A. Akibat bagi pihak ketiga
Pada pembahasan terdahulu dinyatakan bahwa perikatan hanya mengikat pihak yang melakukan perjanjian. Jika Widia dan yeyen melakukan perjanjian jual beli motor maka perjanjian tersebut hanya mengikat Widia dan yeyen. Dengan adanya actio Paulina maka perikatan antara dua orang dapat diintervensi oleh pihak ketiga. Jual beli antara Widia dan Yeyen dapat dicegah oleh pihak ketiga seandainnya pihak ketiga tersebut berada pada posisi dirugikan atas jual beli tersebut.
Lantas, apakah dimungkinkan perjanjian dilakukan oleh dua orang, tetapi untuk mengikat pihak ketiga?
Perjanjian antara dua pihak yang dilakukan untuk kepentingan pihak ketiga diatur dalam pasal 1317 KUH perdata. Pasal 1317 KUHP perdata merupakan pengecualian asas kepribadian atau personalia yang menyatakan bahwa seseorang membuat perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya saja. Adapun bunyi pasal 1317 KUHP perdata sebagai berikut,
1. Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu.
2. Siapa pun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat tersebut.
Penjelasan pasal 1317 KUHP perdata dengan contoh:
Dapat pula diadakan perjanjian untuk pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu.
Contoh satu: Zainul ingin memberi hadiah kepada Andini. Zainul memutuskan untuk membeli tas kulit domba seharga Rp1.600.000, Zainul menghubungi Jasman berprofesi sebagai penjual tas kulit. Transaksi pun dilakukan. Zainul membayar Rp1.600.000 kepada Jasman dan mengatakan bahwa teas tersebut akan diberikan kepada Andini. Mas Jasman setuju dan mengirimkan tas kulit tersebut ke rumah Andini.
Pada contoh di atas, pihak yang melakukan perjanjian jual beli adalah Zainul dan Jasman, tetapi transaksi tersebut mempunyai akibat bagi pihak ketiga yaitu Andini. Andini menerima akibat yaitu mendapatkan tas kulit yang diberi oleh Zainul.
Apakah yang dilakukan Zainul tidak merugikan Andini? Jika Andini merasa senang dengan tas pemberian tersebut maka yang dilakukan Zainul tentu tidak merugikan Andini, bahkan memberikan keuntungan bagi Andini. Tetapi bisa saja, dalam hal hal tertentu Andini merasa dirugikan dengan pemberian tersebut. Misalnya, Zainul memberikan tas tersebut karena Zainul menyukai dan ingin melamar Andini menjadi istrinya, sedangkan Andini tidak menyukai Zainul, atau Zainul adalah pengusaha, sedangkan Andini adalah pejabat di kantor pemerintahan. Zainul memberikan tas tersebut agar proyek tender di kantor Andy ini dapat diberikan kepada Zainul.
Jika Andini menolak pemberian tas tersebut, kepada siapa Andini mengembalikan tas itu?
Andini dapat mengembalikan tas tersebut kepada Zainul sebab meskipun tas tersebut diantarkan oleh Jasman tetapi hak milik tersebut ada pada Zainul
Dalam konteks pemerintahan, perjanjian antara pemerintah (pihak pertama) dengan pihak kedua dilakukan untuk kepentingan pihak ketiga yaitu masyarakat sebagai penerima manfaat
.
Contoh kedua: perjanjian antara pemerintah daerah tingkat II kabupaten XXX dengan perusahaan swasta untuk mengelola pengadaan air bagi irigasi sawah di beberapa desa. Di
wilayah Kabupaten XXX, air irigasi selalu menjadi sumber pertikaian antar warga. Tak jarang bentuk fisik terjadi ketika warga membendung air sungai sehingga tidak mengalir ke salah satu desa dan hanya mengalir ke desa lain. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah daerah tingkat II kabupaten XXX bekerja sama dengan perusahaan swasta membangun suatu waduk penampungan air. Waduk ini terisi pada waktu Musim Penghujan. Pada waktu musim kemarau, air waduk dialirkan ke sawah sawah milik penduduk. Dengan adanya waduk penampungan air ini maka sawah milik warga di beberapa desa selalu mendapat air pada musim hujan atau kemarau.
