Gatot Efdi Saputra : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (Amd) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2007.
USU Repository © 2009
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM USAHA AIR MINUM DEPOT (AMD) ISI
ULANG DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
GATOT EFDI SAPUTRA NIM : 030 200 082
DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM USAHA AIR MINUM DEPOT (AMD) ISI
ULANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
GATOT EFDI SAPUTRA
030200082
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH Nip : 131 570 457
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH Dr. Sunarmi, SH. M.Hum
Nip : 131 570 457 Nip : 131 835 566
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
3
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulilliahi Robbil ‘alamiin, puji dan syukur sudah sepantasnya
Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang atas berkat dan
rahmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini di
susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Shalawat dan salam juga tidak lupa di sampaikan kepada junjungan besar
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan dan
kezaliman ke alam yang terang benderang berilmu pengetahuan seperti sekarang
ini. Skripsi ini berjudul “ ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM USAHA AIR MINUM DEPOT (AMD) ISI ULANG DITINJAU
DARI UNDDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN. “
Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan saya terhadap posisi
dan kedudukan konsumen berkaitan dengan maraknya usaha air minum isi ulang.
Dengan disadari ataupun tanpa disadari, konsumen seringkali menjadi korban dari
perbuatan pelaku usaha yang merugikan konsumen, apalagi dengan posisi
konsumen yang lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha.
Besar harapan saya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca dan ilmu pengetahuan, terutama bagi Penulis sendiri, walaupun di
Dalam penyusunan skripsi ini saya banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan serta masukan dari Bapak dan Ibu Dosen, oleh karena itu sudah
sepatutnya saya mengucapkan terima kasih yakni kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak M. Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H selaku Ketua Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Wali
dan Dosen Pembimbing I Penulis.
6. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II
yang telah memberi petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini selesai.
7. Dosen-Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
8. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan.
Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka
5
berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya saya mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Kedua orangtua saya yang tercinta yaitu Ayahanda Kamsul dan Ibunda
Listariasih yang telah memberikan segalanya bagi saya baik materil maupun
moril sehingga saya dapat melangkah sampai sekarang ini
2. Adik-Adik saya yang sangat saya sayangi yaitu Hestin Ningrum, Andi
Maulana dan Reina Lesya Yang telah menjadi sahabat, teman bermain
maupun sebagai kompetitor bagi saya yang telah memberikan perhatian dan
motivasi selama ini.
3. Keluarga Besar M. Arsyad dan Bu Juriah di Medan, yang telah memberikan
semangat, motivasi sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada saya yang tidak
dapat disebutkan satu persatu
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenanya saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Medan, Agustus 2007
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
ABSTRAKSI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
F. Metode Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA A. Hukum Perlindungan konsumen ... 15
B. Sejarah Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia. 17 C. Pengertian dan Batasan Hukum Perlindungan Konsumen ... 20
D. Pihak-pihak dan Istilah Yang Terkait Dengan Hukum Perlindungan Konsumen ... 22
1. Konsumen ... 22
2. Pelaku Usaha ... 29
7
4. Barang dan/atau Jasa ... 34
E. Kondisi Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia ... 36
F. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 37
BAB III USAHA AIR MINUM DEPOT (AMD) ISI ULANG SEBAGAI
SALAH SATU INDUSTRI AIR MINUM
A. Umum ... 42
B. Pengertian ... 44
C. Sejarah Munculnya Usaha AMD Isi Ulang ... 47
D. Persyaratan Kualitas Air Minum ... 49
E. Pokok-pokok Konsep Pengaturan Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang ... 54
1. Persyaratan dan Lokasi Usaha AMD Isi Ulang ... 54
2. Air Baku, Proses Pengolahan dan Mesin atau Peralatan... 55
3. Mutu Air Minum ... 56
4. Wadah ... 56
5. Pemasaran ... 56
F. Pembinaan dan Pengawasan Oleh Pemerintah ... 58
BAB IV ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP USAHA AIR MINUM DEPOT (AMD) ISI ULANG A. Permasalahan Yang Dihadapi Konsumen Terhadap Munculnya Usaha AMD Isi Ulang ... 62
9
1. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap
Usaha AMD Isi Ulang Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .... 67
2. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap
Usaha AMD Isi Ulang Ditinjau Dari PP. No. 69 Tahun
1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan ... 72
C. Peranan Pemerintah Dalam Rangka Pengawasan Terhadap
Munculnya Usaha AMD Isi Ulang ... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 80
B. Saran ... 82
DAFTAR TABEL
1. Tabel I : Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum ... 51
a. Bakteriologis ... 51
b. Kimia ... 51
c. Radioaktivitas ... 52
d. Fisik ... 52
11
Dalam perkembangannya saat ini, banyak sekali pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha AMD isi ulang, anatara lain mengenai rendahnya
kualitas air minum yang dihasilkan. Informasi yang tidak benar pada label botol
galon produk AMD isi ulang yang dihasilkan juga telah menyesatkan dan
mengelabui konsumen. Dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha AMD isi
ulang telah melanggar ketentuan undang – undang perlindungan konsumen dan Sunarmi, Dr.
