• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL KEAGAMAAN ISLAM INDONESIA

N/A
N/A
lord zarkos

Academic year: 2023

Membagikan "PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL KEAGAMAAN ISLAM INDONESIA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL KEAGAMAAN ISLAM INDONESIA Oleh:

Muhammad Zulfi Rio Dwitama (20031252) Program Studi Pendidikan Bahasa Arab

Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Yogyakarta 2021

A. Pendahuluan

Institusi adalah Universitas, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Industri, atau Organisasi Masyarakat. Institusi adalah suatu bentuk organisasi sosial, baik swasta maupun publik, yang memenuhi fungsi tertentu dalam masyarakat, dan yang mematuhi aturan dan struktur peran yang harus dihormati para anggotanya untuk memenuhi misi mereka. Institusi didirikan dengan cara yang berbeda. Salah satunya melalui dokumen, undang-undang atau keputusan. Dalam hal ini kita berbicara tentang lembaga formal, seperti pemerintah atau universitas. Ada juga lembaga nonformal, dalam hal ini kita berbicara tentang lembaga alam. Mereka adalah “asosiasi” yang terbentuk dari dinamika mereka sendiri, di mana setiap anggota memainkan peran yang berbeda dan semuanya diatur oleh aturan yang berasal dari kebiasaan dan sifat dasar hubungan manusia. Misalnya, keluarga. Di dalamnya, seperti dalam lembaga formal, norma dan hierarki beroperasi, yaitu sistem peran yang mengatur hubungan antar individu.

Secara umum, institusi bukanlah hasil dari perencanaan, tetapi lebih muncul dari waktu ke waktu dalam menanggapi kebutuhan penduduk atau sebagai hasil dari perebutan kekuasaan antara individu atau kelompok.

Namun, begitu terkonsolidasi, institusi sering memodifikasi elemen-elemen diri mereka sendiri untuk lebih beradaptasi dengan keadaan yang berubah, untuk memperluas ruang lingkup tindakan mereka atau untuk memperkuat otoritas mereka atas subjek. Ini terlihat jelas dalam undang-undang yang diberlakukan oleh Negara untuk mengatur tindakannya sendiri terhadap masyarakat. Di dalam makalah ini akan membahas salah satu lembaga di Indonesia yakni Kementerian Agama Republik Indonesia, bagaimana sejarah berdirinya hingga apa tujuan dan fungsi dari berdirinya lembaga tersebut. Institusi atau

(2)

lembaga sosial adalah perkumpulan yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai sendiri. Oleh karena itu, terbentuknya institusi sosial berawal dari individu yang saling rusak, pemahaman yang salah, membutuhkan, kemudian timbul aturan-aturan yang disebut dengan norma kemasyarakatan. Atau dengan kata lain, institusi sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan- peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan- kebutuhan sosial dasar.

B. Pembahasan

1. Terbentuknya Institusi Sosial

Terbentuknya komunitas dan institusi sosial muslim sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan satu kesatuan dari proses islamisasi itu sendiri. Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat teori umum yang membagi waktu masuknya Islam pada tiga indikasi. Yaitu pertama, terdapatnya seorang atau beberapa orang asing yang beragama Islam di suatu daerah tertentu, kedua; terdapatnya seorang atau beberapa orang penduduk lokal yang telah beragama Islam, dan ketiga;

Islam telah menjadi agama masyarakat dan melembaga di daerah tersebut.1 Sejak Islam mulai masuk dan berkembang di Indonesia, baik dalam arti pengislaman maupun pemasukan nilai-nilai dan norma-norma budaya Islam ke dalam lingkungan masyarakat atau jauh sebelum terbentuknya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia (Kerajaan Samudera Pasai dan Perlak) pada sekitar abad XIII, lembaga perkawinan dan keluarga merupakan komponen penting dalam pembentukan komunitas muslim. Karena itu, proses terbentuknya komunitas muslim tersebut berlangsung melalui kontak dagang dan perkawinan antar mubaligh- mubaligh Islam, yang sekaligus pada umumnya juga merupakan pedagang- 1 Abdurrahman, Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. 2012

(3)

pedagang dengan penduduk setempat dengan adanya perkawinan tersebut, di samping untuk menciptakan dan membentuk generasi Islam, juga akan besar sekali pengaruhnya terhadap pengislaman dan pembentukan komunitas muslim di Indonesia.