Dalam hal ini, perjanjian dilakukan oleh Pemda tingkat II dan perusahaan swasta untuk kepentingan pihak ketiga yaitu masyarakat. Masyarakat diuntungkan karena tidak bertikai dan berebut air irigasi dan sawah menjadi lebih produktif.
Contoh ketiga: perjanjian antara dinas pendidikan provinsi YYY dengan perusahaan swasta yang memberikan beasiswa bagi anak SD, SMP, dan SMA di beberapa kota. Dinas pendidikan mengajak perusahaan swasta di provinsi ye untuk memberikan CSR (corporate sosial Responsibility) Yaitu sebagai keuntungan pengusaha yang disumbangkan pada masyarakat.
Salah satu bentuk CSR adalah dengan memberikan biar siswa bagi sekolah yang tidak mampu.
Dalam hal ini perjanjian kerja sama ditangani oleh dinas pendidikan provinsi YYY dan perusahaan swasta untuk kepentingan pihak ketiga yaitu siswa SD, SMP, dan SMA di provinsi YYY
Contoh keempat: perjanjian kerja sama antar dinas peternakan dan perusahaan swasta yang memberikan bantuan bergulir untuk pengembangan ternak kambing dan sapi yang diberikan kepada kelompok tani
Di beberapa desa, telah dibentuk kelompok tani yang terdiri atas 10 sampai 15 petani.
Kelompok tani ini biasanya mengelola suatu kegiatan produktif secara bersama-sama dan hasilnya dibagi sesuai dengan kontribusi masing-masing petani.
Untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok tani maka dinas peternakan dan perusahaan swasta melakukan kerja sama dengan memberikan bantuan kelompok petani berupa sejumlah kambing dan sapi untuk dipelihara dan dikembangbiakan setelah tiga tahun, kambing dan sapi tersebut akan diminta dan diberikan kepada kelompok tani yang lain, sedangkan anak anak kambing atau sapi yang dihasilkan selama tiga tahun menjadi kelompok tani. Dalam kasus ini
yang melakukan perjanjian adalah dinas peternakan dan perusahaan swasta untuk kepentingan pihak ketiga yaitu kelompok tani sebagai penerima manfaat.
Contoh kelima: perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah, bank, dan real estate Indonesia (Rei) yang menyediakan perumahan bersubsidi dengan harga murah dan angsuran bunga bank yang ringan yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan penghasilan kurang dari 3.000.000 per bulan.
Kerja sama dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka membantu masyarakat untuk memiliki rumah sendiri. Pemerintah daerah bekerja sama dengan sebuah bank yang akan memberikan fasilitas kredit perumahan dengan angsuran di bawah angsuran normal. Selain itu, uang muka untuk pembelian rumah tersebut juga lebih sedikit dibandingkan dengan uang muka jika memilih rumah tanpa subsidi. Pada saat yang bersamaan, pemerintah daerah juga mengajak REI yang bertanggung jawab atas pembangunan perumahan di wilayahnya untuk membantu memberikan subsidi.
Kerja sama ini dilakukan ketiga pihak yaitu pemerintah daerah sebuah bank dan RI untuk kepentingan pihak lain yaitu masyarakat yang kurang mampu. Perjanjian dengan melibatkan pihak ketiga juga bisa terjadi karena perjanjian tersebut dilakukan untuk jangka waktu yang sangat lama.
Contoh ke enam: dalam perjanjian pembelian rumah tangga dengan sistem angsuran, bagaimana apabila pihak debitur meninggal? Maka hak dan kewajiban akan beralih kepada ahli waris. Perjanjian yang diperuntukkan untuk pihak ketiga lazim ditemui dalam perjanjian asuransi jiwa.
Contoh ketuju Khairul adalah pekerja perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Jadi Khairul relatif besar, t tetapi resiko kerja Khairul juga relatif tinggi. Khairul memutuskan ikut asuransi jiwa.
Dalam perjanjian asuransi jiwa, Khairul memberikan perjanjian dengan perusahaan asuransi untuk kepentingan pihak ketiga yaitu ahli warisnya yang berupa istri dan anak Kairo. Dalam perjanjian asuransi, Khairul membayarkan sejumlah uang setiap bulan. Jika suatu saat kau Irul meninggal dunia maka istri dan anak keliru berhak atas uang asuransi yang besarnya telah ditentukan oleh dalam perjanjian.
