• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUATAN KEMASYARKATAN BUDDHA MELALUI TOLERANSI DAN INTERKONEKSI BERAGAMA

N/A
N/A
Vihara Sakyamuni Buddha ITBC

Academic year: 2023

Membagikan "PENGUATAN KEMASYARKATAN BUDDHA MELALUI TOLERANSI DAN INTERKONEKSI BERAGAMA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TOLERANSI DAN INTERKONESI BERAGAMA

Pendidikan Kemasyarakatan Buddha

Dosen Pengampu: Dr. Kabri, S.Ag., M.Pd., M.Pd.B.

Disusun oleh:

MAHARDIKA ARDI MANGGALA (20220100007) HUSIN TASLIM (20220100009)

TURAHMI (20220100023)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN BUDDHA (S2) STIAB SMARATUNGGA

BOYOLALI

2023

(2)

ii

DAFTAR ISI

PENGUATAN KEMASYARAKATAN BUDDHA MELALUI TOLERANSI DAN

INTERKONESI BERAGAMA ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 3

A. Latar Belakang ... 3

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan ... 5

D. Metode Pengumpulan Data ... 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENERAPAN ... 6

A. Sikap Buddha terhadap kepercayaan tradisi dan agama lain ... 6

B. Fenoma sikap keagamaan ... 7

C. Analisis sektarian dan nonsekterian ... 8

D. Pluralitas dan multikulturalisme dan agama Buddha ... 8

E. Sikap Buddha terhadap kepercayaan tradisi dan agama lain ... 10

F. Fenoma sikap keagamaan ... 11

G. Analisis sektarian dan nonsekterian ... 12

H. Pluralitas dan multikulturalisme dan agama Buddha ... 14

BAB III PENUTUP ... 15

A. Kesimpulan ... 15

B. Saran ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 16

(3)

3 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia terdiri dari berbagai macam golongan dan tradisi keagamaan. Golongan masyarakat tersebut memiliki struktur tingkatan yang berbeda-beda. Struktur tingkatan inilah yang dapat menunjukkan golongan tertentu pada masing-masing keberadaan masyarakat.

Pengelompokan golongan masyarakat berdasarkan cara hidup dan praktek moralitas (sila) dalam agama Buddha ada dua yaitu pabbajita dan gharavasa.

Pabbajita merupakan orang-orang yang menjalani kehidupan selibat bertekad menghindari diri dari keduniawian, terdiri dari bhikkhu/bhikkhuni serta samanera/samaneri. Gharavasa merupakan orang-orang perumah tangga yang berlindung pada Tri Ratna Buddha, Dhamma, dan Sangha dan bertekad melaksanakan lima latihan sila Buddhis, Gharavasa terdiri dari upasakha dan upasikha.

Perbedaan kelompok dalam agama Buddha menunjukkan batasan atau kelas tertentu sebagai bukti adanya struktur organisasi keagamaan dalam agama Buddha. Perbedaan kelas dalam kemasyarakatan Buddha dilambangkan dengan simbol yang telah melekat pada masyarakatnya. Seorang bhikkhu/bhikkhuni hanya memakai jubah dan bertempat tinggal di kuti Vihara sedangkan upasakha/upasikha memakai pakaian secara berganti-ganti dan hidup dengan keluarganya masing- masing.

Pabbajita dan gharavasa melaksanakan sila sesuai dengan peraturan moralitas yang ada. Sila dapat menunjang kehidupan baik bagi para pabbajita dan umat gharavasa. Kehidupan beragama yang harmoni akan menunjukkan kerukunan dalam toleransi beragama baik secara intern ataupun eksteren umat beragama.

Kerukunan beragama merupakan cermin dalam toleransi sebagai umat beragama.

Umat Buddha sebaiknya saling menciptakan ketenangan, dan kebaikan dalam kehidupan sebagai bagian dari masyarakat dengan tujuan agar tidak terjadi konflik antar umat yang berbeda agama. Manusia tidak dapat memungkiri adanya pergaulan yang terkadang berbeda agama atau kepercayaan baik dengan

(4)

4 kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok lain.Dalam kerangka toleransi hendaknya umat beragama berupaya untuk saling menghadirkan ketentraman dan kedamaian agar tidak terjadi gesekan ideologis antar umat beraagamadan stabilitas sosial (ABROR, 2020).