Kebutuhan masyarakat akan air minum yang layak dan aman untuk
dikonsumsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh
pencemaran lingkungan yang menurunkan mutu air tanah dan permukaannya.
Sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan air minum, industri air minum dalam
kemasan (AMDK) terus berkembang. Namun seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi, maka harga produk AMDK semakin meningkat dan tidak terjangkau
lagi oleh konsumen menengah ke bawah. Oleh karena itu mulai bermunculan
usaha air minum lain yang menawarkan harga relatif lebih murah dan terjangkau
untuk konsumen menengah ke bawah. Salah satu kategori usaha air minum yang
marak bermunculan sejak krisis ekonomi terjadi di Indonesia yaitu air minum
depot (AMD) isi ulang. Usaha AMD isi ulang adalah usaha yang melakukan
proses pengolahan air bersih menjadi air minum dan menjual secara langsung
kepada konsumen di lokasi pengolahan.
Perkembangan usaha AMD isi ulang yang semakin semarak, bila dilihat
dari satu sisi berdampak positif karena dapat menjadi salah satu alternatif bagi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air minumnya. Namun di sisi lain,
perkembangannya yang terlalu cepat dan mungkin lepas kendali dapat berdampak
negatif karena beresiko menurunnya kelayakan dan keamanan air minum yang
dibutuhkan masayarakat.
juga beberapa peraturan lainnya. Peran serta pemerintah sebagai badan pengawas
sangatlah dibutuhkan, agar usaha AMD isi ulang yang bermunculan saat ini
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan perekonomian telah menghasilkan berbagai
jenis barang dan jasa yang ditawarkan oleh pasar. Kondisi ini memberikan
kemudahan dan kebebasan bagi konsumen untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Namun sering kali
konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya. Hal itu dilakukan melalui kiat-kiat promosi, metode
penjualan maupun pemberian informasi yang tidak benar oleh pelaku usaha
sehingga dapat menimbulkan kesalahan persepsi bagi konsumen. Minimnya
pengetahuan konsumen sering dimanfaatkan oleh pelaku usaha sebagai celah
untuk mengelabui konsumen. Oleh karena itu dibutuhkan suatu landasan hukum
untuk melindungi konsumen sehingga hak-haknya dapat dilindungi dan tidak
diabaikan oleh pelaku usaha. Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan
perlindungan konsumen di Indonesia.1
Kebutuhan masyarakat akan air minum layak dan aman untuk
dikonsumsi setiap hari semakin meningkat. Di sisi lain penggunaan air minum
melalui sumber air dalam tanah semakin tidak memungkinkan (khususnya Medan)
karena persediaan air tanah semakin menipis. Selain itu risiko terhadap
pencemaran juga semakin tinggi. Sementara PT PAM sebagai perusahaan air
minum belum dapat menyediakan air bersih bagi masyarakat karena masih banyak
mengalami kendala-kendala. Dengan keadaan itu, masuknya produk air minum
dalam kemasan (AMDK) merupakan sebuah alternatif bagi masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan akan air bersih yang layak dan aman untuk dikonsumsi
setiap hari.
Kini hampir sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak asing
dengan AMDK dan telah mengkonsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari sebagai
air minum. Dari mulai kemasan gelas 240 ml, botol 600 ml dan 1 liter hingga
galonan dikonsumsi masyarakat luas, khususnya dikota-kota besar. Walaupun
harga AMDK cukup mahal namun masyarakat rela untuk mengeluarkan uangnya
demi memenuhi kebutuhannya akan air minum. Hal ini sangat wajar karena selain
praktis dan efesien, produk AMDK terjaga kebersihan dan keamanannya dengan
memiliki kualitas Standard Nasional Indonesia (SNI). Dengan tercantumnya label
SNI, maka AMDK merupakan produk yang aman untuk dikonsumsi dan telah
sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Namun setelah terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, maka harga
AMDK pun semakin mahal dan tidak terjangkau bagi sebagian konsumen. Hal ini
memberikan peluang baru bagi pelaku usaha untuk membangun bisnis baru yaitu
air minum depot (AMD) isi ulang. Pertumbuhan AMD isi ulang selama masa
krisis ekonomi ini semakin menjamur dan menjadi alternatif lain bagi konsumen
yang selama ini mengkonsumsi AMDK. Dengan harga yang jauh lebih murah bila
dibandingkan dengan AMDK, maka AMD isi ulang berkembang dengan pesat.
