• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Ketidakadilan Yang Dirasakan Oleh Perempuan Dalam Kasus Kekerasan Seksual

N/A
N/A
andin

Academic year: 2024

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Ketidakadilan Yang Dirasakan Oleh Perempuan Dalam Kasus Kekerasan Seksual "

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

ANDINI PUSPA RAMADHAFITRI 2306149991

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM

Perlindungan Hukum Terhadap Ketidakadilan Yang Dirasakan Oleh Perempuan Dalam Kasus Kekerasan Seksual

B. Tinjauan Pustaka

Penggambaran wanita dalam setiap pemberitaan seperti surat kabar, televisi dan media massa lainnya seringkali dianggap sebagai korban yang lemah dan layak untuk diperkosa. Perempuan seakan-akan tidak memiliki kesempatan untuk berpendapat dengan dibatasinya hak suara mengenai pembelaan atas hal yang terjadi kepada mereka.1 Tidak hanya melalui media massa, tetapi di lingkungan institut pendidikan seperti perguruan tinggi di Indonesia mengalami banyak kasus kekerasan seksual yang sebagian besar memakan korban perempuan. Menurut penelitian oleh LPM FEB Unsoed, ditemukan hasil bahwa terdapat 100 responden yang mengaku jika korban dari kasus kekerasan seksual adalah seorang perempuan.2

Secara fakta, segala kerugian yang dialami oleh perempuan akibat kasus kekerasan seksual yang dialaminya, baik yang berbentuk fisik maupun psikis masih belum mendapatkan perlakuan secara adil dari pemerintah atau masyarakat. Hal ini terbukti dari maraknya pemberitaan yang menggunakan judul dengan berkonotasi negatif, berlebihan dan kontroversial sebagai nilai jual mereka sehingga muncul sebuah budaya blaming the victim atau sikap menyalahkan korban di kalangan masyarakat.3 Budaya tersebut menyebabkan tidak adanya ruang bagi para korban untuk meminta pertolongan atau simpati dari masyarakat supaya haknya sebagai seorang korban kekerasan seksual terpenuhi. Selain masyarakat, aparat penegak hukum sebagai pihak yang memiliki peran besar dalam penanganan kasus kekerasan seksual justru bersikap jauh dari kata adil. Sebagai contoh, aparat penegak hukum memutuskan tidak menahan pelaku pada kasus kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyah Jombang meskipun sang pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka.4 Dalam beberapa kasus kekerasan seksual, perdamaian menjadi sebuah solusi akhir yaitu pelaku hanya dituntut untuk menjalani mandatory counseling dengan psikolog dan korban diwajibkan untuk mengikuti 1 Dani Marsa Aria Putri, “Blaming The Victim”: Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011-Februari 2012) 2 Rifki Elindawati, “Perspektif Feminis dalam Kasus Perempuan sebagai Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (2021), hlm. 187.

3 Dani Marsa Aria Putri, “Blaming The Victim”: Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011-Februari 2012) . 4 Petrus Riski, “Menggugat Lambannya Proses Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual” Menggugat Lambannya Proses Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual (voaindonesia.com), diakses 31 Oktober 2023.

(2)

kegiatan psikolog klinis sampai batas waktu yang ditentukan.5

Terlepas dari perlakuan masyarakat dan aparat penegak hukum, pemerintah Indonesia telah menetapkan serangkaian peraturan dengan tujuan untuk mengurangi persentase kekerasan seksual yang dinilai sebagai sebuah usaha progresif yang telah dilakukan oleh pemerintah. Terkait hal ini, beberapa publikasi telah membahas hal yang serupa, yaitu (1) Penanganan ketidakadilan hukum terhadap perempuan sebagai korban dan (2) Implementasi yang dilakukan pemerintah untuk korban tindak pidana kasus kekerasan seksual.

