x
CONSUMER LAW PROTECTION AGAINST UTILIZING OF
HARMFUL CHEMICAL INGREDIENTS ON FOOD THAT
MARKETED IN PUBLIC RELATED TO LAW NUMBER 8/1999
REGARDING CONSUMER PROTECTION
Rini Anggraeni 3.16.07.014
ABSTRACT
Food is a basic need for every living creature including for human to survive. As food contains nutritions provide energy for the body to grow and recover, so that human can proliferate. The increasing price of food material has made some producers substitute their ingredient utilizing harmful chemical material. It was calculated that chemical materials are much cheaper than the standarized material. Indeed, it is the consumers who are harmed by this conduct that causes health disturbance. Based on this phenomenon, researcher was interested to study about consumer protection against harmful chemical ingredients on food relating to Law Number 8/1999 regarding consumer protection. This study also described about consumer act as victim of harmful chemical food.
The type of research that conducted is a descriptive analysis by describing the facts of the primary data and secondary data which applying normative juridical method. The resulting data were analyzed by juridical qualitative, so that the hierarchy of legislation can be considered as well as to guarantee legal certainty.
ix
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh : Rini Anggraeni
3. 16. 07. 014
Abstrak
Makanan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh setiap makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya, terutama manusia karena di dalamnya mengandung nutrisi yang diperlukan antara lain untuk pertumbuhan badan serta memelihara jaringan tubuh yang rusak untuk berkembang biak dan proses yang terjadi di dalam tubuh. Mahalnya harga bahan-bahan sebagai campuran makanan mengakibatkan produsen makanan menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses pengolahannya, dikarenakan harganya jauh lebih murah dari bahan sesuai standar yang digunakan untuk makanan. Konsumen yang merupakan pemakai akhir dari makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut justru akan mengalami kerugian serta dampak dari bahan-bahan kimia berbahaya yang secara sengaja dicampurkan dalam makanan yang akan dijual tersebut jika dikonsumsi secara terus-menerus. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji tentang perlindungan yang diberikan kepada konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, serta tindakan hukum oleh konsumen sebagai korban dari dampak penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan yang dikonsumsinya.
Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriftif analitis dengan melukiskan fakta-fakta berupa data primer dan data sekunder dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif, sehingga hirarki peraturan Perundang-Undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan zaman telah membawa dunia pada era globalisasi, yang
ditandai dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat. Seiring
perkembangan teknologi ini terjadi pula perkembangan di banyak bidang dan
salah satunya dalam bidang makanan. Makanan merupakan kebutuhan
pokok yang wajib dipenuhi oleh setiap mahluk hidup untuk kelangsungan
hidupnya, terutama manusia karena di dalamnya mengandung nutrisi yang
diperlukan antara lain untuk pertumbuhan badan serta memelihara jaringan
tubuh yang rusak untuk berkembang biak dan proses yang terjadi di dalam
tubuh. Fungsi makanan juga untuk penghasil energi agar dapat melakukan
aktivitas, demi menunjang hal tersebut maka tentunya diperlukan makanan
yang sehat dan bebas dari bahan kimia berbahaya guna menunjang tubuh
yang sehat dan bebas dari penyakit.
Perkembangan teknologi tersebut juga mengakibatkan kenaikan harga
yang cukup berpengaruh bagi masyarakat salah satunya dalam harga bahan
makanan yang beredar di masyarakat, hal ini terlihat dari semakin
beragamnya bahan makanan sesuai standar yang dipasarkan dan tersebar di
berbagai daerah dalam jumlah besar maupun kecil namun dengan harga
yang relatif mahal dan tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan. Mahalnya
harga bahan-bahan sebagai campuran makanan tersebut mengakibatkan
produsen makanan menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses
2
sesuai standar untuk digunakan dalam makanan, diantaranya mengganti
pemanis makanan dengan Siklamat dan/atau Sakarin, pewarna makanan
dengan Rhodamin B dan untuk meningkatkan cita rasa menggunakan
Monosodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan vetsin atau
penyedap rasa serta formalin dan boraks untuk memberikan efek bagus dan
awet pada makanan. Selain itu masih banyak bahan-bahan kimia lainnya
yang digunakan dalam proses pembuatan makanan yang akan di jual kepada
masyarakat dalam hal ini adalah konsumen.
Konsumen yang merupakan pemakai akhir dari makanan yang
dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut justru yang akan mengalami kerugian
serta dampak dari bahan-bahan kimia berbahaya secara sengaja
dicampurkan dalam makanan yang akan dijual tersebut jika dikonsumsi
secara terus-menerus. Efek yang ditimbulkan bahan-bahan tersebut bisa
sangat mengerikan, mulai dari pemicu kanker, kelainan genetik, cacat
bawaan lahir apabila dikonsumsi oleh ibu hamil, melemahnya kinerja otak
dan syaraf, dan masih banyak lagi efek buruk lainnya yang hal ini adalah
konsumen yang paling dirugikan dan mendapatkan dampak tersebut.
