• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Tindak Pidana

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Pengertian Tindak Pidana"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Subjek Tindak Pidana.

1. Pengertian Tindak Pidana.

Sebelum membahas tentang tindak pidana terorisme, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai pengertian tindak pidana, tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana.1

Suatu perubahan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.2

1. Subjek 2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang- undang/perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)

Kelima unsur tersebut dikategorikan menjadi dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Yang termasuk unsur subjek dan kesalahan. Sedangkan yang termasuk unsur objektif adalah sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta

1 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Cet 3. Jakarta, Storia Grafika, Hlm. 204

2 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.211

(2)

diancam dengan pidana oleh undang-undang dan factor-faktor objektif lainnya.

Kelima unsur tersebut harus ada dalam suatu tindak pidana.

Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku- buku yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar feit” yang berarti delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum dan tindak pidana.3

Menurut Andi Hamzah tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan

dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.4

Menurut Moeljatno, Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

3 Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung:

Universitas Lampung, 2011, hlm.69

4 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hlm.22.

(3)

bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.5 Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula.

“Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menuimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno dalam buku Nikmah Rosidah membedakan dengan tegas dan dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal responsibility).

Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.6

1.1. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Berdasarkan rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau

5 Moeljatno, loc.Cit.

6 Nikmah Rosidah, Asas-Asas Hukum Pidana, Semarang: Pustaka Magister, 2011, hlm. 10.

(4)

syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.

Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah : a. Perbuatan manusia, b. Diancam dengan pidana, c. Melawan hukum, d. Dilakukan dengan kesalahan, e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek, hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yang memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.7

2. Subjek Tindak Pidana

Subjek tindak pidana (dalam KUHP) berupa manusia. Adapun badan hukum, perkumpulan, atau korporasi dapat menjadi subyek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam suatu undang-undang (biasanya undang-undang Pidana di Luar KUHP). Subyek hukum dalam KUHP adalah manusia. Sebab Hewan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas perbuatan

7 Nikmah Rosidah, Op.cit, hlm. 14

(5)

yang dilakukannya. Terdapat di dalam Pasal 59 KUHP yang seakan-akan menunjuk arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain.

Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Subyek tindak pidana dalam Konsep KUHP 2008 sudah diperluas meliputi manusia alamiah dan korporasi. Pasal 47 Konsep KUHP 2008 menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana”. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam Pasal 47 Konsep KUHP 2004 sebagai berikut: “Korporasi dapat dipertanggung jawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.

B. Pengertian Tindak Pidana Terorisme 1. Pengertian Tindak Pidana Terorisme

Kata “teror” (aksi) dan “terorisme” berasal dari bahasa Latin “terrere” yang berarti membuat getar atau menggetarkaan. Kata teror juga berarti menimbulkan kengerian.8 Orang yang melakukan tindak pidana teror adalah teroris. Istilah terorisme sendiri pada dekade tahun 70-an atau bahkan pada masa lampau lebih merupakan delik politik yang tujuannya adalah untuk menggoncangkan pemerintahan.

8 Abdul Wahid, et.al, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, Bandung: Refika Atditama, 2004, hlm. 22.

(6)

Secara konseptual teror dan terorisme yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik secara individu maupun secara kolektif yang menimbulkan rasa takut dan kerusuhan/kehancuran secara fisik dan kemanusiaan dengan tujuan atau motif memperoleh suatu kepentingan politik, ekonomi, ideologis dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan dalam masa damai.9

Terorisme sudah menjadi bagian sejarah “inkonsistensif”. Artinya tidak pernah terjadi keseragaman pengertian kearahartian yang baku dan definitif.

Hikmahanto Juwana, ahli Hukum Internasional dari Universitas Indonesia mengakui sulitnya membuat batasan tentang terorisme meskipun secara faktual dapat dirasakan dan dapat dilihat karakteristiknya, yaitu penyerangan dengan kekerasan yang bersifat indiscriminate (membabi buta, sembarangan), dilakukan di tempat-tempat sipil atau terhadap orang-orang sipil.10

Pengertian terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppresion of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 dimana terjadi perluasaan paradigma arti dari Crimes against State menjadi Crimes against Humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror.

