• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis atas Doktrin Caveat Venditor terhadap Perlindungan Hukum bagi Konsumen Pembeli Gawai dalam Kontrak Elektronik Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Yuridis atas Doktrin Caveat Venditor terhadap Perlindungan Hukum bagi Konsumen Pembeli Gawai dalam Kontrak Elektronik Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

vi ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS ATAS DOKTRIN CAVEAT VENDITOR TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMBELI GAWAI DALAM KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Atika Sutomo

(1187005)

Kemajuan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Informasi memberikan peluang bagi para pelaku usaha dalam menjalankan bisnis melalui sistem online. Kemajuan perdagangan melalui sistem online ini didukung juga dengan adanya media sosial atau tempat bagi para pelaku usaha untuk menjalankan bisnis online. Media sosial yang mendukung kemajuan perdagangan online yaitu instagram, kaskus, berniaga, tokopedia, dan lain sebagainya. Sehingga adanya media sosial menjadikan penjualan melalui sistem online semakin meningkat. Hal ini memudahkan konsumen dalam membeli gawai secara online. Namun, kemudahan dalam bertransaksi online menimbulkan banyak pelaku usaha yang menjual gawai tanpa dilengkapi buku petunjuk manual berbahasa Indonesia.

Penelitian yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode yuridis-normatif dengan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang digunakan berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, bahan hukum sekunder berupa buku atau jurnal yang diperoleh dari hasil penelitian, serta bahan hukum tersier berupa kamus dan website. Hasil penelitian yang dikaji oleh penulis mengenai penjualan gawai secara online adalah tidak terpenuhinya informasi mengenai cara penggunaan gawai tersebut dalam bentuk buku petunjuk manual berbahasa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui aturan jual beli gawai secara online harus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Kemudahan adanya media penjualan online yaitu konsumen dapat menghemat waktu dan tenaga. Namun dari kemudahan bertransaksi online, terdapat pelaku usaha yang mengabaikan ketentuan mengenai penjualan gawai secara online. Hal ini disebabkan karena kurangnya penegakan hukum dalam memberikan sanksi, seperti tidak adanya aturan hukum mengenai sanksi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sehingga karena lemahnya hukum di Indonesia, masyarakat harus cerdas dalam membeli gawai secara online.

(2)

vii ABSTRACT

JURIDICAL STUDY ON THE DOCTRINE CAVEAT VENDITOR AGAINST LEGAL PROTECTION FOR CONSUMERS BUYERS GADGET ELECTONIC IN A

CONTRACT ACCORDING TO THE LAWS OF THE NUMBER 8 YEARS 1999 ON CONSUMER PROTECTION

Atika Sutomo (1187005)

Progress in science technology and information provide opportunities for entrepreneurs to do business through online. Trade progress through online supported by the social media or place for entrepreneurs to carry on business online. Social media who favor progress online tradenamely instagram, kaskus, berniaga, tokopedia, and others. And therefore this social media made a sale by increasing online. It is easy for consumers in buying gadget online. But, ease transaction online got a lot of entrepreneurs who sells gadget without any guide book manual in Indonesian.

Research conducted writer by using the method juridical normative with secondary data by the primary law material, secondary law material, and tertiary law material. the primary law material used in the form of act no. 8/1999 on consumer protection and the form of act no. 7/2014 about trafficking, the secondary law material used book or journal obtained from the research, as well as tertiary law material used dictionary of law and website. The research reviewed by writer gadget on the online is not the fulfillment information on how to operate the gadget in book form instruction manual in indonesian. As we know the trading gadget online to be in accordance with the provisions of act no. 8/1999 on consumer protection jo. act no. 7/2014 about trafficking.

The ease of online media sales that consumers can save time and energy. But from ease transact online, there are entrepreneurs who ignored provisions on gadget online sales. This is because lack of law enforcement in sanctions, as the absence of the rule of law on sanctions in the form of act on consumer protection. So due to the lack of law in indonesian, they must be smart in buying gadget online.

Keyword : consumer protection, the doctrine caveat venditor, trading gadget

(3)

viii DAFTAR ISI

LAMPIRAN

Judul ………...……… i

Pernyataan Keaslian ……….. ii

Lembar Pengesahan Dosen Pembimbing………... iii

Lembar Persetujuan Revisi ……… iv

Lembar Persetujuan Panitia Sidang ………... v

Abstrak ………... vi

Abstract ……….. vii

Kata Pengantar ……….. viii

Daftar Isi ……… xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 1

B. Identifikasi Masalah ……….. 10

C. Tujuan Penelitian ……….. 10

D. Kegunaan Penelitian ………. 11

E. Kerangka Pemikiran ……….. 12

F. Metode Penelitian ……….. 20

G. Sistematika Penulisan ……… 24

BAB II PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN MENGENAI KONTRAK LISAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI GAWAI A. Istilah, Pengertian, dan Teori Mengenai Hukum Kontrak 1. Istilah dan Pengertian Hukum Kontrak ……… 27

2. Teori-Teori Yuridis dan Konseptual Tentang Kontrak ………. 29

3. Asas-Asas Kontrak dalam KUH Perdata ………... 36

4. Keabsahan dari Kesepakatan dalam Sebuah Kontrak ……… 41

(4)

ix

B. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan Konsumen dalam Transaksi

Jual Beli Gawai

1. Pola Saluran Distribusi Produk ………... 44

2. Transaksi Jual Beli Gawai Antara Produsen dan Konsumen Secara

Online………... 48

C. Hukum Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan

Konsumen di Indonesia

1. Hukum Perlindungan Konsumen ……… 53

2. Pihak-Pihak yang Terkait dengan Perlindungan Konsumen ……….. 57

3. Perkembangan Perundang-Undangan Mengenai Perlindungan

Konsumen dan Aturan Perundang – Undangan Lainnya yang

Mengatur Mengenai Perlindungan Konsumen ……… 59

BAB III PRINSIP KEHATI-HATIAN (DOKTRIN CAVEAT VENDITOR)

BAGI PELAKU USAHA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN

(5)

x

A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha Secara Umum Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen ………. 64

2. Hak dan Kewajiban Konsumen Secara Umum Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen …… 68

3. Pengertian Pelaku Usaha Secara Umum Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen …… 76

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Secara Umum Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ……… 78

B. Prinsip Tanggung Jawab bagi Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Atas

Produk Barang yang Dibeli

1. Tindakan yang Diberlakukan bagi Pelaku Usaha Terhadap

Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Gawai ……… 80

2. Prinsip Tanggung Jawab yang Dapat dibebankan Kepada Pelaku

Usaha atas Penjualan Barang Gawai ………... 88

C. Tujuan Penerapan Sistem Hukum dalam Perlindungan Konsumen di

Indonesia

(6)

xi

Ekonomi Kerakyatan ……….. 93

2. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Era

Perdagangan Bebas ……….. 97

D. Product Liability dan Teori Mengenai Caveat Venditor dalam Hukum Perlindungan Konsumen

1. Product Liability (Tanggung Jawab Produk) ……….. 99

2. Doktrin-doktrin dalam Perlindungan Konsumen ……… 103

3. Dasar Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Layanan Purna Jual

Beli Gawai atau Gadget ………. 105

E. Peranan Pengadilan Sebagai Sistem Hukum dalam Penyelesaian

Sengketa Konsumen

1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Jalur Pengadilan …... 109

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan …………... 113

BAB IV ANALISIS MENGENAI DOKTRIN CAVEAT VENDITOR

TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMBELI

GAWAI DALAM KONTRAK LISAN MENURUT UNDANG-UNDANG

(7)

xii

A. Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan dalam Transaksi Jual Beli

Gawai Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Unsur-Unsur Terpenuhinya 4 (Empat) Syarat Sahnya Perjanjian

dalam Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan ………. 116

2. Kekuatan Hukum dari Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan 125

B. Akibat Hukum Mengenai Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan

dalam Transaksi Jual beli Gawai secara Online ……… 132

C. Bentuk Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Konsumen dalam Transaksi

Jual Beli Gawai Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014 tentang Perdagangan

1. Bentuk Perlindungan Hukum Mengenai Hak-Hak Konsumen …... 138

2. Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Terhadap Konsumen

………. 147

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(8)

xiii

b. Saran ……… 159

DAFTAR PUSTAKA

(9)

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang

berlangsung secara sadar, terencana, dan berkelanjutan dengan sasaran

utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau

masyarakat suatu bangsa.1 Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33

ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen

menyebutkan bahwa :

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas dasar

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Dari penjelasan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan

bahwa perekonomian nasional senantiasa beranjak dari suatu keadaan

yang kurang baik menuju suatu keadaan yang lebih baik. Hal tersebut

dilakukan dengan menjaga keseimbangan ekonomi nasional dalam rangka

mencapai tujuan nasional suatu bangsa dengan menjaga kesatuan ekonomi

nasional agar kesejahteraan masyarakatnya dapat terjamin.

(10)

Kegiatan ekonomi yang mempunyai peran strategis dalam rangka

perkembangan perekonomian adalah di bidang perdagangan. Pengaturan

kegiatan perdagangan yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2014 tentang Perdagangan salah satunya bertujuan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu kegiatan perdagangan yang sedang berkembang adalah di

bidang perdagangan teknologi informasi. Teknologi informasi adalah

perkembangan untuk teknologi jenis apapun yang memiliki

perangkat-perangkat dan sistem jaringan komunikasi untuk mengolah suatu

informasi. Sistem jaringan informasi inilah yang sering disebut dengan

istilah telematika.2

Terdapatnya sistem jaringan dalam teknologi informasi berguna untuk

membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan,

mengkomunikasikan, dan/atau menyebarluaskan informasi. Dengan

demikian, macam-macam gawai dalam teknologi informasi bukan hanya

berupa komputer, telepon, televisi, dan peralatan rumah tangga elektronik,

tetapi juga peranti genggam modern seperti ponsel atau sering kita kenal

dengan sebutan gadget.3

Berkembangnya teknologi informasi di masa sekarang ini disebabkan

karena meningkatnya kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi

2 Upadama, “Pengertian Telematika”, (http://upadama.blogspot.co.id/2012/110/pengertian

Telematika.html?m=1), diunduh pada tanggal 30 Oktober 2015.

3“Teknologi Informasi”, 2015, (

(11)

antar manusia lainnya. Hak untuk berkomunikasi sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Selain Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945, hak untuk berkomunikasi

diatur juga dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan :

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”

Dari penjelasan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 14

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk

berkomunikasi menyebutkan bahwa perkembangan teknologi di jaman

modern saat ini sangat dibutuhkan oleh semua manusia. Perkembangan

teknologi dijaman modern ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat

dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara manusia satu dengan

manusia yang lainnya, selain itu perkembangan teknologi juga mendorong

manusia untuk bisa memperoleh informasi secara luas dengan sarana

teknologi yang tersedia.

Perdagangan teknologi telekomunikasi selain memberikan dampak

positif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi nasional, tetapi juga

(12)

mengubah perilaku bisnis ke arah persaingan yang tidak sehat, seperti

perdagangan tidak resmi.4

Black market adalah istilah yang digunakan untuk penjualan suatu produk yang bukan melalui jalur resmi (ilegal). Karena ilegal, maka

sesungguhnya tidak ada jaminan mutu, garansi ataupun fakor penting

lainnya dari produsen.

Produk black market dijual tidak hanya untuk mencari keuntungan

yang besar, namun supaya pembeli juga bisa mendapatkan produk yang

diinginkan dengan harga di bawah pasaran. Harga yang ditawarkan untuk

produk black market lebih murah karena tidak membayar bea masuk, serta

tidak ada jaminan mutu sehingga barang yang dijual secara black market

ada kemungkinan telah mengalami rekondisi (atau yang dikenal dengan

istilah refurbished/remark) yang rentan terhadap kerusakan.5

Kondisi penjualan black market yang semakin merambah luas ini

menjadikan konsumen hanya menjadi objek aktivitas pelaku usaha yang

ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui praktik penjualan

black market. Definisi dari pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen berbunyi:

4 Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 527 k/Pdt/2006 menggunakan istilah Black Market untuk

menyebut suatu perdagangan tidak resmi. Adi Condro Bawono dan Diana Kusumasari, “Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap (Black Market), 2012,

(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2937/hukum-jual-beli-ponsel-tanpa-garansi-di pasar-gelap-%28black-market%29), diunduh pada tanggal 6 Januari 2015.

