PAPER
PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN TERHADAP KEADILAN SOSIAL WARGA NEGARA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Administrasi Publik Dosen Pengampu: Dr. Drs. Mochammad Rozikin, M.AP.
Disusun Oleh : ZAHRAH DIFA LATHIFA
NIM. 215030107111126
Kelas A
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2024
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Menurut Sarundajang (dalam Anangkota, 2017) sistem pemerintahan adalah sebutan populer dari bentuk pemerintahan. Hal didasari dari pemikiran bahwa bentuk negara adalah peninjauan secara sosiologis, sedangkan secara yuridis disebut bentuk pemerintahan, yaitu sistem yang berlaku yang menentukan bagaimana hubungan antara alat perlengkapan negara diatur oleh konstitusinya.
Karena itu bentuk pemerintahan sering dan lebih populer disebut sebagai sistem pemerintahan. Banyak ahli yang mengungkapkan bahwa ada tiga jenis sistem pemerintahan, yaitu parlementer, presidensial, dan campuran. Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem presidensial maupun bentuk variasi yang disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi), misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.
Berdasarkan materi UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada ideologi Pancasila. Hubungan antara prinsip-prinsip nasional dengan konstitusi suatu negara terlihat pada ide-ide dasar negara, dan tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan ciri-ciri khusus dari sistem presidensial di Indonesia. Sistem pemerintahan presidensial mengharuskan penunjukan seorang presiden sebagai kepala negara di suatu negara. Dalam kasus Indonesia, presiden dipilih secara demokratis oleh rakyat setiap lima tahun sekali. Biasanya, presiden mengemban tanggung jawab ganda, yaitu sebagai kepala eksekutif pemerintahan dan perwakilan simbolis bangsa. Namun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua negara yang menganut sistem presidensial memiliki presiden yang menjalankan peran ganda sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara (Rachmanto, 2018).
Prinsip-prinsip persatuan dan keragaman dicontohkan dalam Pancasila, dasar filosofis negara. Pancasila mencakup seperangkat nilai yang dapat mendorong keharmonisan dan keseimbangan di berbagai dimensi, termasuk materi, kebenaran, estetika, moralitas, dan agama. Sifat hirarkis dan sistematis dari
Pancasila terlihat jelas melalui serangkaian sila. Sila-sila yang tercakup dalam Pancasila telah dirumuskan melalui perenungan para perumus Pancasila, yang diambil dari pengalaman dan pengamatan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi para penegak hukum untuk menginternalisasi dan menerapkan sila-sila ini dalam pelaksanaan prosedur hukum di Indonesia. Pancasila mencakup serangkaian sila yang mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum positif. Sila- sila ini secara eksplisit diartikulasikan dalam pembukaan UUD 1945, yang berfungsi sebagai dokumen dasar negara.
Selain Indonesia, Korea Selatan adalah negara lain yang menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, presiden diberi kekuasaan untuk mengatur dan bertanggung jawab atas pengelolaan negara. Presiden menerima bantuan dari beberapa Menteri dalam menjalankan tugasnya. Peraturan pemerintahan di Republik Korea diatur dalam konstitusinya. Korea Selatan memiliki ciri khas sistem pemerintahan campuran, di mana negara ini dipimpin oleh seorang presiden dan perdana menteri.
Filipina, sama seperti Indonesia, menganut sistem pemerintahan presidensial di mana Presiden bertindak sebagai kepala negara. Filipina juga menjunjung tinggi prinsip trias politica, yang mencakup tiga kekuasaan yang berbeda: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif dilakukan oleh pemerintah, dengan presiden sebagai kepalanya. Kekuasaan legislatif di Filipina berbeda dengan di Indonesia, karena kekuasaan ini dipegang oleh Kongres, yang terdiri dari Senat dan DPR. Kekuasaan yudikatif di Indonesia berada di tangan Mahkamah Agung (MA), yang memegang kekuasaan kehakiman.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka penulis menganggap penting merumuskan masalah yaitu:
1. Bagaimana sistem pemerintahan di Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia?
2. Bagaimana perbandingan sistem pemerintahan di Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sistem pemerintahan di Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia?