Toleransi beragama dapat menciptakan kerukunan secara intern maupun ekstern umat beragama. Hal ini bisa tercermin dari adanya sikap saling menghargai antar pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lainnya.

Menyingkapi perbedaan agama harus diterima dengan jiwa yang baik sebagai insan yang menjunjung tinggi ajaran ideologi Tuhan bagi kemanusiaan. Perbedaan yang signifikan dimiliki oleh masing-masing agama, oleh karena itu terwujudkan kerukunan dalam keberagamaan membutuhkan sebuah pendekatan (Bastomi dkk., 2021). Umat Buddha membutuhkan sikap toleransi dalam menjalani kehidupan beragama penuh kedamaian dengan berpegang teguh pada praktek dhamma dalam kehidupan sehari-hari.Melalui toleransi beragama penguatan masyarakat Buddha menjadi lebih bertambah.

B. Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang yang tertulis di atas, maka rumusan masalah yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap Buddha terhadap kepercayaan tradisi dan agama lain ? 2. Bagaimana cara menghadapi fenomena sikap keagamaan ?

3. Apa perbedaan analisa sekretarian dan non sektarian ?

4. Apa arti pluralisme dan multikulturalisme dalam agama Buddha ? 5. Apa arti inklusivisme dan eksklusivisme dalam agama Buddha ?

6. Bagaimana toleransi beragama menurut Upali Sutta, Kalama Sutta, dan pemerintahan Raja Asoka ?

7. Apa hubungan interkoneksi dan moderasi beragama ?

8. Apa hubungan agama Buddha dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ?

(5)

C. Tujuan

Makalah ini bertujuan sebagai berikut :

1. Sikap Buddha terhadap kepercayaan tradisi dan agama lain.

2. Cara menghadapi fenomena sikap keagamaan 3. Perbedaan analisa sekretarian dan non sektarian.

4. Arti pluralisme dan multikulturalisme dalam agama Buddha.

5. Arti inklusivisme dan eksklusivisme dalam agama Buddha

6. Toleransi beragama menurut Upali Sutta, Kalama Sutta, dan pemerintahan Raja Asoka.

7. Hubungan interkoneksi dan moderasi beragama.

8. Hubungan agama Buddha dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

D. Metode Pengumpulan Data

Makalah ini disusun dengan menggunakan data-data yang diperoleh bersumber dari buku dan jurnal.

(6)

6 BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENERAPAN

A. Sikap Buddha terhadap kepercayaan tradisi dan agama lain

BAB II Secara etimologis, sikap berarti suatu pendapat atau perasaan yang disertai kecenderungan bertindak terhadap suatu obyek tertentu. Kata sikap disebut suatu cara menanggapi suatu rangsangan atau lebih, dalam istilah psikologi adalah suatu kecenderungan untuk berperilaku atau mempersepsikan dengan cara tertentu, suatu kestabilan yang terus menerus dan tertentu. Sikap adalah kesadaran pribadi yang menentukan tindakan nyata.

Abu Ahmadi mendefinisikan sikap sebagai kesadaran pribadi yang menentukan tindakan nyata (Ahmaldi, 1979 : 56-57). Bimo Walgito menekankan bahwa sikap adalah persepsi diri seseorang yang memotivasi dirinya untuk bertindak dan berprestasi (Walgito, 1980 : 67-68).

