Perlindungan Hukum Terhadap Ketidakadilan Yang Dirasakan oleh Perempuan Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Andini Puspa Ramadhafitri Universitas Indonesia, Fakultas Hukum
ABSTRAK
Kasus kekerasan seksual sudah bukan hal yang tidak umum lagi di dalam struktur kemasyarakatan di Indonesia. Realitanya, kasus kekerasan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun dan memperoleh hasil bahwa perempuan mendapatkan persentase tinggi sebagai korban dari kasus kekerasan seksual. Hal ini terjadi akibat beberapa faktor, salah satunya adalah sentimen masyarakat Indonesia atas keberadaan perempuan yang dianggap sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, dan pantas untuk diperlakukan tidak manusiawi oleh manusia-manusia yang menganut paham patriarki. Patriarki di Indonesia sendiri adalah sebuah penyakit yang terus tertanam dari setiap generasi ke generasi dengan merendahkan martabat dan harga diri perempuan. Mereka menganggap bahwa perempuan hanyalah manusia yang dapat dipergunakan seenaknya, hal ini juga didukung oleh gambaran perempuan melalui stasiun televisi atau portal berita di internet. Selain dari tenaga kemasyarakatan, pemerintah dan para penegak hukum sering melakukan tindakan yang berat sebelah dan memojokkan perempuan dengan dalih bahwa hukum yang ada di Indonesia tidak mencakup porsi perlindungan hukum untuk perempuan. Menanggapi peristiwa ini, penulis bertujuan untuk mengupas peraturan, perlindungan, dan kekurangan hukum dalam memproses dan memahami posisi perempuan dalam kasus kekerasan seksual.
Kata Kunci: kekerasan seksual kepada perempuan, perlindungan hukum, HAM, ketidakadilan.
ABSTRACT
Cases of sexual violence are no longer uncommon in Indonesia's social structure. In reality, cases of sexual violence continue to increase from year to year and the result is that women get a high percentage as victims of sexual violence cases. This occurs due to several factors, one of which is the sentiment of Indonesian society towards the existence of women who are considered weak, helpless, and deserve to be treated inhumanely by humans who adhere to patriarchy. Patriarchy in Indonesia itself is a disease that continues to be embedded from generation to generation by demeaning the dignity and self-esteem of women. They assume that women are just human beings who can be used at will, this is also supported by images of women through television stations or news portals on the internet. Apart from the community, the government and law enforcers often take actions that are one-sided and cornered women on the pretext that the existing laws in Indonesia do not include a portion of
legal protection for women. In response to these events, the author aims to explore the regulations, protections, and shortcomings of the law in processing and understanding the position of women in cases of sexual violence.
Keyword: sexual violence against women, legal protection, human rights, injustice.
A. Pendahuluan
Kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbud Ristek) No. 30 Tahun 2021 Pasal 1 yang mendefinisikan kekerasan seksual sebagai suatu tindakan dan perbuatan yang menyentuh, menghina, merendahkan dan melecehkan anggota tubuh dan/atau fungsi reproduksi manusia dengan sebab ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender.1 Tentu saja segala bentuk pelecehan dan tindakan tanpa sebuah consent kedua pihak dapat dikatakan kekerasan seksual. oleh karena itu sebuah kesepakatan bersama diperlukan dalam berbuat hubungan badan. Dalam konteks ini, kekerasan seksual menjadi permasalahan sosial yang semakin hari semakin berkembang motif kasusnya dan merupakan permasalahan kompleks yang dapat dikaitkan dengan kesehatan publik. Apabila kita merujuk pada jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) mencatat bahwa pada tahun 2021 terdapat 426 kasus kekerasan seksual dan angka tersebut belum lah mencakup kasus yang tidak terungkap dan dilaporkan.2 Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Pasal 4 terdapat tindakan kekerasan seksual dapat dibagi menjadi 8 (delapan) macam, yaitu (1) Pelecehan seksual fisik dan nonfisik, (2) Perbudakan seksual, (3) Pemaksaan kontrasepsi, (4) Pemaksaan sterilisasi, (5) Pemaksaan perkawinan, (6) Penyiksaan seksual, (7) Eksploitasi seksual dan (8) Kekerasan seksual yang berbasis elektronik.3
Kekerasan seksual dapat dibayangkan seperti sebuah gunung es yang apabila kita perhatikan hanya bagian puncaknya yang terlihat dan itu belum seberapa dengan apa yang ada di dalam laut. Hal ini tentu menandakan bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terangkat isunya ke depan khalayak umum dan jika kita tinjau, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, salah satunya adalah ketidakadilan bagi sang korban yang merasakan segala macam bentuk kekerasan seksual yang telah disebutkan di atas. Jika kita berbicara mengenai bagaimana penyelesaian hukum atas kasus kekerasan seksual yang termasuk ke dalam perkara pidana di Indonesia saat ini, banyak hal yang harus diperhatikan dan tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja yaitu dengan memikirkan nasib pelaku tindak pidana kekerasan seksual dengan memperhatikan juga kondisi yang sedang dialami korban yang menderita kerugian dalam bentuk materiil maupun immaterial dan bentuk perlindungan terhadap korban.