2. Mengetahui perbandingan sistem pemerintahan di Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Sistem Pemerintahan
Menurut Sarundajang (dalam Anangkota, 2017) sistem pemerintahan adalah sebutan populer dari bentuk pemerintahan. Hal didasari dari pemikiran bahwa bentuk negara adalah peninjauan secara sosiologis, sedangkan secara yuridis disebut bentuk pemerintahan, yaitu sistem yang berlaku yang menentukan bagaimana hubungan antara alat perlengkapan negara diatur oleh konstitusinya.
Karena itu bentuk pemerintahan sering dan lebih populer disebut sebagai sistem pemerintahan.
Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara- negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem presidensial maupun bentuk variasi yang disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi), misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.
a. Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para menteri terhadap parlemen. Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen (Sukadi, 2021).
Suatu sistem pemerintahan disebut sistem pemerintahan parlementer apabila eksekutif (pemegang kekuasaan eksekutif) secara langsung bertanggung jawab kepada badan legislatif (pemegang kekuasaan legislatif). Atau dengan kata- kata Strong: is it immediately responsible to parlement, artinya kelangsungan kekuasaan eksekutif tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas suara di badan legislatif. Setiap saat eksekutif kehilangan dukungan mayoritas dari para anggota badan legislatif (misalnya, karena adanya mosi tidak percaya), eksekutif akan jatuh dengan cara mengembalikan mandat kepada kepala negara (raja/ratu/kaisar atau presiden). Dari sejarah ketatanegaraan, sistem parlemen ini
merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki Konstitusional, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Pada sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala negara.
b. Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem Pemerintahan Presidensial adalah sistem pemerintahan dimana eksekutif tidak bertanggung jawab pada badan legislatif. Pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh atau melalui badan legislatif meskipun kebijaksanaan yang dijalankan tidak disetujui oleh pemegang kekuasaan legislatif.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah
Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik dimana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait; Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan; dan tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Menurut Bagir Manan (dalam Noviati 2017), sistem pemerintahan presidensial dapat dikatakan sebagai dikatakan subsistem pemerintahan republik, karena memang hanya dapat dijalankan dalam negara yang berbentuk republik. Ada beberapa prinsip pokok dalam sistem pemerintahan presidensial, yaitu :
1. Terdapat pemisahan yang jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden merupakan eksekutif tunggal dan kekuasaan eksekutif tidak terbagi.
2. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara
3. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu/bawahan yang bertanggung jawab kepadanya
4. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan sebaliknya
5. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan 6. Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat.
Pada sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik.
Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran- pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Dalam sistem pemerintahan presidensial seorang Presiden bertanggung jawab kepada pemilihnya (kiss college). Sehingga seorang presiden diberhentikan atas tuduhan House of Representatives setelah diputuskan oleh senat. Misal sistem pemerintahan Presidensial di Amerika Serikat.
Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen.
Bahkan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
c. Sistem Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam sistem ini, parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri, demikian juga parlemen dapat menjatuhkan pemerintahan yaitu dengan mengeluarkan mosi tidak percaya.Dalam sistem parlementer, jabatan kepala pemerintahan dan kepala negara dipisahkan. Pada umumnya, jabatan kepala negara dipegang oleh presiden, raja, ratu atau sebutan lain dan jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Inggris, Belanda, Malaysia dan Thailand merupakan negara-negara yang menggunakan sistem parlementer dengan bentuk kerajaan. Sedangkan Jerman merupakan negara republik yang menggunakan sistem parlementer dengan sebutan kanselir. Bahkan, di Jerman, India dan Singapura perdana menteri justru lebih
penting dan lebih besar kekuasaannya daripada presiden. Presiden India, Jerman dan singapura hanya berfungsi sebagai simbol dalam urusan-urusan yang bersifat seremonial.