Sikap agama Buddha terhadap kepercayaan dan agama tradisional lainnya sangat toleran. Dalam agama Buddha, toleransi diajarkan dengan sangat jelas. Selama 45 tahun khotbahnya, Sang Buddha mengajarkan tentang toleransi dalam beragama, namun tidak secara spesifik. Toleransi yang diajarkan Buddha tidak terlalu rumit dan mudah dipahami. Salah satunya adalah empat sifat mulia (Brahma Vihara) antara lain Metta (cinta), Karuna (kasih sayang), Mudita (simpati) dan Uppekha (kesetaraan). Empat sifat mulia ini adalah landasan toleransi dalam agama Buddha. Dalam Kalama Sutra, Buddha menekankan bahwa ketika kita menerima sebuah tradisi, kita harus mencoba dan mengujinya secara menyeluruh dengan melakukannya dengan pemahaman yang benar dan penuh kebijaksanaan. Jika tradisi mempunyai makna, tidak merugikan diri sendiri, orang lain atau makhluk hidup, membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi banyak orang dan makhluk hidup, maka kita bisa menerima dan menjalankan adat dan tradisi (A.III.65).

(7)

A. Fenoma sikap keagamaan

Agama berasal dari kata religi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain; Mengamati (memeluk) agama, beribadah, mentaati agama (hidup sejahtera sesuai agama).

Sikap keagamaan mencakup keyakinan individu atau kelompok dalam agama atau kepercayaan spiritual tertentu. Ini mencakup keyakinan tentang eksistensi Tuhan atau dewa, asal-usul alam semesta, tujuan hidup, dan nilai-nilai moral yang bersumber dari kepercayaan tersebut. Sikap keagamaan sering berdampak pada sistem nilai dan etika individu. Agama sering memberikan kerangka kerja moral yang mengatur perilaku sehari-hari dan membimbing keputusan-keputusan etis. Sikap keagamaan sering tercermin dalam praktik ibadah dan ritual yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Ini dapat mencakup doa, meditasi, persembahan, pergi ke tempat ibadah, atau melaksanakan upacara keagamaan sesuai dengan ajaran agama tertentu.

Sikap keagamaan sering berdampak pada sistem nilai dan etika individu.

Agama sering memberikan kerangka kerja moral yang mengatur perilaku sehari- hari dan membimbing keputusan-keputusan etis. Kepercayaan agama sering kali menjadi bagian penting dari identitas individu atau kelompok. Identitas keagamaan dapat memengaruhi bagaimana seseorang melihat diri mereka sendiri dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Dalam masyarakat yang multikultural, sikap keagamaan juga mencakup tingkat toleransi terhadap kepercayaan dan agama lain. Masyarakat yang toleran akan mendorong dialog antar-kepercayaan dan kerjasama antar-kelompok agama.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis, memandang agama sebagai mekanisme penting dalam menjaga kohesi sosial. Ia mengamati bahwa agama memiliki peran dalam membentuk norma sosial dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Sikap keagamaan, menurut pandangan Durkheim, dapat memperkuat identitas sosial dan pemahaman bersama dalam suatu komunitas (Weiss, 2018).

Berdasarkan uraian arti beragama tersebut, dapat dijelaskan yang dimaksud dengan keberagamaan adalah kondisi keimanan keyakinan seseorang yang terdalam terhadap ajaran-ajaran agama, yang kemudian direalisasikan dalam setiap

(8)

8 sikap dan prilaku hidupnya. Semua yang dilakukan berdasarkan keyakinan hatinya yang dilandasi dengan keiman (keyakinannya).

B. Analisis sektarian dan nonsekterian

Para ahli yang memiliki pandangan sektarian mungkin cenderung memusatkan perhatian mereka pada satu aliran, metode, atau teori tertentu dalam bidang mereka. Mereka mungkin melihat aliran atau pendekatan ini sebagai yang paling benar atau paling berharga. Pandangan sektarian dapat menciptakan ketegangan dan persaingan antara kelompok atau aliran yang berbeda. Ini sering kali terlihat dalam bidang-bidang seperti politik, agama, dan ideologi, di mana aliran yang berbeda bersaing untuk mendominasi atau membuktikan superioritas mereka. Para ahli yang bersikap sektarian mungkin sulit melihat kesamaan, overlap, atau nilai dari pendekatan lain. Mereka mungkin lebih cenderung untuk mengkritik atau menolak pandangan yang berbeda.