5M. Rasali, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Blackberry

(13)

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Dari penjelasan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

disebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha menurut Ikatan Sarjana

Ekonomi Indonesia (ISEI) sebagai berikut:6

a. “kalangan Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak; b. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dari

bahan baku, bahan tambahan;

c. distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket.”

Menurut Setiawan yang dikutip dari buku Adrianus Meliala,

perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yang bermuara pada

praktik perdagangan yang tidak jujur,7 misalnya penipuan mengenai mutu

dan kualitas produk, dan penjualan barang gawai yang tidak memenuhi

ketentuan penjualan barang kepada konsumen, sebagaimana ketentuan

dalam penjualan gawai telah diatur pada Pasal 8 ayat (1) huruf J

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

berbunyi :

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau

petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.”

6Abdul Fickar Hadjar, “Seri Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen”, 2011, (http://boxilmu.

blogspot.com/2011/11/konsumen.html), diunduh pada tanggal 26 Desember 2014.

(14)

Selain diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan dalam penjualan

gawai diatur pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang berbunyi:

“Setiap pelaku usaha wajib menggunakan atau melengkapi label

berbahasa indonesia pada barang yang diperdagangan di dalam

negeri.”

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label

berbahasa indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014 tentang Perdagangan dan Permendag Nomor

22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang

Semua Produk Baik Impor Maupun Produksi dalam Negeri.

Dari penjelasan Pasal 8 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan Permendag Nomor

22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang

Semua Produk Baik Impor Maupun Produksi dalam Negeri disebutkan

bahwa adanya aturan mengenai penjualan gawai tidak dimaksudkan untuk

mematikan usaha para pelaku usaha yang ingin mendapatkan keuntungan

sebesar-besarnya, tetapi adanya aturan tersebut dapat mendorong iklim

berusaha yang sehat dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan

barang yang berkualitas8, serta memenuhi hak-hak konsumen untuk

(15)

mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/ atau jasa seperti yang tercantum dalam Pasal 4 huruf

C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Namun pada kenyataan yang terjadi di masyarakat terdapat kasus yang

bertentangan dengan aturan-aturan yang diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen terkait dengan ketentuan penjualan gawai. Salah

satu contoh kasusnya yaitu pelaku usaha yang bernama Randy yang

menjual ipad kepada Dian yang kemudian ipad tersebut dijual lagi melalui

media kaskus kepada petugas kepolisian yang sedang menyamar, pada

awalnya disepakati bahwa Dian akan menjual 2 buah ipad, lalu kemudian

Dian menyanggupi untuk menjual 8 buah ipad kepada sang petugas yang

menyamar sebagai calon pembeli tanpa disertai buku manual berbahasa

Indonesia, yang kemudian setelah diselidiki bahwa ipad tersebut diperoleh

dari Randy. Dalam hal ini Dian dan Randy melakukan pelanggaran karena

menjual barang ipad tanpa disertai buku manual berbahasa Indonesia.9

Ipad adalah sebuah produk komputer tablet buatan Apple.Inc (Al) yang diperkenalkan oleh Steve Jobs, CEO (Chief Executive Officer) pada

tanggal 27 Januari 2010. Produk jenis ipad merupakan salah satu produk

barang yang termasuk ke dalam jenis gawai. Hal tersebut dikatakan

demikian karena ipad merupakan sebuah produk yang dirancang sebagai

Fakultas Hukum UI, No.6 Tahun ke XVI, Desember 1986, hlm.570.

9 Nur Farida Ahniar, “Inilah Kronologi Kasus iPad Dian dan Randy, 2011, (http://metro.news.

(16)

sebuah perangkat digital yang berada di antara telepon pintar (smartphone)

dan komputer lipat (laptop).10

Mengenai kasus penjualan gawai yang terjadi di lingkungan

masyarakat menyebabkan konsumen mengalami kerugian atas tidak

terpenuhinya hak-hak konsumen. sebagaimana diketahui bahwa dalam

perlindungan konsumen dikenal adanya prinsip caveat venditor (prinsip

kehati-hatian bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang dan/ atau

jasa).

Permasalahan penjualan gawai dengan tidak adanya kelengkapan buku

manual berbahasa Indonesia, mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak

konsumen untuk memperoleh informasi dan/ atau petunjuk dalam

mengoptimalkan fungsi-fungsi dan fitur-fitur yang terdapat didalamnya,

dengan adanya kelengkapan informasi dan/ atau petunjuk dalam produk

barang gawai juga dapat menghindari resiko kecelakaan dalam

penggunaan barang gawai tersebut.

Dalam penelitian skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa

penulisan yang sejenis, antara lain: Tesis yang berjudul “Analisis Yuridis

tentang Penangkapan Terhadap Penjual Integrated Passive and Active

Devices oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen dihubungkan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia”, ditulis oleh Desby Putu

10Eni Setiani, “Pengertian Ipad”, (https://blogeniset.wordpress.com/2011/06/22/pengertian-

(17)

Pratama dari Program Studi S1 Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana

Universitas Langlangbuana Bandung.

Dari penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, diketahui bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dilindungi dengan

didasarkan pada doktrin caveat venditor. Namun pada kenyataan yang

terjadi dilapangan masyarakat bahwa masih terdapat penjual yang

melakukan penjualan gawai dengan tidak memperhatikan doktrin-doktrin

mengenai caveat venditor yang diatur dalam ketentuan-ketentuan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan

Permendag Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 mengatur tentang Kewajiban

Pencantuman Label pada Barang Semua Produk Baik Impor Maupun

Produksi dalam Negeri.

Atas permasalahan karena adanya ketidakpastian hukum yang telah

diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut sejauh

mana tanggung jawab para pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen yang

dirugikan karena melakukan penjualan barang gawai tanpa kelengkapan

buku manual berbahasa Indonesia sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan permasalahan tersebut penulis memilih topik Tugas Akhir

(18)

“KAJIAN YURIDIS ATAS DOKTRIN CAVEAT VENDITOR

TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

PEMBELI GAWAI DALAM KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN”

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perikatan yang bersumber dari kontrak yang dibuat secara

lisan antara penjual dan konsumen terhadap penjualan gawai dan

bagaimana kekuatan hukum mengenai perikatan kontrak yang dibuat

secara lisan tersebut?

2. Bagaimana akibat hukum mengenai perikatan kontrak yang dibuat

secara lisan apabila pelaku usaha melanggar aturan perikatan jual beli

gawai menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen?

3. Bagaimana bentuk doktrin caveat venditor dalam perlindungan

terhadap hak-hak konsumen yang tidak terpenuhi dalam transaksi

pembelian gawai menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun

(19)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasikan diatas, tujuan

penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bentuk perikatan yang bersumber dari kontrak lisan antara

penjual dengan konsumen dalam kaitannya terhadap penjualan gawai

dan juga mengetahui kekuatan hukum yang terjadi mengenai perikatan

yang dibuat antara penjual dengan konsumen.

2. Mengetahui akibat hukum terhadap perikatan yang bersumber dari

kontrak lisan bagi pelaku usaha yang melanggar.

3. Mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dalam

transaksi pembelian gawai.

D. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang

dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan

menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang

dapat diambil oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dari penelitian ini penulis dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dan pengetahuan terutama mengenai

larangan-larangan dalam melakukan penjualan barang gawai yang dapat

mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak konsumen berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(20)

2. Manfaat Praktis

Untuk menambah wawasan penulis di bidang perlindungan

konsumen mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan penjualan

barang gawai kepada konsumen tanpa merugikan hak-hak konsumen

yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

E. Kerangka Pemikiran

Menurut Hartkamp yang dikutip dari buku Herlien Budiono

menjelaskan bahwa:11

“Perjanjian adalah tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal oleh perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak bertimbal balik.”

Di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan mengenai

perumusan perjanjian obligatoire.12 Perjanjian obligatoire ialah perjanjian

yang memunculkan perikatan. Dari penjelasan tersebut di maksudkan

dengan perjanjian yang menciptakan, mengubah, mengisi, atau

menghapuskan perikatan. Dalam suatu perjanjian obligatoire para pihak

bermaksud untuk menciptakan hubungan-hubungan di bidang hukum

kekayaan (vermogensrechtelijke), atas dasar satu pihak diwajibkan

11 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2006, hlm.139.

12

(21)

memenuhi suatu prestasi, sedangkan pihak lainnya berhak menuntut

pemenuhan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua

belah pihak bertimbal balik.

Perjanjian terjadi melalui atau dengan perantaraan pernyataan

kehendak dari orang atau pihak yang bertindak, yang ditujukan pada

timbulnya akibat hukum atau karena pihak yang bertindak memunculkan

kepercayaan pada pihak lainnya bahwa kehendaknya itu tertuju pada

terjadinya perjanjian. Pernyataan kehendak dari orang yang bertindak

mencakup penawaran dan penerimaan sebelum ditutupnya perjanjian.

Dalam proses pembentukan atau penutupan perjanjian adalah perjumpaan

kehendak yaitu saling bertautnya masing-masing pernyataan kehendak

sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara timbal

balik, namun juga dengan cara ini masing-masing pihak menurut hukum mengikatkan diri pada pihak lainnya, maka terbentulah kata “sepakat”.13

Schut berpendapat bahwa istilah perjanjian (overeenkomst) memenuhi tiga fungsi karena istilah tersebut merujuk baik pada tindakan mencapai

kesepakatan (atau saling berjanji), akibat darinya (muatan isi dari apa yang

disepakati atau diperjanjikan) dan hubungan hukum (hubungan-hubungan

hukum yang muncul darinya atau perikatan).14

Mengenai pengertian perjanjian ada beberapa unsur yang terkait

dengan perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechsbetrekking) yang

menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang

13 G.H.A,Schut, Rechtshandeling, Overeenkomst en Verbintenis Volgens BW en NBW, Zwolle,

1987, hlm.65-67.

(22)

memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu

prestasi.

Berdasarkan pernyataan diatas mengenai dua orang (persoon) atau

lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi sama halnya dengan manusia yang dalam

kedudukan dan peranannya dalam kegiatan melakukan jual beli barang

memiliki hak dan kewajiban antar masing-masing pihak. Hak merupakan

suatu wewenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu15.

Manusia dalam melakukan sesuatu perlu ditanamkan dalam diri manusia

itu sendiri bahwa hukum adalah sesuatu hal yang harus ditaati, dijalankan

sehingga manusia dalam bertindak atau melakukan sesuatu bisa

membedakan mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak

boleh dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Pasal 1131 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut : “perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”16 Suatu

perjanjian adalah semata-mata untuk persetujuan yang diakui oleh hukum.

Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha

dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli

barang.17

15 Johannes Ibrahim dan P. Lindawaty S.Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Dunia Modern,

Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 11.

16

Wirjono Prodjodikoro, Azaz-Azaz Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,2000, hlm.52.

(23)

Dalam Pasal 1457 KUH Perdata diatur tentang pengertian perjanjian

jual beli yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar

harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pernyataan diatas, dalam

kegiatan jual beli terdapat pihak yang berkewajiban untuk membayar

harga sesuai dengan yang diperjanjikan yang disebut sebagai pihak

pembeli, dan terdapat pihak yang berkewajiban untuk menyerahkan

barang yang diperjualbelikan yang disebut sebagai pihak penjual.

Dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu

syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah adanya sebab yang halal. Dalam

Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebab yang halal yakni

sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,

maupun dengan ketertiban umum.

Perjanjian jual beli yang berlangsung antara penjual dan pembeli tidak

jarang menimbulkan masalah atau resiko. Masalah atau resiko yang biasa

terjadi dalam jual beli barang biasanya terjadi karena situasi bisnis yang

semakin kompetitif, sehingga motif praktek bisnis tidak jujur atau praktek

binis curang lebih mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak

etis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk meraup

keuntungan yang sebesar-besarnya yang dapat merugikan konsumen.

Pada prinsipnya, unfair business practice (Praktek Bisnis Tidak Jujur)

(24)

bersekongkol, menyalahgunakan kekuatan dan kesempatan, menindas atau

memeras yang lemah dengan tindakan-tindakan yang merusak dan

merugikan pihak lain pada umumnya. Tindakan-tindakan di atas, bisa

dikategorikan sebagai melanggar hukum. Namun, ada pula yang

menganggap bahwa melakukan praktek bisnis tidak jujur merupakan

sesuatu yang lumrah bahkan suatu keharusan agar bisa melaksanakan

kegiatan bisnis untuk bertahan hidup.18

Dari suatu angket yang dilakukan di lingkungan Harvard Business

School, AS, diperoleh informasi bahwa faktor yang mempengaruhi

tindakan bisnis tidak jujur di lingkungan perusahaan adalah sebagai

berikut:19

a. “desakan kebutuhan keuangan pribadi;

b. kurangnya kebijaksanaan perusahaan yang jelas; c. perilaku rekan-rekan setingkat;

d. iklim etika dalam industri/dunia bisnis; e. perilaku atasan dalam perusahaan.”

Berdasarkan informasi yang diperoleh di atas mengenai faktor yang

mempengaruhi bisnis tidak jujur adalah karena faktor utamanya yaitu “kebutuhan finansial”, kemudian bisa dikatakan bahwa faktor utama yang

mendorong praktek bisnis tidak jujur adalah motif mencari keuntungan

atau mendapatkan uang lebih besar.20

Untuk melindungi konsumen dari resiko-resiko yang bisa terjadi dalam

kegiatan jual beli praktek bisnis tidak jujur, maka konsumen harus

diberikan perlindungan khusus bagi konsumen. Dalam kamus besar

18 Adrianus Meliala, Op.cit, hlm.29. 19

Adrianus Meliala, Loc.cit, hlm.30.

(25)

Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata “lindung” yang memiliki

arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.

Sedangkan perlindungan memiliki arti konservasi, pemeliharaan, dan

penjagaan.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Dari penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa istilah perlindungan

konsumen dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang

diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.21

Untuk memenuhi tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap terselenggaranya

perlindungan terhadap konsumen secara memadai. Pembinaan dan

pengawasan meliputi :

a. “diri pelaku usaha;

b. sarana dan prasarana produksi;

c. iklim usaha secara keseluruhan; serta

21

(26)

d. konsumen.”

Dengan pembinaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan akan

hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan

kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai produsen dapat dipastikan.

Pembinaan terhadap pelaku usaha mengandung makna mendorong

pelaku usaha supaya bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti

aturan yang diharuskan oleh undang-undang. Dalam hal ini pelaku usaha

wajib untuk menyadari akan ketentuan-ketentuan yang wajib ditaati

mengenai penjualan barang gawai, seperti yang tercantum dalam Pasal 8

ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau

petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.”

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut,

kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat

venditor.22 Caveat emptor adalah suatu kondisi dimana konsumen harus

berhati-hati karena posisi pelaku usaha kuat, diarahkan menuju caveat

venditor yaitu suatu kondisi dimana pelaku usaha harus berhati-hati karena

konsumen sudah memahami mengenai perlindungan konsumen.

(27)

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan

dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam

perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:23

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar

dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi

bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat

seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip

ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen

tidak mendapat informasi yang memadai untuk menentukan pilihan

terhadap barang dan/ atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau keterbukaan

pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian,

apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat

berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen itu

sendiri.

2. The Due Care Theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai

kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang

maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya,

maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku

pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini

(28)

sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata yang secara tegas

menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu

hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain,

atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut.

3. The Privity of Contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara

mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak

dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan.Hal ini sesuai

dengan ketentuan dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan

tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara

pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian untuk menyusun tugas akhir ini, penulis

menggunakan metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif yaitu

metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka

atau data sekunder belaka.24 Penelitian ini dilakukan untuk

mengidentifikasi konsep, asas, dan prinsip-prinsip mengenai hak-hak

konsumen dan perlindungan hukum bagi konsumen, khususnya mengenai

penjualan barang gawai agar terpenuhinya hak-hak konsumen untuk

memperoleh informasi atas penggunaan suatu barang dan/ atau jasa.

24

(29)

Penyusunan tugas akhir ini menggunakan sifat, pendekatan, jenis data,

teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam tugas akhir ini dilakukan

secara deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan

peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisisnya

berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Penelitian ini melakukan analisis dan menyajikan fakta yang

terjadi secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami

dan disimpulkan.25 Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat

penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta

yang terjadi dilapangan. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba

menggambarkan situasi dan kondisi perlindungan hukum terhadap

aturan penjualan barang gawai di Indonesia yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ke dalam bentuk fakta yang masih terjadi di lapangan

masyarakat seperti salah satu kasus yang terjadi terhadap Dian dan

Randy yang menjual barang gawai tanpa memperhatikan

ketentuan-ketentuan penjualan barang gawai sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Permendag Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 tentang

25

(30)

Kewajiban Pencantuman Label pada Barang Semua Produk Baik

Impor maupun Produksi dalam Negeri.

2. Pendekatan Penelitian

Penyusunan tugas akhir ini dilakukan dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan Pendekatan

Konseptual (conceptual approach)26. Pendekatan perundang-undangan

digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur

mengenai ketentuan-ketentuan dalam penjual barang gawai yang wajib

ditaati oleh para pelaku usaha. Sehingga para pelaku usaha lebih

bertanggung jawab terhadap produk barang yang diperjualbelikan dan

hak-hak konsumen tidak dirugikan. Pada pendekatan konseptual

peneliti akan menelaah mengenai teori-teori dan doktrin-doktrin yang

berkaitan dengan hak-hak konsumen dan hukum perlindungan

konsumen.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis data dari penelitian ini dikumpulkan dengan cara

menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah

data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen,

yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang

sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya

disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi27 seperti data yang

26 Johny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum, Surabaya: Putra Media Nusantara dan

ITS Press, 2009, hlm.302-303.

27

(31)

diperoleh dari beberapa literatur, Undang-Undang. Sedangkan yang

dimaksud dengan data primer ialah data yang diperoleh langsung dari

masyarakat.28

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.29 Data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,30

seperti:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia;

4. Permendag Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban

Pencantuman Label pada Barang Semua Produk Baik Impor

Maupun Produksi dalam Negeri.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer,31 seperti:

28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 12. 29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 13.

30 Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press, 1986,

hlm.52

31

(32)

buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah

hasil seminar.

c. Bahan Hukum Tersier, bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,32 berupa

kamus-kamus seperti kamus bahasa, kamus hukum, majalah, serta

media massa.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk

mencari teori-teori, pendapat-pendapat serta mengumpulkan dan

mengkaji data yang diperoleh dari undang-undang, hasil penelitian,

jurnal ilmiah, artikel ilmiah, buku teks, dan makalah seminar yang

berkenaan dengan permasalahan mengenai penjualan barang gawai

yang tidak memenuhi aturan dalam penjualan barang gawai.

b. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari

penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang

mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari

penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian

dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah

(33)

hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh

jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas

ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan

tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai

berikut :

Bab I Pendahuluan

Berisikan uraian latar belakang permasalahan mengenai penjualan

barang gawai dalam hal ketidaklengkapan buku manual berbahasa

Indonesia yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan Nomor

8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, kemudian dilanjutkan

dengan identifikasi masalah yang menjadi fokus penelitian yang akan

dikaji, uraian mengenai tujuan penelitian dan kegunaan penelitian secara

teoritis dan praktis, metode penelitian, kerangka pemikiran, dan

sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka (Tinjauan Yuridis Mengenai Hak-Hak dan

Kewajiban Konsumen)

Dalam bab ini dipaparkan mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen

yang harus diperhatikan oleh para pelaku usaha terkait dengan penjualan

barang gawai dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam

(34)

konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tidak boleh terabaikan.

Bab III Objek Penelitian (Aturan dalam penjualan barang gawai

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan

Perundang-undangan)

Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil penelitian yang

menggambarkan fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

secara nyata dibandingkan dengan aturan-aturan yang diatur dalam

undang-undang.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan (menjawab dan

menjelaskan pokok permasalahan)

Dalam bab ini akan diuraikan jawaban atas permasalahan dengan

menggunakan data hasil penelitian secara teori yang telah diuraikan dalam

bab II skripsi.

Bab V Penutup

Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian

yang dilakukan. Selain itu juga diuraikan pula saran-saran mengenai

kebijakan pemerintah yang masih belum tegas dalam memberikan

(35)

Universitas Kristen Maranatha BAB II

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN MENGENAI KONTRAK LISAN

DALAM TRANSAKSI JUAL BELI GAWAI

A. Istilah, Pengertian, dan Teori Mengenai Hukum Kontrak

1. Istilah dan Pengertian Hukum Kontrak

Istilah “kontrak” merupakan kesepadanan dari istilah “contract”

dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam kamus besar bahasa

Indonesia yaitu : 33

a. “perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam bidang

perdagagan, sewa menyewa, atau

b. persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih

untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.”

Pengertian istilah kontrak selain dalam kamus besar bahasa

Indonesia (KBBI), Sering kali istilah Kontrak secara umum

dimaksudkan sebagai berikut :34

a. “hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

tentang perjanjian tertulis semata. Contohnya : sering kali orang menanyakan “mana kontraknya?” diartikan bahwa yang ditanyakan adalah kontrak yang tertulis;

b. hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

tentang perjanjian dalam dunia bisnis;

33 Istilah Kontrak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/kontrak), diunduh

Pada tanggal 8 April 2015.

34 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung : Citra Aditya

(36)

c. hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian dengan perusahaan-perusahaan multinasional;

d. hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

tentang perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah

pihak.”

Salah satu definisi kontrak menurut kamus Black’s Law Dictionary

adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)

diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi,

atau menghilangkan hubungan hukum.35

Akan tetapi, KUH Perdata memberikan pengertian kepada kontrak

(dalam hal ini disebut perjanjian) diatur dalam Pasal 1313 KUH

Perdata yaitu sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya "Teknik Perancangan

Kontrak Bisnis" menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari

pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan

perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para

pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum

kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian

tersebut.36

Secara singkat, perjanjian/persetujuan menimbulkan perikatan.

Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan

35 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minnesota, USA : West Publishing Co,

1968, hlm.394.

36

(37)

konsekuensi hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para

pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian.

Menurut Ricardo, sebelum memiliki konsekuensi hukum, suatu

perjanjian tidak sama artinya dengan kontrak,37 karena kontrak dibuat

untuk memberikan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak

yang dirugikan, apabila ada salah satu pihaknya yang tidak memenuhi

suatu kewajiban yang telah disepakatinya dalam suatu kontrak

tersebut.

Ada tiga unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat

disebut kontrak, yaitu:38

a. “the fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta antara kedua belah pihak);

b. the agreement is written (persetujuan dibuat secara tertulis);

c. the set of rights and duties created by (adanya orang yang berhak dan berkewajban untuk membuat kesepakatan dan persetujuan tertulis).”