Ada beberapa karakteristik sistem pemerintahan parlementer diantaranya, pertama, peran kepala Negara hanya bersifat simbolis dan seremonial serat mempunyai pengaruh politik yang sangat terbatas, meskipun kepala negara tersebut mungkin saja seorang presiden, kedua, cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir yang dibantu oleh kabinet yang dapat dipilih dan diberhentikan oleh parlemen, ketiga, parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, dimana ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir
Melihat karakteristik tersebut, maka dalam sistem pemerintahan parlementer, posisi eksekutif dalam hal ini kabinet adalah lebih rendah dari parlemen. Oleh karena posisinya yang lemah tersebut, maka untuk mengimbangi kekuasaan, kabinet dapat meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen dengan alasan parlemen dinilai tidak representatif. Jika itu yang terjadi, maka dalam waktu yang relatif singkat kabinet harus menyelenggarakan pemilu untuk membentuk parlemen baru
Menurut Miriam Budiardjo (dalam Noviati 2017) dalam bukunya Dasar- dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa dalam sistem parlementer terdapat beberapa pola. Dalam sistem parlementer dengan parliamentary executive, badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif merupakan pencerminan. Kekuatan-kekuatan politik di badan legislatif yang mendukungnya. kabinet ini dinamakan kabinet parlementer.
Pada umumnya, ada keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Keseimbangan ini lebih mudah tercapai jika terdapat satu partai mayoritas maka dibentuk kabinet atas kekuatannya sendiri. Kalau tidak terdapat partai mayoritas, maka dibentuk kabinet koalisi yang berdasarkan kerja sama antara beberapa partai yang bersama-sama mencapai mayoritas di badan legislatif. Beberapa negara, seperti Belanda dan negara-negara Skandinavia pada umumnya berhasil mencapai
suatu keseimbangan sekalipun tidak dapat dipungkiri adanya dualisme antara pemerintah dan badan-badan legislatif.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sistem Pemerintahan Presidensial yang terkenal di Korea Selatan
Republik Korea, umumnya dikenal sebagai Korea Selatan, dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih secara demokratis melalui pemungutan suara langsung. Pemilihan presiden dilakukan secara berkala setiap lima tahun sekali, dengan ketentuan yang membatasi setiap presiden untuk satu masa jabatan. Jika terjadi seri dalam pemilihan presiden, kandidat ditentukan melalui proses di mana Majelis Nasional memberikan suara mereka dan kandidat dengan suara terbanyak dipilih. Ketentuan yang disebutkan di atas melarang mantan Presiden untuk mendaftarkan diri sebagai calon presiden pada pemilihan berikutnya.
Presiden Korea Selatan menerima bantuan dari Perdana Menteri dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Pemilihan Perdana Menteri dilakukan melalui proses pemilihan langsung, di mana Presiden memilih Perdana Menteri berdasarkan rekomendasi Majelis Nasional. Perdana Menteri memikul tanggung jawab untuk bertanggung jawab kepada Presiden dan parlemen. Sistem pemerintahan Korea Selatan dapat diklasifikasikan sebagai presidensial parlementer, seperti yang dijelaskan oleh Shugart dan Carey dalam analisis mereka tentang sistem politik.
Peran Perdana Menteri mencakup pengawasan terhadap para menteri, serta organisasi dan koordinasi kebijakan pemerintah di bawah bimbingan Presiden.
Untuk sementara, para anggota dewan ditugaskan untuk membantu Presiden dan Perdana Menteri dalam melaksanakan kewajiban masing-masing. Para anggota dewan memiliki wewenang untuk mengambil peran kepemimpinan dan memberikan pengawasan kepada para menteri, menangani urusan-urusan domestik yang penting, dan menjadi wakil pemerintah di Majelis Nasional. Para anggota dewan memikul tanggung jawab untuk bertanggung jawab kepada Presiden (Rachmanto, 2018).
Korea Selatan menggunakan sistem presidensial campuran dalam sistem pemerintahannya, karena menggabungkan elemen-elemen tertentu dari sistem parlementer. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang bersamaan dengan kekuasaan Perdana Menteri. Dalam konteks pemerintahan, alokasi kekuasaan
legislatif diberikan kepada badan parlemen yang dikenal sebagai Majelis Nasional.
Kurangnya akuntabilitas parlemen terlihat pada Presiden dan Perdana Menteri.
Pemilihan Presiden dilakukan secara berkala setiap lima tahun untuk memfasilitasi proses demokrasi dalam memilih Presiden melalui pemilihan umum, sehingga memungkinkan partisipasi langsung rakyat dalam memilih kepala negara. Presiden mengemban peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, selain sebagai Panglima Tertinggi militer. Pemerintah Korea Selatan beroperasi sesuai dengan Konstitusi Korea Selatan, yang mengalami amandemen pada tahun 1987.
