• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Mahkamah Agung Tentang Illegal Logging : Perkara No.761 K/Pid.Sus/2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Mahkamah Agung Tentang Illegal Logging : Perkara No.761 K/Pid.Sus/2007"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG TENTANG ILLEGAL LOGGING

(PERKARA No. 761 K/Pid.Sus/2007)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Santoso Hari Wibowo NIM : 105045101496

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh makhluknya, dan atas segala

rahmat dan hidayahnya. Penulis menghaturkan shalawat teriring salam kepada Rasul

pilihan pengemban risalah illahi, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para

sahabatnya sebagai uswah kita dalam meniti hidup dan aktifitas kita sehari-hari.

Selanjutnya penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga

kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skiripsi ini, baik

dalam bentuk dorongan moril maupun materil. Karena penulis tanpa dukungan serta

bantuan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penulisan skripsi ini, terutama

kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin

Suma, S.H, M.A, M.M;

2. Dr. Asmawi, M.Ag, selaku ketua jurusan Jinayah Siyasah Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku sekertaris jurusan Jinayah Siyasah

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA selaku pembimbing skripsi yang

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam

(3)

5. Lembaga Mahakamah Agung Republik Indonesia yang telah

membantu saya untuk mengizinkan mendapatkan data berupa

putusan;

6. Slamet, S.Pd dan almarhumah ibunda Hartanti semoga segala yang

telah diberikan dalam bentuk materil maupun inmateril dapat

bermanfaat pada suatu hari nanti

7. Teman-teman jurusan Pidana Islam angakatan 2005 yang telah

memberikan semangat untuk mengejar ketertinggalan skripsi ini

sehingga pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik walaupun

masih terdapat kekurangan.

8. Sahabat-sahabatku tercinta yaitu Desy, Widy, Dini, Tompul, Nurlia

beserta teman-temanku di rumah tanpa saya sebut satu-persatu

Tangerang, 11 Juni 2009

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

D. Tinjauan Pustaka 9

E. Kerangka Teori dan Konseptual 10

F. Metode Penelitian 12

G. Sistematika Penulisan 14

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Menurut Hukum Pidana Islam 16

2. Menurut Hukum Pidana Positif 18

B. Pembagian Tindak Pidana

1. Menurut Hukum Pidana Islam 24

2. Menurut Hukum Pidana Positif 28

C. Tujuan Pemidanaan

1. Menurut Hukum Pidana Islam 34

(5)

D. Sanksi Pidana

1. Menurut Hukum Pidana Islam 42

2. Menurut Hukum Pidana Positif 45

BAB III DESKRIPSI UMUM PUTUSAN KASASI MAHKAMAH AGUNG

TENTANG ILLEGAL LOGGING

A. Illegal Logging Di Dalam UU NO. 41 Tahunn 1999 48

B. Kronologis Perkara Illegal Logging

1. Perkara Pengadilan Negeri Ketapang 50

2. Perkara Pengadilan Tinggi Pontianak 52

3. Perkara Mahkamah Agung 53

C. Analisis Kronologi 54

D. Putusan Hakim Perkara Illegal Logging

1. Putusan Pengadilan Negeri Ketapang 55

2. Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak 61

3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung 62

E. Analisis Putusan Hakim 63

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG TINDAK

PIDANA ILLEGAL LOGGING

A. Pan

dangan Hukum Islam Terhadap Illegal Logging 67

B. Persamaan Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif 78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 79

(6)

DAFTAR PUSTAKA 81

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia mempunyai banyak sekali hutan yang menjadi anugrah yang

diberikan Allah SWT kepada kita bangsa indonesia. Hutan yang diberikan hendaknya

dapat dimanfaatkan sebagai kemakmuran rakyat indonesia. Oleh karena itu

hendaknya hutan sebagai SDA (Sumber Daya Alam) harus dilindungi dan dijaga

supaya tidak menjadi rusak apalagi musnah oleh ulah umat manusia yang tidak

bertanggung jawab.

Pembangunan kehutanan sebagai bagian yang integral dari pembangunan

nasional secara keseluruhan memiliki posisi strategis terutama dalam kerangka

pembangunan jangka panjang, karena berkaitan langsung dengan berbagai aspek

pembangunan tingkat lokal, daerah, nasional, dan bahkan internasional. Aspek-aspek

pembangunan pada dasarnya adalah menyangkut upaya-upaya mengoptimalkan

pendayagunaan fungsi-fungsi ganda dari hutan dan kehutanan yang bertumpu pada

kawasan hutan yang menyebar seluas lebih kurang 72 % dari luas wilayah daratan

Indonesia, atau sekitar 143,970 juta ha yang terbagi menjadi hutan lindung, hutan

konservasi, hutan produksi dan sebagainya.1

Allah SWT tentunya telah menciptakan segala kenikmatan yang ada di bumi

ini tentunya untuk semua makhluk hidup agar mereka dapat mengetahui bahwa

nikmat yang diberikan oleh nya benar-benar begitu besar. Semua kekayaan yang

1

(8)

diberikan oleh Allah SWT khususnya oleh manusia memang tak terhingga termasuk

kekayaan alam. Oleh karena itu kita harus senantiasa bersyukur akan nikmat tersebut.

Di dalam Al Qur’an telah dijelaskan tentang penciptaan kekayaan alam untuk

umat manusia.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut:

!" #$%&

'(

) *

+,-." /!0

#

12 3

) 4 5

$ !/

6 789 : &;

!<,=!3

>#? !/!3

@ A

BCD$% E

F$ GH

J< 1K LMB

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.

Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup merupakan komponen –

komponen ekosistem yang menentukan kemampuan dan fungsi ekosistem dalam

mendukung pembangunan.2 Untuk itu kita sebagai bangsa Indonesia harus menjaga

keseimbangan ekosistem yang ada. Kita juga sebagai umat muslim tentu nya harus

berperan aktif dalam menjaga nya dari segala kerusakan yang ditimbulkan oleh

pihak-pihak yang hanya memanfaatkan untuk kepentingan nya pribadi.

Perlindungan kawasan suaka alam yang terdiri dari cagar alam dan suaka

marga satwa dalam UUKH antara lain dilakukan melalui sarana hukum, yakni dengan

pemberian pidana bagi tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan pada

kawasan.3 Oleh sebab itu peraturan yang sudah baik hendaknya dapat ditegakkan

dengan baik tanpa adanya penyelewengan wewenangan di dalam menangani sebuah

kasus pidana. Hendaknya aparat penegak hukum dapat menjalankan tugasnya dengan

baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2

Harun M. Husein, Berbagai Aspek Hukum Analisis Mengenai Dampak Llingkungan, (Bumi Aksara: Jakarta, 1992), hlm 247

3

(9)

Dari sudut yuridis normatif, peraturan hukum yang mengatur bidang

kehutanan relatif cukup memadai, dan bahkan untuk melarang dan atau

memerintahkan perbuatan tertentu, pembuat undang-undang memandang perlu

menjadikan perbuatan tersebut sebagai tindak/perbuatan pidana, yang selanjutnya

disebut dengan tindak pidana di bidang kehutanan. Sarana pelaksanaan perlindungan

hutan merupakan faktor penting dan mempunyai peranan di dalam menegakkan

hukum.4 Dalam rangka penindakan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan ini,

dalam hal ini terutama dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan

pihak kepolisian. Secara singkat diperlukan law and man.

Di dalam Al Qur’an sendiri kita diperintahkan untuk menjaga bumi kita

berserta isinya dari kerusakan.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an surah Al-Araf ayat 56 sebagai berikut:

NO A

P A7QR ST 

V *

+,-."

!Q 1E

!8R& WX 5

  A

[;, !\

] !/&^ A

@

'_ 5

:`

-M ab &

c d(

1*e fR &7/S

B

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”

Apabila melihat modus operandi (praktek atau cara-cara) dari kegiatan

penebangan secara tidak sah (illegal logging) maka tindak pidana tersebut dapat

dikategorikan telah menjadi rangkaian atau gabungan dari beberapa tindak pidana,

atau tindak pidana berlapis. Beberapa tindak pidana tersebut antara lain adalah (1)

kejahatan terhadap keamanan negara (2) kejahatan terhadap melakukan kewajiban

dan hak kenegaraan (3) kejahatan yang membahayakan keamanan umum maupun (4)

4

(10)

pencurian.5 Pada dasar nya kejahatan illegal logging dapat dikatakan jarimah

pencurian karena pelaku mengambil sesuatu milik orang lain.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an surah Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:

$g- A

i& - A

P j  &kS &;

!/781a Q aAl

J$ 1 !0

!/ E 1=: Hm nH &%1o \ d( % p A q ar1 M R%! bB

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Bila kejahatan illegal logging dimasukkan ke dalam jarimah pencurian masih

sangat relatif tergantung sebarapa besarkah nilai barang curiannya tersebut. Tindak

pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang dicuri

mencapai nisabnya.6 Nisab hukuman untuk potong tangan jika mencapai nilai

seperempat dinar ke atas.

Jika melihat konteks pengertian kejahatan illegal logging yang melakukan

kejahatannya dengan cara merusak bumi khususnya hutan beserta ekosistemnya. Hal

tersebut tentunya jika ditinjau dari hukum pidana Islam dapat dikenakan hukuman

yang berlaku juga pada jarimah hirabah (perampokan). Menurut Imam Abu Hanifah,

Asy-Syafii, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi’ah Zaidiyah, hukuman atas tindak

pidana hirabah berbeda-beda, tergantung pada perbuatan yang dilakukakan.7

Allah berfirman di dalam Al Qur’an surah Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut: !/to 5

P $1u1 !0

1*v

1_ E- i1$V

wl& 73 - A

1_, ! 1a A

) *

+,-."

] : &;

_Al

P j x2&5a

AAl

P j yt :za

AAl

!< k&5 

8a Q aAl

#78 0,-Al A

5

Sulaiman N. Sembiring dan Harry Alexander, “illegal loging”, artikel ini diakses pada tanggal 12 Juni 2008 dari http://beritalingkungan.blogspot.com/2006/02/illegal-logging-sebuah-tindak-pidana.html

6

Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika: Jakarta), 2005, hlm 85

7

(11)

W d(

{ R\

AAl

P , HT a

c ( +,-." @ | ?&} 78& G R\ ) * ~ o-Q P 78& A ) * •1 R\.! F H~1  ‚1 bbB

” Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

Kita juga dapat mengambil pendapat yang dinyatakan oleh Max Weber bahwa

perkembangan hukum timbul akibat daripada perkembangan dibidang-bidang

kehidupan lainnya.8 Di dalam Hukum pidana Islam tentunya berlaku juga mengikuti

perkembangan yang terjadi, tetapi hal tersebut tentunya tidak bertentangan dengan Al

Quran dan Hadis. Tentunya jika suatu unsur jarimah tidak terpenuhi untuk

diberlakukan hukuman hudud maka akan diberlakukan hukuman ta’zir.

Di dalam kasus putusan kasasi Mahkamah Agung yang terdapat pada

lampiran jelas tidak menjadikan terdakwa yang bernama Nurhaidi als H.Moch.Edy

Selamat Sentoso bin Sukawi jera. Karena hukuman yang diberikan kurang maksimal.

Hakim kurang melihat dampak dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.

Seharusnya hakim menjerat hukuman lebih berat sesuai dengan dakwaan pasal 50

ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (7) UU No. 41 tahun 1999 karena banyaknya kayu

yang diangkut oleh terdakwa. Dan dalam hal ini terdakwa tidak melakukan reboisasi

terhadap kayu yang diangkutnya. Kelemahan di dalam kasus ini bisa jadi bukan

karena peraturan yang ada, tetapi karena aparat penegak hukum yang membuat celah

atau tidak tegas terhadap pelaksanaan peraturan yang seperti disebut diatas.

Dan bila kita lihat kedalam jarimah hirabah (perampokan), pelaku juga tidak

melakukan tindakan perusakan secara langsung. Hal itu dikarenakan pelaku hanya

menjadi kurir yang mengangkut kayu dari hasil kejahatan illegal loging. Oleh karena

8

(12)

itu pelaku yang tidak memenuhi unsur perampokan tidak dapat dijatuhi hukuman

hudud melainkan diberlakukan ta’zir.

Unsur kesengajaan atau culpa ini secara alternatif disebutkan terhadap unsur

lain, yaitu bahwa barangnya diperoleh dengan kejahatan.9 Hal ini merupakan unsur

yang bersifat subjektif atau perseorangan, yaitu mengenai jalan pikiran atau jalan

perasaan pelaku. Akan tetapi, ada unsur objektif yang tidak bergantung kepada jalan

pikiran atau jalan perasaan pelaku, yaitu bahwa barang itu harus benar-benar

merupakan hasil dari suatu kejahatan tertentu. Maka , harus terbukti ada terjadi,

misalnya pencurian tertentu dan ada barang tertentu yang diperoleh dengan pencurian

itu.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Terkait dengan masalah banyaknya kerusakan hutan yang disebabkan oleh

para pelaku illegal logging yang terjadi di Indonesia, maka dapat diidentifikasi

sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, antara lain, yaitu:

1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang

illegal logging ?

2. Bagaimana efektifitas peraturan perundang-undangan dalam menangani

tindak kejahatan illegal logging di Indonesia ?

3. Bagaimana penerapan sanksi yang tepat terhadap tindak kejahatan illegal

logging ditinjau dari hukum pidana Islam dan positif ?

4. Apa yang menjadi penyebab utama tindak pidana illegal logging ?

5. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap putusan kasasi

Mahkamah Agung tentang illegal logging ?

9

(13)

Dengan mengacu kepada identifikasi masalah di atas, penelitan ini menjadikan

masalah yang sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana pandangan hukum pidana

Islam terhadapa putusan kasasi Mahkamah Agung tentang illegal logging ?

Dari pokok masalah di atas dapat diuraikan tiga sub-masalah, yaitu:

1. Bagaimana konsep tindak pidana menurut hukum pidana Islam ?

2. Bagaimana deskripsi umum putusan kasasi Mahkamah Agung tentang

illegal logging ?

3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan kasasi

Mahkamah Agung tentang illegal logging ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.Tujuan Penelitian

a. Menjelaskan konsep tindak pidana menurut hukum pidana Islam

b. Menjelaskan deskripsi gambaran umum putusan kasasi Mahkamah Agung

tentang illegal logging.

c. Menjelaskan tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan kasasi

Mahkamah Agung tentang illegal logging.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya pemabaharuan pemikiran

hukum pidana Islam dalam konteks putusan pengadilan.

D. Tinjauan Pustaka

Abdul Qadir Audah., At-Tasryi’ al-jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil

Wad’iy, Terjemahan: Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Buku ini sebenarnya hanya

(14)

menurut penulis sangat lengkap karena disana banyak membahas tentang penjatuhan

hukuman baik hudud ataupun ta’zir.

Harun M Husein, Berbagai Aspek Hukum Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan. Buku ini hanya menjelaskan pembangunan lingkungan dan amdal,

analisis mengenai dampak lingkungan,penyajian informasi lingkungan, rencana

pengelolaan lingkungan , rencana pemantauan lingkungan, hal2 lain berkenaan

dengan andal, studi evaluasi dampak lingkungan , baku mutu lingkungan , fungsi

dokumen andal dalam proses pidana, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan

hidup.

Sahlan , Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Kerusakan Hutan di

Propinsi Sulawesi Tengah. Didam buku ini menjelaskan tentang dasar hukum sarana

dan konservasi, sarana perlindungan hutan , konservasi sda, faktor2 yang

menyebabkan terjadinya gangguan atau kerusakan hutan, upaya pelestarian hutan.

Buku selanjutnya karya Ahmad Wardu Muslich, yang berjudul “Hukum

Pidana Islam”. Dalam buku ini memang menjelaskan tentang macam – macam

jarimah yang ada didalam hukum Islam, baik itu jarimah hudud, qishash – diyat,

maupun ta’zir. Akan tetapi pada skripsi ini penulis mencoba untuk

mengkomparasikan antara 2 (dua) teori hukum (hukum positif dan hukum pidana

Islam), yang mana belum pernah ada yang mencoba mengkaji tentang permasalahan

illegal loging yang dikomparasikan dengan jarimah pencurian sebagai dasar

pembahasan tetapi pada temuan selanjutnya dapat dikatakan sebagai jarimah yang

dikenakan sanksi hukuman ta’zir.

Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang

Kehutanan. Di dalam buku ini terdapat materi tentang tindak pidana kehutanan atau

(15)

tentunya sangat bersinggungan dengan hal-hal yang menyebabkan kerusakan akibat

ulah pelaku illegal loging. Di Indonesia belum terdapat undang – undang yang secara

khusus mengatur secara khusus dan memberikan arti yang khusus terhadap illegal

loging. Akan tetapi ada bebarapa undang – undang yang berkaitan dengan tindak

pidana tersebut seperti Undang – undang Nomor 41 tahun 1999 yang menjadi pokok

dalam menjerat pelaku. Hal tersebut tentunya harus didukung pula oleh aparatur

penegak hukum yang mempunyai moral yang baik dalam menanggulangi

permasalahan ini. Peran serta masyarakat disekitar tentuya juga mempunyai andil

dalam mengawasi wilayah mereka.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

a. Kerangka Teori

Untuk permasalah illegal logging jarang sekali ditemukan kasus di daerah

timur tengah oleh karena itu jarang ditemukan teori yang membahas lebih

khusus permasalah ini, oleh karena itu penulis menggunakan dalil Hadis

sebagai teori yang terdapat dalam Hadis Shahih Muslim sebagai berikut:

ی

!

"

#

-#$

%

#

&# '

( )*'

$+ﺏ

,

ﻥ.*

/

,

01

2 ﺏ

,'

3 1

2 ﺏ

4 ﺏ'

26 4

7

4 # ی

2 89

:

;

6 4

*

ی=

> '

ﻡ'

? '

;

6 4

? '

;

3 1

9

ی

1

Aﺵ ی

*

?ﺕ ی

;

C

D

E '"

&#Fﻡ

G

Artinya :
(16)

jatuh dalam wilayah yang haram. Seperti penggembala kambing yang berada disekitar daerah terlarang, dikawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. (HR. Muslim)

b. Kerangka Konseptual

Untuk itu penulis menggunakan konsep yang digunakan oleh Fatwa MUI wilayah IV

Kalimantan yaitu Penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan

merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Semua kegiatan dan

penghasilan yang didapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram Penegak

hukum wajib bertindak tegas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang

berlaku.

F. Metode Penelitian

1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu berupa

kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti,

berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif

mengenai tinjauan hukum pidana islam terhadap putusan kasasi Mahkamah

Agung tentang illegal logging.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan yuridis, yaitu kajian

terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung pada kasus illegal logging.

Penelitian ini mendasarkan pada praktek putusan hakim dan

dokumen-dokumen yang ada.

3. Sumber Data

a. Adapun data primer terdiri dari: Al Qur’an dan Hadis yang merupakan

(17)

mengatur permasalahan yang ada, serta data-data putusan kasasi

Mahkamah Agung mengenai kasus illegal logging.

b. Kemudian data sekunder: terdiri dari buku-buku hukum, makalah-makalah

hukum, seminar hukum, artikel hukum, media cetak, maupun diambil dari

internet (website) yang ada korelasinya dengan materi yang menjadi pokok

masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

c. Dan data tersier, yang terdiri dari kamus ensiklopedi yang menjadi salah

satu bahan pelengkap.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Studi dokumen berupa putusan kasasi Mahkamah Agung tentang illegal

logging, literatur-literatur dan buku-buku yang relevan dengan objek

penelitian.

5. Metode Analisi Data

Putusan atau pandangan hakim akan dianalisis secara deskriptif analistis.

Pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas,

sistematis, objektif, kritis dan analistis mengenai fakta-fakta yang bersifat

yuridis normatif. Data yang diperoleh kemudian dipaparkan dan dianalisis

dengan menggunakan pendekatan normatif dan komparatif yang

membandingkan hukum pidana islam dengan putusan kasasi Mahmakah

Agung dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung.

6. Teknik Penarikan kesimpulan

Deduktif yaitu suatu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat

umum kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai suatu fakta yang bersifat

(18)

7. Teknis penulisan ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan

skripsi ini maka buku pedoman yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

adalah buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas

Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis susun sebagai berikut:

BAB I Bab ini merupakan Pendahuluan yang terdiri atas: Latar Belakang

Masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan Penelitian,

Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II Bab ini Memaparkan konsep tindak pidana menurut hukum pidana islam,

pidana positif, dan deskripsi putusan Mahkaman Agung yang terdiri dari

pengertian, bentuk-bentuk, tujuan, sanksi pidana.

BAB III Bab ini menjelaskan illegal logging di dalam UU No. 41 Tahun 1999

kronoligis perkara Mahkamah Agung, analisis kronologis, putusan hakim,

dan analisis putusan perkara illegal logging di Mahkamah Agung.

BAB IV Bab ini membahas tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Tentang Tindak

Pidana Illegal Logging, yang terdiri dari pandangan Hukum Islam terhadap

Illegal Logging, dan Persamaan antara hukum positif dan hukum pidana

Islam

BAB V Bab ini merupakan bab Penutup yang terdiri : yang merupakan bab

penutup penulis, kesimpualan dari hasil penelitian dan pembahasan

penelitian, sebagai solusi atas masalah yang terjadi diatas, dan saran –

(19)

BAB II

KONSEP TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Menurut Hukum Pidana Islam

Istilah tindak pidana, di dalam hukum pidana Islam sendiri terdapat dua kata

yang cukup mewakili kata tersebut yaitu jinayah dan jarimah. Jinayah

6 ی H

:

H

.

Menurut istilah jinayah adalah hasil perbuatan seseorang yang terbatas pada

perbuatan yang di larang pada umumnya, para fuqaha mengunakan istilah tersebut

hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti

pemukulan dan pembunuhan. Selain itu para fuqaha memakai istilah tersebut pada

perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash.10

Dikalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata jinayah ialah perbuatan yang

dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta-benda,

ataupun lain-lainnya11. Oleh sebab itu jinayah bersifat umum, meliputi seluruh tindak

pidana dan mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Al-Sayyid Sabiq dalam kitab

fiqh as-sunnahnya memberi pengertian tentang jinayah, yaitu:

J

K

; Lی H ﺏ M

'

N

3 1ﻡ O ; O9

P

? ﻡ' J"

E Qﺡ O ; O9 3 1 O R '

S

ﻡ ;

>

ی=

# ? '"

S

TR '*

S

O '*

S

U

'

S

'*

P

Artinya: Yang dimaksud jinayah menurut ‘urf syara’ adalah: setiap perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah setiap perbuatan yang diancam dan dicegah oleh syara’,karena perbuatan tersebut dapat menimbulkan kemudharatan atau kerusakan pada agama, jiwa, akal,

kehormatan dan harta.12

10 H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1997, hlm 1

11

. A. Hanafi, , Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet.-2, hlm.9-10.

12

(20)

Beberapa fuqaha ada yang membatasi istilah jinayah kepada

perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash. Dan kata yang

sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara’ yang

diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.13

Jarimah (tindak pidana) didefinisikan oleh Abdul Qadir al Audah dalam

karangannya sebagai berikut:

یV ﺕ' =1ﺏ 4 % E HW L

ﺵ 6 " Q1ﻡ 4ﻥXﺏ L ﻡ0 Y L ی

; &ﻥ I

P

Artinya:”Jarimah menurut syariat Islam adalah larangan-larangan syara’ yang

diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”14

Jarimah (al-jarimah=delik atau tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang

syara’ dan pelakunya diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had (bentuk

tertentu) atau ta’zir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya didelegasikan

syara’ kepada hakim atau penguasa). Yang dimakasud dengan larangan syara’ adalah

melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syara’ atau

meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syara’ bagi

yang meninggalkannya.15

Berdasarkan pengertian diatas mengenai jinayah dan jarimah dapat dikatakan

bahwa :

a. Istilah jinayah dan jarimah sebenarnya tidak jauh berbeda bahkan bisa

dikatakan sama.

b. Setiap tindakan atau perbuatan bisa dikatakan jinayah apabila terdapat

larangan dalam syara.

13

Ibid, hlm 2

14

. Abdul Qadir ‘Audah, Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi), vol2, hlm.67.

15

(21)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu

tindak pidana dikategorikan kedalam suatu perbuatan jarimah, adalah sebagai berikut:

a). Terdapat nash yang melarang suatu perbuatan tertentu, didalam nash tersebut

terdapat ancaman hukuman atas perbuatan yang dilakukan. Maka unsur ini

dikenal dengan istilah “unsur formal” ( al-Rukn al-Syar’I ).

b). Terdapat suatu perbuatan yang membentuk jarimah, baik melakukan

perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan untuk

tidak dikerjakan. Maka unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (

al-Rukn al-Madi ).

c). Orang yang melakukan kejahatan tersubut merupakan mukallaf, yang berarti

orang tersebut dapat menerima khitab atau dapat memahami taklifnya. Maka

unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (al-Rukn al Adabi).16

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan jarimah jika perbuatan

tersebut mempunyai unsur-unsur yang telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan

bahwa tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan

sebagai perbuatan jarimah ( tindak pidana ).

Di samping ketiga unsur di atas, setiap jarimah ( tindak pidana ) mempunyai

unsur-unsur khusus yang berbeda-beda antara satu bentuk tindak pidana dan tindak

pidana lainya. Misalnya, tindak pidana pencurian, pencuri bisa dipotong tangan

apabila mencapai satu nishab yang berarti kadar hartanya yang ditetapkan sesuai

dengan undang-undang atau hukum yang berlaku disuatu wilayah tertentu.17

2. Menurut Hukum Pidana Positif

16

. H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), hlm 3.

17

(22)

Kalimat “tindak pidana” terdiri dari dua kata, yakni “tindak” dan “pidana”.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “tindak” mempunyai arti yaitu : perbuatan18,

sedangkan kata “pidana” mempunyai arti yaitu : kejahatan (tentang pembunuhan,

perampokan, korupsi dan sebagainya)19.

Kalimat “tindak pidana” merupakan salah satu dari terjemahan istilah Belanda,

yaitu Het Strafbare Feit. Demikian istilah (term) Het Strafbare Feit, telah

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu (a) perbuatan yang dapat atau boleh

dihukum; (b) peristiwa hukum; (c) perbuatan pidana; (d) tindak pidana; dan (e)

delik.20

Het Strafbare Feit adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dapat diancam

dengan suatu pidana oleh suatu peraturan atau undang-undang, jika bertentangan

dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang telah mampu

bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.21

Menurut Satochid Kartanegara, di dalam pemakaian istilah tindak pidana

dapat mencakup pengertian melakukan atau berbuat (active handling), tidak

melakukan, tidak berbuat, dan tidak melakukan suatu perbuatan (passive handling).22

Berdasarkan rumusan tindak pidana (delik) dapat dikatakan bahwa :23

1) Tindak Pidana merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang.

18

. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 984.

19

. Ibid, hlm. 681.

20

S.R. Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni ahaem petehaem, 1996), Cet. Ke-4, hlm. 200.

21

Leden Marpaung, Asas teori praktik hukum pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 7

22

. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, ( Balai Lektur Mahasiswa, Tth ), hlm. 70.

23

(23)

2) Perbuatan (handelingen) tindak pidana itu sendiri harus dilakukan oleh orang

( seseorang ) yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.

Bila dilihat dari segi materi Strafbaar Feit terdapat dua (2) pendapat, yaitu; (1)

pendapat yang menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab “Strafbaar

Feit” dalam satu golongan; (2) pendapat yang memisahkan unsur perbuatan dan

tanggung jawab Strafbaar Feit ke dalam dua golongan.

Maka mengenai materi Strafbaar Feit terdapat garis pemisah diantara dua(2)

aliran, yaitu24:

1. Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai

eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya). Menurut aliran ini unsur Strafbaar Feit meliputi unsur-unsur perbuatan (lazim disebut unsur objektif) yaitu unsur melawan hukum dan unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (lazim disebut unsur subjektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena manunggalnya unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, Strafbaar Feit adalah sama dengan syarat-syarat pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi

Strafbaar Feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.

2. Aliran Dualisme anatara lain Moelyanto, yang merumuskan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut aliran ini perbuatan pidana menurut wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan ( lazim disebut golongan subjektif ), yang meliputi unsur melawan hukum, unsur tidak ada alasan pembenar, dan dari si pembuat, ( lazim disebut golongan subjektif ) meliputi unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan : sengaja dan atau alpa dan unsur tidak ada alasan pemaaf.

Oleh karena itu berdasarkan kedua aliran tersebut terdapat kesamaan didalam

syarat pemberian pidana, yaitu (1) melawan hukum; (2) mampu bertanggung jawab;

24

(24)

(3) kesalahan, sengaja atau alpa; (4) tidak ada alasan pembenar; (5) tidak ada alasan

pemaaf.

Dalam pandangan dualisme, Karena adanya pemisahan antara unsur perbuatan

dan unsur si pembuat, maka konsekuensinya jika unsur objektif tidak terbukti, maka

bunyi amar putusan ialah bebas (vrijspraak). Namun jika tidak terbukti unsur

subjektif, maka amar putusan berbunyi : dilepas dari tuntutan (ontslag van

rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku kejahatan dapat

dipidana. Jadi apabila yang terbukti unsur objektif yaitu unsur melawan hukum,

namun pelaku kejahatan tidak mampu dipertanggung jawabkan, maka ia harus

dilepaskan dari tuntutan. Dengan kata lain : perbuatannya itu tetap melawan hukum

akan tetapi pelaku mengalami atau menderita sakit jiwa ( pasal 44 KUHP ), maka ia

tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah ia lakukan.25

Satochid Kartanegara menjelaskan unsur-unsur delik terdapat dua (2) bagian

yaitu :26

1. Unsur-unsur yang objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar dari

manusia, yaitu berupa :

a. Suatu tindak tanduk.

b. Suatu akibat tertentu (een bepaaldgejolg).

c. Keadaan ( omstendungheid ).

Berdasarkan ketiga unsur objektif yang dimaksud oleh Satochid kertanegara

diatas dapat dijelaskan, sebagai berikut:

1). Suatu tindak-tanduk atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang. Seperti sumpah palsu (meineed) pasal 242

KUHP. Dalam perbuatan ini yang merupakan unsur objektifnya adalah :

25

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, hlm. 149

26

(25)

memberikan keterangan palsu dalam sumpah. Dan pencurian, pasal 362

KUHP unsur objektifnya adalah mengambil (wegnemen).27

2). Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang, antara lain : pembunuhan pasal 338 KUHP, di dalam

perbuatan ini yang merupakan unsur objektifnya adalah akibat (gevolg) dari

perbuatan seseorang yaitu : matinya orang lain. Dan penganiayaan pasal 351

KUHP, unsur objektifnya adalah mengakibatkan sakit dan cidera orang

lain.28

3). Hal-hal khusus yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan

undang-undang, antara lain : menghasut pasal 160 KUHP, unsur objektifnya adalah

dilakukannya perbuatan itu di depan orang banyak (umum). Melanggar

kesusilaan umum pasal 281 KUHP, unsur objektifnya dalam pasal ini adalah

apabila perbuatan ini dilakukan di depan umum.29

2. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia

, diantaranya :

a. Toerekenungsvatbarheid (dapat dipertanggung jawabkan), maksudnya

suatu perbuatan merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan

oleh pelaku tindak pidana

b. Schuld (kesalahan), maksudnya suatu perbuatan merupakan kesalahan

yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana30.

Berdasarkan penjelasan unsur objektif dan subjektif di atas dapat dikatakan

bahwa :

27 Ibid ,hlm 60.

28

Ibid, hlm 61.

29

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm 78.

30

(26)

a. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan diancam pidana tidak dijatuhi

hukuman pidana jika tindakan tersebut belum diatur di dalam undang-undang.

b. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya kesalahan

yang telah dilakukan.

c. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang, jika tidak terdapat

sifat-sifat melawan hukum terhadap tindakan pidana yang telah dilakukannya .

d. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang, jika tidak terdapat

unsur-unsur subjektif terhadap tindakan pidana yang telah dilakukannya.

e. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang, jika tidak terdapa

unsur-unsur objektif terhadap tindakan pidana yang telah dilakukannya.31

B. Pembagian Tindak Pidana

1. Menurut Hukum Pidana Islam

Jarimah dapat terbagi menjadi beberapa macam, yaitu

Dilihat dari segi hukumannya jarimah dibagi menjadi tiga, yaitu jarimah hudud,

jarimah Qishas atau diyat, dan jarimahta’zir.

a. JarimahHudud

Hudud secara bahasa berarti larangan, sedangkan secara istilah adalah

hukuman yang sudah ditentukan sebagai hak Allah.32 Dan menurut bahasa kata had

berarti al-man’u (cegahan). Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman had. Hukuman had adalah hukuman yang ditentukan kadarnya sebagai hak

Allah. Oleh karena itu hukuman had merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut

31

Pratiwi Prasojo, Sistem Hukum Indonesia, artikel diakses pada 5 Februari 2009 dari

http://mydailythought.googlepages.com/DraftBukuAjarPHI.pdf

32

(27)

tidak digugurkan oleh perorangan (orang yang yang menjadi korban atau

keluarganya).33

Dari pengertian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa karakteristik dari

jarimahhudud adalah sebagai berikut:

1). Hukuman tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah

ditentukan oleh nash Al-Quran maupun Hadis nabi dan tidak ada batas minimal dan

maksimal.

2). Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata atau kalau ada hak

manusia disamping hak Allah maka hak Allah lebih dominan.34

Maka yang termasuk dalam Jarimah Hudud ada (7) tujuh macam, yaitu (1)

Jarimah Zina(pelecehan seksual); (2) JarimahQadzaf ; (3) Jarimah Syurb al-Khamar

(minum minuman dan obat-obatan terlarang) ; (4) Jarimah sariqah (pencurian); (5)

Jarimah Hirabah (perampokan) ; (6) Jarimah Riddah (beralih atau pindah agama) ;

(7) Jarimah bughah ( pemberontakan).

b. Jarimah Qishas/Diyat

Secara harfiah Qishash dapat diartikan memotong atau membalas. Qishash

menurut hukum pidana islam adalah pembalasan setimpal yang dikenakan kepada

palaku tindak pidana atas sanksi perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan Diat yang

berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan ketentuan yang harus

dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban atas sanksi perbuatan yang

dilakukannya.35

Adapun karakteristik dari jarimahqisas/diyat, yaitu:36

33

Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana islam.(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm 254

34

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’Al-Jinayi Al-Islamiy, hlm 79

35

Ali, Hukum Pidana Islam,, hlm. 11

36

(28)

1) Hukuman-hukumannya telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas

tertinggi dan batas terendah.

2) Merupakan hak perseorangan, dengan pengertian bahwa korban bisa memaafkan

pelaku, dan apabila dimaafkan , maka hukuman tersebut diganti dengan membayar

diyat.

Yang termasuk dalam jarimah Qishas dan diyat ini hanya dua macam, yaitu

pembunuhan dan penganiayaan. Namun jika dua macam tersebut diperluas , maka

menjadi lima macam, yaitu:37

1) Pembunuhan sengaja

2) Pembunuhan menyerupai sengaja

3) Pembunuhan karena kesalahan

4) Penganiayaan sengaja

5) Penganiayaan tidak sengaja

c. JarimahTa’zir

Ta’zir jika diartikan secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Dan

pengertian secara terminologis dalam konteks Fiqh Jinayah adalah :

) ی = ﺕ Z ﺕ ' ) " = ﻡ

ﺏ J"

ﻡ M ی &

6 ﺏ

) یV

ی =) I

>

'

ﻡ Y

Artinya :

“Ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim.”38

Ta’zir merupakan hukuman yang menjadi kekuasaan penguasa di dalam

menentukan kadar hukuman bagi pelaku tindak pidana dan hakim bertugas

memutuskan hukuman terhadap pelaku tindak pidana meski tetap mengacu kepada

37

A. Hanafi, , Asas-asas Hukum Pidana Islam, hlm 8

38

(29)

syariat yang berasal dari Allah SWT. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih

hukuman yang lebih tepat bagi pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan

tempat kejahatan.39

Di dalam jarimah ta’zir hakim dapat mempunyai hak lebih besar untuk

menentukan bentuk dan berat hukumannya. Dan oleh sebab itu agar pelaku yang

melakukan jarimah hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja dan tentunya

kita juga mengetahui untuk menjatuhkan hukuman hudud diperlukan syarat yang

hanya mengacu kepada nash Al-Quran dan Hadis.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk pidana ta’zir ini merupakan

pengembangan lebih lanjut dari gagasan-gagasan pemidanaan dalam al-Quran dan

as-Sunnah, khususnya terhadap bentuk-bentuk tindak pidana yang tidak atau belum

diatur dalam kedua sumber hukum yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini

dimungkinkan karena ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam al-Quran dan

contoh-contoh dari Nabi Muhammad SAW, memang masih terbatas pada empiris

dizaman nabi.40

Jarimahta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.

Ciri khas jarimahta’zir adalah sebagai berikut:41

1) Hukumannya tidak ditentukan dan tidak terbatas. Hukuman tersebut tidak

ditentukan oleh syara dan tidak ada batas minimal dan maksimal

2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri). Dan hakim

mendapatkan hak untuk menentukan bentuk dan berat hukumannya.

2. Menurut Hukum Pidana Positif

39

Abu Hasan Al-Mawardi, Al-ahkam As-Sultahaniyah, hlm.273

40

Jimly ash-Shidiqie, Pembaharuan hukum Pidana IslamN Studi Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh. (Bandung: Angkasa, 1996) hlm.144

41

(30)

Kalau kita lihat dari sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku di

Indonesia, tindak pidana ini terdiri dari dua jenis tindak pidana yaitu “kejahatan”

(misdrijven) dan “pelanggaran” (oventredingen). Di dalam KUHP yang berlaku di

Indonesia bab tentang kejahatan dimaksukkan kedalam buku II (pasal 104-488

KUHP), sedangkan bab tentang pelanggaran dimasukkan kedalam buku III (pasal

489-569 KUHP).42

Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, perbuatan pidana biasanya

dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain :

a. Delik dolus dan delik culpa

Delik dolus mempunyai pengertian delik yang dilakukan karena adanya unsur

kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana. Seperti yang dijelaskan dalam

pasal 338 dan pasal 351 KUHP. Di dalam pasal 338 KUHP dijelaskan sengaja

merampas nyawa orang lain , sedangkan di dalam pasal 351 KUHP dijelaskan

mengenai penganiayaan yang disamakan dengan sengaja merusak kesehatan

seseorang. Di dalam kedua pasal tersebut unsur kesengajaan mempunyai dasar yang

kuat untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa.43

Sedangkan delik culpa disini mempunyai pengertian delik yang dilakukan

karena dengan suatu kealpaan dalam melakukan suatu tidak pidana. Kealpaan disini

maksudnya suatu kesalahan yang dilakukan oleh seseorang tanpa didahului dengan

unsur kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana. Hal tersebut terkandung di

dalam pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal 359 KUHP menjelaskan karena kesalahan

42

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002) ed. 1 hlm.3

43

(31)

menyebabkan orang lain mati dan pasal 360 KUHP menjelaskan karena kesalahan

menyebabkan orang lain mendapat luka-luka.44

b. Delik commisionis dan delik ommisionnis

Delik commsionis adalah suatu delik yang melanggar larangan dengan berbuat

aktif. Maksudnya melakukan suatu perbuatan yang memang sudah jelas dilarang oleh

aturan-aturan pidana yang sudah ada. Misalnya di dalam pasal 362, 372, dan 378

KUHP yang menjelaskan suatu aturan pidana tentang pencurian, penggelapan dan

penipuan.45

Dan selanjutnya delik ommisionnis yang berarti delik yang dilakukan dengan

berbuat secara pasif. Delik ini berlawanan dengan delik commsionis yang melakukan

delik dengan berbuat aktif. Maksudnya berbuat secara pasif adalah seseorang

mengetahui akan adanya suatu kejahatan tetapi tidak berbuat apa-apa dan dengan

sengaja tidak melakukan suatu apapun untuk mencegah terjadinya suatu tindak

pidana, seperti yang terdapat di dalam pasal 164 KUHP yang menjelaskan bahwa

dengan sengaja seseorang tidak melaporkan kepada pegawai negeri kehakiman atau

kepolisian dimana ia mengetahui suatu permufakatan kejahatan atau adanya suatu

kejahatan dan ia masih mempunyai waktu untuk mencegah suatu kejahatan, akan

tetapi ia hanya berdiam diri secara pasif tidak melakukan suatu upaya apapun. 46

c. Delik Biasa dan Delik aduan

Delik biasa adalah delik yang menjelaskan bahwa jika pihak pegawai negeri

kehakiman atau kepolisian telah mengetahui adanya suatu tindak pidana maka dapat

langsung dilakukan suatu proses tindak pidana terhadap pelaku kejahatan. Misalnya

44

Ibid , hlm 189

45

Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), cet ke-2, hlm. 99

46

(32)

pasal 362 KUHP, jika pihak kepolisian sudah mengetahui adanya suatu tindak pidana

pencurian maka dapat langsung dilakukan suatu proses tindak pidana.47

Kemudian delik aduan yang berarti delik yang proses pidananya memerlukan

pengaduan dari pihak korban atau pihak yang merasa dirugikan atas suatu tindak

pidana. Delik aduan terdapat di dalam pasal 310 dan pasal 284 KUHP. Di dalam pasal

310 tentang penghinaan menjelaskan jika seseorang menyerang kohormatan dan nama

baik orang lain akan tetapi orang tersebut tidak melakukan pengaduan ataupun

pelaporan terhadap suatu yang menyerang kehormatan dan nama baiknya yang

dilakukan orang lain, maka tidak bisa dilakukan suatu proses tindak pidana oleh pihak

kepolisian.48

d. Delik selesai dan delik yang berlangsung terus menerus

Delik selesai disini merupakan delik yang terjadi dengan melakukan suatu

tindak pidana tertentu. Maksudnya delik tersebut dilakukan dengan tidak

menimbulkan suatu keadaan yang berlangsung terus menerus. Misalnya yang terdapat

pada pasal 368 KUHP menjelaskan tentang memaksa seseorang dengan kekerasan

untuk memberikan barang atau kepunyaannya maksudnya jika barang atau kepunyaan

seseorang telah diberikan kepada pelaku kejahatan maka keadaan dipaksa oleh pelaku

kejahatan untuk memberikan barang atau kepunyaannya sudah tidak berlangsung lagi

atau selesai.49

Kemudian delik yang berlangsung terus-menerus merupakan delik yang

menimbulkan keadaan yang berlangsung terus menerus, delik ini tentunya berlawanan

47 Topo Santoso, Hukum Pidana,artikel diakses pada tanggal 1 februari 2009 dari

http://staff.ui.edu/internal/132108639/material/HUKUMPIDANA1.pdf.

48

Pratiwi Prasojo, Sistem Hukum Indonesia, artikel diakses pada 5 Februari 2009 dari http://mydailythought.googlepages.com/DraftBukuAjarPHI.pdf

49

(33)

dengan delik selesai tidak berlangsung secara menerus. Delik berlangsung

terus-menerus terdapat didalam pasal 333 KUHP. Pasal ini menjelaskan keadaan yang

berlangsung terus-menerus dengan merampas kemerdekaan seseorang secara terus-

menerus maksudnya keadaan seseorang yang dirampas kemerdekaanya itu

berlangsung secara terus-menerus sampai si korban dilepas atau mati. 50

e. Delik formal dan delik materil

Delik formal berarti delik yang bentuk perbuatannya sudah dirumuskan di

dalam undang-undang. Maksudnya suatu perbuatan merupakan perbuatan yang

dilarang dan perbuatan tersebut dirumuskan tanpa mempersoalkan akibat dari

tindakan tersebut. Misalnya pada pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP. Oleh karena

itu akan dijelaskan di dalam pasal 209 tentang penyuapan. Penyuapan merupakan

suatu perbuatan yang dilarang dan sudah dirumuskan dalam bentuk perbuatannya.51

Selanjutnya delik materil merupakan delik yang menyebutkan akibat tertentu

dari suatu tindak pidana, dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Maksudnya

suatu tindakan memang merupakan suatu tindakan yang dilarang akan tetapi baru bisa

dikatakan ada suatu tindak pidana jika terdapat akibat perbuatan tersebut. Misalnya

pada pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dapat dianggap melakukan tindak pidana

pembunuhan jika telah terjadi perampasan nyawa seseorang.52

f. Gabungan Perbuatan Pidana.

Ada tiga macam gabungan tindak pidana, yaitu:

1) Eendosche samenloop (gabungan berupa satu perbuatan)

50

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, hlm 77

51

Topo Santoso, Hukum Pidana,artikel diakses pada tanggal 1 februari 2009 dari http://staff.ui.edu/internal/132108639/material/HUKUMPIDANA1.pdf

52

(34)

Gabungan berupa satu perbuatan dapat diartikan melakukan satu perbuatan

tindak pidana tetapi masuk juga kedalam aturan pidana yang lain. Maksudnya adalah

seseorang yang melakukan satu tindak pidana tertentu tetapi ia bisa dijerat ke dalam

aturan pidana yang lain. Dan hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman yang paling

berat sebagaimana ketentuan di dalam pasal 63 KUHP. 53

2) Voorgezette Handeling

Voorgezette handeling adalah gabungan beberapa perbuatan yang merupakan

suatu tindak pidana baik kejahatan atau pelanggaran yang mempunyai kelanjutan

antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa jika

suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana yang berkelanjutan maka akan

diterapkan satu aturan pidana, akan tetapi jika berbeda-beda maka dijatuhkan

hukuman yang paling berat. Dan hal tersebut dapat dikatakan hampir sama dengan

pengertian yang dibahas sebelumnya yaitu dijatuhkan hukuman yang paling berat

yang diatur di dalam pasal 64 KUHP.54

3) Meerdadsche Samenloop (gabungan beberapa perbuatan)

Meerdadsche Samenloop yaitu beberapa gabungan perbuatan yang berdiri

sendiri yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masing-masing perbuatan

tersebut merupakan tindak pidana maka akan diancam dengan pidana pokok yang

sejenis dan dijatuhkan hanya satu pidana saja. hal ini diatur di dalam pasal 65 dan 66

KUHP.55

C. Tujuan Pemidanaan

1. Menurut Hukum Pidana Islam

53

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hlm 149

54

Ibid, hlm 147

55

(35)

Di dalam syariat islam yang menjadi tujuan pokok di dalam sebuah penjatuhan

hukuman adalah sebagai berikut :56

a. Pencegahan;

b. Pengajaran;

c. Serta pendidikan

a. Pencegahan

Pencegahan merupakan suatu tujuan untuk menahan seseorang untuk tidak

mengulangi perbuatannya lagi dan tidak dilakukan secara terus-menerus dalam bentuk

melakukan sebuah jarimah. Dalam hal ini pencegahan juga dimaksudkan supaya

orang lain mengetahui bahwa jika seseorang melakukan jarimah, maka akan

diberlakukan pula hukuman yang sama terhadapnya. Misalnya, jika seseorang

mencuri dan mencapai nisab pencurian, maka akan dikenakan hukuman potong

tangan terhadapnya. Oleh karena itu, pencegahan dimaksudkan supaya orang lain

dapat menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan jarimah lagi dan untuk

mencegah orang lain untuk ikut melakukan jarimah serta menjauhakan diri dari

kehidupan yang dapat memicu untuk berbuat jarimah.57

b. Pengajaran

Pengajaran yang dimaksudkan disini merupakan suatu usaha untuk

memberikan pelajaran dalam hal berbuat kebaikan untuk setiap orang serta

dimaksudkan supaya setiap orang melakukan kesadaran untuk tidak berbuat jarimah

bahkan membenci perbuatan tersebut. Kesadaran disini dimaksudakan supaya setiap

56

. A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam hlm.191.

57

(36)

orang dapat berfikir panjang untuk melakukan jarimah karena mengetahui hukuman

yang akan diterima jika tertangkap.58

d. Pendidikan

Kemudian yang terakhir pendidikan yang sebenarnya mempunyai pegertian

yang tidak jauh berbeda dengan pengajaran. Di dalam tujuan pendidikan, syariat islam

dimaksudkan untuk membentuk manusia yang baik yang mempunyai rasa saling

menghormati serta mencintai sesamanya. Oleh karena itu setiap orang harus

mengetahui batasan hak dan kewajibannya sehingga dapat mempuyai rasa kasih

sayang terhadap setiap orang. Jarimah yang dilakukan oleh kejahatan dapat

menimbulkan amarah sehingga dapat menimbulkan reaksi dan balasan dari

masyarakat. Maka tujuan dari hukuman adalah untuk dapat menimbulkan rasa

keadilan serta mendidik pelaku kejahatan untuk menjadi manusia yang lebih baik.59

Untuk penjatuhan hukuman terhadap pelaku jarimah yang dijelaskan di dalam

Al-Quran hanya terhadap beberapa jenis kejahatan saja, sedangkan untuk kejahatan

lainnya Al-Quran hanya memberikan kaidah-kaidanya saja, akan tetapi untuk

menentukan jenis hukumannya Al-Quran memberikan dasar-dasar yang berlaku

secara umum, yaitu bahwa hukuman itu harus sebanding dengan apa yang

dikerjakannya,60 sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran :

P

$1u1 !0 A

=i!ƒ„ !3

i!ƒ„ !3

!8

n

d(

)...…

(" N [\ ]

Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa ( Ass-syura/42 : 40 )”.

58

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam hlm 192.

59

Abdul Qadir ‘Audah, Tasyri’ al-Jinai al-Islami, hlm 20.

60

(37)

Di dalam penjatuhan hukuman, hukum pidana islam tidak mengenal adanya

pertanggung jawaban secara kolektif , Namun hanya mengenal pertanggung

jawaban secara individual, sebagaimana firman Allah :

-D$m

… ST1o

!/ E

W`1y: Hm

qi• ~

-^ ﺙ = N `a ]

Artinya: “Setiap jiwa terikat dengan apa yang dilakukannya (Al-Mudatsir / 74:38 )”

Maka dapat dikatakan bahwa pertanggung jawaban pribadi (individual) disini

dimaksudkan supaya pelaku jarimah dapat memperbaiki dirinya dan tidak

mengulangi poerbuatannya lagi. Misalnya, di dalam jarimah pembunuhan yang

dilakukan secara sengaja, jika dari pihak korban telah memaafkan maka pelaku harus

membayar diyat yang harus dibayarnya sendiri. Sementara itu Ahmad Hanafi

mengemukakan mengenai tujuan penjatuhan hukuman di dalam hukum pidana islam

ialah untuk pencegahan, pengajaran, pendidikan, baik pelakunya sendiri maupun bagi

masyarakat pada umumnya. Maka dapat dikatakan tujuan jangka panjang dari hukum

pidana islam disini untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia serta keadilan

di dalam penerapan hukum khususnya hukum pidana.61

Dan di dalam pembuatan suatu hukum menurut beberapa para ahli hukum

islam mengandung tujuan-tujuan dari syariah, dan para ahli hukum islam tersebut

mengklasifikasikannya ke dalam beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah

sebagai berikut:62

a. Kebutuhan primer (daruriyyat)

b. Kebutuhan sekunder (hajiyyat)

c. Kebutuhan pelengkap (tahsiniyyat)

a. Kebutuhan primer (daruriyyat)

61

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam h.225

62

(38)

Kebutuhan primer (daruriyyat) adalah kebutuahan utama yang harus ada

untuk terwujudnya maslahah.63 Terjaminnya suatu kebutuhan ini maka akan tercipta

suatu keamanan dan ketertiban, sedangkan jika tidak maka akan timbul kekacauan

dan ketidaktertiban di mana-mana. Dan di dalam hukum islam kita mengenalnya

dengan istilah al maqasid al syari’ah al khamsah (tujuan tujuan syariah), dan terbagi

ke dalam beberapa bagian, yaitu (1) hifzh al-din (memelihara agama), (2)

hifzh al-nafs (memelihara jiwa), (3) hifzh al-aql (memelihara akal pikiran), (4) hifzh

al- nasl (memelihara keturunan), (5) hifzh al-mal (memelihara harta).64

b. Kebutuhan sekunder (hajiyyat)