1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, No. 30 Tahun 2021, Ps. 1.
2 Sania Mashabi dan Kristian Erdianto, “Sejal Awal Januari, Kementerian PPPA Catat 426 Kasus Kekerasan Seksual” Sejak Awal Januari, Kementerian PPPA Catat 426 Kasus Kekerasan Seksual (kompas.com), diakses 11 Oktober 2023.
3 Indonesia, Undang - Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU No. 12 Tahun 2022, Ps. 4.
Ketidakadilan yang dirasakan oleh seorang korban merujuk pada rasa kepercayaan para penegak hukum yang rendah atas kesaksian yang telah diberikan dan berdalih dengan memberikan pernyataan bahwa kesaksian korban dinilai kurang bukti yang akurat. Oleh karena itu, peran yang dimiliki oleh saksi dan juga korban dalam mengungkap suatu fakta sangat diperlukan karena saksi dan korban itulah yang mengalami, melihat dan mendengar secara langsung. Peran krusial tersebut dapat menjadi sebuah kunci penting yang menghasilkan salah satu alat bukti yang sah. Faktanya, para saksi dan korban sering merasakan tindakan ancaman, gangguan, intimidasi dan bahkan teror yang berujung pada kekerasan dalam proses melakukan kesaksian tersebut. Berdasarkan laporan yang didapat dari laporan tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tahun 2020, tercatat bahwa selama tahun 2020, LPSK telah menerima permohonan perlindungan sebanyak 1454 permohonan dan jumlah tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2019 dengan jumlah 1898 permohonan. Tercatat bahwa sepanjang tahun 2020 seluruh pihak yang mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah mendapatkan 4.478 program perlindungan berupa bantuan medis dan psikologis, rehabilitasi psikososial, restitusi, kompensasi dan perlindungan fisik serta pemenuhan hak prosedural. 4
Mengutip kembali pengertian kekerasan seksual menurut Permendikbud Ristek, salah satu unsur penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah relasi gender yang menitikberatkan pada perempuan. Segala ketidakadilan yang dirasakan oleh korban dalam kasus kekerasan seksual selalu saja memberikan justifikasi yang berat sebelah ketika korban melakukan kesaksian di depan khalayak publik dengan tujuan awal untuk menarik simpati dan meminta pertolongan tetapi justru berujung pada ungkapan tidak senonoh sebagai timbal balik dari masyarakat kepada korban. Tidak hanya masyarakat, tetapi media massa sebagai wadah informasi justru memiliki cara mereka sendiri dalam memberikan tanggapan yang berisikan berita-berita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dengan berusaha menggiring opini publik yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan pemberitaan. Opini publik yang dibawa oleh media massa tersebut akan berubah menjadi sebuah stigma sosial yang diserap oleh masyarakat menjadi sebuah citra atau deskripsi tentang perempuan dan memuat ketidakadilan gender di dalamnya. Terkait hal ini, penulis memiliki tujuan dan permasalahan umum tentang bagaimana penegak hukum memberikan jawaban atas ketidakadilan yang selama ini para perempuan rasakan ketika menjadi korban kekerasan seksual sembari mendapatkan perlakuan negatif dari masyarakat, media sosial dan media massa. Serta untuk membahas bahwa hukum sejatinya tidak adil dalam menangani kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.
B. Pembahasan
1. Perempuan dan Hak Asasi Manusia
Lahirnya kebijakan pemerintah terkait perlindungan kekerasan seksual merupakan 4 Fakhrul Haqiqi, “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (lpsk.go.id), diakses 11 Oktober 2023.
salah satu bentuk realisasi yang diaplikasikan guna melindungi hak korban. Kekerasan seksual merupakan isu yang sering terjadi dengan berbagai macam latar belakang, tidak dipungkiri bahwa korban dari kekerasan seksual juga melibatkan laki-laki. Namun, berdasarkan Menurut penelitian oleh LPM FEB Unsoed, ditemukan hasil bahwa terdapat 100 responden yang mengaku jika korban dari kasus kekerasan seksual adalah seorang perempuan.5
Oleh karena itu, perempuan dalam kasus ini menjadi pihak yang paling dirugikan, selain dilecehkan secara verbal maupun nonverbal, ketidakadilan yang seharusnya menjadi milik perempuan hilang begitu saja. Berbagai macam peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah terbukti tidak memberikan hak yang adil terhadap perempuan. Cacian, makian, penghinaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya sering diarahkan kepada perempuan karena stereotype yang telah tertanam erat dalam pikiran masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa perempuan lemah, manja, dan powerless. Budaya patriarki yang kuat juga ikut mempengaruhi cara masyarakat memandang perempuan. Penggambaran wanita dalam setiap pemberitaan seperti surat kabar, televisi dan media massa lainnya seringkali dianggap sebagai korban yang lemah dan layak untuk diperkosa. Perempuan seakan-akan tidak memiliki kesempatan untuk berpendapat dengan dibatasinya hak suara mengenai pembelaan atas hal yang terjadi kepada mereka.6 Tidak hanya melalui media massa, tetapi di lingkungan institut pendidikan seperti perguruan tinggi di Indonesia mengalami banyak kasus kekerasan seksual yang sebagian besar memakan korban perempuan.
Secara fakta, segala kerugian yang dialami oleh perempuan akibat kasus kekerasan seksual yang dialaminya, baik yang berbentuk fisik maupun psikis masih belum mendapatkan perlakuan secara adil dari pemerintah atau masyarakat. Hal ini terbukti dari maraknya pemberitaan yang menggunakan judul dengan berkonotasi negatif, berlebihan dan kontroversial sebagai nilai jual mereka sehingga muncul sebuah budaya blaming the victim atau sikap menyalahkan korban di kalangan masyarakat.7 Budaya tersebut menyebabkan tidak adanya ruang bagi para korban untuk meminta pertolongan atau simpati dari masyarakat supaya haknya sebagai seorang korban kekerasan seksual terpenuhi. Selain masyarakat, aparat penegak hukum sebagai pihak yang memiliki peran besar dalam penanganan kasus kekerasan seksual justru bersikap jauh dari kata adil. Sebagai contoh, aparat penegak hukum memutuskan tidak menahan pelaku pada kasus kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyah Jombang meskipun sang pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka.8 Dalam beberapa kasus kekerasan seksual, perdamaian menjadi sebuah solusi akhir yaitu pelaku hanya dituntut untuk 5 Rifki Elindawati, “Perspektif Feminis dalam Kasus Perempuan sebagai Korban Kekerasan Seksual di
Perguruan Tinggi (2021), hlm. 187.
6 Dani Marsa Aria Putri, “Blaming The Victim”: Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011-Februari 2012) 7 Dani Marsa Aria Putri, “Blaming The Victim”: Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011-Februari 2012) . 8 Petrus Riski, “Menggugat Lambannya Proses Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual” Menggugat Lambannya Proses Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual (voaindonesia.com), diakses 31 Oktober 2023.
menjalani mandatory counseling dengan psikolog dan korban diwajibkan untuk mengikuti kegiatan psikolog klinis sampai batas waktu yang ditentukan.9
Perempuan yang berhadapan dengan hukum sama artinya dengan perempuan yang memiliki konflik dengan hukum dan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 1 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) macam kedudukan perempuan sebagai pihak yang berkonflik dengan hukum, yaitu (1) Perempuan sebagai korban, (2) Perempuan sebagai saksi, (3) Perempuan sebagai pihak. Hal yang serupa juga diterapkan kepada para hakim sebagai penegak hukum yang tertulis dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2019 Pasal yaitu asas-asas yang wajib ditaati oleh hakim dalam mengadili perkara perempuan di depan hukum. Asas yang termuat dalam pasal ini adalah asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, asas non diskriminasi, asas kesetaraan gender, asas persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum.10 Selain PERMA, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) juga mengatur tentang martabat perempuan sebagai makhluk hidup yang haknya perlu disuarakan. Secara khusus dalam Pasal 45 yang menyebutkan bahwa “Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia” dan dari pernyataan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa hak perempuan yang juga merupakan hak asasi manusia perlu dihormati, dilindungi, dihargai, dipertahankan, dan tidak boleh dicuri atau diabaikan oleh siapapun.
Diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui sebuah konvensi yang membahas tentang penghapusan segala macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW). Dalam konvensi ini, Indonesia telah meratifikasi 8 (delapan) konvensi HAM. Dengan meratifikasi CEDAW, Indonesia telah menyetujui rekomendasi 19 tentang Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan. Pada point 23 dalam rekomendasi 19 huruf b, dinyatakan bahwa setiap negara yang ikut serta dalam menyetujui CEDAW wajib membuat dan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi semua perempuan dan mencegah segala bentuk kekerasan serta penganiayaan yang berbasis gender.11 Tidak sah hukumnya apabila tidak mengaitkan kasus kekerasan seksual kepada Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP). Merujuk kepada KUHP, terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai “kekerasan atau pelecehan seksual”, yaitu:
1. Merusak Kesusilaan di depan umum (Pasal 281, 283, 283 bis) 2. Perzinahan (Pasal 284)
9 Koran Sindo, “Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban” Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban | Halaman 2 (sindonews.com), diakses 31 Oktober 2023.
10 Nurhilmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sebelum Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”, Vol. 4, No. 2, 2019, 211-219, hal. 214.
11 Wahyu Krisnanto dan Martika Dini Syaputri, “Kelemahan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Dari Kekerasan Seksual di Ruang Publik.” Juli 2020, 519-528, hal. 520.
3. Pemerkosaan (Pasal 285) 4. Pembunuhan (Pasal 338)
5. Pencabulan (Pasal 289, 290, 292, 293 (1), 294, 295 (1)). 12
Selain peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk mendukung perempuan mendapatkan haknya, penelitian yang ditulis oleh Dini Amalia Anggraini yang mengangkat masalah HAM dalam kasus pelecehan seksual mengungkapkan bahwa sudut pandang pelecehan seksual yang terdapat di dalam Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sering kali salah diinterpretasikan dan cenderung acuh terhadap arti dari kekerasan yang sebenarnya yaitu meliputi kekerasan pelecehan seksual dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal yang sama diungkapkan oleh Diana Yusyanti yang mengangkat isu perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban dari pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam ranah HAM bahwa setiap manusia telah memperoleh hak utamanya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan sehingga ia pun mendapatkan hak untuk hidup yang sifatnya melekat dan suci.13 HAM yang diangkat dalam kasus ini mengacu pada perlindungan anak dalam berhadapan dengan hukum yang secara khusus merupakan korban kekerasan atau pelecehan seksual, pedofilia, dan sebagainya.
Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak tertuang dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang sebelumnya hanya mengutamakan perdamaian daripada sebuah proses hukum formal.14
2. Hukum Sebagai Alat Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan
2.1 Ketentuan Hukum Menyangkut Perempuan Dalam Kasus Kekerasan Seksual
12 Hadibah Zachra Wadjo dan Judy Marria Saimima, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Restoratif”, Vol. 6, No. 1, 2020, hal. 54.
13 Diana Yusyanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Desember 2020), hlm. 624.
14 ibid., hlm. 624.
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai keadilan terhadap Hak Asasi Manusia serta Indonesia yang telah berpartisipasi dalam meratifikasi DUHAM dan CEDAW masih lemah dalam menegakkan keadilan untuk perempuan. Perlindungan hukum terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu perlindungan hukum secara preventif dan represif.
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa secara preventif bertujuan untuk mencegah tidak terjadinya permasalahan. Sedangkan secara represif memiliki tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi. Menerapkan perlindungan hukum secara preventif dapat mengacu melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Pasal 11 yang menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam mengurus perkara kekerasan seksual dalam rumah tangga dan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk (1) merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (2) Merealisasikan komunikasi, informasi dan edukasi yang baik tentang kekerasan dalam rumah tangga, (3) Melakukan sosialisasi dan pemberitaan atau advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga dan (4) Membangun pelatihan intensif dan meningkatkan pendidikan terhadap isu gender dan kekerasan rumah tangga.15
Perlindungan hukum merupakan unsur penting yang dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk lebih menunjukkan rasa simpati terhadap korban kekerasan seksual dan juga sebagai alat untuk melindungi korban dari para pelaku tindak pidana. Beragamnya latar tempat terjadinya kekerasan seksual membuktikan bahwa pelaku kekerasan seksual berasal dari berbagai macam umur dan gender, salah satunya di institut pendidikan yang seharusnya menjadi sebuah tempat dengan penuhnya orang-orang bermoral dan berpendidikan tinggi justru malah menjadi tempat yang menimbulkan suatu trauma bagi seseorang. Menyikapi hal ini, korban dilindungi berdasarkan acuan hukum yaitu dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021.
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 secara khusus dibuat untuk mengatur tindak pidana kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Pada Pasal 5 Ayat 2 dijelaskan bahwa kekerasan seksual memuat ujaran yang mendiskriminasi, memperlihatkan alat kelamin tanpa persetujuan, menyampaikan ucapan berupa rayuan, lelucon dan/atau siulan, menatap korban dengan nuansa seksual, mengirimkan segala bentuk pesan yang berbau seksual, mengambil atau merekam seseorang tanpa persetujuan, menyebarkan informasi terkait tubuh, mengintip atau dengan sengaja melihat daerah privasi seseorang, melakukan tindakan persuasif dengan maksud seksual, memberi ancaman dalam ranah seksual, segala bentuk sentuhan fisik, memperlakukan budaya komunitas dalam Perguruan Tinggi yang memuat tindakan seksual, melakukan percobaan pemerkosaan, memaksa atau merayu korban untuk melakukan aborsi dan hamil, membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja, dan sebagainya.16 Sehingga melalui penjelasan mengenai macam-macam bentuk kekerasan seksual oleh Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memberikan suatu kejelasan bahwa tindakan sekecil apapun yang dapat menganggu kenyaman seseorang, tanpa consent kedua belah pihak, dan mengarah ke arah seksual dapat dikenai sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Perlindungan hukum sebagai suatu kewajiban yang harus diberikan kepada korban kasus kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam UUD Pasal 28D Ayat (1) bahwa setiap 15 Fenita Dhea Ningrumsari, et. al, “Paradigma Teori Hukum Feminis Terhadap Peraturan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual di Indonesia”, Vol. 14, No. 2, 2022, hal. 106.
16 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, No. 30 Tahun 2021, Ps. 5, Ayat (2).
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di mata hukum.17 Disebutkan kembali di Pasal 28I ayat (4) bahwa segala bentuk pengakuan, jaminan dan perlindungan merupakan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah sebagai salah satu penegak hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah ikut andil dalam menunjang kesejahteraan manusia dalam mendapatkan haknya.
Suatu perlindungan hukum dapat diberikan kepada seluruh subjek hukum baik berbentuk dalam lisan maupun tulisan karena apabila kita tinjau kembali tentang fungsi hukum sebenarnya yaitu untuk memberikan sarana yang mencakup aspek keadilan, kedamaian, dan kepastian. Dalam pasal yang sama yaitu Pasal 289 KUHP tertulis sanksi hukuman yang didapatkan oleh pelaku dengan bunyi pasal
“barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan sabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”18
Secara garis besar, pernyataan formil mengenai kekerasan yang termasuk ke dalam penganiayaan telah diatur dalam Pasal 351-358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, KUHP sebagai peraturan perundang-undangan dan hukum materiil yang mengatur seperangkat tindakan melanggar hukum pidana sebenarnya tidak mengenal dan menjelaskan secara rinci mengenai istilah kekerasan seksual atau pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal perbuatan cabul yang tertulis di Bab XIV pada Pasal 285 sampai Pasal 296.
Melalui pasal-pasal tersebut dituliskan peraturan mengenai perbuatan apa saja yang dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan dan sanksi hukuman apa saja yang dapat diberikan kepada pelanggar. Pelanggaran kesusilaan yang dimaksud dalam Pasal 285 sampai Pasal 296 menyangkut kepada bentuk kekerasan seksual yang bersifat fisik dalam bentuk kekerasan dan pemerkosaan atau rayuan, lalu tidak membahas tentang aturan perbuatan kekerasan seksual dalam bentuk verbal. 19 Kejahatan kesusilaan dapat diartikan sebagai suatu tindakan pelanggaran terhadap nilai-nilai asusila, sehingga jika dilihat lebih lanjut, kekerasan atau kejahatan seksual hanya dipandang sebagai pelanggaran nilai moralitas dan acuh terhadap kejahatan seksual yang mengancam nilai kemanusiaan.
Dengan tidak diaturnya kekerasan seksual dalam bentuk verbal secara gamblang, maka digunakanlah Pasal 335 ayat (1) butir (1) tentang perbuatan tidak menyenangkan yang selanjutnya pasal tersebut dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PPU-XI/2013 yang menganggap bahwa pasal tersebut harus dihapus karena mengundang kekeliruan dan bertentangan dengan UUD 1945 yang 17 Fransisca Medina Alisaputri, et. al, “Upaya Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan.”, 2020, hal. 87.
18 Aulia Virgistasari dan Anang Dony Irawan, “Pelecehan Seksual Terhadap Korban Ditinjau Dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021”, Vol. 3, No. 2, 2022, 107-123, hal. 218.
19 Wahyu Krisnanto dan Martika Dini Syaputri, “Kelemahan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Dari Kekerasan Seksual di Ruang Publik.” Juli 2020, 519-528, hal. 527.
menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan oleh hukum.20
2.2 Upaya Hukum Dalam Menyikapi Kasus Kekerasan Seksual Kepada Perempuan Setiap penanggulangan kasus kekerasan seksual, para korban diberikan kesempatan untuk memberikan kesaksian di depan muka hukum dengan memberikan argumentasi atas pembenaran segala kejadian yang terjadi. Korban kekerasan perempuan dapat meminta bantuan perlindungan hukum secara langsung kepada lembaga-lembaga resmi seperti Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Didirikannya Komnas Perempuan oleh Presiden BJ Habibie pada tanggal 15 Oktober 1998 melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998 yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 65 Tahun 2005 memiliki tujuan untuk mewadahi suara perempuan di Indonesia. Selain lembaga resmi seperti Komnas Perempuan, salah satu upaya membantu korban kekerasan seksual terutama pada perempuan dalam bidang hukum yaitu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam peraturan perundang-undangan ini, semua pihak yang bersangkutan untuk membela korban mendapatkan jaminan perlindungan oleh pemerintah dalam memberikan kesaksiannya karena kedudukan korban dan saksi dalam proses pengadilan sangatlah penting. Proses penyidikan yang dilakukan oleh para penegak hukum memerlukan waktu yang cukup lama, karena perempuan sebagai korban dan saksi memerlukan ruang sendiri dalam menghadapi rasa traumatis yang dialaminya. Memberikan hak perempuan berupa waktu lebih untuk sembuh dari rasa traumanya adalah sebuah keharusan yang harus diberikan oleh pemerintah.
Pentingnya keterangan saksi atau korban sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban juga relevan dengan prinsip-prinsip dalam Undan- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan beberapa peraturan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi karena sama-sama menyangkut validnya kesaksian korban dan saksi. Perlindungan dari pemerintah wajib diberikan kepada pelapor karena menyangkut keselamatan dari ancaman atau intimidasi yang diberikan oleh pelaku kepada korban atas keterangan yang diungkapkan kepada penegak hukum. Proses atau mekanisme pelaporan kekerasan seksual oleh korban dan saksi telah direalisasikan melalui sistem pelaporan dan perlindungan yang telah disediakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi atau Korban (LPSK). Mekanisme yang digunakan perlu mempertimbangkan sistem perlindungan yang koheren untuk meningkatkan efektivitas penanganan tindak pidana yang serius. Kerahasiaan saksi juga perlu ditingkatkan ke jaminannya.21
Terkait peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual terhadap pemenuhan hak korban di Indonesia telah diatur dalam Undang - Undang Republik Indonesia 20 ibid., hlm. 527.
