Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional dapat dibedakan dalam asas hukum pidana internasional umum dan asas hukum pidana internasional khusus. Badan-badan penyelesaian sengketa internasional mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan perkembangan hukum pidana internasional.
Sifat-sifat Pidana Yang Idealnya Harus Ada Dalam Perjanjian- perjanjian Internasional Mengenai Kejahatan Internasional
Akan tetapi di lain pihak mengenai karakter penal tersebut perlu adanya suatu deklarasi internasional yang menegaskan bahwa tindak pidana tersebut merupakan kejahatan internasional yang dapat diancam dengan pidana menurut hukum pidana nasional atau hukum pidana internasional dengan alasan bahwa pada prinsipnya yurisdiksi kriminal (hukum pidana nasional) ’dibatasi’ oleh hukum internasional.
Penutup
Pendahuluan
Penyajian
Jenis-jenis Tindak Pidana (Kejahatan) Internasional
Seorang pakar hukum pidana internasional Bassiouni telah menyebutkan terdapat 22 jenis kejahatan internasional yang memenuhi salah satu atau semua karakteristik pidana, yaitu. Berdasarkan hukum internasional, penetapan ke-22 jenis kejahatan internasional tersebut diatas adalah disebabkan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut.
Perbedaan antara Kejahatan Internasional dan Kejahatan Transnasioanl
Dalam pengertian luas, subyek hukum pidana internasional adalah mencakup subyek hukum yang secara umum sudah dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya. Tegasnya, apakah subyek hukum yang dimaksud itu dapat melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.
Individu
Dalam pengertian klasik, subyek hukum internasional adalah pemegang segala hak dan kewajiban terbatas pada negara yang berdaulat penuh saja. Hukum pidana internasional baik yang bersumber dari hukum internasional seperti perjanjian-perjanjian internasional dan putusan-putusan badan peradilan internasional, sebagian besar berkenaan dengan kejahatan yang pelakunya adalah individu.
Negara
Akan tetapi dalam kenyataannya ada negara-negara yang tidak memiliki kemauan dan atau kemampuan untuk menerapkan hukum nasionalnya, sehingga pelakunya tetap tidak dimintakan pertanggungjawaban pidananya atau menikmati impunitas. Jika hal ini terjadi, sepanjang menyangkut kejahatan- kejahatan dalam kategori tertentu, masyarakat internasional melalui Dewan Keamanan PBB dapat membentuk badan peradilan pidana internasional ad hoc untuk mengadili sendiri orang yang bersangkutan, sebagaimana sudah ditempuh dalam kasus bekas Yugoslavia dan Rwanda atau mengadilinya melalui Mahkamah Pidana Internasional yang pembentukannya berdasarkan Statuta Roma 1998. Kedua, tanggungjawab dari negara yang melakukannya terhadap negara yang menjadi korbannya maupun terhadap masyarakat internasional.
Misalnya mengajukan ke hadapan Dewan Keamanan PBB sepanjang terpenuhinya persyaratan untuk itusebagaimana diatur dalam Piagam PBB maupun peraturan-peraturan internal dari Dewan Keamanan. Jika menurut Dewan Keamanan negaraitu benar telah melakukannya, Dewan Keamanan memutuskan resolusi yang isinya dapat berupa seruan, kutukan, atau kecaman terhadap negara yang bersangkutan. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa negarapun dapat melakukan kejahatan internasional, hanya saja penyelesaiannya tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana internasional yang berlaku terhadap individu, melainkan berdasarkan hukum internasional pada umumnya, tegasnya, tentang tanggungjawab negara dalam hukum internasional.
Setelah mempelajari uraian pada bagian penyajian di atas, beberapa pertanyaan yang perlu Saudara jawab antara lain: Jelaskan tanggungjawab hukum pidana internasional atas perbuatan pidana individu maupun negara. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, Saudara diharapkan membaca buku I Wayan Parthiana ”Hukum Pidana Internasional”. Tujuannya adalah agar dapat memberikan pemahaman dasar mengenai usaha-usaha pembentukan serta sejauh mana dibutuhkannya suatu Mahkamah Pidana Internasional atau suatu peradilan internasional bagi kejahatan-kejahatan internasional.
Mahkamah Militer Internasional Nuremberg 1945 dan Tokyo 1946 Peradilan para penjahat perang dunia II di Nuremberg 1945 tidak.
Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus Bekas Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994
Atas dasar itu, Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangannya dalam Bab VII Piagam, dalam kasus bekas Yugoslavia Dewan Keamanan membentuk Mahkamah Pidana Internasional dengan Resolusi Nomor 808 tanggal 22 Februari 1993 dan disempurnakan dengan Resolusi Nomor 827 tanggal 25 mei 1993. Resolusi ini diamandemen dengan Resolusi nomor 1166 tanggal 11 Mei 1998, kemudian diamandemen lagi dengan Resolusi Nomor 1329 tanggal 30 Nopember 2000. Sedangkan untuk kasus Rwanda, Dewan Keamanan membentuk Mahkamah Pidana Internasional dengan Resolusi Nomor 955 tanggal 9 Nopember 1994.
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Mahkamah Pidana Internasional dalam konteks hukum pidana
Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi yurisdiksi hukum pidana nasional (Pasal 1) sehingga harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi. Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) dapat melaksanakan yurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 5, apabila. Setelah mempelajari uraian pada bagian penyajian di atas, beberapa pertanyaan yang perlu Saudara jawab antara lain: Jelaskan usaha-usaha pembentukan serta sejauh mana dibutuhkannya suatu Mahkamah Pidana Internasional atau suatu peradilan internasional bagi kejahatan-kejahatan internasional?.
Pada bab ini akan diuraikan mengenai masalah-masalah prosedural dalam hukum pidana internasional termasuk di dalamnya mengenai yurisdiksi kriminal dalam kaitannya dengan penegakan kaidah-kaidah hukum pidana internasional. Selain daripada adanya kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang meliputi semua ketentuan di dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional dan perjanjian-perjanjian inetrnasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional dan ketentuan-ketentuan lain yang mungkin ada sepanjang mengenai tindak pidana internasional. Penegakan hukum pidana internasional secara langsung memiliki dua tujuan, yaitu pertama, merupakan suatu upaya untuk melaksanakan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional; dan kedua, suatu upaya mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana internasional melalui Mahkamah (Pidana) Internasional . 2) Indirect enforcement system.
Penegakan hukum pidana internasional secara tidak langsung adalah suatu upaya mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap para pelaku tindak pidana internasional melalui undang-undang nasional.
Yurisdiksi dan Kedaulatan Negara
Yurisdiksi Kriminal
Yurisdiksi ini sifatnya penuh, dalam arti, negara memiliki yurisdiksi atas segala macam kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negaranya. Jika yurisdiksi teritorialnya iitu berkenaan dengan peristiwa pidana yang terjadi di dalam wilayahnya, maka negara itu memiliki yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip teritortu berkenaan dengan peristiwa pidana yang terjadi di dalam wilayahnya, maka negara itu memiliki yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip teritorial. Terhadap peristiwa pidana tersebut, maka hukum pidana nasional suatu negara itu diberlakukan ke luar atau di luar batas-batas wilayahnya.
Yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan aktif Yurisdiksi ini didasarkan atas siapa yang menjadi pelaku kejahatan dan dimana tempat kejahatan itu dilakukan, serta adanya kepentingan dari negara tersebut untuk membuat, melaksanakan, dan memaksakan peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya. Pelakunya berkewarganegaraan dari negara yang bersangkutan, sedangkan korbannya bisa warganegaranya sendiri atau orang asing yang berada di dalam wilayahnya. Yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan pasif Yurisdiksi ini menitikberatkan pelakunya bukan warganegara dari negara yang memiliki yurisdiksi atau orang asing.
Dengan demikian negara tersebut berkepentingan untuk membuat, melaksanakan, dan atau memaksakan undang-undang pidananya terhadap pelaku dalam rangka melindungi kepentingan warganegara yang menjadi korban kejahatan tersebut. Yurisdiksi ini menitikberatkan pada kepentingan yang harus dilindungi yaitu kepentingan negara sebagai subyek hukum dari perbuatan atau kejahatan yang dilakukan di wilayah negara lain yang ditujukan terhadap keamanan, ketertiban dan kedamaian negara tersebut. Pada umumnya terdapat beberapa jenis kejahatan yang digolongkan ke dalam kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi kriminal berdasarkan.
Kerangka Hukum Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Setelah mempelajari uraian pada bagian penyajian di atas, beberapa pertanyaan yang perlu Saudara jawab antara lain: Jelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah-masalah prosedural dalam hukum pidana internasional. Pada bab ini akan diuraikan mengenai beberapa ketentuan dalam hukum pidana nasional yang menyangkut hukum pidana internasional. Tujuannya adalah agar dapat memberikan pemahaman dasar mengenai beberapa ketentuan dalam hukum pidana nasional yang menyangkut hukum pidana internasional.