Dikutip dalam sutta tidak pernah menyatakan bahwa semua ajaran yang diajarkan oleh para agung adalah benar. Aku tidak pernah menyatakan bahwa semua ajaran yang diajarkan oleh para agung adalah salah. Aku tidak pernah menyatakan bahwa semua ajaran yang diajarkan oleh para agung adalah benar dan salah sekaligus (M.I.227).

Pendekatan nonsekterian sering kali bertujuan untuk menghindari konflik dan polarisasi antara kelompok atau aliran yang berbeda. Mereka mencari cara untuk memfasilitasi dialog dan pemahaman antara berbagai pihak. Para ahli yang memiliki pandangan nonsekterian lebih terbuka terhadap berbagai pendekatan, pandangan, dan aliran dalam bidang mereka. Mereka mendorong inklusivitas, dialog, dan kerjasama antara berbagai perspektif.

C. Pluralitas dan multikulturalisme dan agama Buddha

Pluralisme berasal dari bahasa Inggris yaitu pluralism, dalam bahasa Indonesia artinya berinteraksi dengan asimilasi atau tanpa konflik, toleransi satu dengan yang lain dan pada setiap kelompok menampilkan rasa hormat dalam suatu kerangka interaktif.

Pendapat dari L.Eck yaitu pluralisme bukanlah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Agama-agama tersebut setara pada

(9)

dataran substansi namun tetap berbeda pada dataran simbol. Jalan atau yasriat inilah yang membedakan agama-agama yang ada sedangkan secara substansi semua setara untuk menuju pada kebenaran. Upaya dalam membangun masyarakat yang manusianya memiliki kesadaran yang bersifat sosial dan teologis disebut pluralitas. Pada akhirnya pluralitas merupakan kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi keragaman sosial, agama, etnis, dan budaya.

Pluralisme bisa menjadikan seseorang memiliki sikap toleransi yang dikembangkan melalui hal tentang lini kehidupan yang ada serta segala sesuatu dalam memahami perbedaan-perbedaan. Pluralisme menerima perbedaan tersebut yang ada dalam masyarakat tanpa memaksa individu atau kelompok. Saling tolong menolong, gotong royong, dan kerjabakti merupakan bentuk pluralisme dalam bermasyarakat tanpa mencampuradukkan agama melainkan atas nama kemanusiaan.

Multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran atau paham),ini bila ditinjau secara etimologi. Bila ditinjau secara hakiki dalam kata ini terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam kebudayaan dan komunitasnya masing-masing.

Menurut Alo Liliweri, suatu paham atau situasi-situasi kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan disebut multikulturalisme. Maka dari itu setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.

Pluralisme adalah bentuk sedangkan multikulturalisme adalah pengakuan dari perbedaan bentuk tersebut. Hubungan antara pluralis dan multikultur tidak dapat dipisahkan. Konsep tersebut memberikan penekanan pada pengertian pluralitas dan multikultur. Faham yang memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia disebut plurarisme. Sedangkan multikulturalisme adalah faham yang menyuarakan perbedaan keyakinan atau kultur yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehdupan masyarakat (Suharsono, 2017).

(10)

10 D. Sikap Buddha terhadap kepercayaan tradisi dan agama lain

Inklusivisme dan eksklusivisme adalah dua sikap yang berbeda dalam memandang agama lain. Inklusivisme adalah sikap yang mengakui kebenaran agama lain, tetapi menganggap agama sendiri sebagai yang paling benar dan lengkap. Eksklusivisme adalah sikap yang menolak kebenaran agama lain, dan menganggap agama sendiri sebagai satu-satunya yang benar dan mutlak.

Dalam agama Buddha, sikap inklusivisme dan eksklusivisme dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti: doktrin, etika, ritual, dan organisasi.

1. Dari aspek doktrin, agama Buddha memiliki konsep anatman (tidak ada jiwa) dan anatta (tidak ada diri), yang berbeda dengan agama-agama lain yang percaya pada adanya jiwa atau roh.

2. Dari aspek etika, agama Buddha memiliki konsep karma (tindakan dan akibatnya) dan sila (perilaku moral), yang juga berbeda dengan agama-agama lain yang percaya pada adanya hukum ilahi atau wahyu.