Konstitusi ini terdiri dari total 130 pasal dan 6 peraturan tambahan, yang diatur dalam 10 bab.
3.2 Sistem Presidensial yang diterapkan di Filipina
Menurut Rachmanto (2018) dalam konteks Filipina, masa jabatan Presiden berlangsung selama 6 tahun, dibatasi satu kali masa jabatan. Akibatnya, Presiden yang sedang menjabat secara konstitusional dilarang untuk mencalonkan diri kembali sebagai calon presiden pada pemilu berikutnya. Proses pemilu memerlukan partisipasi langsung individu melalui pemungutan suara. Presiden bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengelola semua lembaga eksekutif, biro, dan kantor.
Selain perannya sebagai kepala negara, Presiden Filipina juga menjabat sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata negara tersebut. Individu yang memiliki hak untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan presiden terbatas pada warga negara Filipina yang adalah pemilih terdaftar dan telah tinggal di Filipina selama minimal 10 tahun sebelum pemilu. Selain itu, pemilih juga perlu memiliki kemampuan memahami teks tertulis dan melakukan komunikasi tertulis. Dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara terpisah, pemilih mempunyai hak untuk menggunakan hak suara secara terpisah.
Calon yang terpilih menjadi presiden ditentukan oleh calon yang memperoleh suara terbanyak dari daerah pemilihan. Berbeda dengan Presiden, Wakil Presiden tetap mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada pemilu berikutnya, meskipun dengan kesempatan tunggal. Masa jabatan wakil presiden sama dengan masa jabatan presiden, yaitu enam tahun.
Wakil presiden mempunyai wewenang untuk mengambil peran presiden jika terjadi
keadaan penting, seperti presiden tidak mampu, meninggal dunia, atau mengundurkan diri dari jabatannya secara sukarela .
Pada Pasal XI yang berjudul “Akuntabilitas Pejabat Publik” dibahas konsep akuntabilitas eksekutif dengan menekankan bahwa jabatan publik diselenggarakan sebagai kepercayaan publik. Oleh karena itu, pejabat publik harus menunjukkan akuntabilitas kepada masyarakat, memenuhi kewajibannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan menunjukkan integritas, loyalitas, dan keadilan dalam pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai wakil negara. Filipina dalam menerapkan sistem presidensial juga menganut asas trias politica, yaitu pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam konteks Filipina, proses pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden diawali dengan dakwaan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal XI Ayat 3 ayat (1) Konstitusi Filipina. Ketentuan konstitusional ini memberikan Dewan Perwakilan Rakyat wewenang tunggal untuk memulai seluruh proses pemakzulan. Menurut Pasal XI Ayat 2 Konstitusi Filipina, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan untuk memulai proses pemakzulan terhadap Presiden atau Wakil Presiden atas berbagai pelanggaran, termasuk namun tidak terbatas pada pelanggaran terhadap Konstitusi, pengkhianatan, penyuapan, korupsi, suap, dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
3.3 Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia
Indonesia juga menerapkan kerangka pemisahan kekuasaan, yang menjadi ciri pembeda utama dari sistem pemerintahan presidensial. Menurut penjelasan Montesquieu tentang konsep Trias Politica, pemerintahan suatu negara memerlukan pembagian kekuasaan menjadi tiga cabang yang berbeda yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Pembagian ini sangat penting karena mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu kesatuan, yang akan mengakibatkan terjadinya pemerintahan yang berubah-ubah. badan pengatur dan pengutamaan kepentingan segelintir orang di atas kesejahteraan seluruh masyarakat. Kekuasaan eksekutif mengacu pada kewenangan hukum yang diberikan kepada cabang eksekutif pemerintahan, yang bertanggung jawab atas penerapan dan penegakan hukum.
Cabang ini, dipimpin oleh presiden, mengemban tugas mengatur urusan negara dan
menjalankan berbagai fungsi pemerintahan. Pemilihan presiden dan wakil presiden serentak merupakan hasil seleksi bersama oleh para pemilih melalui pemilihan umum. Presiden menerima bantuan dalam melaksanakan tanggung jawab sehari- hari dari menteri yang diangkat dan diberhentikan atas kebijaksanaan presiden.
Setiap menteri memikul tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya kepada presiden (Rachmanto, 2018).
Akuntabilitas dan pengawasan memainkan peran penting dalam proses tata kelola. Alasan perlunya akuntabilitas dan pengawasan dalam jabatan Presiden bermula dari landasan ideologi kerakyatan yang menekankan pentingnya keterlibatan dan pengawasan masyarakat. Mengingat amandemen UUD 1945, sangatlah penting untuk membangun sistem akuntabilitas dimana Presiden bertanggung jawab kepada rakyat. Konsep akuntabilitas secara implisit diacu dalam ketentuan UUD 1945. Oleh karena itu, Presiden wajib memikul tanggung jawab atas peran dan kewajibannya kepada masyarakat sebagai pemberi kewenangan.
Menurut Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui pemungutan suara langsung secara berpasangan.
Kekuasaan legislatif mengacu pada yurisdiksi yang berada di tangan MPR, yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), untuk membuat undang-undang. MPR, atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, mempunyai kewenangan untuk mengubah dan mengesahkan UUD, melaksanakan pelantikan resmi presiden dan wakil presiden, dan memberhentikan mereka dari jabatannya sesuai dengan ketentuan konstitusi jika mereka terbukti melakukan pelanggaran berat.
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman berada di tangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Lembaga-lembaga ini diberi tanggung jawab mengawasi dan melaksanakan undang-undang dan Konstitusi. Secara khusus, Mahkamah Agung bertanggung jawab untuk menegakkan undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk menegakkan Konstitusi.
Pembagian tugas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda. UUD 1945 pasca Amandemen mencakup total tujuh lembaga negara terkemuka, yaitu Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Sistem pemerintahan adalah sebutan populer dari bentuk pemerintahan. Hal didasari dari pemikiran bahwa bentuk negara adalah peninjauan secara sosiologis, sedangkan secara yuridis disebut bentuk pemerintahan, yaitu sistem yang berlaku yang menentukan bagaimana hubungan antara alat perlengkapan negara diatur oleh konstitusinya. Sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem presidensial maupun bentuk variasi yang disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi).
Sistem pemerintahan Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Di Korea Selatan, presiden dipilih untuk masa jabatan lima tahun, dan setelah itu tidak dapat dipilih kembali. Dalam konteks Filipina, perlu dicatat bahwa presiden dipilih untuk masa jabatan enam tahun, di mana mereka memegang otoritas eksekutif. Setelah masa jabatan ini, presiden secara konstitusional dilarang untuk mencalonkan diri kembali sebagai kandidat presiden pada siklus pemilihan berikutnya. Dalam konteks Indonesia, presiden dipilih secara demokratis untuk masa jabatan lima tahun, di mana mereka memiliki opsi untuk mencalonkan diri kembali.
Selain itu, kaitannya dengan akuntabilitas pemerintah, presiden Filipina dan Indonesia menunjukkan karakteristik yang serupa, karena keduanya menganut sistem di mana mereka bertanggung jawab kepada rakyat. Di Korea Selatan, presiden bertanggung jawab kepada rakyat dan badan legislatif, yang dikenal sebagai parlemen. Proses pemberhentian presiden melalui pemakzulan di Korea Selatan memiliki kemiripan dengan Filipina, karena proses ini terutama melibatkan lembaga legislatif. Dalam konteks Indonesia, pemberhentian presiden memerlukan proses berurutan yang melibatkan legislatif, yudikatif, dan sidang tertinggi
DAFTAR PUSTAKA
Anangkota, M. (2017). KLASIFIKASI SISTEM PEMERINTAHAN (Perspektif Pemerintahan Modern Kekinian). CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(2), 148-152.
Jamil, A. (2020). Sistem Pemerintahan Presidensial Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Transformasi Administrasi, 10(02), 189-202.
Noviati, C. E. (2017). Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, 10(2), 333-354.
Rachmanto, A. (2023). Comparing Presidential System Implementation in South Korea, Philippines, and Indonesia. Wacana Hukum, 29, 37-48.
Sukadi, I. (2021). Sistem pemerintahan Indonesia dan implikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, 4(1), 119-128.