Keterkaitannya dengan HAM, crimes against humanity termasuk kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap

9 Jawahir Thontowi, Dinamika dan Implementasi Dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Yogyakarta:

Madyan Press, 2002, hlm. 87

10 Moh.Arif, Kriminalisasi Terorisme di Indonesia Dalam Era Globalisasi, 2013. hlm.71.

(7)

penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa yang tidak bersalah (public by innocent).11

Berbagai pendapat pakar dan badan pelaksana yang menangani masalah terorisme, mengemukakan tentang pengertian terorisme secara beragam. Teror mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengkondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas, dari pada hanya pada jatuhnya korban kekerasan. Publikasi media massa adalah salah satu tujuan dari aksi kekerasaan dari suatu aksi teror, sehingga pelaku merasa sukses jika kekerasan dalam terorisme serta akibatnya dipublikasikan secara luas di media massa.12 Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak disebutkan defInisi tentang tindak pidana terorisme, yang ada hanyalah memuat ciri-ciri tindakan apa yang diklasifikasikan sebagai terorisme. Menurut penulis pasal 6 dan pasal 7 undang-undang ini sudah cukup memberikan pengertian dan karakteristik tentang tindak pidana terorisme.

Pasal 6: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harga benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, di pidana dengan pidana mati

11 Abdul Wahid. Op.cit., hlm. 23.

12 Y.A. Piliang, Posrelitas, Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra, hlm.

25.

(8)

atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

Pasal 7: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harga benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan penjara paling lama seumur hidup.

Berdasarkan pasal di atas maka dapat dirumuskan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala/suatu perbuatan yang mengandung unsur-unsur:13

a. Perbuatan dengan kekerasan/ancaman

b. Menimbulkan (bermaksud menimbulkan) suasana teror/rasa takut secara meluas/menimbulkan korban massal.

c. Dengan merampas kemerdekaan/hilangnya nyawa/harta benda/mengakibatkan kerusakan/kehancuran objek vital lingkungan hidup/fasilitas publik atau internasional.

2. Terorisme sebagai Extra Ordinary Crime (Kejahatan luar biasa)

Banyak pihak yang mengatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan

13 Romli Atmasasmita, Masalah pengaturan terorisme dan perspektif Indonesia, Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2002, hlm. 86-87.

(9)

mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure). Derajat

“keluarbiasaan” ini pula yang menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan pemberlakuannya secara retroaktif untuk kasus Bom Bali.14 Selama ini sesuai dengan Statuta Roma, yang telah diakui sebagai bagian dari extra ordinary crime adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi crime against humanity, Genocide, war crimes dan agressions.15

Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukkan bahwa memang tindak pidana terorisme lebih banyak merupakan tindak pidana yang melibatkan jaringan internasional, namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya ataupun sifat internasionalnya. Kemampuan pengungkapan suatu tindak pidana lebih ditentukan oleh kemampuan dan profesional aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban. Kejahatan lintas batas tentu bukan merupakan alasan yang valid untuk menentukannya sebagai extra ordinary crime, karena di saat banyak tindak pidana yang memiliki jaringan internasional (misalnya pencucian uang, perdagangan orang, dan penyelendupan).

A.C.Manullang mengatakan bahwa siapapun pelakunya dan apapun motif dibalik tindakan teror, tidak bisa ditolerir. Tindakan itu merupakan kejahatan luar

14 Muchammad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror, Belenggu Baru Bagi Kebebasan, Jakarta:

Imparsial, 2005, hlm. 62.

15 Muchammad Ali Syafa’at, loc.Cit.

(10)

biasa (extra ordinary crime). Aksi teror pada ruang publik dipandang sebagai kejahatan, bukan semata-mata pada tindakannya, namun juga dampak lanjutan yang diakibatkannya. Di samping menimbulkan ketakutan, peristiwa teror, bom dan jenis kekerasan lainnya mengakibatkan mencuatnya aneka motif sentimen di masyarakat antara pro dan kontra sehingga berpotensi memicu konflik sosial lebih lanjut. Karena itu terorisme merupakan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan dan peradaban.

Terorisme menjadi ancaman bagi manusia dan musuh dari semua agama. Perang melawan terorisme menjadi komitmen bersama yang telah disepakati berbagai negara.16

3. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru. Namun, aksi teror yang menyedot perhatian seluruh elemen masyarakat di dunia yaitu saat terjadinya aksi teror di World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 yang memakan korban. Kejadian ini merupakan sebuah isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional.

Di Indonesia sendiri tindakan teror awal terjadi pada Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu

16 A.C. Manullang, Terorisme & Perang Intelijen, Behauptung Ohne Beweis (Dugaan Tanpa Bukti), Jakarta: Manna Zaitun, 2006, hlm. 98.