Siapa pun yang telah menentukan satu syarat tidak boleh menariknya kembali jika pihak ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat itu, Sebagai contoh Dian menjual mobil kepada
Eko. Lalu Eko membayar sejumlah uang kepada dian dan mengatakan bahwa mobil tersebut akan diberikan kepada farid . Eko mengatakan bahwa mobil tersebut boleh dipakai Farid sebagai mobil rental atau sewaan. Farid menyetujui persyaratan eko . Setelah Fariz setuju dengan syarat yang diajukan eko, eko tidak bisa menarik syarat tersebut. Mengapa? Sebab ada kemungkinan, setelah mendapat tawaran dari Eko, Farid bisa saja keluar dari tempat kerjanya dan bersiap siap untuk mendirikan rental mobil. Jika kau menari syarat yang diberikan, maka hal ini sangat merugikan Farid
B. PENAFSIRAN PERJANJIAN
Pada dasarnya, perjanjian dibuat dengan bahasa yang lugas, jelas, mudah dipahami dan tidak multi tafsir. Hal ini dimaksudkan agar apa yang dipahami satu pihak sama dengan yang dipahami oleh pihak lain,
Dalam praktiknya, perbedaan penafsiran perjanjian tidak bisa dihindarkan. Sebuah kalimat dalam perjanjian dapat diartikan berbeda oleh para pihak sesuai dengan kepentingannya, bahkan satu kalimat yang sama dapat menimbulkan penafsiran yang bertentangan antara pihak yang satu terhadap pihak yang lain.
Pasal 1342 KUH Perdata menyatakan bahwa jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengandung makna bahwa para pihak hendaknya tidak boleh dengan iktikad buruk mengada-ada dan mencari-cari tafsir dari suatu kata atau kalimat dalam perjanjian.
Jika kata-kata dalam perjanjian adalah jelas, maka jangan ditafsirkan.
Contoh: dalam klausul perjanjian antara Edo dan Firman dinyatakan bahwaperjanjian ini berlaku sejak hari Minggu, 1 September 2013.” Kata- kata dalam perjanjian ini sangat jelas.
Tetapi Edo menyangkal serta menafsirkan bahwa tanggal 1 September 2013 merupakan hari Minggu dan pada hari Minggu, orang tidak ada yang bekerja. Apakah alasan ini dapat dibenarkan?
Alasan Edo tidak dapat dibenarkan. Perjanjian merupakan kesepakatan para pihak. Jika Edo tidak mau bekerja pada hari Minggu, maka dalam perjanjian sebaiknya disebutkan bahwa perjanjian mulai berlaku sejak hari Senin, 2 September 2013. Lagi pula, awal dimulai perjanjian tidak bergantung apakah perjanjian tersebut dimulai pada hari kerja/hari libur. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak berhak menentukan kapan dimulainya perjanjian dan kapan perjanjian tersebut berakhir.
Pasal 1343 KUH Perdata menyatakan bahwa jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai taksiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.
Kata ditafsirkan sesuai tujuan menerjemahkan suatu kata an sich.
Contoh: dalam klausul perjanjian antara PT BAC dan PT DEF dinyatakan bahwa
“barang akan dikirim oleh PT BAC 7 (tujuh) hari setelah uang diterima oleh PT BAC.”
PT BAC menerjemahkan 7 (tujuh) hari adalah tujuh hari kerja sedangkan PT DEF menerjemahkan 7 (tujuh) hari adalah tujuh hari kalender. Tujuh hari kerja berarti jika uang dikirim hari Senin, tanggal 2 September 2013, maka PT BAC mengirim barang pada tanggal 11 September 2013 sebab hari Sabtu dan Minggu (tanggal 7 dan 8 September 2013 merupakan hari libur). Sedangkan PT DEF berasumsi bahwa 7 (tujuh) hari merupakan hari kalender sehingga jika PT DEF mentransfer uang pada tanggal 2 September 2013, maka barang mulai dikirim pada tanggal 9 Agustus 2013.
