• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS JAMINAN INFORMASI KEHALALAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM PENGGUNAAN APLIKASI GO-FOOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS JAMINAN INFORMASI KEHALALAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM PENGGUNAAN APLIKASI GO-FOOD"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Rumusan Masalah

Bagaimana ketentuan hukum mengenai kewajiban pelaku usaha dalam memberikan informasi kehalalan produk makanan dan minuman menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Apa saja perlindungan hukum sebagai konsumen terhadap jaminan informasi produk makanan dan minuman halal saat menggunakan aplikasi go-food? Bagaimana upaya konsumen dalam menuntut ganti rugi atas jaminan informasi produk makanan dan minuman halal saat menggunakan aplikasi go-food?

Faedah Penelitian

Tujuan Penelitian

Intisari berlakunya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah mengatur perilaku badan usaha dalam rangka menjamin perlindungan hukum terhadap konsumen. Ketentuan hukum tentang kewajiban badan usaha dalam menyediakan informasi halal makanan dan minuman berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain Pasal 8, Pasal 9 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh badan usaha.

Namun UUPK pada kenyataannya hanya mengatur pelaku usaha yang dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan kehalalan produksi, sebagaimana tampak dalam pernyataan tersebut. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) telah melahirkan kesadaran baru berupa pengembangan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab (caveatvenditor). Merujuk pada Pasal 4 huruf c, untuk melindungi konsumen muslim dari produk tidak halal, pelaku usaha yang memproduksi barang/dan/atau jasa untuk diperdagangkan wajib memberikan informasi yang jelas dan jujur ​​bahwa produk yang diperdagangkan adalah produk halal. dengan mencantumkan logo sertifikat halal MUI..

Kewajiban pelaku usaha untuk menjamin kehalalan produknya merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen muslim di Indonesia. Pelaku usaha bertanggung jawab atas produk yang diperdagangkannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi Operasioanal

Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Ani'atus Sholichah, mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2022 yang berjudul: “Perlindungan Konsumen Terhadap Legalitas Informasi Pernyataan Diri Dalam Penjaminan Produk Halal Aplikasi Online, Analisis Kehalalan Produk pasal 8 Tahun 1999 terkait UUPK dan Perspektif Hukum Islam". Bagaimana perlindungan konsumen dalam menjamin informasi produk halal pada aplikasi online yang direvisi dengan UU No. 8 Tahun 1999. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Syafrudin, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2021 dengan judul: “Perlindungan Konsumen Produk Makanan dan Minuman Usaha Rumahan Tanpa Sertifikasi Halal yang Dijual Melalui Media Sosial.”

Pelanggaran hak apa saja yang dialami konsumen makanan dan minuman rumahan tanpa sertifikasi halal yang dijual melalui media sosial? Bagaimana peran pemerintah dalam memantau kehalalan makanan dan minuman rumahan tanpa sertifikasi halal yang beredar di masyarakat? Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen makanan dan minuman usaha rumahan tidak bersertifikat halal yang dijual melalui media sosial?

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode hukum normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai data primer. Secara konstruktif, substansi dan pembahasan kedua penelitian di atas berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis kali ini, yakni mengenai perlindungan konsumen mengenai jaminan informasi halal produk makanan dan minuman ketika menggunakan aplikasi go-food.

Metode Penelitian

  • Jenis dan Pendekatan Penelitian
  • Sifat Penelitian
  • Sumber Data
  • Alat Pengumpul Data
  • Analisis Data

Bahan hukum primernya adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Komisi Fatwa MUI tanggal 30 Desember 2009 tentang Penetapan Produk Halal. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang berupa karya ilmiah, buku. Bahan hukum tersier berupa bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, internet, dan sebagainya, yang berkaitan dengan permasalahan sesuai dengan judul ini.

Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Data sekunder yang digunakan untuk menulis tesis ini meliputi buku-buku koleksi pribadi, perpustakaan hukum, dan jurnal. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan menafsirkan bahan hukum yang diolah.

Penggunaan metode penafsiran (interpretasi) ini bertujuan pada penafsiran hukum, yang berkaitan dengan materi hukum, khususnya materiil.

TINJAUAN PUSTAKA

Jaminan Produk Halal

Dari berbagai bentuknya, kata ini mempunyai arti yang cukup berbeda-beda, antara lain; keluar dari suatu kegiatan, halal, larangan berhenti atau tinggal (tinggal) pada suatu tempat, melepaskan atau menyelesaikan hubungan atau penguraian kata, terjadi (suatu peristiwa terjadi), memaksa,. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan bahwa pengertian halal mengandung tiga pengertian, yaitu yang pertama, halal adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya. Kedua, halal adalah sesuatu yang membuat seseorang tidak dihukum jika melakukannya, karena hal tersebut dibenarkan oleh syariat.

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 1 ayat (5) menyatakan bahwa jaminan produk halal memberikan kepastian hukum atas kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.35 Berdasarkan definisi tersebut, pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraannya. jaminan Produk Halal memberikan konsumen keamanan, kenyamanan dan perlindungan pada saat mengkonsumsi dan menggunakan produk. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Undang-Undang Jaminan Produk Halal nomor 33 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (6), menyebutkan bahwa Badan. Dengan memberikan jaminan kepada setiap umat Islam di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan mengenai kehalalan produk yang dikonsumsi atau digunakan masyarakat.

Selain itu, jaminan terhadap produk halal harus dilakukan sesuai dengan prinsip perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta profesionalisme. Jaminan penyedia produk halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keselamatan, keamanan dan jaminan ketersediaan produk halal kepada masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha dalam produksi dan penjualan produk halal. Bentuk perlindungan hak konsumen, tindakan yang harus dilakukan negara terkait kehalalan suatu produk adalah dengan segera dibentuknya Lembaga Pemeriksa Halal. Apabila Lembaga Pemeriksa Halal adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan atau pengujian kehalalan produk.37.

Dengan demikian produsen tidak diperkenankan memperdagangkan barang yang haram menurut Islam, namun harus jujur, jika halal maka harus ada label halalnya, dan jika ada unsur haramnya maka harus dikatakan tidak halal. . . 82/MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman Kata “Halal” pada Label Pangan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang dengan Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

Go-Food

Pengusaha kuliner yang tidak memiliki layanan pesan antar dapat memperluas pasarnya dan bersaing dengan restoran waralaba dalam menjual barang dagangannya. Jaminan Penyelenggaraan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan jaminan ketersediaan produk halal kepada masyarakat pada saat mengkonsumsi dan menggunakan produk halal, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha dalam memproduksi dan menjual produk halal. 45. Kewajiban pencantuman label halal bagi pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal, perlu diketahui: bentuk label halal ini ditentukan oleh Badan.

Dalam peraturan perundang-undangan, pelaku usaha dilarang memperdagangkan makanan atau minuman yang tidak sesuai dengan perjanjian yang menjelaskan apa yang tercantum dalam label suatu produk atau mempromosikan produknya yang menjual makanan yang dijual di media online. Sebaliknya bagi produsen produk pangan, dalam UUPK pasal 7 huruf g disebutkan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi dan penggantian apabila pangan yang diperoleh konsumen tidak sesuai dengan kenyataan yang diperjanjikan. Selain itu, upaya Pemerintah dalam menerapkan sertifikasi halal bagi pelaku usaha juga merambah ke usaha mikro dan kecil (UMKM).

Perjanjian sertifikasi halal bagi perusahaan kecil dan menengah diatur dalam Pasal 4A UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja 2022). sebagai bentuk jaminan dan perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah. Badan usaha atau badan ekonomi dapat menyatakan sendiri apakah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dukungan Pendamping Pengolahan Produk Halal (PPH) yang terdaftar atau pernah mengikuti pelatihan. Sejak terbitnya UUJPH, proses pemberian sertifikat halal didasarkan pada Pasal 29, bahwa badan usaha mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada Badan Pengelola Penjaminan Produk Halal (BPJPH).

Sertifikat halal tidak hanya memberikan keuntungan perlindungan hukum terhadap hak konsumen muslim terhadap produk non halal, namun juga meningkatkan nilai jual produk pelaku usaha, karena konsumen tidak lagi ragu untuk membeli produk yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Tata cara memperoleh sertifikat halal adalah badan usaha harus terlebih dahulu mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada BPJPH. Kurangnya sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai juga mempengaruhi minat pendaftaran sertifikasi halal oleh para pelaku usaha, seperti tenaga ahli di bidang auditor halal dan produk halal.73

Ayat 1 Pasal 27 UUJPH mengatur bahwa “badan ekonomi yang tidak memenuhi kewajiban Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa: teguran tertulis, denda administratif; atau pencabutan sertifikat halal”. Sedangkan Pasal 56 UUJPH mengatur bahwa “badan ekonomi yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda sebesar Rp dua miliar.” Partai-partai sebagai anggota senat dipilih oleh arbiter dari kalangan anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen.

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian kepada konsumen akibat dikonsumsinya barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahannya adalah kesalahan konsumen.77. Berdasarkan pasal 49 ayat (3) tentang PP PSTE secara khusus mengatur hal tersebut yaitu pelaku usaha wajib mencantumkan batas waktu bagi konsumen untuk mengembalikan produk yang telah dikirim apabila produk pangan tidak sesuai dengan yang diinginkan. tersedia pada saat perjanjian dibuat atau terdapat perbedaan suatu pangan yang diterima konsumen.

Ketentuan hukum mengenai kewajiban pelaku usaha dalam memberikan informasi kehalalan produk makanan dan minuman berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, nyatanya UUPK hanya mengatur tentang pelaku usaha yang dilarang memproduksi barang dan/atau jasa dan/atau memperdagangkan barang tersebut. tidak mengikuti ketentuan kehalalan produksi, sebagaimana tercantum pada keterangan “halal” pada label.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini terutama diarahkan untuk menganalisis perilaku konsumen akhir makanan cepat saji serta menganalisis daya saing makanan (lokal/ tradisional terhadap impor/ fast food)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen yang dirugikan akibat beredarnya produk makanan impor yang tidak

adalah “ Perlindungan Konsumen Atas Pelanggaran Penandaan Pada Produk Kosmetik (Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Di Denpasar) ” dimana penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait berkenaan dengan kandungan makanan dan minuman yang dijual serta untuk

Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji tentang perlindungan yang diberikan kepada konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan dikaitkan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan baru kepada masyarakat akan pentingnya Kesadaran Masyarakat tentang Hak Perlindungan Konsumen atas Makanan

Penelitian ini terutama diarahkan untuk menganalisis perilaku konsumen akhir makanan cepat saji serta menganalisis daya saing makanan (lokal/ tradisional terhadap

Kemudian mengenai Implementasi Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Mengenai Labelisasi Halal Pada Produk Makanan di Kota Langsa menurut