Terkait peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual terhadap pemenuhan hak korban di Indonesia telah diatur dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam peraturan perundang- undangan ini, perlindungan yang dimaksud adalah segala upaya untuk memenuhi hak dan pemberian bantuan sebagai pertolongan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban yang menjadi kewajiban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya yang telah disebutkan sesuai ketentuan Undang - Undang yang bersangkutan.6 Lalu, sesuai dengan penelitian oleh Yuliarti, Mangku dan Putri yang menyatakan bahwa sanksi tindak pidana sebagai bentuk upaya penegak hukum kepada pelaku adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat selama 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (5 miliar rupiah) yang mengacu pada Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.7

Selain membahas permasalahan tentang sanksi pidana untuk para pelaku, penelitian yang ditulis oleh Dini Amalia Anggraini yang mengangkat masalah HAM dalam kasus pelecehan seksual mengungkapkan bahwa sudut pandang pelecehan seksual yang terdapat di dalam Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sering kali salah diinterpretasikan dan cenderung acuh terhadap arti dari kekerasan yang sebenarnya yaitu meliputi kekerasan pelecehan seksual dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal yang sama diungkapkan oleh Diana Yusyanti yang mengangkat isu perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban dari pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam ranah HAM bahwa setiap manusia telah memperoleh hak utamanya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan sehingga ia pun mendapatkan hak untuk hidup yang sifatnya melekat dan suci.8 HAM yang diangkat dalam kasus ini mengacu pada perlindungan anak dalam berhadapan dengan hukum yang secara khusus merupakan korban kekerasan atau pelecehan seksual, pedofilia, dan sebagainya. Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak tertuang dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan 5 Koran Sindo, “Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban” Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban | Halaman 2 (sindonews.com), diakses 31 Oktober 2023.

6 Maria Novita Apriyani, “Implementasi Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual)” (2021), hlm. 3.

7 Yuliartini, et. al. eds. “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual di Provinsi Bal. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang (2021).

8 Diana Yusyanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Desember 2020), hlm. 624.

(3)

Pidana Anak (SPPA) yang sebelumnya hanya mengutamakan perdamaian daripada sebuah proses hukum formal.9

Jika kita kembali kepada isu pertama mengenai ketidakadilan kekerasan seksual pada perempuan, menurut Anggreany Haryani Putri, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dirasa belum optimal karena kurangnya pengetahuan mendasar dan rasa simpati dari masyarakat terhadap sebab dan akibat dari pelecehan seksual. Selain diakibatkan oleh unsur masyarakat, negara kurang memfasilitasi layanan perlindungan korban.10 Terdapat 2 (dua) hal penting dalam menangani sebuah kasus kekerasan seksual, yaitu mengadili pelaku seadil - adilnya dan penangan secara psikis kepada korban dengan memberikan perhatian khusus sehingga mencegah kasus serupa terulang kembali. Pemulihan perempuan pada kasus kekerasan seksual tidak hanya memperhatikan secara medis, ketegakan hukum dan psiko- sosial tetapi memastikan keutuhannya sebagai seorang manusia dapat kembali berjalan dengan penciptaan situasi dimana korban mampu memutuskan keputusan-keputusannya sebagai warga negara dan juga perempuan.11

Meski telah diedarkan berbagai macam undang - undang yang mengatur kekerasan atau pelecehan seksual, pada dasarnya masih banyak kasus kekerasan seksual, khususnya kepada perempuan. Oleh karena itu, hukum di Indonesia belum siap dalam memastikan adanya keadilan bagi perempuan dalam kasus kekerasan seksual. Dengan ini, penulis memperhatikan terkait isu terakhir yang mengangkat tentang ketidakadilan hukum di Indonesia dalam menangani kekerasan seksual pada perempuan.

9 ibid., hlm. 624.

10 Anggreany Haryani Putri, “Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelecehan Seksual di Indonesia”

(November 2021), hlm. 19.

11 ibid., hlm. 20.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan Untuk

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan Untuk mengetahui kendala

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan hak cipta belum cukup untuk memberikan perlindungan hukum terhadap cipta karya arsitektur yaitu kriteria yang

Perlindungan perempuan adalah segala upaya yang ditujukan untuk melindungi perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya dengan memberikan perhatian yang konsisten

Perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pemerintah, keluarga, lembaga sosial

Penelitian ini mengambil judul “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual” dan studi yang dilakukan di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan

Tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan Untuk

Kesimpulan Upaya perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap korban perdagangan anak sudah diatur dan dijamin dalam sistem perundang- undangan nasional Indonesia pada UUD 1945