Namun demikian, sekitar akhir abad XIX atau awal abad XX, mulai ada gejala munculnya kesadaran baru, jika sebelumnya umat muslim memiliki kesadaran mistis, maka mulai mencoba merumuskan ideologi. Sejarah mencatat bahwa Syarikat Islam (SI) mencoba mendefinisikan diri sebagai suatu kelompok kelas sosial, terutama pada periode awal yakni SDI (Syarikat Dagang Islam) yang merumuskan diri sebagai kelompok pedagang.2 Menurut Ricklefs pada tahun 1911, Tirtodisurjo mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta Haji Samanhudi untuk mendirikan Syarikat Dagang Islam sebagai suatu koperasi pedagang batik Jawa.3 Setelah itu muncul organisasi Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan tujuan untuk memperbaiki praktik Islam dan memperbaiki kehidupan komunitas muslim.4 Banyak lagi institusi-institusi sosial muslim yang terbentuk yang dapat juga diidentifikasi sebagai sebuah gerakan sosial.

Berbicara mengenai terbentuknya komunitas dan institusi sosial muslim di Indonesia, sudah selayaknya memperhatikan data islamisasi, karena kelompok masyarakat yang kemudian disebut muslim, wujud setelah datangnya Islam. Latar historis tentang islamisasi Nusantara dapat dikemukakan bahwa sebagai kawasan perantara yang dilintasi semua rute perdagangan maritim besar yang mengaitkan Tiongkok dengan India dan lebih jauh dengan Laut Tengah, dunia Melayu tersentuh oleh semua ideologi dan agama yang pernah berkembang di jaringan itu. Kedua agama besar dari anak Benua India, yaitu agama Hindu, dan secara sekunder agama Budha, yang masuk ke Jawa masing-masing pada abad V dan VIII, telah mempengaruhi secara mendalam peradaban kawasan ini.

Rute perdagangan tersebut sejak dini dilalui juga oleh saudagar-saudagar Islam, setidaknya di Kwantung telah berdiri masjid sejak abad VIII, 2 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994

3 Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Edisi Ketiga. British: Palgrave. 2001

4 Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Bagian Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999

(4)

meskipun kerajaan-kerajaan Islam baru muncul di Nusantara pada penghujung abad XIII. Jumlah kerajaan Islam kemudian berlipat ganda selama abad XIV, abad XV, dan abad XVI di sepanjang jaringan perdagangan besar tersebut di atas. Pola khusus penyebaran Islam ini memberikan warna khas pada kerajaan-kerajaan Islam yang lazim dikenal dengan nama kesultanan.

2. Perkembangan Institusi Sosial Islam

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dinamika institusi sosial selalu mengikuti perkembangan sosial budaya masyarakat.

Karenanya perkembangan institusi sosial muslim berjalan seiring peningkatan pemikiran masyarakat muslim juga, dalam arti lain bahwa perubahan pada tingkat institusi sosial pada dasarnya adalah aktualisasi dari perubahan dan perkembangan pada tingkat pemikiran. Dengan demikian penghayatan dan pendalaman terhadap ajaran Islam akan menghasilkan perkembangan baik dari sisi komunitas maupun institusi sosialnya. Dalam dua dasawarsa terakhir, berbagai institusi sosial muslim mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup baik.

Perkembangan tersebut, pada sebagian lembaga merupakan konsolidasi dan pemantapan pada lembaga-lembaga yang pernah ada sebelumnya dengan beberapa penyesuaian karena perubahan sosial dan tuntutan zaman.

Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga yang baru sebagai akibat dari reorientasi pemikiran, sehingga menimbulkan orientasi baru dalam gerakannya. Sebagai contoh adalah perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren yang mengalami penyempurnaan melalui Undang-undang No. 2 tahun 1989, dimana sistem dan kelembagaan pendidikan Islam ini, dari madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, sampai kepada perguruan tinggi secara legal diakui dan dijamin eksistensinya sejajar dengan lembaga pendidikan umum.

Demikian halnya dengan peradilan agama Islam, melalui Undang- undang No. 7 tahun 1989, peradilan agama Islam dikukuhkan eksistensinya; sejajar dengan peradilan negeri, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan lainnya(Azra, 1999).5 Institusi lain yang juga 5 Azra Azyumardi. Konteks Berteologi Indonesia, Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina. 1999

(5)

mengalami perkembangan fenomenal adalah majelis taklim, dimana pada awal perkembangannya tahun 1970, majelis taklim hampir identik dengan lapisan masyarakat bawah yang tradisional, tetapi sekarang majelis taklim terdapat juga di lingkungan elit. Bahkan sekarang majelis taklim telah terorganisasi dalam struktur tingkat nasional yang disebut BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim) dan memiliki jaringan hingga ke tingkat Kecamatan dan Desa. Tentunya perkembangan institusi sosial muslim tersebut akan terus berlangsung sesuai konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat

3. Periodisasi Berdirinya Kementerian Agama

Pada Masa Jepang

Bangsa Jepang menyadari pentingnya mempunyai sebuah federasi yang memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam) sehingga seluruh pemimpin umat Islam berkumpul dan dapat disatukan, yang dengan demikian umat Islam lebih mudah diberdayakan guna membantu keinginan bangsa Jepang. Untuk itu bangsa Jepang memperbolehkan kembali berdirinya MIAI pada tahun 1942, akan tetapi belum genap setahun, federasi ini dilarang dan kemudian diganti dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943. Masyumi adalah federasi umat Islam yang bergerak di luar masalah perpolitikan. Sebagai figur utama pemimpinnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, akan tetapi kedudukan ini hanya sebatas penghormatan karena Hasyim Asy’ari tetap tinggal di pesantrennya, dan membiarkan anaknya K.H. Wahid Hasyim sebagai ketua pelaksanaannya.

Wahid Hasyim melaksanakan beberapa program yang di desain untuk memperkuat kapasitas umat Islam dan meningkatkan infrastrukturnya.

Wahid Hasyim menyadari bahwa tujuan dibalik dibentuknya Masyumi oleh penguasa Jepang adalah untuk melayani segala bentuk propaganda bangsa Jepang, yang bertujuan memobilisasi segala bentuk bantuan untuk bangsa Jepang baik itu berupa tenaga kerja sukarela maupun makanan. Oleh karena itu, Wahid Hasyim mengundang pemuda Muslim, di antaranya M.

Natsir, Harsono Tjokroaminoto, Prawoto Mangkusumo dan Zainul Arifin, untuk menggunakan Kesempatan dalam menyiapkan bangsa Indonesia baik secara fisik dan mental guna melawan bangsa Jepang. Wahid Hasyim juga mempublikasikan sebuah majalah Soeara Moeslimin Indonesia sebagai alat

(6)

untuk menyebarkan semangat berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Dia juga mengambil inisiatif untuk mendirikan BPI (Badan Propaganda Islam) yang bertujuan melatih anggotanya agar mampu berpidato, menyebarkan ajaran Islam dan menumbuhkan rasa kebangsaan juga.

Masa kemerdekaan

Wahid Hasyim mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan Kementerian Agama. Sejarah pembentukannya cukup lama dan membutuhkan beberapa tahun sebelum pertama kali diperdebatkan dalam pertemuan di parlemen pada tahun 1950-an. ada beberapa alasan penolakan diadakannya Departemen Agama, di antaranya, pertama, ongkos (biaya) pendiriannya sangat mahal; kedua, kenyataannya bahwa banyak persoalan yang ditangani Departemen Agama dapat diambil alih oleh kementerian yang lainnya, seperti kehakiman, penerangan, pendidikan dan kebudayaan; ketiga, bahwa kementerian akan memperhatikan hanya kepada urusan agama Islam dan bahwa agama seharusnya dipisah dari politik (negara).6

Sebagai respon terhadap keberatan tersebut, Wahid Hasyim yang ditunjuk sebagai menteri agama selama tiga kali berturut-turut mencoba menjelaskan bahwa: Pemerintah menyepakati prinsip pemisahan gereja (agama) dan negara, Dalam pengertian tidak mencampuri urusan-urusan internal sebuah kekhususan agama. Bagaimanapun, pemerintah merasa berkewajiban untuk melayani kebutuhan-kebutuhan keagamaan masyarakat berdasarkan pancasila. Pemisahan antara agama dan negara mengecualikan satu kepercayaan ateistik. Meskipun menteri mempertimbangkan bahwa Kementerian Agama sebenarnya dapat dihapus apabila fungsi-fungsinya dapat dijalankan oleh berbagai kementerian lain, menghapus Kementerian Agama dapat melukai perasaan umat Islam Indonesia.

Sejarah Pembentukan Kementerian Agama

6 Pertama, Kabinet Hatta (20 Desember 1949 – 6 September 1950), dalam Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951), dan dalam Kabinet Sukiman (27 April 1952 – 3 April 1953). Lihat di Aboebakar, Sedjarah Hidup, 611

(7)

Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Minggu, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI. Hanya enam dari 27 Anggota PPKI yang setuju didirikannya Kementerian Agama. Beberapa anggota PPKI yang menolak antara lain: Johannes Latuharhary mengusulkan kepada rapat agar masalah- masalah agama diurus Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas seorang wakil Islam dari Lampung, mendukung usul agar urusan agama ditangani Kementerian Pendidikan. Iwa Kusumasumatri, seorang nasionalis dari Jawa Barat, setuju gagasan perlunya Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu sifatnya nasional, agama seharusnya tidak diurus kementerian khusus. Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama menjadi tugas Kementerian Dalam Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting ini, usul pembentukan Kementerian Agama akhirnya ditolak.

Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta. Ketika Kabinet Presidensial dibentuk di awal bulan September 1945, jabatan Menteri Agama belum diadakan.

Demikian halnya, di bulan November, ketika kabinet Presidensial digantikan oleh Kabinet Parlementer di bawah Perdana Menteri Sjahrir. Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 11 November 1946 oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP dari Keresidenan Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-KNIP.

Kelihatannya, usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang pleno BP-KNIP tanggal 25-28 November 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Keresidenan Banyumas dalam pemandangan umum atas keterangan pemerintah kembali mengusulkan, antara lain; Supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini hendaknya urusan agama hanya disambillalukan dalam tugas Kementerian

(8)

Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri. Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 januari 1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama.

Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.

Rasjidi saat itu adalah menteri tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara (menggantikan K.H.A.Wahid Hasyim), Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri, yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji; dari Kementerian Kehakiman, yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi; dari Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah.

Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh RRI ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh pers dalam, dan luar negeri, dengan H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama yang pertama Pembentukan Kementerian Agama segera menimbulkan kontroversi di antara berbagai pihak. Kaum Muslimin umumnya memandang bahwa keberadaan Kementerian Agama merupakan suatu keharusan sejarah dan merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa pendudukan Jepang, yang mengambil preseden dari Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi Islam pada masa kolonial

(9)

Belanda). Bahkan sebagian Muslim melacak eksistensi Kementerian Agama ini lebih jauh lagi, ke masa kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan, yang sebagiannya memang memiliki struktur dan fungsionaris yang menangani urusan-urusan keagamaan.

Tugas dan Fungsi Kementerian Agama

Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi :

1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan;

2. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama;

3. pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama;

4. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;

5. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah;

6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;

7. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan;

8. pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan

9. pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.

(10)

Daftar Pustaka Aboebakar, Sedjarah Hidup. Hal. 611

Azra Azyumardi. Konteks Berteologi Indonesia, Pengalaman Islam. Jakarta:

Paramadina. 1999.

Abdurrahman, Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

2012.

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Edisi Ketiga. British: Palgrave. 2001.

Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Bagian Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.

https://historia.id/agama/articles/sejarah-pembentukan-kementerian-agama- DLgxK (diakses pada tanggal 24 Desember 2021)

https://kemenag.go.id/artikel/sejarah (diakses pada tanggal 24 Desember 2021)

Referensi

Dokumen terkait

 Gold Brand Champion of Life Insurance Brand 2012 Category: Best Customer Choice Brand  Gold Brand Champion of Unit Link Insurance Brand 2012 Category: Most Popular Brand  Gold