(11)

menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.17 Perbuatan teror ini berlanjut sampai pada bom Sarinah dan peristiwa baku tembak di ruang umum, di Plaza Atrium tanggal 16 January 201618 dan rumah-rumah ibadah lainnya seperti di Kota Surabaya bulan Mei 2018 lalu. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia. Bertolak dari setiap kejadian ini, maka sudah kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang tindak pidana terorisme.

Terorisme di Indonesia termasuk ke dalam sanksi pidana. Sanksi pidana adalah pengenaan suatu putusan derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana, melalui rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan hukum yang diberkan secara khusus. Aturan hukum bagi tindakan pidana terorisme diatur sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Undang-undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International Converention of The Financing of Teroris.

17 Mardenis and Hilaire Tegnan, Designing A Counter-Terrorism Legal Policy Complying With Human Rights And Democracy In Indonesia (International Journal). Padang-West Sumatera: Andalas Universty, 2018, hlm.1

18 Ibid, hlm. 2

(12)

3. Perpres No. 12 Tahun 2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

C. Pengertian, Fungsi, Tugas dan Wewenang Kepolisian 1. Pengertian Kepolisian

Menurut KBBI polisi merupakan anggota badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya.19 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa kepolisian adalah segala hal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam undangundang ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi.

Disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan 17 fungsinya berdasarkan Peraturan perundang-undangan.20

Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa: 1) Kepolisian Negara Republik

19 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.76

20 Sadjijono, Polri Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008, hlm.52-53

(13)

Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

2. Fungsi Kepolisian

Fungsi kepolisian adalah segala hal yang berkaitan dengan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) sedangkan anggota kepolisian negara republik indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Polisi lahir karena ada masyarakat, sebaliknya masyarakat membutuhkan kehadiran polisi guna menjaga ketertiban, keamanan, dan pelayanan kepada masyarakat itu sendiri. Demikian lah teori lahirnya polisi. Boleh saja suatu negara tidak memiliki angkatan perangnya, akan tetapi tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki angkatan kepolisian sebagai penertib, pengayom, dan penegak hukum dalam suatu negara.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan

(14)

pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kepolisian nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:

a. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

b. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(15)

Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.

3. Tugas Kepolisian

Tugas pokok kepolisian menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok dengan memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

f. Melakukan kordinasi, pengawan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

(16)

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

h. Melaksanakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan pihak yang berwenang.

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Wewenang Kepolisian

Wewenang kepolisian menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah: a). Menerima laporan dan pengaduan; b). Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu masyarakat umum; c).

Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya tumbuhnya penyakit masyarakat; d).

Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e). Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f). Melakukan pemeriksaan khusus sebagai

(17)

bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan. g). Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h). Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i). Mencari keterangan dan barang bukti. j). Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional; k). Mengeluarkan surat izin atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l). Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m). Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

5. Brimob sebagai Pengendali Keamanan Berkadar Tinggi

Restrukturisasi organisasi Polri sebagai bagian dari program Reformasi Birokrasi Polri merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan, hal itu sejalan dengan Grand Strategy Polri tahun 2005 – 2025 serta adanya tuntutan dan harapan masyarakat yang terus berkembang. Selain itu, tantangan tugas Polri ke depan diprediksi akan semakin kompleks dan meningkat sehingga diperlukan langkah- langkah antisipatif agar keberadaan organisasi Polri berikut sumber daya yang mengawakinya senantiasa dapat mengimbangi setiap perubahan yang terjadi.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang merupakan landasan yuridis dan memuat ketentuan – ketentuan pokok tentang Polri menjadi acuan utama, di mana Korbrimob Polri yang merupakan bagian integral dari Kepolisian Republik Indonesia sebagai salah satu unsur pelaksana utama pada tingkat Mabes Polri berada dibawah Kapolri yang

(18)

bertugas membina kemampuan dan mengerahkan kekuatan personil Brimob dalam menanggulangi gangguan Kamtibmas dalam negeri yang berkadar tinggi, di antaranya: Kerusuhan massa, Kejahatan Terorganisir senjata Api, Bom, Bahan Kimia, Biologi dan Radio Aktif guna mewujudkan tertib hukum serta ketentraman masyarakat diseluruh wilayah yuridis Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tugas – tugas lain yang dibebankan kepadanya.

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar