,
CATATANHUKUM
PERDATA VSPIDANA NO CRIME VS CRIME
PERFECT CRIME
---~.
DR. WILA CR. SUPRIADI, SH
t/,IDI'::L . 9J /?i-l 9.(1. t . ?-Do2
FAKULTAS HOKUM
UNIVERSITAS KATOLIKPARAHYANGAN
JL.
CIUMBULEurT 94·BANDUNG NOVEMBER 1999
i
J ,
if l i i
I
~;
,
i,
DPAGE 010
CATATANHUKUM
PERDATA VS PIDANA DAN NO CRIME VS CRIME ATAU PERFECT CRIME
Oleh: Dr. Wila Ch. Supriadi, SH
Sejak Suharto dengan "suka dan rela" pada tanggal 21 Mei 1998, setelah peristiwa kelabu 13-14 Mei 1998, menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden yang dijabat oleh B.J. Habibie, untuk menggantikanya menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga, maka Pemerintahan Suharto selama 32 tahun, yang penuh dengan kontroversi dan sangat bemuansa KKN, merrjadi sejarah.
Setelah jatuhnya Suharto, maka dimulailah dilakukan penyidikan-penyidikan yang berupaya agar hukum ditegakkan, dalam arti Negara akan dikembalikan menjadi negera Hukum dengan Supremasi Hukumnya, dan upaya pemberantasan terhadap KKN pun dimulai. Dimulai dengan melakukan penyidikan terhadap tiga buah Yayasan yang dikenal sebagai "milik" Suharto. Sayang upaya yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung mengalami hambatan dan bahkan kandas di tengah jalan.
Penyidikan terhadap tiga Yayasan "milik" mantan Presiden Suharto (Yayasan) dihentikan, demikian pemyataan resml dari lembaga Kejaksaan Agung RI dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
DPAGE D2D
Muncul bermacam-macam pendapat dan reaksi atas keluarnya SP3 itu, dari mulai yang setuju sampai dengan yang berisi hujatan kepada Pemerintah BJ Habibie cq Kejaksaan Agung.
***
Mantan Jaksa Agung Soedjono Ch Atmonegoro memberikan pendapat yang ditulis di Harian Kompas (Okbober 14/99): SP3 tidak memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat karena telah keluar dari ketentuan hukum .. dst Ditambahkan pula, "Kalau saya sudah melihat bahwa di Yayasan yang diketuai Suharto sudah terjadi pengalahgunaan kekuasaan dan itu sudah cukup untuk menjadikan Suharto tersangka, entah kalau penilaian pengganti saya."
Secara hukum, penghentian penyidikan kasus pidana mempunyai bermacam-macam arti, antara lain mulai dari tidak ada tindak pelanggaran/kejahatan (no crime), kekurangan bukti (lack of evidence) sampai dengan pelanggaran/kejahatan yang sempurna (perfect crime).
Penjelasan dari Kejaksaan Agung yang relatip singkat, dapat ditarik kesimpulan tidak ada unsur perbuatan melanggar hukum dalam bidang Hukum Pidana (no crime), yang ada adalah perbuatan-perbuatan hukum, pengalihan harta kekayaan Yayasan sebesar kurang lebih 1,3 triliun rupiah ke pihak-pihak tertentu, berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata (Civil Rechtelijk).
Konstruksi hukumyang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut: antara Yayasan (pihak Kesatu) dengan kroni-kroni
--,----~---- - - , - , . , - - - - - - - - - - - -
,
DPAGE D3D
Suharto (pihak Kedua), telah membentuk perikatan (verbintenis) dengan dasar pe,rjanjian (overeenkomst) pinjam meminjam uang dan uang yang dipinjamkan itu setiap saat dapat ditarik kembali (benarkah?). Dengan perkataan lain, Negara tidak dirugikan! Konstruksi hukum yang absurd, uangnya kan dari BUMN yang milik negara, apakah karena pada waktu itu Suharto menjabat sebagai presiden, maka berhak mengambil uang negara?
***
Sebagian menolak penjelasan dari Kejaksaan Agung dan berpendapat, bahwa negara dirugikan, karena uang yang didapat oleh Yayasan berasal dari negara (BDMN) dan Yayasan tidak berhak "mengalihkan" harta kekayaan Yayasan ke pihak-pihak tertentu (kroni-kroni), meski pun "hanya"
dipinjamkan dan Yayasan mendapat keuntungan dari pinjaman itu.
Menjerat Suharto dengan tindak pidana korupsi, bisa saja, tergantung political will dari pemerintah yang baru, tetapi apakah ada gunanya menjerat mantan Presiden yang sedang menderita "sakit", dengan tindak pidana korupsi?