Untuk menerjemahkan kata-kata “7 (tujuh) hari” maka perlu dilihat urgensi dan maksud perjanjian tersebut. Jika PT DEF memang mempunyai kepentingan yang mendesak terhadap barang tersebut dan barang tersebut juga telah siap kirim, maka sebaiknya PT BAC mengalah dan mengikuti tafsir yang diberikan PT DEF. Sebaliknya, jika untuk menyiapkan barang yang dipesan memerlukan persiapan waktu yang cukup lama dan waktu 7 (tujuh) hari kalender dianggap tidak cukup, maka PT DEF harus berbesar hati menerima tafsir dari PT BAC.
Pasal 1344 KUH Perdata menyatakan bahwa jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti ang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan.
Apa yang ditafsirkan harus masuk akal dan dapat dilaksanakan.
Contoh: dalam perjanjian sewa-menyewa mobil dituliskan klausul “keterlambatan pengembalian mobil dikenakan denda sebesar 10%.” Andi menyewa sebuah mobil di rental
seharga 500 ribu/hari dan terlambat mengembalikan selama 3 hari. Andi menerjemahkan bahwa 10% tersebut adalah dari harga sewa yaitu 10% x 500 ribu x 3hari = 150 ribu rupiah, Tetapi pemilik rental mengatakan bahwa 10% per hari dari harga mobil. Tentu saja Andi tidak bisa menerima *ide konyol” dari pemilik rental. Jika mobil yang disewa seharga 200 juta, maka Andi harus membayar 10% x 200 juta x 3hari = 60 juta rupiah. Hal ini sangat tidak masuk akal dan tidak memungkinkan untuk dilaksanakan.
Pasal 1345 KUH Perdata menyatakan bahwa jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat persetujuan.
Kata ditafsirkan sesuai dengan sifat perjanjian.
Contoh: dalam perjanjian pengerjaan suatu proyek antara Pak Kabul dan Pak Rozak dinyatakan bahwa apabila dianggap perlu, Pihak Pertama dapat menyusun petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian ini,.”
Yang paling memahami substansi dan isi perjanjian tersebut adalah Pak Kabul sebagai pihak pertama dan Pak Rozak sebagai pihak kedua. Apabila pekerjaan tersebut menuntut pelaksanaan kerja dengan waktu yang terbatas dan jumlah anggota tim yang bekerja juga terbatas, maka Pak Kabul dapat menyusun suatu JUKLAK di mana dalam JUKLAK tersebut diatur tentang “siapa melakukan apa.” Prinsip “siapa melakukan apa” merupakan konsep profesional. Setiap orang mengetahui tanggung jawab dan tugas serta hak- haknya sehingga tidak ada pekerjaan yang terabaikan dan tidak ada pekerjaan yang dikerjakan oleh dua orang.
Kata-kata “apabila dianggap perlu” merupakan kata-kata kompromi antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua di mana masing-masing pihak dengan iktikad baik diharapkan dapat melaksanakan kewajiban dengan baik tanpa ada tekanan dari pihak lain. Apabila pihak pertama dapat melaksanakan pekerjaan tanpa mnenggunakan JUKLAK, maka JUKLAK tidak perlu disusun. Hal ini bisa saja terjadi apabila pihak pertama sudah sangat berpengalaman mengerjakan proyek tersebut.
Pasal 1346 KUH Perdata menyatakan bahwa perkataan yang mempunyai dua arti harus diterangkan menurut kebiasaan di dalam negeri atau di tempat persetujuan dibuat.
Perjanjian ditafsirkan sesuai dengan kebiasaan di tempat perjanjian tersebut dibuat.
Contoh: Abdul Kareem adalah pengusaha yang berasal dari Saudi Arabia. Abdul Kareem membuat perjanjian kerja sama jual-beli kain sutera dengan Cintya, pengusaha asal Indonesia. Dalam perjanjian ini, Cintya sebagai Pihak Pertama dan Abdul Kareem sebagai Pihak Kedua. Dalam salah satu klausul perjanjian dinyatakan bahwa “Pihak Kedua akan membayar dan mentransfer uang 5 (lima) hari kerja setelah barang dikirim, di mana waktu pengiriman barang dihitung sebagai A (satu) hari kerja.”
Perjanjian tersebut dibuat di Jakarta dan barang dikirim tanggal 2 September 2013.
Sesuai dengan perjanjian, semestinya Abdul Kareem membayar dan mentransfer uang tersebut pada hari Jumat, 6 September 2013. Tetapi pada hari Jumat tersebut Abdul Kareem tidak mengirimkan uang karena di Saudi Arabia, hari Jumat adalah hari libur. Ketika hari Sabtu, 7 September 2013 Abdul Kareem mengirim dan mentransfer uang, Cintya tidak dapat mengambil uang tersebut karena hari Sabtu dan Minggu bank di Indonesia tutup. Terpaksa Cintya mengambil uang tersebut pada hari Senin, 9 September 2013.
Jika terjadi perdebatan antara Cintya dan Abdul Kareem, maka yang bersalah adalah Abdul Kareem sebab perjanjian dibuat di Indonesia sehingga para pihak harus tunduk pada hukum dan aturan yang ada di Indonesia. Seharusnya Abdul Kareem mengirim dan mentransfer uang pada hari Kamis, 5 September 2013 atau membayar denda atas keterlambatan pengiriman uang sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan bahwa syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.
Kebiasaan dalam masyarakat dianggap bagian dari perjanjian meskipun tidak dicantumkan dalam perjanjian tersebut.
Contoh: Monika menyewa sebuah rumah milik Ibu Kumairoh. Setelah satu bulan tinggal di rumah tersebut, Monika mendatangi Bu Kumairoh dan menyodorkan tagihan air
PDAM, listrik PLN dan telepon TELKOM. Monika mengatakan bahwa Ibu Kumairoh yang harus membayar tagihan tersebut sebab dalam perjanjian sewa-menyewa rumah tidak disebutkan siapa yang membayar tagihan-tagihan tersebut. Apakah alasan yang dikemukakan Monika dapat dibenarkan?
Dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, sudah menjadi kebiasaan dan kewajaran jika pembayaran tagihan air PDAM, listrik PLN dan telepon TELKOM ditanggung oleh penyewa rumah. Hal ini sangat logis sebab setelah rumah digunakan oleh penyewa, maka yang menikmati fasilitas air PDAM, listrik PLN dan telepon TELKOM adalah penyewa rumah. Jadi apa yang dilakukan Monika adalah salah.
Pasal 1348 KUH Perdata menyatakan bahwa semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam ubungannya dengan seluruh persetujuan.
Pasal-pasal dalam perjanjian merupakan satu kesatuan dan bukan berdiri sendiri-sendiri secara terpisah.
Contoh: Tujuh orang pengusaha berniat mendirikan usaha bersama, Sebelum menentukan jenis usaha apa yang akan dijalankan, ketujuh pengusaha tersebut membuat perjanjian komitmen untuk meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan modal dalam proses pendirian perusahaan tersebut.
Dalam Pasal 4 perjanjian dinyatakan bahwa “para pihak harus selalu menghadiri rapat dan tidak dapat diwakilkan”
Sedangkan dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa jika ada kepentingan yang tidak dapat ditinggalkan, para pihak dapat menunjuk wakil/kuasa untuk menghadiri rapat. Penunjukkah wakil/kuasa dilakukan dengan membuat surat kuasa khusus.”
Jika Arman tidak dapat menghadiri rapat, maka anggota lain tidak dapat mengatakan Arman telah melanggar perjanjian karena tidak mentaati aturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Anggota lain juga harus melihat dalam Pasal 7. Dalam kasus ini, dapat dilihat apakah Arman memang mempunyai keperluan lain sehingga tidak dapat menghadiri rapat dan menugaskan orang lain untuk hadir dalam rapat tersebut. Tetapi Arman juga harus konsekuen
yaitu membuat surat kuasa khusus yang menugaskan wakil/kuasanya untuk menghadiri rapat.
Inti dari Pasal 1348 KUH Perdata adalah bahwa jangan hanya melihat pada Pasal 4 saja, tetapi perlu dilihat keseluruhan dari isi perjanjian.
Pasal 1349 KUH Perdata menyatakan bahwa jika ada keragu-raguan, suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu.
Contoh: Harjo dan Iwan melakukan perjanjian jual beli barang. Harjo dan Iwan tinggal dan mempunyai usaha di Jakarta. Harjo telah membayar sejumlah uang dan lwan mempunyai kewajiban untuk mengirimkan barang tersebut.