Perlindungan terhadap konsumen dalam hal ini masih sangat lemah,
padahal konsumen menjadi satu-satunya yang akan menanggung resiko dari
dampak bahan kimia berbahaya yang dicampurkan dalam makanan oleh
produsen yang tidak bertanggung jawab tersebut. Ketidakberdayaan
konsumen dalam menghadapai pelaku usaha ini jelas sangat merugikan
kepentingan konsumen dan akibat yang ditimbulkan dari bahan-bahan
tersebutpun sangat fatal bahkan dapat menyebabkan kematian.
3
dijelaskan mengenai hak atas keamanan dan keselamatan bagi konsumen
sehingga dapat terhindar dari kerugian fisik maupun psikis.
Kasus mengenai pelanggaran hak konsumen tersebut salah satunya
yang terjadi pada bulan April 2009 di kota Binjai, Sumatera Utara, terdapat 40
produk makanan olahan hasil industri rumahan yang mengandung bahan
kimia berbahaya, seperti boraks, rhodamin B, formalin, dan metanyl yellow
yang biasanya digunakan untuk pewarna tekstil serta boraks yang biasa
digunakan untuk obat. Makanan olahan yang menggunakan bahan-bahan
kimia berbahaya tersebut adalah terasi, abon, ikan asin, lanting, dan 16
kerupuk yang berasal dari industri rumahan. Korban dari penggunaan
bahan-bahan kimia berbahaya tersebut mengakibatkan sekitar 70 orang anggota
TNI dan para isterinya terpaksa dibawa ke rumah sakit tentara Binjai karena
keracunan makanan setelah menghadiri acara syukuran dengan menu
makanan berupa nasi, ikan asin, sayur urap dan kerupuk.1
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, penulis melakukan
penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas
Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan yang Beredar
di Masyarakat Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.”
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan hukum yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1
4
A. Bagaimanakah upaya perlindungan yang diberikan kepada konsumen
atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen ?
B. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen sebagai
korban dari dampak penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam
makanan yang dikonsumsinya ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Penulisan hukum ini dimaksudkan dan ditujukan untuk :
1. Untuk memahami bagaimanakah efektifitas perlindungan hukum bagi
konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam
makanan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk menjelaskan tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh
konsumen sebagai korban dari dampak penggunaan bahan-bahan kimia
berbahaya dalam makanan yang dikonsumsinya.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai
perkembangan ilmu hukum terutama hukum perlindungan konsumen dan
5
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
kepada konsumen, pemerintah dan pihak-pihak atau lembaga terkait
dalam perlindungan konsumen sehingga tercipta suatu kebijakan yang
seimbang dan tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh
kebijakan tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa :
“… dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.“
Alinea kedua pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ini, mengandung
pokok pikiran “adil dan makmur”. Adil dan makmur ini maksudnya
memberikan keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia dalam
berbagai sektor kehidupan. Sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum
pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, Bentham
menjelaskan bahwa “the great happiness for the greatest number”. Konsep
tersebut menjelaskan bahwa hukum memberikan kebahagiaan
sebesar-besarnya kepada orang sebanyak-banyaknya, kebahagiaan dalam hal ini
adalah pemenuhan hak-hak konsumen oleh pelaku usaha atau distributor
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
6
makanan yang akan dikonsumsi oleh konsumen sehingga hak-hak tersebut
dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat
menyatakan bahwa :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ini,
mengandung pokok pikiran mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia yaitu dalam hal ini setiap korban pelanggaran hak, agar
terciptanya kepastian hukum. Apabila negara tidak melakukan upaya-upaya
konkret untuk melindungi korban pelanggaran hak, maka dapat dikatakan
bahwa secara pasif negara merestui perbuatan-perbuatan pelanggaran hak.
Pembukaan alinea keempat ini juga menjelaskan tentang pancasila yang
terdiri dari lima sila yang menyangkut keseimbangan kepentingan, baik
kepentingan individu, masyarakat maupun penguasa. Pancasila secara
substansial merupakan konsep yang luhur dan murni. Luhur karena
mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-menurun dan abstrak.
Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok,
baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak
partikular. Amanat dalam alinea keempat tersebut merupakan konsekuensi
7
pemerintah saja, melainkan juga pelayanan hukum melalui pembangunan
nasional.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan negara yang berlandaskan berlandaskan hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan berkala (machtstaat), dan
pemerintah berdasar kepada sistem konstitusi (hukum dasar), bukan
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), maka segala kegiatan yang
dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku,
tidak terkecuali dalam hal perlindungan hukum terhadap konsumen atas
penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berkaitan dengan
keadilan terhadap perlakuan terhadap seluruh masyarakat khususnya dalam
penyelenggaraan pengadaan barang dan/atau jasa kepada publik tertuang
dalam Bab 9 Tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum, yaitu :
“Peraturan perundang-undangan yang baik akan membatasi, mengatur dan sekaligus memperkuat hak warga negara. Pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka disatu sisi dapat menekan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh tindakan warga negara sekaligus juga menimbulkan dampak positif dari aktifitas warga negara. Dengan demikian hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan. Penerapan hukum yang dilakukan menciptakan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi masyarakat.”
Suatu peraturan hukum yang berisi hak dan kewajiban tentunya harus
diterapkan dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat, agar tercapai tujuan
8
secara normal, damai, tanpa menyebabkan sengketa dan hukum yang telah
dilanggar harus ditegakkan kembali.2
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Tentang Perbuatan Melawan Hukum, menyatakan bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tersebut yaitu
sebagai berikut :3
1. Perbuatan yang melawan hukum (Onrechtmatigedaad);
2. Harus ada kesalahan;
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan; dan
4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.
Pelaku usaha secara dengan sengaja mencampurkan bahan-bahan
kimia yang sebetulnya tidak layak atau dilarang digunakan pada proses
pembuatan makanan dengan tujuan untuk mencari keuntungan lebih dan
harga bahan-bahan kimia tersebut relatif murah dan mudah didapat sehingga
mengorbankan hak-hak konsumen untuk mendapatkan makanan yang layak
dan sehat untuk dikonsumsi.
Makanan yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut dijual kepada
masyarakat, sehingga timbul hubungan jual-beli antara pelaku usaha atau
distributor dengan konsumen. Pengertian jual-beli itu sendiri telah diatur
dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) yaitu:
2
Abdilah Sinaga , Class Action, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2002, hlm.1 3
9
“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”
Konsumen yang dalam hal ini adalah sebagai pembeli dari suatu produk
makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai hak untuk
mendapatkan barang atau makanan sesuai keinginannya serta mendapatkan
jaminan atas makanannya tersebut oleh pelaku usaha, begitu pula sebaliknya
pelaku usaha yang mempunyai hak untuk mendapatkan pembayaran atas
makanan yang dibeli oleh konsumen tersebut yang dalam hal ini adalah
makanan yang sehat dan layak untuk dikonsumsi serta bebas dari
bahan-bahan kimia berbahaya. Pengertian dari perlindungan konsumen disini
adalah sebagai mana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Maka berdasarkan pasal diatas, konsumen berhak untuk mendapatkan
perlindungan apabila terjadi hal-hal yang dapat merugikan dirinya baik dari
segi hukum maupun kesehatan.
Konsumen yang berhak untuk mendapatkan perlindungan tersebut
adalah konsumen yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
10
Berdasarkan pasal diatas, konsumen yang dimaksud adalah konsumen
akhir, dimana konsumen akhir ini adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk yang diproduksi oleh pelaku usaha yakni pelaku usaha yang
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Kemajuan dari ilmu dan teknologi mempengaruhi semakin beragamnya
makanan yang beredar di masyarakat dan banyak menimbulkan kerugian
pada pihak konsumen. Perlindungan atas hak-hak konsumen di Indonesia
masih sangat kurang. Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku
sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban baik itu
produsen maupun konsumen, tetapi masih dirasakan kurang apabila
diterapkan pada kasus-kasus atas pengunaan bahan kimia berbahaya dalam
makanan.
Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya pihak
konsumen maupun pelaku usaha memahami betul tujuan dari perlindungan
konsumen tersebut agar tidak ada lagi konsumen maupun pelaku usaha yang
merasa dirugikan. Tujuan dari perlindungan konsumen tersebut termuat
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang menegaskan bahwa :
“Perlindungan Konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
11
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”
Pengusaha maupun konsumen selain mengetahui tujuan dari
perlindungan konsumen tersebut juga harus memahami betul apa yang
menjadi hak dan kewajibannya masing-masing, Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menegaskan
mengenai hak-hak konsumen yang berisi :
“Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Perlindungan terhadap konsumen masih sangat lemah, apalagi dalam
12
mengkonsumsi makanan, hal ini terlihat dari semakin banyaknya kasus
keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat dan dampaknya bisa fatal
yaitu kematian. Kejadian ini dikarenakan ketidak jujuran serta kecurangan
pelaku usaha sehingga mengabaikan hak-hak konsumen untuk kepentingan
pribadi.
Pandangan mengenai hak-hak konsumen yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan juga dikemukakan oleh mantan Presiden
Amerika Serikat, John F. Kennedy, yaitu :4
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (The Right to safe Products );
2. Hak untuk mendapatkan informasi (The Right to be Informed about
Products);
3. Hak untuk memilik (The Right to Definite Choice in Selecting
Products);
4. Hak untuk didengar (The Right to be Heard Regarding Consumer
Interests).
Pelanggaran hukum tidak hanya dapat menimpa kepada seseorang
secara individu akan tetapi dapat pula menimpa sekelompok orang dalam
jumlah besar atau masyarakat luas. Pelanggaran hak-hak konsumen oleh
pelaku usaha, yaitu pencampuran bahan-bahan kimia berbahaya pada saat
proses pembuatan makanan yang akan dijual dan diedarkan kepada
konsumen dalam hal ini adalah masyarakat sangat merugikan konsumen dan
kerugian tersebut tidak hanya bersifat jangka pendek yaitu berupa keracunan
akan tetapi secara jangka panjang seperti kanker bahkan lebih fatal yaitu
kematian. Hal ini dikarenakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen
4
13
yang dilakukan oleh pelaku usaha, padahal pelaku usaha mempunyai
tanggung jawab yaitu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
menegaskan bahwa :
“Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”
Pelaku usaha dalam hal ini adalah produsen makanan harus
mempunyai itikad baik dalam mengolah atau memproses makanan yang
akan dijual kepada konsumen dan tidak mencampurkan bahan-bahan kimia
yang memang dilarang dan tidak sesuai standar kedalam campuran
makanan sehingga membahayakan konsumen apabila dikonsumsi secara
terus-menerus. Produsen juga seharusnya mencantumkan komposisi
terhadap bahan-bahan yang digunakan pada campuran makanan tersebut
secara benar dan jujur sehingga konsumen mengetahui kandungan yang ada
dalam makanan yang akan dikonsumsinya tersebut, apabila terjadi suatu
14
bertanggung jawab serta memberikan ganti rugi kepada konsumen sesuai
keadaan yang terjadi.
Perbuatan produsen yang dengan sengaja mencampurkan
bahan-bahan kimia berbahaya pada saat proses pembuatan makanan tersebut
bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan mengenai Perbuatan
yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, yaitu :
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.”
Campuran bahan-bahan kimia berbahaya yang sengaja dicampurkan
kedalam makanan pada saat proses pembuatan oleh pelaku usaha sering
sekali dilakukan dan tidak adanya penjelasan mengenai bahan-bahan yang
15
tanggal kadaluarsa pada kemasan sehingga konsumen tidak mengetahui
kapan makanan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi.
Apabila pelaku usaha dan konsumen memahami betul akan hak dan
kewajibannya masing-masing maka kesehatan yang merupakan salah satu
hal penting yang didambakan oleh semua manusia dalam hal ini konsumen
akan tercapai, sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kesehatan.”
Kesehatan merupakan hak setiap orang, dalam hal ini konsumen perlu
makanan yang sehat, bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya untuk
menunjang kesehatannya dan terhindar dari segala macam penyakit sebagai
dampak dari makanan yang dikonsumsinya. Makanan yang dimaksud dalam
hal ini adalah makanan yang diolah maupun tidak diolah atau mentah,
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
Tentang Pangan, menyatakan bahwa :
“Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.”
Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya
merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia
cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga
yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta perlu diselenggarakan suatu
sistem pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang
memproduksi maupun yang mengkonsumsi pangan, serta tidak bertentangan
16
Maksud dari bahan lain dalam pasal ini adalah bahan yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman di luar bahan tambahan pangan dan bahan bantu pangan yang
dalam hal ini adalah bahan-bahan yang sesuai standar, tidak dilarang serta
tidak berbahaya serta penggunaannya tidak melebihi ambang batas yang
telah ditentukan.
Hal tersebut termuat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1996 Tentang Pangan, yang menyatakan bahwa :
“(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.
(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Bahan tambahan pangan dalam pasal tersebut adalah bahan yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,
pemucat, dan pengental. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam
produk pangan yang tidak mempunyai risiko terhadap kesehatan manusia
dapat dibenarkan karena hal tersebut memang lazim dilakukan. Namun,
penggunaan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan atau
penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebihan sehingga
melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan karena dapat
merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi
pangan tersebut.
Bahan kimia berbahaya itu sendiri adalah bahan-bahan yang
17
menimbulkan atau membebaskan debu, kabut, uap, gas, serat, atau radiasi
sehingga dapat menyebabkan iritasi, kebakaran, ledakan, korosi, keracunan
dan bahaya lain dalam jumlah yang menyebabkan gangguan kesehatan bagi
orang yang berhubungan langsung dengan bahan tersebut atau
menggunakan bahan tersebut tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya,
dan apabila bahan kimia tersebut digunakan pada proses pembuatan
makanan dan digunakan sebagai campuran makanan maka akibat yang
ditimbulkan akan sangat membahayakan yaitu dapat menyebabkan
keracunan, gangguan fungsi hati, gangguan saluran pernafasan, sakit ginjal,
gangguan paru-paru, gangguan fungsi hati, gangguan pencernaan, kanker
atau bahkan kematian.5
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah serta
menanggulangi penggunaan bahan-bahan kimia dalam makanan adalah
dengan menegakkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
memberikan jaminan atas perlindungan terhadap masalah-masalah yang
timbul sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dan
menaggung resiko atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi
ini adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
5
18
Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan
data dan fakta baik berupa :
a. Data sekunder bahan hukum primer yaitu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan, diantaranya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 Tentang
Bahan Tambahan Pangan.
b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau
pendapat para ahli hukum terkemuka.
c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang
didapat dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan
internet.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis
normatif. Metode yuridis normatif adalah metode dimana hukum
19
ini dilakukan melalui penafsiran hukum dan konstruksi hukum.6
Pada penulisan hukum ini, penulis mencoba melakukan penafsiran
hukum gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara
melihat arti kata pasal dalam undang-undang. Selain itu, penulis
melakukan penafsiran hukum sosiologis yang dilakukan
menghadapi kenyataan bahwa kehendak pembuat undang-undang
ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya
diberikan pada undang-undang yang berlaku dewasa ini.
3. Tahap Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis melalui dua tahap meliputi :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan
hukum primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan
penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi
studi kepustakaan dengan cara wawancara terstruktur dengan
pihak-pihak terkait.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah sebagai
berikut :
6
20
a. Studi Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang berupa
data primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan
permasalahan yang penulis teliti.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak-pihak
yang terkait dengan cara mempersiapkan pertanyaan terlebih
dahulu untuk memperlancar proses wawancara.
5. Metode Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara yuridis
kualitatif yang meliputi :
a. Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan
dengan perundang-undangan yang lain.
b. Memperhatikan hierarkis peraturan perundang-undangan,
dimana peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih
tinggi.
c. Kepastian hukum, dalam arti perundang-undangan yang diteliti
betul-betul dilaksanakan dan didukung oleh penegak hukum.
6. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan
dalam penyusunan skripsi ini, yaitu :
a. Perpustakaan, diantaranya :
1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jl.
Dipati Ukur Nomor 112 Bandung
2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
21
b. Instansi atau lembaga terkait, yaitu :
1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
2) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
4) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
c. Website :
1) http://www.hukum-online.com
2) http://www.hukum-perlindungan-konsumen.com
3) http://www.bahan-kimia-berbahaya.com
BAB II
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM
PENGGUNAAN BAHAN-BAHAN KIMIA BERBAHAYA PADA
MAKANAN
A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
Istilah konsumen berasal bahasa inggris yaitu consumer yang artinya
setiap orang yang menggunakan barang atau jasa dalam hal ini orang yang
membeli suatu produk hanya untuk digunakan oleh sendiri (pemakai akhir),
bukan untuk dijual kembali. Karena posisi konsumen yang lemah maka perlu
dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah
memberikan perlindungan kepada masyarakat. Masalah perlindungan
konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini
ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI,
pada bulan Mei 1973. Gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara
luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen,
seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media
konsumen. 1
Pada saat YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih
dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri.
Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen
dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Beberapa tahun
7
belakangan ini, ada banyak masalah pelanggaran hak-hak konsumen yang
justru makin bertambah. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut menimbulkan
keresahan yang sangat akut bagi kehidupan masyarakat.2
Perkembangan perlindungan terhadap konsumen mengenal dua
adagium yaitu :3
1. Caveat Emptor
Caveat emptor adalah istilah Latin untuk let the buyer aware
(konsumen harus berhati-hati). Hal ini berarti bahwa sebelum
konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap
kemungkinan adanya cacat pada barang. Menurut doktrin caveat
emptor, produsen atau penjual dibebaskan dari kewajiban untuk
memberitahu kepada konsumen tentang segala hal yang
menyangkut barang yang hendak diperjualbelikan. Apabila
konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, maka ia harus
menerima produk itu apa adanya. Awal abad XIX mulai disadari
bahwa caveat emptor tidak dapat dipertahankan lagi, apalagi untuk
melindungi konsumen.
2. Caveat Venditor
Pada awal abad XX berkembang pemikiran bahwa produsen tidak
hanya bertanggung jawab kepada konsumen atas dasar tanggung
jawab kontraktual. Karena produknya ditawarkan kepada semua
orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat untuk
mendapatkan jaminan keamanan jika menggunakan produk yang
bersangkutan. Kepentingan masyarakat itu adalah bahwa produsen
8
Ibid.,
9
yang menawarkan produknya pada masyarakat, harus
memperhatikan keselamatan, keterampilan dan kejujuran. Doktrin
caveat venditor (let the producer aware) yang berarti bahwa
produsen harus berhati-hati. Doktrin ini menghendaki agar
produsen, dalam memproduksi dan memasarkan produknya,
berhati-hati dan memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Doktrin caveat venditor menuntut produsen untuk memberikan
informasi yang cukup kepada konsumen tentang produk yang
bersangkutan. Apabila hal itu tidak dilakukan maka produsen wajib
bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh
produknya.
Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen. Kasus-kasus terhadap pelanggaran hak
konumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan
kepada pihak-pihak terkait. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab
tersebut dapat dibedakan sebagai berikut :4
1. Kesalahan (liability based on fault);
2. Praduga slalu bertanggung jawab (presumption of liability);
3. Praduga slalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability);
4. Tanggung jawab mutlak (strict liability);
5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).
10
Aspek-aspek hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era
pasar bebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi
pasar domestik dan dari sisi pasar global. Keduanya harus diawali sejak
barang dan/atau jasa diproduksi, didistribusikan atau dipasarkan dan
diedarkan sampai barang dan jasa tersebut dikonsumsi oleh konsumen.5
Tanggung jawab pelaku usaha juga didasarkan pada Contractual
Liability yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari
pelaku usaha (barang dan/atau jasa), atas kerugian yang dialami konsumen
akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang
diberikannya. Tanggung jawab pelaku usaha yang tidak terdapat hubungan
perjanjian (no Privity of Contract) antara pelaku usaha (produsen barang)
dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggung jawaban produk (product Liability), yaitu tanggung jawab
perdata secara langsung (Strictliability) dari pelaku usaha atas kerugian yang
dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan. Tanggung
jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban professional
(Professional Liability) yang menggunakan tanggung jawab perdata secara
langsung dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialami
konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikan.6
Tanggung jawab pelaku usaha dalam hal hubungan pelaku usaha
(barang dan/atau jasa) dengan negara dalam memelihara keselamatan dan
keamanan masyarakat (Consumers) didasarkan kepada Criminal Liability,
11.
Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.38
12
yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya
keselamatan dan keamanan masyarakat.7
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen. yakni :
1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau
jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa
lain atau untuk dipergunakan (tujuan komersial);
3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan
tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).
Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa
kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain
yang akan diproduksinya (produsen), yang dalam hal ini adalah distributor
atau pedagang barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata
dagangannya.
Bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa
yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau
rumah tangganya (produk). Bagi konsumen akhir diperlukan produk (barang
dan/atau jasa) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta
pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya.
Kaidah-kaidah hukum sangat diperlukan untuk menjamin syarat-syarat aman
13
setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia dilengkapi dengan informasi
yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.
Konsumen pada umumnya tidak mengetahui dari bahan apa suatu
produk dibuat, bagaimana proses pembuatan serta strategi pasar apa yang
dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang
dapat melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi untuk
menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha. Keadaan seimbang
di antara para pihak yang saling berhubungan akan menimbulkan keserasian
dan keselarasan materiil tidak sekedar formil, dalam kehidupan manusia
sebagaimana yang dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini.
Keseimbangan tersebut juga akan memberikan peranan untuk
melindungi konsumen, peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari :
1. Politic will/kemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen
domestik didalam persaingan global dan atas persaingan tidak
sehat lokal;
2. Birokrasi dengan sadar dan senang hati menciptakan kondisi
dengan berbisnis jujur dalam mewujudkan persaingan sehat;
3. Dalam hukum positif yang sudah mengandung unsur melindungi
kepentingan konsumen.
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan
hukum mengenai hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha, hak
konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai
“Hak konsumen adalah :
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yakni :
“Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.”
Kajian terhadap perlindungan konsumen tidak dapat dipisahkan dari
hak-hak dan kewajiban pelaku usaha, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
“Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Pelaku usaha tidak diperkenankan menambahkan bahan tambahan
kedalam makanan yang dilarang oleh undang-undang serta penggunaannya
melebihi batas atau standar yang direntukan hal ini sejalan dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yang menegaskan mengenai :
“Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”
Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya
dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam
banyak hal, maka perlindungan terhadap konsumen dipandang secara
material maupun formal makin terasa sangat penting dikarenakan makin
bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang
dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar
dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak
langsung konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya,
dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang
memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal penting dan
mendesak untuk dicarikan segera solusinya.
Konsumen yang keberadaannya tidak terbatas dengan strata yang
sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran
dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar
dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua
cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai
dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat
negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk
yang sering terjadi antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang,
informasi yang tidak jelas bahkan penggunaan bahan kimia dalam tambahan
produk makanan. 8
Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang
dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus
dikuasai oleh masyarakat konsumen, disisi lain mustahil mengharapkan
sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses
informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer
ignorance, yaitu ketidak mampuan konsumen menerima informasi akibat
kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja
14
dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya
hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi
yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang
proporsional dan diberikan tidak secara diskriminatif.
Perlindungan hukum terhadap konsumen juga menyangkut dalam
banyak aspek kehidupan terutama dalam aspek kegiatan bisnis. Namun
masalah perlindungan konsumen pada kenyataannya perlu diimbangi dengan
langkah-langkah pengawasan agar kualitas dari barang dan/atau jasa yang
akan diedarkan pada masyarakat tetap terjamin dan tidak merugikan
konsumen.
Langkah-langkah pengawasan dan pembinaan terhadap perlindungan
konsumen tersebut dapat meliputi :
1. Diri pelaku usaha;
2. Sarana dan prasarana produksi;
3. Iklim usaha secara keseluruhan;
4. Konsumen.
Tujuan dari pembinaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan
hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan
kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai produsen dapat dipastikan, tanggung jawab
atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen secara
keseluruhan berada ditangan pemerintah.
Terdapat 5 (lima) asas perlindungan konsumen dalam aspek ekonomi
1. Asas manfaat, merupakan segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2. Asas keadilan, merupakan partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil;
3. Asas keseimbangan, merupakan perlindungan konsumen diharapkan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, merupakan perlindungan
konsumen yang diharapkan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum, merupakan pelaku usaha maupun konsumen
agar mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Berdasarkan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu :
“Tujuan perlindungan konsumen adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”
Pasal 29 ayat (4) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk :
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen;
2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
3. Meningkatkan sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Pada kenyataannya hubungan hukum antara produsen dan konsumen
seringkali melemahkan posisi konsumen karena kendala yang dihadapi
dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia tidak terbatas pada
rendahnya kesadaran konsumen akan hak, tetapi juga adanya persepsi yang
salah di kalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap
konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap produsen. Persepsi yang
keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila
disadari beberapa pertimbangan berikut ini :
1. Bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling
dengan baik bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat
akibat banyaknya produk yang cacat;
2. Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam
melakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya
merugikan konsumen saja tetapi juga akan merugikan produsen
yang jujur dan bertanggung jawab;
3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi
produsen yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan
jalan merugikan kepentingan konsumen tetapi dapat dicapai melalui
penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan dalam
melakukan kegiatan usahanya;
4. Bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat
pemakian produk cacat telah diperhitungkan sebagai komponen
produksi, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang
memakai produk yang tidak cacat.
Bertolak dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap
konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh
sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang
konprehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur dan sehat yang secara
langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.9
15
B. Ruang Lingkup Bahan Kimia Berbahaya pada Makanan
Persoalan mengenai banyaknya penggunaan bahan tambahan pada
makanan yang tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah
akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan makanan yang
berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi individu. Saat ini
masyarakat bukan hanya tertarik pada aspek bahan makanan yang
memberikan cita rasa enak, dan nikmat untuk disajikan akan tetapi lebih
kepada komponen apa saja yang terkandung dalam makanan yang
dikonsumsinya tersebut.
Penggunaan bahan tambahan makanan atau pangan dalam proses
produksi perlu diwaspadai baik oleh produsen maupun konsumen. Dampak
penggunaannya dapat berakibat positif atau negatif bagi masyarakat jika
makanan tersebut dikonsumsi secara terus menerus, penyimpangan dalam
penggunaan bahan-bahan kimia tersebut akan berdampak dan berpengaruh
besar pada kesehatan khususnya tubuh. Bahan tambahan makanan banyak
digunakan pada jajanan yang umumnya diproduksi oleh industri kecil/rumah
tangga. Perbuatan ini harus dicegah dan ditindak secara tegas oleh
pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari
penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai peraturan.
Kebijakan keamanan makanan (food safety) dan pembangunan gizi
nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan
nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan atau makanan.
Pengertian bahan tambahan pangan atau makanan dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/Per/IX/88
tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang
dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi
pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,
pengemasan, dan penyimpanan.
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan atau makanan adalah
dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya
simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta
mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan
pangan atau makanan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Bahan tambahan makanan yang ditambahkan dengan sengaja ke
dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan
maksud penambahan tersebut dapat mempertahankan kesegaran,
cita rasa, dan membantu pengolahan. Contohnya pengawet,
pewarna dan pengeras makanan.
2. Bahan tambahan makanan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu
bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut,
terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit ataupun
banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan
pengemasan. Bahan ini dapat juga berupa residu atau kontaminan
dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan
makanan yang akan dikonsumsi. Contohnya adalah residu
pestisida, antibiotik dan hidrokarbon aromatik polisklis.10
Bahan tambahan makanan yang digunakan hanya dapat dibenarkan
apabila :
a. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan
dalam pengolahan;
b. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang
salah atau yang tidak memenuhi persyaratan;
c. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang
bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan;
d. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan
makanan.
Penggunaan bahan tambahan makanan sebaiknya tidak melebihi
ambang batas yang telah ditentukan, oleh sebab itu diperlukan pengawasan.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan
bahawa:
“Tujuan dari pembinaan dan pengawasan pangan adalah :
1. Tersedia pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kesehatan manusia;
2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab;
3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Hal tersebut juga diperkuat dengan larangan terhadap penggunaan
bahan tambahan makanan yang melebihi ambang batas dalam pasal 10
16
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyebutkan
bahwa :
“1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.
2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Pemerintah untuk mengatasi hal tersebut melakukan pembinaan dalam
bidang pangan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan menyebutkan bahwa :
“Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya :
a. Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;
b. Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan;
c. Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan;
d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian atau pengembangan teknologi di bidang pangan;
e. Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan; f. Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai
dengan kepentingan nasional;
g. Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantap mutu pangan tradisional.”
Pembinaan yang dimaksud dilakukan oleh Dinas Kesehatan sedangkan
pengawasan dalam bidang pangan dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat
dan Makanan, karena kedua-duanya merupakan bagian dari Departemen
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/MenKes/Per/IX/188 golongan bahan tambahan makanan yang diizinkan
diantaranya sebagai berikut :
1. Antioksidan (antioxidant)
2. Antikempal (anticaking agent)
3. Pengatur keasaman (acidity regulator)
4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)
5. Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent)
6. Pengemulasi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer,
thickener)
7. Pengawet (preservative)
8. Pengeras (firming agent)
9. Pewarna (colour)
10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer)
11. Sekuestran (sequestrant).
Bahan tambahan makanan selain yang tercantum dalam peraturan
menteri tersebut masih ada beberapa bahan tambahan makanan lainnya
yang biasa digunakan dalam makanan, misalnya :
1. Enzim, yaitu bahan tambahan makanan yang berasal dari hewan,
tanaman, atau mikroba yang dapat menguraikan zat secara
enzimatis, misalnya membuat makanan menjadi lebih empuk, lebih
2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral,
atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat
meningkatkan nilai gizi makanan;
3. Humektan, yaitu bahan tambahan makanan yang menyerap lembab
(uap air) sehingga mempertahankan kadar air makanan.
Bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam makanan
menurut Permenkes Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 dan
No. 1168/Menkes/PER/X/1999 adalah sebagai berikut :
1. Natrium tetraborat (boraks)
2. Formalin (formaldehyd)
3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils)
4. Kloramfenikol (chlorampenicol)
5. Kalium klorat (potassium chlorate)
6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC)
7. Nitrofuranzon (nitrofuranzone)
8. P-Pheneyikarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl
urea)
9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt).11
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1168/Menkes/PER/X/1999, menegaskan selain bahan tambahan tersebut
masih ada bahan tambahan kimia yang dilarang digunakan pada makanan,
diantaranya :
17
1. Rhodamin B (pewarna merah)
2. Methanyl yellow (pewarna kuning)
3. Dulsin (pemanis sintesis), dan
4. Potassium bromat (pengeras).
Pelanggaran para produsen terhadap berbagai peraturan perundangan
tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, juga dapat disebabkan oleh
faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan dan penegakan hukum
oleh aparat yang kurang konsisten. Pelaksanaan dan penegakan hukum
dalam hal keamanan pangan kurang berjalan dengan baik. Hal ini tampak
dari tidak adanya penindakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku
terhadap para pelaku pelanggaran keamanan pangan.
Peran serta masyarakat sangat diperlukan sebagai pendeteksi awal dari
keberadaan bahan kimia tambahan dalam makanan, dalam hal ini, kejelian
masyarakat selaku konsumen sangat diperlukan. Masyarakat harus teliti
dalam memastikan kandungan yang ada sesuai dengan label. Hal ini
diperlukan karena banyak kasus keracunan makanan adalah akibat bahan
pengawet, akibat rendahnya kewaspadaan konsumen. Lengahnya konsumen
diperparah oleh sumber daya manusia yang masih rendah & faktor daerah
yang harus diawasi juga terlalu luas.
Kendala lainnya yaitu dalam mengawasi penggunaan bahan pengawet
adalah peredaran bahan kimia bagi industri makanan rumahan yang
jumlahnya sangat besar. Keracunan yang paling banyak diperbincangkan
biasanya yang sifatnya jangka pendek. Namun, jarang sekali dipersoalkan