Suharto adalah manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, secara moral rasanya sangat tidak baik memberikan penderitaan, kepada orang yang sedang " sakit" . Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat merna' afkan kesalahan pemimpinnyaj mantan pemimpin.
Tetapi ini masalah hukum, hukum harus ditegakkan.
Anggaplah benar Suharto telah berbuat salah (tanpa
,
DPAGE D5D
Undang-undang Hukum Perdata (KUHP), seseorang dapat menggugat ganti rugi dan ~etentuan itu mensyaratkan adanya: perbuatan melawan hukum, terjadi kesalahan dan kesalahan itu mem.'lbulkan kerugian.
Kasus Yayasan: harus dibuktikan telah terjadi perbuatan melawan hukum, Suharto telah berbuat kesalahan dan kesalahan itu menimbulkan kerugian pada negara dan negara selain diberikan hak untuk menagih uang yang telah dialihkan kepada kroni-kroni Suharto, juga dapat menggugat ganti rugi dari Suharto.
Jelas yang menjadi Penggugat adalah Pemerintah dan yang menjadi Kuasa Hukumnya adalah Kejaksaan (yang mewakili Pemerintah dalam bidang Hukum Perdata) untuk menagih uang yang "terlanjur" dipinjamkan oleh Yayasan kepada kroni-kroninya dan sekalian mengambil gantirugi, kalau dikabulkan oleh Pengadilan. Kaidah Hukum yang mana dijadikan sebagai dasar hukum Gugatan? Hukum Dasar yaitu DUD 1945 (alenia keempat Pembukaan DUD 1945), yaitu dasar Kesejahteraan Sosial. Siapa yang jadi Tergugat? Suharto beserta kroni-kroninya.
***
Yang jadi masalah dengan diajukannya Gugatan Perdata adalah prosesnya 1ama, tetapi dengan ditegakkannya supremasi hukum, bisa dipercepat. Masalah lain, biasanya Gugatan Perdata diajukan dengan asumsi harus telah ,dinyatakan melakukan tIDdak pi dana, dan hampir semua orang selalu menginginkan orang yang melanggar hukum,
,
OPAGE 040
mengurangi rasa hormat pada asas praduga tidak bersalah) dan harus bertanggungjawab. Apakah pertanggungjawaban Suharto harus selalu dalam ruang lingkup Hukum Pidana?
Apakah tidak lebih baik, kalau uang yang "diambil" oleh Suharto dari BUMN, diupayakan kembali dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat?
Menurut saya, di luar dari konteks perdata vs pidana dan no crime vs crime, Suharto telah melakukan pelanggaran terhadap asas "Kesejahteraan Rakyat" (Sila Kelima Pancasila) yang tercantum di dalam Hukum Dasar DUD 1945 (Alinea keempat Pembukaan), dengan perkataan lain telah terjadi pelanggaran terhadap kaidah hukum yang ada di dalam Hukum Dasar (konstitusi).
***
Menjadi persoalan adalah di dalam ruang lingkup hukum yang mana pelanggaran itu dapat dikategorikan?
Indonesia tidak mengenal bentuk peradilan terhadap pelanggaran Hukum Dasar, yang sebenarnya sangat mungkin terjadi yang dilakukan oleh seseorang apakah itu pejabat atau bukan pejabat. Menyelesaikan masalah pelanggaran terhadap Hukum Dasar seperti dapat diselesaikan di beberapa negara maju dengan peradilan konstitusi, memerlukan uraian yang sangat panjang. Terdapat altematip penyelesaian kasus Yayasan, kalau melalui jerat pidana korupsi tidak maul akan dilaksanakan, yang akan diuraikan di bawah ini.
Menurut Kejaksaari Agung kasus Yayasan ada di dalam ruang lingkup Hukuni Perdata, menurut Pasal 1365 Kitab
--,-~----.---. _.-.. ---
DPAGE 060
dipidana dulu, selalu ada keinginan untuk mengganjar orang yang melanggar hukum dengan penderitaan fisiko
Mengapa tidak dibudayakan untuk mencan penyelesaian dengan upaya hukum dalam ruang lingkup Hukum Perdata? Semakin lama diajukan penyelesaiannya ke pengadilan,
makin
susah mendapatkan kembali uang yang 'dipinjamkan", sebab sudah raib entah kemana. Bukankah penyelesaian Yayasan secaraperdata ini lebih memenuhi rasa keadilan?Bandung, November 1999
Dr. Wila Candrawila Supriadi, SH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Setrasari Kulon No.6, Bandung 40152
Email: [email protected]