Dalam perjanjian ang dibuat, ada klausul yang menyatakan bahwa “force majeur adalah keadaan memaksa di mana para pihaktidak dapat melaksanakan kewajibannya. Bentuk force majeur adalah kebakaran besar, perang, gunung meletus, dan bencana alam lain”.
Pada suatu hari, di Jakarta terjadi banjir selama dua hari dua malam sehingga melumpuhkan lalu lintas Jakarta. Iwan tidak bisa mengirimkan barang ke tempat Harjo.
Apakah banjir dapat dikatakan sebagai force majeur? Dalam perjanjian tidak disebutkan banjir sebagai salah satu bentuk force majeur.
Meskipun tidak ada dalam klausul perjanjian dan tidak disebutkan secara tegas sebagai bagian dari force majeur, tetapi banjir besar dapat dianggap sebagai force majeur. Banjir tersebut menyebabkan Iwan dan sebagian besar penduduk Jakarta tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Iwan sudah mempunyai iktikad baik untuk mengirim barang ke tempat Harjo, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan dan di luar kuasa Iwan.
Harjo juga harus bisa memahami apa yang terjadi pada Iwan apalagi Harjo juga tinggal di Jakarta. Harjo dapat melihat dengan mata dan kepala sendiri bagaimana orang-orang terjebak di rumah masing -masing dan tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Kondisi seperti ini sebaiknya selalu dikomunikasikan antara para pihak. Sebab bagaimanapun juga, kesepakatan adalah kompromi para pihak. Apa yang tertulis dalam perjanjian adalah mengikat para pihak kecuali para pihak sepakat untuk menyimpangi kesepakatan dalam perjanjian tersebut.
Pasal 1350 KUH Perdata menyatakan bahwa betapa luas pun pengertian kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu persetujuan, persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat persetujuan.
Perjanjian hanya berlaku untuk barang yang dimaksud dalam perjanjian dan bukan untuk barang lain.
Contoh: Pak Joko adalah pemilik toko komputer di Kota Solo. Selain melakukan jual- beli eceran, Pak Joko juga melakukan jual-beli komputer dalam jumlah besar. Suatu hari, Pak Joko mendapat pesanan dari sebuah SMA sebanyak 20 Unit Komputer. Dalam perjanjian antara Pak Joko dan SMA tersebut, terdapat pasal yang menyatakan bahwa “barang yang rusak dapat ditukar dengan barang yang baru dalam jangka waktu kurang dari satu bulan sejak pembelian.”
Karena pelayanan yang bagus, satu tahun kemudian SMA tersebut membeli lagi 20 unit komputer. Bentuk perjanjian yang dibuat masih sama di mana salah satu klausul perjanjian menyatakan bahwa “barang yang rusak dapat ditukar dengan barang yang baru dalam jangka waktu kurang dari satu bulan sejak pembelian.”
Sepuluh hari setelah pembelian, guru di SMA tersebut datang dan membawa komputer yang rusak. Setelah dicek oleh Pak Joko, ternyata komputer tersebut adalah komputer yang dibeli satu tahun yang telah lalu, Guru tersebut bersikukuh bahwa barang tersebut apat ditukar dengan yang baru sebab telah membeli barang sejenis di toko yang sama. Guru tersebut berasumsi bahwa selama belum ada satu bulan, maka barang yang dibeli dari toko tersebut dapat ditukarkan termasuk barang yang sudah dibeli lebih dari satu tahun.
Hal ini tentu saja disanggah Pak Joko dan dianggap tidak masuk akal. Setiap barang mempunyai garansi yang berbeda-beda sesuai dengan tanggal pembelian. Dalam satu kuitansi, berlaku satu perjanjian. Kuitansi yang lain juga berlaku perjanjian yang lain. Jadi guru di SMA tersebut tidak bisa menggunakan kuitansi pembelian barang A untuk mengklaim garansi barang B.
Pasal 1351 KUH Perdata menyatakan bahwa jika dalam suatu persetujuan dinyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, hal itu tidak dianggap mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan itu menurut hukum dalam hal-hal yang tidak disebut dalam persetujuan.
Penjelasan perjanjian tidak membatasi/mengurangi kekuatan mengikat dari perjanjian tersebut.
Contoh: Salah satu bunyi klausul yang lazim dalam perjanjian adalah “Perjanjian ini dibuat rangkap 3 (tiga) dengan materai cukup dan masing- masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.”