3. Dari aspek ritual, agama Buddha memiliki konsep puja (pemujaan) dan dana (pemberian), yang juga berbeda dengan agama-agama lain yang memiliki ritual-ritual tertentu.

4. Dari aspek organisasi, agama Buddha memiliki konsep Sangha (komunitas monastik) dan laity (umat awam), yang juga berbeda dengan agama-agama lain yang memiliki struktur hierarkis atau otoritas.

Dalam agama Buddha, sikap inklusivisme yang moderat adalah menghormati keberagaman agama, tetapi tetap menjaga identitas dan integritas agama Buddha. Sikap ini dianggap dapat memperkuat kemasyarakatan Buddha melalui toleransi beragama, yang merupakan salah satu nilai luhur dalam ajaran Buddha.

"Inklusivisme dan eksklusivisme dalam agama Buddha" merupakan aspek yang menarik untuk mendalami dalam konteks penguatan kemasyarakatan Buddha melalui toleransi beragama. Ini melibatkan pemahaman terhadap pandangan inklusif dan eksklusif yang mungkin muncul dalam praktik dan keyakinan Buddhisme.

Pada umumnya umat Buddha mengambil sikap inklusivisme yang moderat, yaitu menghormati keberagaman agama, tetapi tetap menjaga identitas dan

(11)

integritas agama Buddha. Sikap ini dianggap dapat memperkuat kemasyarakatan Buddha melalui toleransi beragama, yang merupakan salah satu nilai luhur dalam ajaran Buddha (Bhayangkari, 2019).

E. Fenoma sikap keagamaan

Toleransi beragama dalam agama Buddha tercermin pada kisah seorang pemuda bernama Upali yang menganut agama atau kepercayaan lain. Kisah Upali dijelaskan sebagai berikut:

“Seorang pemuda Upali menemui Buddha untuk berdiskusi tentang ajaran (agama) yang beliau ajarkan kepada para muridnya. Setelah diskusi panjang, pemuda Upali memohon kepada Buddha untuk diterima sebagai muridnya. Buddha tidak langsung menerima Upali sebagai muridnya tetapi menasihati pemuda Upali untuk memikirkan dan mempertimbangkan kembali sebelum berpindah agama atau kepercayannya karena Upali merupakan seorang pemuda yang cerdas, murid tersohor dari agamanya juga mempunyai banyak pengikut. Setelah pemuda Upali memohon untuk ketiga kalinya agar diterima sebagai murid, Buddha baru menerimanya dengan catatan pemuda Upali tetap harus menghormati ajaran atau agama sebelumnya, tidak menjelek-jelekkan, tetap memberikan dana atau menyokong para penganut agama yang lama(M.III.778).

Buddha meminta Upali untuk terus berbuat baik dan memberikan bantuan kepada keyakinan yang dulu ia ikuti, serta harus tetap menghormati ajaran gurunya yang dulu. Dalam hal ini Buddha menunjukkan betapa pentingnya menghargai perbedaan (M.II.777).

Buddha membahas tentang cara mencari kebenaran terdapat dalam Kalama Sutta yang berisikan tentang saat Buddha menasihati orang-orang Kalama agar tidak mudah percaya pada segala sesuatu yang mereka dengar atau baca namun mereka harus menguji kebenaran dengan cara datang, melihat, dan mengalami sendiri (ehipassiko) dengan dilandasi pikiran benar yang didapat dari pengalaman mereka sendiri.

Raja Asoka adalah seorang raja pemeluk agama Buddha yang tersohor. Peran Raja Asoka untuk mewujudkan moderasi beragama, toleransi, dan

(12)

12 kerukunan umat beragama adalah dengan membangun sebuah prasasti Asoka atau Pilar Asoka yang berisi:

(1) Janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain.

(2) Dengan berbuat demikian kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang disamping menguntungkan pula agama lain

(3) Dengan berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain.

Sikap-sikap yang dapat memperkuat kemasyarakatan Buddha melalui toleransi beragama adalah sebagai berikut :

1. Menghargai keberadaan agama lain: Sikap ini menunjukkan bahwa umat Buddha menghormati keberadaan agama lain dan tidak merendahkan atau memaksakan pandangan agama mereka kepada orang lain.

