• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan yang Dilakukan Dengan Basis Rasisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan yang Dilakukan Dengan Basis Rasisme"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan berbeda-beda oleh Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan

ini dapat dilihat dari fakta bahwa di dunia ini saja terdiri dari 187 (seratus delapan

puluh tujuh) negara.1

Perbedaan yang berupa perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan

yang lebih dikenal dengan istilah SARA. Sebagian masyarakat dapat menerima

perbedaan tersebut dan menyadari bahwa perbedaan ini merupakan hal yang lazim

dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi sebagian masyarakat ada juga yang

memandang suatu perbedaan merupakan penghambat dalam menjalani kehidupan

bermasyarakat. Diantaranya, ada masyarakat yang menganggap bahwa rasnya

lebih unggul di-bandingkan dengan ras lainnya. Pemikiran ini memunculkan suatu

paham yang berkembang dalam masyarakat, yakni paham rasisme.

Negara-negara di dunia ini memiliki perbedaan baik bentuk,

pemerintahan, sistem hukum, kebiasaan, kebudayaan, dan lain-lain.

Perbedaan-perbedaan ini yang dapat menunjukan karakter suatu bangsa. Hal ini sebenarnya

dipengaruhi oleh keanekaragaman penduduk di tiap-tiap negara. Menjadi hal yang

wajar bila di suatu Negara dijumpai berbagai perbedaan pada penduduknya.

2

Pemahaman mengenai perbedaan ras ini mengantarkan pemikiran manusia

bahwa rasnya lah yang lebih unggul dibandingkan ras lain atau sebaliknya.

Sehingga tidak jarang dijumpai adanya diskriminasi ras di antara masyarakat.

(2)

Bentuk nyata dari diskriminasi ras ini juga memiliki tingkatan dalam masyarakat,

dari hanya sekedar pengucilan ras minoritas atau inferior, sampai penghinaan dan

juga tindak kejahatan yang dilakukan terhadap ras tertentu bahkan sampai usaha

untuk memusnahkan suatu ras tertentu atau lebih popular dengan istilah

genosida.3

Beberapa dari artikel tentang kejahatan dan hukum pidana di berbagai

media massa, baik dari media cetak, elektronik maupun online, dapat ditemukan

beberapa artikel dengan ras dan rasisme sebagai referensinya. Berdasarkan

pengamatan yang dapat dilihat pada artikel-artikel yang terdapat dalam

media-media itu, masyarakat sepertinya cenderung memiliki perbedaan pemahaman

terhadap kejahatan dan keadilan yang mana hal ini dipengaruhi oleh apakah

mereka orang berkulit putih atau ras Kauskasia (orang di benua Eropa dan

Amerika), dan orang dengan kulit berwarna seperti ras Mongoloid (orang di Asia

Timur dan Asia Ternggara) ras Negroid (orang di benua Afrika) dan berbagai ras

lainnya. Terdapat data yang kompeten (dari bukti empiris, teoritis posisi,

pengalaman pribadi dan sudut pandang politik) menyatakan bahwa bagaimana

sangkut paut dan dampak ras dan rasisme terhadap kejahatan dan keadilan.

Terdapat tiga contoh yang dapat mengilustrasikan hal tersebut:4

1. ‘Etnis minoritas’, seperti Afrika, Karibia, dan Asia memiliki resiko lebih

besar untuk menjadi korban kejahatan dibandingkan orang berkulit putih

dan menjadi sasaran kekerasan berbasis rasial. Pola dari viktimisasi ini

3ibid. 4

(3)

disetujui oleh kebanyakan orang, tetapi bagaimana hal ini dapat

dijelaskan? Beberapa orang berkata ini adalah dampak dari kondisi sosial

ekonomi, beberapa menitik beratkan pada rasisme “kulit putih”, yang

lainnya lebih menyalahkan korban itu sendiri.

2. Beberapa kelompok etnis terutama ras dari Afrika dan Karibia lebih

memiliki kemungkinan besar dibanding ras kulit putih untuk ditangkap

oleh polisi dan dipenjarakan oleh pengadilan. Sedikit yang tidak setuju

dengan data statistik ini, tapi bagaimana hal ini dapat dijelaskan?

Mungkin orang berkulit hitam lebih cenderung mudah untuk melakukan

kejahatan dibandingkan orang berkulit putih. Dengan asumsi bahwa ini

benar, para krimonolog telah berdebat tentang keterhubungan ciri biologis,

psikologis, budaya dan struktural teori. Sisanya, tidak menganggap etnis

memiliki keterkaitan. Pada dasarnya, kritikus berpendapat bahwa ada

diskriminasi dalam proses peradilan pidana terhadap pelanggar berkulit

hitam lebih sering ditangkap dan dipenjara dibandingkan orang berkulit

putihyang melakukan pelanggaran yang sama.

3. Orang Afrika, Karibia, dan Asia secara mencolok kurang terwakili

(dibandingkan jumlah tenaga kerja mereka) sebagai pegawai kepolisian

dan pegawai penjara dan kurang lebih tidak memiliki eksistensi di dalam

profesi hukum pidana. Tetapi, ada lagi penjelasan yang bertentangan.

Beberapa berpendapat bahwa etnis minoritas enggan untuk menjadi

pegawai dari “sistem” , atau terdapat batasan sosial ekonomi atau batasan

(4)

diskriminasi rasial dalam prosedur pengrekrutan, pemilihan dan promosi,

dan adanya keberadaan budaya rasis di kelembagaan pekerjaan dalam

bidang hukum pidana.

Dari contoh diatas, ras dan rasisme sering menjadi fokus diskusi pada pola

pelanggaran, viktimisasi, dan peradilan pidana. Studi penelitian yang

meng-gambarkan hubungan antara ras dan rasisme terhadap pola dari kejahatan dan

proses peradilan pidana pun tumbuh secara nyata.

Di Indonesia tidak terkecuali, masalah diskriminasi ras baik secara

terang-terangan atau secara tersirat ada dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh. Tiap Individu sebagai warga negara

Indonesia terkadang dalam pemikiran terliar menganggap bahwa kelompok ras

atau etnisnya memiliki keunggulan dibandingkan kelompok ras atau etnis lainnya.

Orang Jawa dalam pandangan sehari-hari dianggap lebih memiliki keunggulan

berupa sifat yang sopan dan santun dibandingkan orang dari kelompok ras atau

etnis lain, begitu juga dengan orang Batak yang dalam pandangan sehari-hari

dianggap memiliki keunggulan berupa kegigihan dan determinasi dibandingkan

dengan orang dari kelompok ras atau etnis lain. Begitu juga orang dari ras atau

etnis lainnya, yang memiliki keunggulan masing masing. Hal ini pada awalnya

adalah hal yang wajar jika pemikiran ini digunakan untuk menambah semangat

untuk lebih kreatif dan produktif dalam persaingan sehat di masyarakat. Tetapi

sebaliknya, jika pemikiran ini digunakan dengan cara lebih ekstim, yaitu dengan

(5)

menganggap ras lain tidak memiliki daya unggul sama sekali, maka hal ini dapat

menjadi cikal bakal sebuah diskriminasi ras atau etnis.5

Indonesia perlu suatu peraturan hukum mengenai penghapusan

dis-kriminasi ras yang lebih dapat diterima dan tidak bertentangan dengan

karak-teristik masyarakat di Indonesia. Dalam pembuatan peraturan hukum tersebut,

diperlukan suatu politik hukum untuk menciptakan peraturan hukum yang dalam

penerapannya dapat tercapai tujuan darimana hukum itu berasal. Jika hukum di

Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan

tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai,

dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk

manifestasinya harus bernafaskan Pancasila.

Diskriminasi ras ini dianggap sebagai gejala sosial yang negatif, sehingga

diperlukan suatu upaya untuk menghapuskan diskriminasi ras dalam masyarakat.

Dunia internasional telah membuat suatu upaya untuk menghapuskan diskriminasi

rasial ini dengan mengeluarkan International Convention on the Elimination of

All Forms of Racial Discrimination 1965(Konvensi Internasional Tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). Di Indonesia sendiri telah

meratifikasi konvensi internasional ini dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on

the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965.

6

Peraturan hukum mengenai

diskriminasi ras diperlukan karena diskriminasi ras ini bertentangan dengan

diakses pada tanggal 7 April 2013

(6)

Pancasila, Pancasila Sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan Sila ke-5 “Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Untungnya sekarang telah diciptakan

suatu produk hukum berdasarkan politik hukum di Indonesia yang sejalan dengan

Pancasila dan karakter bangsa Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2008 Tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis dan mengenai

diskriminasi ras dan etnis ini juga telah dibahas dalam Rancangan Undang-undang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Baru (RUUKUHP baru). Hal inilah yang

ingin dikaji dan dibahas lebih lanjut oleh penulis mengenai politik hukum pidana

dan sistem pemidanaannya, dan karena hal tersebutlah maka penulis mengangkat

judul skripsi mengenai“POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP

KEJAHATAN YANG DILAKUKAN DENGAN BASIS RASISME”

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana peranan politik hukum pidana terhadap hukum pidana di

Indonesia?

2. Bagaimana perkembangan diskriminasi ras dan etnis serta peranan politik

hukum pidana terhadap suatu instrumen hukum untuk menanggulangi

kejahatan rasial?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Suatu penulisan skripsi perlu memiliki suatu tujuan di dalam penulisan

skripsi tersebut, sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan

(7)

1. Untuk mengetahui peranan dari politik hukum pidana atau kebijakan

hukum pidana dalam hukum pidana di Indonesia baik dalam menentukan

suatu pemidanaan dan untuk menanggulangi kejahatan.

2. Untuk memberikan informasi mengenai diskriminasi ras sebagai kejahatan

dan bagaimana politik hukum pidana mempengaruhi suatu instrumen

hukum untuk menanggulangi kejahatan rasial.

Selain itu bobotdari suatu penulisan ditentukan dari manfaaatnya. Dalam

penulisan skripsi ini penulis mengharapkan agar terwujud manfaat dan kegunaan

yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang Politik hukum pidana dalam

memepengaruhi suatu instrumen hukum pidana.

b. Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan politik hukum

pidana

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait dalam

menangani masalah diskriminasi rasial.

b. Memberikan Informasi agar dapat dilakukan penanganan apabila muncul

(8)

D. Keaslian Penulisan

Bahwa skripsi dengan judul “POLITIK HUKUM PIDANA

TERHADAP KEJAHATAN YANG DILAKUKAN DENGAN BASIS

RASISME” telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dan sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh

siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan

guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh

dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi

melalui internet. Maka apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek

pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk

mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.

E. Tinjauan kepustakaan

1. Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana

Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik

hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto,7

a. Perkataan politiek dalam bahasa belanda berarti sesuatu yang berhubungan

dengan negara;

istilah

politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:

b. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan

negara.

Menurut Ramlan Surbakti8

7

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru,Bandung, 1983, hal. 16.

bahwa definisi politik adalah interaksi antara

(9)

keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal

dalam wilayah tertentu.

Sedangkan, hukum memiliki berbagai pengertian dan defenisi. Para ahli

telah memberikan defenisi terhadap hukum antara lain:9

a. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem

peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat

masyarakat.

b. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya

mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu

yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah

undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam

menghukum orang-orang yang bersalah.

c. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini

kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak

bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.

d. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang

tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan

yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.

e. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –

perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat,

dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang

8

Surbakti Ramlan, Memahami ilmu politik, Gramedia Widia sarana Indonesia, Jakarta,1999, hal 1

diakses

(10)

bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat

menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.

f. Soejono Dirdjosisworo, menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1)

hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim

dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak

hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem

kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum

dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum

dalam arti disiplin hukum.

g. Amir menyebutkan hukum adalah peraturan, kumpulan

peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.

h. J.T.C. Sumorangkir dan Woerjo Sastropranoto bahwa hukum itu ialah

peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah

laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan

resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi

berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.

Berdasarkan definisi-definisi terhadap politik dan hukum oleh para ahli

diatas, maka para ahli membuat suatu definisi mengenai politik hukum, Satjipto

Rahardjo mendefenisikan politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu

pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai

tujuan hukum dalam masyarakat.10

(11)

Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus menyatakan politik

hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan

kriteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum).

Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan

penerapannya.11

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud menjelaskan bahwa hukum

merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependant variable

(variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel

berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik

hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara

nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik

mem-pengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di

belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya

dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan,

melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak

mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan

pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.12

Beberapa ahli memberikan defenisi tentang pengertian politik hukum

pidana antara lain:

Istilah politik hukum pidana dapat juga berarti “kebijakan hukum pidana”.

Dalam istilah asing, politik hukum pidana juga dikenal dengan berbagai istilah

antara lain penal politik, criminal policy, atau strafrechtspolitiek.

11ibid.

12

(12)

a. Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang

pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada

pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.13

b. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek adalah garis kebijakan untuk

menentukan:

1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu

dirubah atau diperbaharui

2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

pidana.

3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan

pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

c. Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya

mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut

dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan

kejahatan : dengan lain perkataan, maka politik hukum pidana merupakan

upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksi- reaksi sosial

rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan

kejahatan.14

13

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Undip Semarang, hal. 1.

14

(13)

2. Pengertian Tindak Pidana dan Kejahatan

Pidana Berasal dari kata straf (Belanda) yang pada dasarnya dapat

dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan

kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.15

Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah

hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional,

Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional yaitu pidana.16

Menurut Satochid Kartanegara17

1. Jiwa manusia (leven);

,bahwa hukuman (pidana) itu bersifat

siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan

kepada seseorang yang melanggar sesuatu normayang ditentukan oleh

undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau pende-ritaan itu dengan keputusan hakim

dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan

atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena

pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh

undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan

kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum

pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:

2. Keutuhan tubuh manusia (lyf);

3. Kehormatan seseorang (eer);

diakses pada tanggal 19 Maret 2013

16Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan kebijakan pidana, P.T Alumni, Semarang, 1984 hal. 1

(14)

4. Kesusilaan (zede);

5. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);

6. Harta benda/kekayaan (vermogen).

Berikut di bawah ini pengertian pidana yang dikemukakan menurut para

ahli, antara lain:18

1. Menurut Van Hammel pidana adalahsuatu penderitaan yang bersifat khusus,

yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan

pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum

umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut

telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh

negara.)

2. Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu

3. Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu

nestapa yang dengan sengaja ditimpalkan negara pada pembuat delik itu.

4. Menurut Ted Honderich,Punishment is an authority’s inflication of penalty

(something involving deprivation or distress) in at offender for an offence.

(artinya: pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwe-nang

sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan]

yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuahpelanggaran)

diakses

(15)

Dari defenisi diatas ini Muladi dan Barda Nawawi Arief, menyimpulkan

bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:19

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang.

Menurut P.A.F. Lamintang,20

19Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit, hal. 4

20P.A.F. Lamintang, P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 36

bahwa pidana itu sebenarnya hanya

meru-pakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan

merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya

hal tersebut perlu dijelaskan, agar Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus

kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka

seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari

pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya

cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan

perkataan“”dengan perkataantujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan

perkataan “doel der straf”itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.

Ternyata tidak semua sarjana menyatakan pidana adalah penderitaan

(16)

1. Menurut Hulsman,21

2. Menurut Hoefnagels,

hakikat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot

de orde reopen);pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama

yakni: untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding)dan

penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik Ini dapat

terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan

baikyang dirusak atau pengembaliankepercayaan antar sesama manusia.

22

Sebuah pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan suatu

perbuatan pidana, tindakan pidana atau delik pidana. Seperti yang diungkapkan

oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno

Ia tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana me-

rupakan suatu pencelaan (censure)atau suatu penjeraan (discouragement)

atau merupakan suatu penderitaan (suffering).Pendapatnya ini bertolak

dari pidana, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi

terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang,

sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisisampai vonis

dijatuhkan. Jadi Hoefnagels melihatnya secara empiris bahwa pidana

merupakan suatu proses waktu. Keseluruhan proses pidana itu sendiri

(sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu

pidana.

23

21Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, 2005, hal. 9

22ibid. hal. 9-10 23

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta,1987, hal. 54

, yang berpendapat bahwa

(17)

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.

Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo,

berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap

apabila tersusun sebagai berikut:

Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”

Suatu tindak pidana baru dapat disebut suatu perbuatan pidana jika telah

memenuhi beberapa unsur, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Unsur

subjektif adalahunsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

ber-hubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu

yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan

mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.24

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang

dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

(18)

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan

dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri

di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai

pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan

menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak

pidanasebagai berikut: 25

1. Diancam dengan pidana oleh hukum

2. Bertentangan dengan hukum

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah

(19)

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Kejahatan adalah salah satu bagian dari tindak pidana. Tidak ada

pe-ngertian secara jelas tentang kejahatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) Indonesiatetapi kejahatan itu diatur dalam Pasal 104 sampai Pasal

488 KUHP. sehingga para ahli memberikan pengertian mengenai defenisi

kejahatan, adapun pendapat ahli mengenai kejahatan antara lain:26

a. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang

secara sadar mendapat reaksi dari Negara berupa pemberian derita dan

kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal

definition) mengenai kejahatan.

b. Menurut J.E. Sahetapy,Perkataan kejahatan menurut tata bahasa adalah

perbuatan atau tindakan yang tercela oleh masyarakat. Misalnya

pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, pemalsuan surat-surat,

penyerobotan oleh manusia.

c. Menurut Arif Gosita, kejahatan adalah suatu hasil interaksi, dan karena

adanya interalasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Di

mana kejahatan tidak hanya dirumuskan oleh Undang-Undang Hukum

Pidana tetapi juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan

tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat, tidak atau belum dirumuskan

dalam undang-undang oleh karena situasi dan kondisi tertentu.

26J.E. Sahetapy, Hukum Pidana Kumpulan Bahan Penataran hukum Pidana Dalam

(20)

d. Menurut Ensiklopedia Kriminologie dari Vernon C. Barnham dan Samuel

B. Kutash menyatakan bahwa pengertian kejahatan dapat dilihat dari dua

sudut pandang, yaitu27

1. The Legal View (Pandangan secara yuridis), Kejahatan adalah suatu

tindakan atau perbuatan yang dilarang dan dapat dijatuhi hukuman atas

perbuatan atau tindakan itu oleh Undang-undang. Pandangan ini lahir

dari suatu teori yang menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat

adalah mahluk yang mempunyai kehendak bebas. :

2. The Socio Criminoligic View (Pandangan dari sudut

sosiologis-kriminologis) Kejahatan adalah suatu perbuatan yang menunjukkan

gejala-gejala tentang sesuatu yang mendalam, yaitu ketidakmampuan

seseorang untuk menemukan atau mendapatkan situasi-situasi tertentu

yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat lingkungannya.

Dari hal di atas, kejahatan dapat dibedakan dari segi yuridis dan segi

sosiologis. Definisi kejahatan dilihat dari sudut pandang hukum atau secara

yuridis menganggap bahwa bagaimanapun jeleknya perbuatan yang dilakukan

oleh seseorang, jika perbuatan tersebut tidak dilarang dan tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai

perbuatan yang bukan kejahatan. Dalam pengertian yuridis kejahatan dibatasi

sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam

hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi.

27http://catatanahdan.wordpress.com/2012/09/24/ defenisi kejahatan, diakses pada

(21)

Batasan kejahatan yang kedua adalah kejahatan yang dipandang dari sudut

sosiologis yang berarti bahwa suatu perbuatan yang melanggar norma-norma yang

hidup di dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah perempuan yang

melacurkan diri. Perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan jika dipandang

dari sisi yuridis karena tidak diatur dalam perundang-undangan Pidana (KUHP)

akan tetapi jika dilihat dari sisi sosiologis perbuatan tersebut melanggar dan tidak

sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu juga

perbuatan melacurkan diri ini melanggar dari sisi agama dan adat istiadat.

3. Ras, Rasisme dan Diskriminasi Rasial

Sering kita menemukan perbedaan pada tiap-tiap individu manusia di

muka bumi ini. Salah satu yang membedakan adalah ras. Terdapat berbagai

macam ras di dunia. Bermacam bentuk, rupa dan ciri yang berbeda yang

menandakan sebuah perbedaan masing-masing kelompok ataupun jenis. Ras

merupakan penggolongan suku bangsa yang didasarkan pada ciri-ciri fisik,

asal-usul wilayah serta bahasa.

Para ahli memberikan defenisi tersendiri mengenai ras, di antaranya

yaitu:28

1. Gill dan Gilbert, menyatakan bahwa Ras merupakan pengertian biologis

yang menjelaskan sekumpulan orang yang dapat dibedakan menurut

karakteristik fisik yang dihasilkan melalui proses reproduksi.

2. Banton, ras merupakan suatu tanda peran, perbedaan fisik yang dijadikan

dasar untuk menetapkan peran yang berbeda-beda. Pengertian ras ini

(22)

menyangkut aspek biologis (ciri fisik, warna kulit, bentuk tubuh, dll) dan

aspek sosial (menyangkut peran dan kebiasaan yang dilakukan).

3. Koentjaningrat, ras adalah suatu golongan manusia yang menunjukan

berbagai ciri tubuh tertentu dengan suatu frekuensi yang besar (bersifat

jasmani).

Secara umum ras adalah pengelompokan berdasarkan ciri biologis, bukan berdasarkan ciri-ciri sosiokultural. Dengan kata lain, ras berati

segolongan penduduk suatu daerah yang mempunyai sifat-sifat keturunan tertentu berbeda dengan penduduk daerah lain.

A.L. Krober membagi ras di dunia menjadi:29

1. Ras Mongoloid (berkulit kuning), yaitu penduduk asli wilayah Asia,

sebagian Afrika, dan Eropa. Mereka bisa dibagi menjadi: Asiatic

Mongoloid, Malayan Mongoloid, dan American Mongoloid.

2. Ras Negroid (berkulit hitam), yaitu penduduk asli wilayah Afrika, dan

sebagian Asia. Mereka dibagi menjadi: African Negroid, Negroto, dan

Melanesian.

3. Ras Kauskasoid (Kulit Putih), yaitu penduduk asli wilayah Eropa,

sebagian Afrika, dan Asia. Mereka dibagi menjadi: Nordic, Alpine,

Mediteranian, Indic.

4. Ras Khusus Yang Tidak Dapat Diklasifikasikan, ras ini antara lain:

Bushman, Veddoid, Australoid, Polynesian, dan Ainu.

diakses

(23)

Perbedaan ras pada tiap-tiap individu ini acap kali menimbulkan suatu

gejala sosial yang negatif yaitu rasisme. Rasisme menurut Kamus Besar bahasa

Indonesia diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan

atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme

juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA),

golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.30

Menurut Kleg,31

Lebih dari dua ratus tahun yang lalu, hingga sekarang, wacana dengan

konten rasis yang secara eksplisit telah dibuat terutama berkisar pada tema-tema

berikut ini:

defenisi paling umum dari rasisme adalah suatu sistem

kepercayaan bahwa suatu kelompok secara bawaan lahir, biologis, sosiologis, dan

moral lebih unggul dibandingkan kelompok lain, berdasarkan dari yang dikaitkan

pada komposisi rasial mereka.

32

1. Ras adalah ciri alami, biologis, dan kultural, yang mana menjelaskan

perbedaan kemampuan, sumber daya, dan kekuatan.

2. Orang berkulit putih (atau Kauskasian, Aryan, Europeans, dan lainya)

merupakan ras yang lebih maju.

3. Kelompok yang inferior selayaknya menjadi bawahan dari kelompok yang

superior (unggul)

4. Orang yang bukan berkulit putih (non-Kauskasian) secara biologis dan

kultural lebih inferior

diakses pada tanggal 21

Maret 2013

(24)

5. “Percampuran” dari kelompok superior dan inferior membawa

kemerosotan kelompok superior.

6. Keberadaan dan hubungan dengan “orang yang tidak berkulit putih”

adalah sesuatu yang sebisa mungkin dihindari dan mereka harus

dikucilkan, termasuk dikucilkan dalam artian fisik yakni secara paksa

dipulangkan (ke negara asal ras tersebut) atau pemusnahan.

7. Konspirasi Yahudi (atau Zionist Occupational Government, ZOG)

memaksakan sebuah paham multikultur pada wilayah orang berkulit putih

dan harus dilawan dengan kekuatan.

Paul Spoonley merumuskan rasisme ke dalam wilayah yang lebih sempit

dengan memproblematisir konsep ras. Ia meyakini bahwa ras merupakan konsepsi

kolonialiasme yang tumbuh berbarengan dengan semangat ekspansi wilayah

bangsa Eropa. Spoonley melacak kemunculan rasisme secara historis ketika

bangsa Eropa berhadapan dengan keragaman manusia yang mereka temui di tanah

jajahan. Keragaman itu lebih cenderung dimaknai sebagai keberbedaan. Sejarah,

demikian Spoonley, menunjukkan bahwa rasisme pada akhirnya muncul akibat

kemalasan bangsa Eropa untuk mengenal orang lain yang berbeda darinya.

Kemalasan ini terwujud dalam upaya bangsa Eropa, yang berkulit putih,

mengklasifikasi keragaman manusia yang ditemuinya berdasarkan karakteristik

fisik.33

Di Indonesia barangkali pemisahan konseptual antara pribumi dengan

priyayi dapat dianggap berangkat dari kolonialisme dan berujung pada rasisme.

(25)

Dari wacana-wacana di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

penyebab seseorang memiliki kecenderungan berpaham rasisme disebabkan

adanya anggapan bahwa rasnya lebih unggul dibandingkan ras lain. Paham ini

pada akhirnya mengantarkan orang kepada suatu perbuatan diskriminasi rasial.

Diskriminasi rasial adalah memperlakukan seseorang secara tidak adil

berdasarkan ras mereka. Diskriminasi rasial bisa muncul dari sikap sadar atau

tidak sadar, yang menempatkan seseorang lebih rendah berdasarkan ras.

Bentuk tindakan diskriminasi rasial ini berbeda-beda, namun secara umum

terdiri dari:34

1. Sikap Diskriminasi Etnosentrisme, yaitu pandangan yang merasa bahwa

kelompoknya sendiri adalah pusat segalanya, sehingga kelompok lain

dinilai dengan standar dari kelompoknya, maka dengan demikian

kelompoknya merasa memiliki kebudayaan yang lebih baik dari kelompok

lain.

2. Sikap Diskriminasi Xenophobia, yaitu diskriminasi yang timbul karena

adanya ketakutan dengan hal asing, baik orang asing maupun budaya

asing.

3. Sikap Diskriminasi Miscegenation, adalah sikap diskriminasi yang

menolak terjadinya hubungan antar ras, termasuk hal kawin campur antar

ras. Sikap ini sangat menjaga kemurnian rasnya dan berusaha sebisa

mungkin agar rasnya tidak “terkotori” oleh kawin antar ras.

(26)

4. Sikap Diskriminasi Stereotip, yakni diskriminasi rasial dengan cara

mengeneralisir suatu kelompok tertentu.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat

dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan

pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

2. Data dan Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data

sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi

bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun

arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan

hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang paling

(27)

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Dasar 1945

3) Undang-UndangNomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis

4) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Rasial 1965

5) Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi

Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Rasial 1965

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami

bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka

lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman

dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang

dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan

ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan

(28)

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.

Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan

analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang

digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan

data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan

dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang

mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar

dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan

pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima

bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan

skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian

penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Peranan Politik Hukum Pidana Dalam Hukum Pidana di

(29)

Bab ini menguraikan mengenai perananpolitik hukum pidana,

mencakup pula bagaimana sistem pemidanaan serta teori-teori

pemidanaan dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan

pidana di Indonesia

BAB III Peranan Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Berbasis

Rasisme

Bab ini menguraikan diskriminasi ras dan etnis serta politik hukum

pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mampu

mencegah kejahatan dengan basis rasial berdasarkan sistem

pemidanaan.

BAB IV Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini

berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap persiapan antara lain: (1) mengurus surat ijin penelitian; (2) melaksanakan observasi awal untuk menentukan sekolah

[r]

Ada beberapa keunggulan penerapan kinerja balanced scorecard (BS) dibanding- kan dengan kinerja tradisional yang hanya fokus pada aspek keuangan saja, yaitu: (1) Pengukuran

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan sebanyak dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP N 2 Ngawen dan guru mata

Pertama Peran humas DPRD Kabupaten Nganjuk yakni penasehat ahli Humas sebagai penasehat ahli yaitu berperan untuk menampung ide-ide atau aspirasi yang ditemukan

Penelitian ini dilatarbelakangi minimnya kemampuan siswa dalam menginterpretasi teks ulasan film. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:1)Bagaimanakah

(2011), mengatakan bahwa corporate governance yang baik akan meningkatkan firm performance. Secara bersamaan, praktik ini dapat melindungi perusahaan dari kemungkinan

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2010 tentang