Jika dalam praktiknya, perjanjian tersebut ternyata hanya dibuat rangkap dua, hal ini tidak membatasi kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari perjanjian tersebut.
C. Pasal Dalam Undang-Undang Yang Memuat Akibat Perjanjian
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang KetenagaKerjaan Pasal 124 berbunyi:
1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat : Syarat Sah Perjanjian (Pasal 1320
KUHPerdata)
Syarat subyektif jika dilanggar
dapat dibatalkan
Syarat obyektif jika dilanggar batal demi
hukum
Sepakat cakap Sebab
tertentu
Sebab yang halal
a) hak dan kewajiban penguasaha
b) hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh c) jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama d) tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama
2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku
3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Analis
a) Pasal 124 merupakan perjanjian antara buruh dan majikan untuk membuat perjanjian kerja sama (PKB)
b) Perjanjian tersebut mengikat para pihak yang membuat perjanjian (buruh dan majikan)
c) JIka PKB bertentangan dengan peraturan perundangan berarti PKB melanggar syarat obyektif yaitu sesuatu sebab yang halal.Akibat hukumannya adalah perjanjian batal demi hukum
Pasal 127 berikutnya :
1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh penguasaha dan bekerja/buruh tidak boleh bertetangan dengan perjanjian kerja sama
2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertenatngan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama
Analisi:
a) Pasal 127 merupakan perjanjian antara buruh dan majikan untuk membuat perjanjian kerja
b) Perjanjian tersebut mengikat para pihak yang membuat perjanjian (buruh dan majikan)
c) Jika perjanjian kerja melanggar syarat obyektif yaitu suati sebab yang halal.
Akibat hukumnya adalah perjanjian batal demi hukum Pasal 153 berbunyi:
1. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alas an :
a, Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku:
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintakan agamanya d. pekerja.buruh meinkah
2. pemutusan hubungan kerja yang dilakukan alas an sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib memperkerjakan kembali pekera/buruh yang bersangkutan
Analisis :
a) Pasal 153 merupakan intervensi pemerintah terhadap kewajiban majikan
b) Intervensi pemerintah tersebut mengikat majikan dan memberi manfaat bagi pihak ketiga yaitu buruh
c) Jika intervensi pemerintah tersebut dilanggar, maka majikan telah melanggar undang- undang, Melanggar udang-udang berarti melanggar syarat obyektif yaitu suatu sebab yang halal. Akibat hukumnya adalah perjanjian batal demi hukum
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kinsumen Pasal 18 berbunyi:
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
c. menyakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibelioleh konsumen
2) Pelaku usaha dilarang mencatumkan klausula baku yang terletak atau bentuknya sulit terlihat atu tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannnya sulit dimengerti
3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini
Analisi:
a. Pasal 18 merupakan intervensi pemerintah terhadap kewajiban pengusaha b. Intervensi pemerintah tersebut mengikat pengsusaha dan memberi manfaat bagi pihak ketiga yaitu konsumen
c. Jika Intervensi pemerintah tersebut dilanggar, maka pengusaha telah melanggar undang-undangn. Melanggar undang-undangn berarti melnggar syarat obyektif yaitu suatu sebab yang halal. Akibat hukumnya adalh perjanjian batal demi hukum
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbata Pasal 37:
1) Perseroan dapat membeli saha yang telah dikelaurkan dengan ketentuan:
a. pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih baik dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; dan
b. jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusua atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan tidak melebih 10% dari jumlah modal yang ditempatkan dalam perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasal modal
2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung mauoun tidak langsung yang btertentagan dengan ayat (1) batal karena hukum
3) Direksi secara tanggung renteng bertenaggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
4) Saham yang dibeli kembali Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh dikuasai Perseroan paling ama 3 tahun
Analisis
a. Pasal 37 merupakan intervensi pemerintab terhadap hak sebuah perusahaan b. Intervensi pemerintah tersebut mengikat perusahaan
c. Jika intervemsi pemerintah dilanggar, maka perusahaan telah melanggar undang-undang.
Melanggar undang-undang berarti melanggar syarat obyketif yaitu suatu sebab yang halal.
Akibat hukumnya adalah perjanjian batal demi hukum
.