2. Menghargai perbedaan: Sikap ini menunjukkan bahwa umat Buddha menghargai perbedaan dalam kepercayaan dan pandangan, serta tidak memandang rendah atau merendahkan orang lain.

3. Menghindari fanatisme: Sikap ini menunjukkan bahwa umat Buddha tidak fanatik dalam menjalankan ajaran agama mereka, dan tidak memaksakan pandangan atau keyakinan mereka kepada orang lain.

4. Mengedepankan kerukunan: Sikap ini menunjukkan bahwa umat Buddha mengedepankan kerukunan dan perdamaian antar umat beragama, serta tidak memprovokasi atau memicu konflik antar umat beragama.

F. Analisis sektarian dan nonsekterian

Interkoneksi dan moderasi beragama adalah dua konsep yang berkaitan dengan cara beragama dalam konteks keberagaman dan pluralisme. Interkoneksi beragama adalah hubungan saling terkait dan tergantung antara agama-agama yang ada di dunia.

(13)

Moderasi beragama adalah sikap beragama yang menghindari ekstremisme, fanatisme, dan intoleransi, serta mengedepankan keseimbangan, kerukunan, dan dialog. Konsep lain juga menjelaskan tentang Interkoneksi beragama dan Moderasi beragama yaitu :

1. Interkoneksi beragama merupakan sebuah kenyataan bahwa agama-agama di dunia memiliki sejarah, ajaran, nilai, dan pengalaman yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Agama-agama tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan mereka. Interkoneksi beragama juga menunjukkan adanya kemungkinan kerjasama dan dialog antarumat beragama untuk mencari solusi bersama atas berbagai masalah kemanusiaan yang dihadapi.

2. Moderasi beragama merupakan sebuah sikap yang menghargai keberagaman agama sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga. Moderasi beragama menolak segala bentuk ekstremisme, fanatisme, dan intoleransi yang dapat menimbulkan kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan antarumat beragama. Moderasi beragama mengedepankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kepentingan diri dan orang lain, antara agama dan negara.

Moderasi beragama juga mengedepankan kerukunan dan dialog antarumat beragama untuk mempererat persaudaraan dan perdamaian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi mempunyai dua arti yaitu mengurangi kekerasan dan menghindari hal-hal yang ekstrim, sehingga moderasi dapat diartikan sebagai Jalan Tengah. Temperance berasal dari arti kata pantang yang artinya secukupnya, yaitu wajar, tanpa kekurangan atau bisa disebut seimbang. Moderasi juga mengandung arti kearifan mengenai kelebihan dan kekurangan (Kementerian Agama RI, 2019:15).

Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan fitrahnya, yaitu menjaga kehormatan, harkat, dan peradaban umat manusia. Kedamaian, toleransi dan kerukunan umat beragama dalam agama Buddha ditunjukkan melalui kisah seorang pemuda bernama Upali yang menganut agama atau kepercayaan berbeda.

(14)

14 G. Pluralitas dan multikulturalisme dan agama Buddha

Hubungan agama Buddha dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:

1. Agama Buddha mengakui adanya kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, yang disebut dengan Brahma atau Dewa. Namun agama Buddha tidak menganggap mereka sebagai pencipta atau penguasa alam semesta, melainkan sebagai makhluk yang juga terikat oleh hukum karma dan samsara. Agama Buddha juga tidak mengajarkan untuk menyembah atau memuja mereka melainkan untuk mengembangkan budi luhur dan kebijaksanaan yang dapat membawa kepada pembebasan dari penderitaan.

2. Agama Buddha mengajarkan bahwa yang paling penting bagi manusia adalah mencapai Nibbana, yaitu keadaan yang bebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan. Untuk mencapai Nibbana, manusia harus mengikuti Jalan Tengah, yaitu jalan yang menghindari sikap ekstrem antara hedonisme dan asketisme.

Jalan Tengah terdiri dari Delapan Jalan Mulia, yaitu pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

Agama Buddha menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Agama Buddha tidak memaksakan ajarannya kepada orang lain, tetapi memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih agama atau keyakinan yang sesuai dengan akal sehat dan pengalaman mereka sendiri. Agama Buddha juga menghormati agama atau keyakinan lain, dan tidak mencela atau merendahkan mereka. Agama Buddha juga mengajak umat beragama lain untuk berdialog dan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.

(15)

15 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Toleransi merupakan nilai penting dalam Buddhisme dan dapat menjadi dasar bagi penguatan kemasyarakatan Buddha. Kemasyarakatan Buddha yang terdiri dari perumah tangga (gharavasa) dan orang-orang yang menjalani kehidupan selibat bertekad menghindari diri dari keduniawian (pabbajita) akan memiliki rasa toleransi dengan berpedoman teguh melaksanakan empat sifat-sifat luhur (brahmavihara 4) yang terdiri dari metta, karuna,mudita, dan upekkha.

Sikap-sikap yang dapat memperkuat kemasyarakatan Buddha melalui toleransi beragama terdiri dari menghargai keberagaman agama lain, menghargai adanya perbedaan, menghindari fanatisme, dan mengedepankan kerukunan.Apabila masing-masing individu memiliki kesadaran dalam hal ini maka kehidupan beragama dan toleransi dalam beragama akan terwujud.

Inklusivisme adalah sikap yang mengakui kebenaran agama lain, tetapi menganggap agama sendiri sebagai yang paling benar dan lengkap. Eksklusivisme adalah sikap yang menolak kebenaran agama lain dan menganggap agama sendiri sebagai satu-satunya yang benar dan mutlak. Sikap inklusivisme dan eksklusivisme dalam agama Buddha dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti doktrin, etika, ritual, dan organisasi.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini, kami sadari masih kurangnya suatu literasi hubungan Managmen Berbasi Sekolah terhadap lembaga pendidikan buddhist.

Harapan kami agar dapat makalah ini mendapatkan suatu bimbingan supaya lebih baik kedepannya.

(16)

16

DAFTAR PUSTAKA

ABROR, M. (2020). Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi. RUSYDIAH:

Jurnal Pemikiran Islam, 1(2), 137–148. https://doi.org/10.35961/rsd.v1i2.174

Ahmaldi, A. (1979). Psikologi Sosial. In Psikologi Sosial. PT. Bina Ilmu.

Bastomi, H., & Nisa’, S. L. (2021). Upaya Pemerintah Desa Karangsari, Cluwak-Pati Dalam Menyemai Sikap Toleransi Dikalangan Masyarakat. FOKUS Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 6(2), 131. https://doi.org/10.29240/jf.v6i2.3440

Bhayangkari. (2019). Toleransi dalam Buddhisme. https://bhayangkari.or.id.

Bodhi. (2015). Anguttara Nikaya - Khotbah-Khotbah Numerika Sang Buddha Jilid 3. In DhammaCitta Press (Vol. 42).

Sarao, K. T. S. (2013). Majjhima Nikāya (F. Lie & G. Melissa (ed.)). DhammaCitta Press. https://doi.org/10.1007/978-94-024-0852-2_267

Suharsono, S. (2017). Pendidikan Multikultural. EDUSIANA: Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam, 4(1), 13–23. https://doi.org/10.30957/edusiana.v4i1.3

Walgito, B. (1980). Psikologi Sosial. Andi Offset.

Weiss, R. (2018). D urkheim, É mile (1858–1917) . The International Encyclopedia of Anthropology, September, 1–4.

https://doi.org/10.1002/9781118924396.wbiea1425

Referensi

Dokumen terkait

2 Master 1433/2011 Very good King Saud U Science Math Math partial differential equations 3 PhD 1441/2020 Excellent KAU Science Math Math partial differential equations

Cara Menggunakan nya Yaitu Pilih Kalimat Mana Saja Yang Mau Di Rata Kiri Kanan Kan Setelah Itu Klik Icon Panah Di Pojok Kanan Bawah Setelah itu Scroll Ke Bawah Sekali Sampai Ada Icon