Asas- asas hukum pidana tersebut juga merupakan asas-asas hukum pidana internasional yang berlaku umum. Dalam hukum internasional negara memiliki yurisdiksi personal berdasarkan kewarganegaraa (nasional) aktif atas warganegaranya di luar negeri, sehingga harus tunduk pula pada hukum nasional (yurisdiksi teritorial) dari negara dimana ia berada dalam kedudukan sebagai warga negara asing, sedangkan dari negara dimana ia berkewarganegaraan tunduk pada hukum pidana nasionalnya yaitu berdasar asas nasional aktif. Hukum pidana nasional dapat diberlakukan atas warga negara asing yang melakukan peristiwa pidana yang dilakukan di/dari luar wilayahnya.
Rumusan asas kewarganegaraan aktif dalam hukum pidana Indonesia : Tercantum dalam Pasal 5 yang secara tegas menggunakan istilah “warga negara Indonesia” yang secara eksplisit menampakkan asas kewarganegaraan aktif. Setelah mempelajari uraian pada bagian penyajian di atas, beberapa pertanyaan yang perlu Saudara jawab antara lain: Jelaskan beberapa ketentuan dalam hukum pidana nasional yang berkaitan dengan hukum pidana internasional?. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, Saudara diharapkan membaca buku I Wayan Parthiana ”Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi”.
ICPO INTERPOL
- SUB. BIDANG KEJAHATAN PERBANKAN
- SUB . BIDANG ANTI TEROR
- SUB. BIDANG KEJAHATAN KHUSUS
- DI BIDANG KONVENSI INTERNASIONAL
- DI BIDANG LIAISON OFFICER & PERBATASAN
- DI BIDANG PROTOKOL INTERNASIONAL
- DI BIDANG KOMUNIKASI INFORMASI TEKNOLOGI
- DI BIDANG MISI & PERDAMAIAN INTERNASIONAL
- DI BIDANG PERENCANAAN ADMINISTRASI
Lembaga – lembaga Perwakilan Negara lain ( seperti seluruh Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia, Konsulat Jenderal, Atase Kepolisian Negara Asing di Indonesia ) dan juga menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga kepolisian Negara lain ( seperti Australian Federal Police / AFP, Federal Bureau Investigation / FBI, Singapore Police Federatioan / SPF, dan juga NCB Interpol Negara lain. Peranan Protokol Internasional di NCB Interpol ini adalah untuk memberikan fasilitas dalam bentuk surat – surat dinas perjalanan polisi untuk bertugas ke luar Negeri seperti urusan Pasport, visa dan juga surat dinas luar negeri lainnya yang di khususkan untuk kepolisian. Setelah mempelajari uraian pada bagian penyajian di atas, beberapa pertanyaan yang perlu Saudara jawab antara lain: sebutkan tugas dan kewenangan NCB Interpol di Indonesia.
Pada bab ini akan di uraikan mengenai pengertian dan ruang lingkup pelanggaran-pelanggaran berat dan pelanggaran HAM khususnya Kejahatan Perang. Dalam mukadimah Konvensi tentang tidak dapat ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dijelaskan juga bahwa kejahatan-kejahatan perang dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan adalah diantara kejahatan-kejahatan yang paling gawat dalam hukum internasional. Oleh karena itu untuk mempelajari hukum perang harus ditinjau terlebih dahulu apakah kejahatan perang itu.
Kejahatan Perang merupakan pelanggaran-pelanggaran berat dalam Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol I-II 1977 yang ditegaskan pula dalam Article 8 Statute of Rome 1998. Dikualifikasikannya pelanggaran-pelanggaran berat dan pelanggaran HAM sebagai kejahatan perang didasarkan pada pemikiran bahwa pelanggaran-pelanggaran berat dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa konflik bersenjata, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip keseimbangan antara asas kepentingan militer dengan asas kemanusiaan yang diakui sebagai hukum kebiasaan perang. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan perang terkait dengan bidang Hukum Humaniter, dan diatur dalam Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol I-II 1977 yang ditegaskan pula dalam Article 8 Statute of Rome 1998 yang berlaku sebagai hukum dan kebiasaan perang, yang kemudian dirumuskan sebagai kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 sebagai bagian dari Most Serious Crime atau pelanggaran HAM berat.
Tanpa mengurangi penerapan Konvensi dan Protokol ini, pelanggaran- pelanggaran berat atas piagam-piagam tersebut harus disebut kejahatan perang. Berdasarkan uraian Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelanggaran- pelanggaran berat/grave breaches yang dicantumkan baik dalam Konvensi Jenewa maupun Protokol Tambahan 1977, dapat dianggap sebagai kejahatan perang (“war crimes”).