2. Teori-Teori Yuridis dan Konseptual Tentang Kontrak

Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal berbagai teori, yang

masing-masing mencoba menjelaskan berbagai segmen dari kontrak yang

bersangkutan. Berikut ini beberapa teori hukum tentang kontrak sesuai

dengan kelompoknya masing-masing, yaitu sebagai berikut :

a. Teori-Teori Berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak;

37

Diana Kusumasari, Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak, 2015, ( http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan persamaan-dari-persetujuan,-perikatan,-perjanjian,-dan-kontrak), 23 Maret 2015.

38 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,

(38)

Dilihat dari prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak,

maka di berbagai belahan dunia ini terdapat berbagai teori kontrak

sebagai berikut :39

1) Teori Hasrat (Will Theory)

Teori Hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat”

(Will atau Intend) dari pihak yang memberikan janji. Jadi, menurut teori ini, yang terpenting dalam suatu kontrak bukan

apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut,

tetapi apa yang mereka inginkan. Yang terpenting adalah “manifestasi” dari kehendak para pihak, bukan kehendak yang

“aktual” dari mereka. Jadi suatu kontrak dibentuk dahulu

(berdasarkan kehendak), sedangkan pelaksanaan (atau tidak

dilaksanakan) kontrak merupakan persoalan belakangan.

2) Teori Tawar Menawar (Bargain Theory)

Teori ini merupakan perkembangan dari teori “sama nilai”

(equivalent theory). Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa

suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang di negoisasi

(tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.

3) Teori Sama Nilai (Equivalent Theory)

Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat

jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya

yang seimbang atau sama nilai (equivalent).

39 Roscoe Pound, An introduction to the Philosophy of Law, New Haven and London : Yale

(39)

4) Teori Kepercayaan Merugi (Injurious Reliance Theory)

Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada

jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan

kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan

sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena

kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu

tidak terlaksana.

b. Teori-Teori Berdasarkan Formasi Kontrak;

Dalam hubungannya dengan formasi kontrak, dalam ilmu

hukum terdapat empat teori yang mendasar, yaitu :40

1) Teori Kontrak de facto;

Kontrak de facto (Implied in-fact), yakni yang merupakan

kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada

dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai

kontrak yang sempurna.

2) Teori Kontrak Ekspresif;

Teori kontrak ekspresif merupakan teori yang sangat kuat

daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan secara

tegas (ekspresif) oleh para pihak, baik dengan tertulis ataupun

secara lisan, sejauh memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak,

dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak

tersebut.

40

(40)

3) Teori Promissory Estoppel;

Teori Promissory Estoppel atau disebut juga dengan “Detrimental Reliance” mengajarkan bahwa dianggap ada

kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan

telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan

pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu

ikatan kontrak.

4) Teori Kontrak Quasi

Teori Kontrak Quasi (Quasi Contract atau Implied in Law)

mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi

syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap adanya

kontrak di antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya.

c. Teori-Teori Dasar yang Klasik;

Disamping itu, terdapat juga beberapa teori dasar (Underlying

Presup-positions) yang klasik, yang merupakan tempat berpijak

dari suatu kontrak, yaitu sebagai berikut :41

1) Teori Hasrat

Teori hasrat ini lebih mendasari kepada “hasrat” Intention,

Will) dari para pihak dalam kontrak tersebut ketimbang apa

yang secara nyata dilakukan.

2) Teori Benda

41

(41)

Menurut Teori Benda ini, Kontrak adalah suatu “Benda”

(Thing) yang wujudnya berupa kristal dengan adanya

kecenderungan formalisasi suatu kontrak, misalnya kontrak

dibuat dalam bentuk tertulis, sehingga seolah-olah yang

menjadi benda yang dinamakan kontrak tersebut adalah

kertas-kertas yang bertuliskan kontrak yang ditandatangani oleh

masing-masing pihak, sehingga kontrak tersebut telah ada

keberadaannya secara objektif sebelum dilakukan pelaksanaan

(performance) dari kontrak tersebut.

Dengan demikian, suatu kontrak adalah sebuah benda yang

dibuat, disimpangi, atau dibatalkan oleh para pihak. Sehingga

menurut teori ini, tidak ada hal yang salah dari konsep

wanprestasi antisipatif (Anticipatory Repudiation), yakni suatu

konsep yang menyatakan bahwa suatu kontrak dapat saja

dianggap sudah wanprestasi bahkan sebelum mulai

dilaksanakan kontrak tersebut.

3) Teori Pelaksanaan

Teori ini mengajarkan bahwa yang terpenting dari suatu

kontrak adalah pelaksanaan (Enforcement) dari kontrak yang

bersangkutan, yang dalam hal ini dilakukan oleh badan-badan

pengadilan atau badan penyelesaian sengketa lainnya.

Sebab yang menjadi tujuan utama dari setiap pembuatan

(42)

membayar hutangnya, melaksanakan janjinya dan bertindak

secara benar dalam hubungan dengan kontrak antara para pihak

tersebut, sehingga untuk itu perlu tindakan-tindakan yang dapat

memberikan efek yang bersifat menghalang-halangi

wanprestasi (Deterrent Effects). Sehingga pelaksanaan kontrak

tersebut (termasuk pemberian sanksi bagi si pelanggar kontrak)

dalam hukum kontrak sama pentingnya dengan perlindungan

hak milik dalam hukum benda atau pemidanaan dalam hukum

pidana.

4) Teori Prinsip Umum

Menurut teori ini, suatu kontrak tetap mengacu pada efek

general dari konsep kontrak itu sendiri. Jadi, meskipun banyak

kontrak yang sudah ada pengaturannya yang detil dalam

perundang-undangan atau dalam draft-draft model kontrak

yang diterima umum, atau yang diatur sendiri oleh para pihak

berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, tetapi secara umum

tetap mengacu dan tidak menyimpang secara signifikan dari

prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam

konsep-konsep kontrak tradisional.

d. Teori Holmes tentang Tanggung Jawab Hukum (Legal

(43)

Teori-teori dari Holmes (Ahli Hukum terkenal dari Amerika)

pada prinsipnya mendasari pada dua pinsip sebagai berikut :42

1) “tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan

hal-hal eksternal ke dalam aturan hukum; dan

2) kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban.”