21 Nurhilmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sebelum Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”, Vol. 4, No. 2, 2019, 211-219, hal. 215.
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam peraturan perundang- undangan ini, perlindungan yang dimaksud adalah segala upaya untuk memenuhi hak dan pemberian bantuan sebagai pertolongan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban yang menjadi kewajiban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya yang telah disebutkan sesuai ketentuan Undang - Undang yang bersangkutan.22 Lalu, sesuai dengan penelitian oleh Yuliarti, Mangku dan Putri yang menyatakan bahwa sanksi tindak pidana sebagai bentuk upaya penegak hukum kepada pelaku adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat selama 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (5 miliar rupiah) yang mengacu pada Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.23
Kelemahan Aparat Penegak Hukum Dalam Menegakkan Keadilan
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa ilmuan hukum menunjukkan bahwa penerapan hukum di Indonesia masih berat sebelah atau tidak berpihak kepada perempuan sebagai korban. Kesetaraan di mata hukum merupakan bualan semata dari para aparat penegak hukum karena kedudukan perempuan yang masih sering diremehkan oleh hukum.
Perlu adanya pembaharuan hukum yang diselaraskan dengan pengembangan pola pikir masyarakat untuk mewujudkan sistem hukum yang berkeadilan. Prinsip-prinsip yang dimiliki oleh para feminis adalah sebuah langkah awal untuk memulai perubahan pola pikir dan menjadi suatu solusi untuk menghentikan praktik hukum yang terkesan bias gender.24
Selain kelengahan pemerintah dalam menegakkan keadilan, rendahnya kesadaran korban untuk melaporkan tindak kekerasan juga ikut menghambat mekanisme perlindungan hukum. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah memiliki andil yang besar dalam ketidakadilan kepada perempuan, terdapat kontradiksi dari persepsi hakim terkait proses peradilan yang melibatkan perempuan di dalamnya.25 Banyak putusan hakim yang tidak mempertimbangkan rasa manusiawi sehingga segala putusan yang diberikan justru malah menjatuhkan perempuan. Terlebih lagi jika menyangkut relasi kuasa yang dimana hakim dalam memutus perkara berdasarkan hierarki yang mencakup ekonomi dan status sosial seseorang. Dalam memutus suatu perkara di pengadilan, sering ditemukan stereotip yang mendiskriminasi perempuan dengan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh hakim dan hal ini tertuang ke dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 5 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yaitu dengan 22 Maria Novita Apriyani, “Implementasi Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual)” (2021), hlm. 3.
23 Yuliartini, et. al. eds. “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual di Provinsi Bal. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang (2021).
24 Nurhilmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sebelum Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”, Vol. 4, No. 2, 2019, 211-219, hal. 214.
25 ibid., hlm. 216.
secara tegas, hakim tidak boleh:
1. Mengeluarkan pernyataan atau sikap yang merendahkan, menyalahkan atau mengintimidasi perempuan.
2. Menggunakan kebudayaan untuk membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan.
3. Mempertanyakan atau meragukan mengenai kronologi, latar belakang, pengalaman berbau seksualitas korban sebagai alasan untuk membebaskan atau meringankan hukuman pelaku.
4. Bersikap gender bias dalam mengeluarkan pernyataan atau pandangan.26
Jika kita kembali kepada isu pertama mengenai ketidakadilan kekerasan seksual pada perempuan, menurut Anggreany Haryani Putri, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dirasa belum optimal karena kurangnya pengetahuan mendasar dan rasa simpati dari masyarakat terhadap sebab dan akibat dari pelecehan seksual. Selain diakibatkan oleh unsur masyarakat, negara kurang memfasilitasi layanan perlindungan korban.27 Terdapat 2 (dua) hal penting dalam menangani sebuah kasus kekerasan seksual, yaitu mengadili pelaku seadil - adilnya dan penangan secara psikis kepada korban dengan memberikan perhatian khusus sehingga mencegah kasus serupa terulang kembali. Pemulihan perempuan pada kasus kekerasan seksual tidak hanya memperhatikan secara medis, ketegakan hukum dan psiko- sosial tetapi memastikan keutuhannya sebagai seorang manusia dapat kembali berjalan dengan penciptaan situasi dimana korban mampu memutuskan keputusan-keputusannya sebagai warga negara dan juga perempuan.28
C. Kesimpulan
Kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbud Ristek) No. 30 Tahun 2021 Pasal 1 yang mendefinisikan kekerasan seksual sebagai suatu tindakan dan perbuatan yang menyentuh, menghina, merendahkan dan melecehkan anggota tubuh dan/atau fungsi reproduksi manusia dengan sebab ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender. Lahirnya kebijakan pemerintah terkait perlindungan kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk realisasi yang diaplikasikan guna melindungi hak korban. Secara fakta, segala kerugian yang dialami oleh perempuan akibat kasus kekerasan seksual yang dialaminya, baik yang berbentuk fisik maupun psikis masih belum mendapatkan perlakuan secara adil dari pemerintah atau masyarakat. Hal ini terbukti dari maraknya pemberitaan yang menggunakan judul dengan berkonotasi negatif, berlebihan dan kontroversial sebagai nilai jual mereka sehingga muncul sebuah budaya blaming the victim atau sikap menyalahkan korban di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dibuatlah beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perempuan baik dalam konteks umum, HAM ataupun kekerasan seksual, yaitu:
26 ibid., hlm. 216.
27 Anggreany Haryani Putri, “Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelecehan Seksual di Indonesia”
(November 2021), hlm. 19.
28 ibid., hlm. 20.
1. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 1 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM).
3. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW).
4. Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP).
5. UUD Pasal 28D
Namun, meski telah diedarkan berbagai macam undang-undang yang mengatur kekerasan atau pelecehan seksual, pada dasarnya masih banyak kasus kekerasan seksual, khususnya kepada perempuan. Oleh karena itu, hukum di Indonesia belum siap dalam memastikan adanya keadilan bagi perempuan dalam kasus kekerasan seksual. Hukum di Indonesia masih belum cukup optimal dalam menjamin keadilan dan kesetaraan perempuan dalam kasus kekerasan seksual, baik dari segi hakim yang tidak sigap, kesadaran korban untuk melapor, rasa trauma yang mendominasi korban, kurangnya saksi mata, masyarakat yang apatis, rendahnya kualitas fasilitas yang disediakan pemerintah, dan kekeliruan aparat penegak hukum dalam mengartikan peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, No. 30 Tahun 2021.
Sania Mashabi dan Kristian Erdianto, “Sejal Awal Januari, Kementerian PPPA Catat 426 Kasus Kekerasan Seksual” Sejak Awal Januari, Kementerian PPPA Catat 426 Kasus Kekerasan Seksual (kompas.com) .
Indonesia, Undang - Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU No. 12 Tahun 2022.
Fakhrul Haqiqi, “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (lpsk.go.id) .
Rifki Elindawati, “Perspektif Feminis dalam Kasus Perempuan sebagai Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (2021).
Dani Marsa Aria Putri, “Blaming The Victim”: Representasi Perempuan Korban
Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011-Februari 2012) .
Petrus Riski, “Menggugat Lambannya Proses Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual”
Menggugat Lambannya Proses Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual (voaindonesia.com) .
Koran Sindo, “Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban” Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban | Halaman 2 (sindonews.com) .
Nurhilmiyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sebelum Dan Sesudah Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”, Vol.
4, No. 2, 2019, 211-219.
Wahyu Krisnanto dan Martika Dini Syaputri, “Kelemahan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Dari Kekerasan Seksual di Ruang Publik.” Juli 2020, 519-528.
Hadibah Zachra Wadjo dan Judy Marria Saimima, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Restoratif”, Vol. 6, No. 1, 2020.
Diana Yusyanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Desember 2020).
Fenita Dhea Ningrumsari, et. al, “Paradigma Teori Hukum Feminis Terhadap Peraturan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual di Indonesia”, Vol.
14, No. 2, 2022.
Fransisca Medina Alisaputri, et. al, “Upaya Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan.”, 2020.
Aulia Virgistasari dan Anang Dony Irawan, “Pelecehan Seksual Terhadap Korban Ditinjau Dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021”, Vol. 3, No. 2, 2022, 107-123.
Maria Novita Apriyani, “Implementasi Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual)” (2021).
Yuliartini, et. al. eds. “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual di Provinsi Bal. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang (2021)
Anggreany Haryani Putri, “Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelecehan Seksual di Indonesia” (November 2021).