Di dalam pemenuhan kebutuhan sekunder ini, mencakup hal-hal yang penting

di dalam penyediaan fasilitas untuk mempermudah masyarakat dan mengurangi beban

tanggung jawab mereka. Jika tidak terdapat suatu fasilitas tersebut, mungkin tidak

menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban akan tetapi akan menambah

kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dan kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang dapat

meyingkirkan kesulitan-kesulitan serta dapat mempermudah kehidupan di dalam

masyarakat.65

c. kebutuhan pelengkap (tahsiniyyat)

Kebutuhan pelengkap di sini dimaksudkan untuk menciptakan

perbaikan-perbaikan di dalam kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dalam

urusan hidup secara lebih baik. Jika ketiadaan di dalam pemenuhan kebutuhan ini

63

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, h 41

64

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung:Asy Syaamil & Grafika, 2001) cet ke-2, hlm. 131

65

(39)

maka tidak akan membawa kekacauan, ketidaktertiban, dan tidak menghilangkan

kesulitan, akan tetapi dapat membuat hidup lebih mudah.66

Maka dapat dikatakan jika masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

secara seimbang dan tidak merubah urutannya maka akan tercipta suatu kemaslahatan

bagi umat manusia serta dapat memenuhi rasa keadilan terhadap sesama makhluk

ciptaan Allah SWT. Dan juga akan tercipta keseimbangan di dunia dan di akhirat,

karena tentunya itulah yang terkandung di dalam syari’at islam.67

2. Menurut Hukum Pidana Positif

Di dalam penerapan hukum pidana yang berlaku sekarang pada dasarnya

mengandung 4 (empat) konsep tujuan pemidanaan atau tujuan penjatuhan hukuman

terhadap pelaku kejahatan. Keempat konsep tersebut adalah sebagai berikut :

1. Reformation (memperbaiki merehabitasi)

2. Restraint (pengasingan)

3. Retribution (pembalasan)

4. Deterrence (penjeraan atau pencegahan)68

Untuk yang pertama, reformation yang mempunyai arti memperbaiki atau

merehabitasi para pelaku kejahatan untuk menjadi orang yang baik dan berguna bagi

masyarakat. Karena jika suatu negara tingkat kejahatan berkurang maka akan tercipta

keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat serta dapat tercapainya kesejahteraan

sosial. Maka jika tujuan ini sudah terwujud dengan baik setiap orang akan merasa

nyaman untuk melakukan setiap aktifitasnya sehari-hari tanpa rasa takut akan menjadi

korban kejahatan. Akan tetapi , tujuan ini kurang berlaku secara efektif di indonesia

66

Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm 41

67

Ibid, hlm 43

68

(40)

karena hal yang terjadi sebaliknya seorang residivis akan menjadi lebih jahat dan

lebih pintar dalam melakukan kejahatannya jika sudah bebas dari penjara.69

Yang kedua, restraint merupakan tujuan untuk mengasingkan pelaku

kejahatan dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari

pelaku kejahatan seperti, melindungi dari para perampok kejahatan, penodong atau

pencuri yang sekarang ini marak terjadi di angkutan umum. Hal ini sangat berkaitan

dengan tujuan yang pertama, karena menyangkut berapa lama seorang pelaku

kejahatan berada di dalam penjara sehingga dapat menjauhkannya dari kehidupan

masyarakat.70

Yang ketiga, retribution yang berarti tujuan untuk pembalasan terhadap pelaku

tindak kejahatan. Hal ini terkandung di dalam pasal 340 KUHP yang menjelaskan

ancaman hukuman mati bagi pelaku jika terbukti melakukan tindakan pembunuhan

dengan direncanakan terlebih dahulu. Dan hal ini sebenarnya sudah banyak

diterapkan dengan baik di indonesia, seperti yang terjadi pada penjatuhan hukuman

terhadap pelaku teroris amrozi dan kawan-kawan beberapa waktu lalu.71

Dan yang terakhir, deterrence merupakan tujuan untuk penjeraan atau

pencegahan baik terhadap terdakwa maupun orang lain yang mungkin berpotensial

menjadi penjahat. Hal ini tentunya akan membuat setiap orang menjadi jera atau takut

melakukan kejahatan karena melihat penjatuhan pidana terhadap terdakwa ataupun

orang lain yang melihat penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan. Oleh karena itu

69

Ibid, hlm 27

70

Ibid , hlm 28.

71

(41)

jika masyarakat melihat eksekusi mati terhadap amrozi dan kawan-kawan maka orang

akan menjadi takut untuk menjadi teroris.72

Di dalam rancangan KUHP Nasional Pasal 50 ayat 1 nya telah menetapkan

empat tujuan pemidanaan sebagai berikut:73

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oeh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai di dalam masyarakat

d. Membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana sehingga ia dapat menjadi

orang yang lebih baik.

Perbedaan dengan KUHP yang berlaku sekarang ini , di dalam RUU KUHP terdapat rumusan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Hal ini bertolak dari pokok pikiran bahwa :

† Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive sytem) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan,

† “Tujuan Pidana” merupakan bagian integral (sub – sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) disamping sub – sistem lainnya, yaitu sub – sistem “tindak pidana” , “pertanggungjawaban” (kesalahan), dan “pidana”,

† Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan,

† Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif). Oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.74

72

Ibid, hlm 168.

73

. Andi Hamzah,Asas-asas Hukum Pidana, hlm.37.

74

(42)

D. Sanksi Pidana

1. Menurut Hukum Pidana Islam

Selanjutnya akan menjelaskan mengenai sanksi pidana menurut hukum pidana

islam. Pada dasarnya untuk menentukan sanksi pidana di dalam hukum pidana islam

terbagi atas empat golongan, yaitu (1) Hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat

nashnya dalam Al-Quran dan al-Hadist, (2) Hukuman dari segi hubungan antara satu

hukuman dengan hukuman lain, (3) Hukuman dari segi kekuasaan hakim yang

menjatuhkan hukuman, (4) Hukuman dari segi sasaran hukum.75

Untuk yang pertama, hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya

dalam Al-Quran dan al-Hadist, yaitu (1) hukuman yang ada nashnya,maksudnya

hukuman tersebut sudah jelas terdapat di dalam nash Al-Quran maupun al-Hadist,

seperti hudud, qishash, diyat, dan kafarat yang kesemuanya harus berjalan sesuai

dengan nash yang sudah ditentukan. Misalnya jika seseorang mencuri dan mencapai

nisab pencuriannya maka akan dipotong tangannya. (2) hukuman yang tidak ada nash

yang mengatur di dalamnya baik Al-Quran maupun Al- hadist, hukuman seperti ini

biasa disebut dengan hukuman ta’zir, misalnya seorang pencuri yan

Referensi

Dokumen terkait

Berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak yang diperiksa atau akan diperiksa oleh OJK karena diduga melakukan pelanggaran peraturan perundang- undangan di

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data-data berbasis satelit bisa digunakan untuk mengkalibrasi model hidrologi dan memprediksi potensi kejadian banjir dan

Pertama Peran humas DPRD Kabupaten Nganjuk yakni penasehat ahli Humas sebagai penasehat ahli yaitu berperan untuk menampung ide-ide atau aspirasi yang ditemukan

(2011), mengatakan bahwa corporate governance yang baik akan meningkatkan firm performance. Secara bersamaan, praktik ini dapat melindungi perusahaan dari kemungkinan

Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan diterapkan untuk menetukan waktu

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan sebanyak dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP N 2 Ngawen dan guru mata

[r]

Ada beberapa keunggulan penerapan kinerja balanced scorecard (BS) dibanding- kan dengan kinerja tradisional yang hanya fokus pada aspek keuangan saja, yaitu: (1) Pengukuran