Karena itu, Teori Holmes tentang kontrak mempunyai intisari

sebagai berikut:43

1) “peranan moral tidak berlaku untuk kontrak;

2) kontrak merupakan suatu cara mengalokasi resiko, yaitu resiko

wanprestasi;

3) yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung

jawab yang eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal

adalah tidak penting.”

e. Teori Liberal tentang Kontrak

Pada prinsipnya teori liberal tentang kontrak mengajarkan

bahwa setiap orang menginginkan keamanan. Sehingga seseorang

harus menghormati kepada orang lain dan hartanya. Akan tetapi,

orang juga perlu suatu kerja sama, dan kerja sama ini dapat

dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini

dilakukan melalui kepercayaan dan perjanjian. Jadi, suatu

perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara moral

komitmen tersebut harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu

42 Ibid, Atiyah P.S, 1986, hlm. 57. 43

(44)

komitmen tersebut, tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan

kewajiban yang bersangkutan.

3. Asas – Asas Kontrak dalam KUH Perdata

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) asas merupakan

dasar, alas, pedoman.44 Asas hukum merupakan suatu dasar atau

fondasi suatu perundang-undangan. Sudikno Mertokusumo

memberikan pandangan bahwa asas hukum adalah bukan merupakan

hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan

abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang

terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum.45

Di dalam pelaksanaannya, hukum kontrak memiliki beberapa asas

sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut:46

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan

berkontrak (freedom of contract) yang diatur dalam Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

44 Ebta Setiawan, “Kata Dasar Asas”, 2012, (http://kbbi.web.id/asas), diunduh pada tanggal

10 Mei 2015.

45 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Bandung:Alumni, 1981, hlm.5-6. (Lihat juga

Hukum: Asas Hukum,2012,(http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/asas-hukum.html),diunduh pada tanggal 10 Mei 2015.

46

(45)

membuatnya. Artinya para pihak bebas membuat kontrak dan

mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi

keabsahan syarat sahnya suatu kontrak. 4 (empat) Syarat sahnya

Suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, tiada sepakat yang sah

apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Yang dimaksud

dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak

antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.47 Ada lima

cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu

dengan:48

a) “bahasa yang sempurna dan tertulis; b) bahasa yang sempurna secara lisan;

c) bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;

d) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan e) diam atau membisu tetapi asal dapat dipahami atau diterima

pihak lawan.”

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Seseorang dianggap cakap untuk membuat suatu perikatan

apabila sudah dianggap dewasa menurut undang-undang.

47“Beberapa Asas Hukum Kontrak, 2014, (http://ngobrolinhukum.com/2014/06/27/beberapa asas

-hukum-kontrak/), diunduh pada tanggal 10 Mei 2015. 48

(46)

Dalam Pasal 330 KUH Perdata seseorang dianggap dewasa

apabila mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan

tidak kawin sebelumnya. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang

dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

a) “orang-orang yang belum dewasa;

b) mereka yang ditaruh dibawah pengampunan;

c) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian

tertentu.”

3) Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian selain adanya kesepkatan dan cakap,

yaitu suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu yang menjadi objek

perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah

apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak

kreditur.49 Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi terdiri

atas :

a) memberikan sesuatu;

b) berbuat sesuatu; dan

c) tidak berbuat sesuatu.

4) Suatu sebab yang halal

Diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian dianggap sah

karena suatu sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum yang dilarang oleh

undang-undang.

49

(47)

Dengan kata lain Asas kebebasan berkontrak sama halnya

dengan asas kekuatan mengikat. Artinya asas kebebasan

berkontrak mengikat bagi para pihak yang membuat, mengadakan,

menentukan suatu perjanjian yang telah disepakatinya.

b. Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme adalah suatu kontrak sudah sah dan

mengikat ketika tercapai kata sepakat. Kesepakatan menunjukkan

adanya persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat

oleh para pihak.50 Asas konsensualisme ini dapat berlaku dan

dianggap sah selama syarat sahnya kontrak yang diatur dalam

Pasal 1320 KUH Perdata sudah dipenuhi, salah satunya dilihat

pada ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yaitu bahwa

salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua

belah pihak. Dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada

prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum.

Akibat hukum dari adanya kesepakatan dalam membuat kontrak

diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu Suatu perjanjian dapat

dibatalkan apabila adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu. Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak

diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan sebenarnya sah-sah

50

(48)

saja menurut hukum, kecuali kontrak perdamaian, kontrak

pertanggungan, kontrak penghibahan.

c. Asas Pacta Sunt Servanda;

Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat) terdapat dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas ini mengajarkan bahwa

suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum

yang penuh. adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di

antara para pihak mengikat selayaknya undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya.51

d. Asas Obligator dari suatu kontrak;

Menurut Hukum Kontrak, suatu kontrak bersifat Obligatoir.

Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak

tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan

kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik

belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak

milik, diperlukan kontrak lain yang disebut dengan kontrak

kebendaan (Zakelijke Overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah

yang sering disebut dengan penyerahan (Levering).

Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat

mengikatnya suatu kontrak dan saat peralihan hak milik ini,

51

(49)

berbeda-beda dari masing-masing sistem hukum yang ada, yang

terpadu ke dalam 3 (tiga) teori sebagai berikut:52

1) “kontrak bersifat obligator;

kontrak bersifat obligator adalah setelah sahnya suatu kontrak, mak

Referensi

Dokumen terkait

Gatot Efdi Saputra : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (Amd) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Pertentangan pertentangan Pasal yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menunjukan kelemahan perlindungan hukum terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi konsumen pengguna

Aparat penegak hukum mampu menyampaikan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 kedalam

Permasalahan yang dikaji adalah: (1) Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen di kota Semarang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Sedangkan pada perlindungan konsumen UU Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) kondisi yang globalisasi dan perdagangan

Judul yang dipilih dalam makalah ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT WANPRESTASI MELALUI E-COMMERCE MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI IKAN YANG MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA FORMALIN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG.. NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG