugaan yang dibuat mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal yang sering dilakukan untuk melakukan suatu pengecekan. Hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah konseling kelompok menggunakan Teknik Cognitive Restructuring dapat berpengaruh untuk mengurangi perilaku impulsive buying siswa di SMAN 1 Pekanbaru. Penulis mengajukan hipotesis statistic penelitian sebagai berikut:
H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat perilaku impulsive buying siswa sebelum dan sesudah diberikan konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring
H2 : Terdapat efektivitas konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring untuk mengurangi perilaku impulsive buying siswa
K. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian kuantitatif. Kuantitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada populasi dan sempel tertentu, penggumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif, dengan tujuan menguji hipotesis yang di ditetapkan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Menurut sugiyono metode eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengeruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan.
Penelitian eksperimen ini menggunakan One Group pretest-Postest Design yang masuk rumpun desain eksperimen pre eksperimental. Desain ini dapat melihat hasil yang lebih akurat karena terdapat pretest sebelum diberikan treatment, hasil treatment dapat diketahui lebih akurta karena dibandingkan dengan keadaan sebelum diberi treatment (Sugiyono : 2019). Dengan demikian penelitian eksperimental merupakan penelitian yang bertujuan untuk melihat sebab akibat dari perlakuan yang diberikan oleh peneliti sehingga memperoleh informasi menggenai efek variabel satu dengan yang lain.
Pretest Perlakuan Posttest
Gambar 1 2 Design Pretest-Posttest Keterangan:
O1 : Pengukuran (pretest) terhadap perilaku impulsive buying sebelum diberi layanan konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring X : Pemberian perlakuan dengan konseling kelompok dengan Teknik Cognitive Restructuring
O2 : Pengukuran (posttest) terhadap perilaku impulsive buying setelah diberi layanan konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring 2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMAN 1 Pekanbaru yang bealamat Jl. Sultan Syarif Qasim No.159, Rintis, Kec. Lima Puluh, Kota Pekanbaru, Riau 28156. Dengan waktu penelitian dimulai dari bulan Februari hingga April.
3. Populasi dan Sample
Populasi dalam penelitian ini adalah Peserta didk kelas XI di SMAN 1 Pekanbaru yakni peserta didik yang berperilaku impulsive buying berdasarkan hasil angket. Pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling dengan teknik purposive sampling, karna pemilihan subjek ini berdasarkan kriteria dan pertimbangan yang sesuai dengan tujuan penelitian.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Angket. Menurut Sugiyono (2022) Angket merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Berdasarkan pengertian diatas, maka target angket ini adalah peserta didik yang berperilaku impulsive buying dari
O1 X O2
hasil yang telat didapat. Angket yang diberikan berupa pernyataan-pernyataan yang berisikan mengenai perilaku impulsive buying.
5. Instrumen Penelitian
Menurut Sugiyono (2022:102) Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam dan sosial yang dapat diamati. Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa pengukuran skala likert. Menurut sugiyono (2022) Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, maka variabel yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel kemudian menyusun item-item instrumen berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap instrumen dapat berupa : Selalu (SL), Sering (S), Kadang-kadang (KD) dan Tidak Pernah (TP).
Tabel 1 1 Contoh Kisi-Kisi Skala Impulsive Buying
Variabel Aspek Indikator Item Jumlah
Impulsive Buying
kognitif Indifference to Consequence Afektif Spontaneity
Strength, Compulsion, and Intensity Excitement
and Stimulation
Sumber : Verplanken dan Herabadi (2001)
Tabel 1 2 Skor Penilaian
No Pilihan Jawaban
Skor
+ -
1. Selalu (SL) 4 1
2. Sering (S) 3 2
3. Kadang-kadang (KD) 2 3
4. Tidak Pernah (TP) 1 4
6. Teknik Analisis Data
Analisis data digunakan untuk mengubah data menjadi informasi, sehingga lebih mudah untuk memahami dan menafsirkan data. Dalam penelitian kuantitatif, analisis data dilakukan dengan menggunakan metode statistiksesuai dengan masalah dan tujuan penelitian serta jenis data yang dianalisis untuk menguji hipotesis. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah suatu analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan data atau menggambarkan data yang telah terkumpul semestinya tanpa bermaksud untuk membuat kesimpulan yang berlaku secara umum dan generalisasi.
a. Rumus Pengkategorikan
Untuk pengkategorian data, peneliti menggunakan rumus yang dikategorikan yaitu (Supranto,2000) :
C = Keterangan : C = tolak ukur K = banyak kelas
Xn = skor ideal tertinggi Xi = skor ideal terendah b. Persentase
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui dan mengalisis data mengenai variabel perilaku impulsive buying siswa, maka rumus yang digunakan yaitu (Sudijono,2015) :
P = X 100%
Keterangan : P = persentase F = frekuensi n = jumlah sampel 2. Uji Wilcoxon
Untuk menganalisis perbedaan perilaku impulsive buying peserta didik sebelum dan sesudah diberikan konseling kelompok dengan menggunakan rumus uji wilcoxon yaitu sebagai berikut (Sugiyono, 2018):
Z =
= J -
√
Keterangan:
Z = uji wilcoxon
J = jumlah jenjang yang kecil n = jumlah sampel
2. Uji N-Gain
Uji N-Gain dipergunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh layanan konseling kelompok dengan teknik cognitive restructuring untuk mengurangi perilaku impulsive buying peserta didik dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :
N – Gain =