Seiring dengan semakin menjamurnya usaha AMD isi ulang, maka
15
cetak yang mengangkat masalah kualitas AMD isi ulang yang dianggap tidak
layak untuk dikonsumsi, misalnya “Mewaspadai Depot Air Minum Isi Ulang.”2
2
Ibid., hal.31.
Permasalahan mengenai AMD isi ulang ini terkait erat dengan perlindungan
konsumen karena masyarakat sebagai konsumen merupakan pihak yang harus
diperhatikan oleh pelaku usaha. Keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi
AMD isi ulang adalah permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya
perlindungan konsumen.
Dilihat dari Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 maka terdapat
beberapa Pasal yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha, kewajiban pelaku usaha, serta hak-hak yang dimiliki oleh konsumen.
Keterbukaan dan kemudahan untuk mendapatkan akses informasi produk,
masalah label dan pencatuman komposisi serta tanggal kadaluarsa merupakan hal
yang penting untuk diperhatikan oleh pelaku usaha AMD isi ulang.
Permasalahan mengenai perlindungan konsumen ini akan dikaji lebih
mendalam, khususnya mengenai hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi
yang jelas dan jujur, kewajiban pelaku usaha serta perbuatan-perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha berkaitan dengan usaha AMD isi ulang, mengingat
belum adanya aturan hukum mengenai cara untuk memproduksi dan
memperdagangkan hasil usaha ini. Dengan demikian, dapat diketahui apakah
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah
dilaksanakan dengan baik sehingga dapat memberikan perlindungan dalam
Permasalahan yang telah diketahui adalah masih rendahnya pengetahuan
konsumen tentang hak-haknya untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Selain itu terjadi
kesalahan persepsi oleh konsumen mengenai pengertian “isi ulang” dalam AMDK
dan AMD isi ulang. Namun belum diketahui mengapa hak-hak konsumen masih
diabaikan oleh pelaku usaha setelah lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan apakah usaha AMD isi ulang telah
sesuai atau melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, serta peranan pemerintah dalam rangka pengawasan.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan judul skripsi ini yaitu ”Aspek Hukum Perlindungan
Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang Ditinjau Dari
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, maka
perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kendala yang dihadapi konsumen terhadap adanya usaha AMD isi
ulang?
2. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap konsumen ditinjau dari
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan dalam
kaitannya dengan Usaha AMD isi ulang?
3. Bagaimana peranan pemerintah dalam rangka pengawasan terhadap
17
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang
hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta dapat mengenai
sasarannya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi konsumen terhadap adanya usaha
AMD isi ulang.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan terhadap konsumen ditinjau dari
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
dalam kaitannya dengan Usaha AMD isi ulang.
3. Untuk mengetahui peranan pemerintah dalam rangka pengawasan terhadap
munculnya usaaha AMD isi ulang.
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,
khususnya mengenai perlindungan terhadap konsumen dalam kaitannya
dengan usaha air minum depot (AMD) isi ulang. Skripsi ini juga diharapkan
dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan
perlindungan konsumen.
2. Secara praktis
Skripsi ini ditujukan kepada kalangan penegak hukum dan masyarakat untuk
lebih mengetahui bagaimanakah aspek perlindungan hukum terhadap
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Aspek Hukum perlindungan
konsumen dalam usaha air minum depot (AMD) isi ulang ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen belum pernah
ditulis sebelumnya. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang
ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah
merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang
diperoleh melalui pemikira, referensi buku-buku, bahan seminar,
makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media elektronik, yaitu internet serta
bantuan dari berbagai pihak. Dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional,
serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan
kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Penulisan skripsi ini berkisar tentang masalah Aspek perlindungan
konsumen dalam usaha air minum depot (AMD) isi ulang ditinjau dari
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.sebagai tahap
awalnya perlu terlebih dahulu diberikan batasan mengenai arti dari konsumen itu
sendiri.
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau
19
consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan
barang”.3 Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus
Inggris-Indonesia4 memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka oleh pengusaha5
3
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, ( Jakarta : Diadit Media, 2002), hal. 3
4
Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1986) hal. 124
5
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal.17
, yaitu setiap orang yang mendapatkan
barang untuk dipakai dan nuntuk tidak diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.
Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen
antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli
hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi
terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en diensten).
Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai
terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti
luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya
mengacu pada konsumen pemakai terakhir.
Dalam hukum positif terlihat untuk pengertian konsumen digunakan
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-undang kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen untuk
pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan. Untuk itu
digunakan berbagai istilah, antara lain setiap orang (Pasal 1 Angka 1, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 56), masyarakat (Pasal 9, 10, dan 21).
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Konsumen menurut undang-undang ini adalah setiap pemakai dan atau
pengguna barang dan jasa, baik untuk kepentingan sendiri atau maupun
kepentingan orang lain.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa istilah tentang konsumen
antara lain : pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa
(Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548) penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal
1666), peminjam pakai (Pasal 1743 jo. Pasal 1740) peminjam (Pasal 1744)
dan sebagainya.
4. Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor
8 Tahun 1999 disebutkan :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Dari definisi konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatas dapat diperoleh unsur-unsur konsumen antara lain6
6
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 4
21
1. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut
natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon).
Yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas
pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan
usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK, kata pemakai
menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).
Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan
tersebut, sekalipun menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak
serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai
konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara
membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa.
3. Barang dan/atau jasa
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak
menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau
Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi masyarakat
menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat, artinya harus
lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus
(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa
ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa
mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi
ini mencoba untuk memeperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini
tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan
keluarganya).
6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen
akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan
23
baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun
dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri.7
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua
aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
8
1) Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkannya kepada konsumen barang
dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau
melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk
persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses
distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar
sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan
tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian
karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai. :
7
Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 9 8
2) Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen
syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi
dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan, purnajual, dan sebagainya.
Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan
mengedarkan produknya.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian normatif.
Penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum
normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data
sekunder yang berkaitan dengan air minum depot (AMD) isi ulang.
2. Alat Pengumpul Data
Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun
data-data sekunder yang dimaksud adalah :9
9
Pedoman penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum (Medan :Penerbit Pakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, 1990), hal.3-4.
a. Bahan hukum primer, yaitu :
Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindung Konsumen, sertra Peraturan Pemerintah
25
b. Bahan hukum sekunder, yaitu :
Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang air
minum depot (AMD) isi ulang seperti seminar-seminar, makalah-makalah,
koran-koran, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan
soal di atas.
3. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah disusun
secara sistematis kemudian dianalisa secara persfektif dengan menggunakan
metode kualitatif karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang
menggunakan data sekunder. Metode kualitatif adalah tata cara penelitian yang
menghasilkan penelitian yang bersifat deskriftif analitis.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang terdiri dari pendahuluan,
tinjauan umum mengenai hukum perlindungan konsumen di Indonesia, tinjauan
umum mengenai AMD isi ulang dan kaitannya dengan AMDK, mengenai aspek
perlindungan hukum konsumen terhadap usaha AMD isi ulang serta kesimpulan
dan saran. Sistematika penulisan ini adalah :
Bab I : Yaitu pendahuluan diuraikan latar belakang masalah yang menjadi
dasar penulisan. Kemudian berdasarkan latar belakang masalah
tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab ini juga
menjelaskan tentang keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
Bab II : Yaitu tinjauan umum mengenai hukum perlindungan konsumen di
Indonesia, yang membahas tentang konsumen yaitu pengertian dan
defenisi konsumen, ruang lingkup hak-hak konsumen, tujuan dan
pelaku usaha. Juga dibahas mengenai kewajiban dan tanggung
jawab pelaku usaha.
Bab III : Yaitu tinjauan umum mengenai AMD isi ulang dan kaitannya
dengan AMDK yang membahas tentang pengertian, tata cara usaha
AMD isi ulang, mutu dan kualitas AMD isi ulang dikaitkan dengan
AMDK serta peranan pemerintah sebagai pengawas.
Bab IV : Yaitu mengenai aspek perlindungan hukum konsumen terhadap
usaha AMD isi ulang yang membahas mengenai
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam usaha AMD isi ulang ditinjau dari
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69
tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Bab V : Yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan
dari bab-bab terdahulu. Sedangkan saran-saran merupakan usul
Gatot Efdi Saputra : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (Amd) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2007.
USU Repository © 2009
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN DI INDONESIA
A. Hukum perlindungan konsumen
Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang dan/atau jasa untuk
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan dapat
dibedakan atas berbagai macam kebutuhan. Jika dilihat dari tingkatannya, maka
kebutuhan konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, sekunder
dan tersier. Selain itu, kebutuhan manusia juga dapat dibagi menjadi kebutuhan
jasmani dan rohani.
Dengan adanya bermacam-macam dan berbagai jenis kebutuhan tersebut
maka setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik
berupa barang maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku
usaha sehingga tercipta hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha
serta saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Aneka ragam barang
dan/atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha kepada konsumen sebagai
sebuah hubungan timbal balik.10
Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan
pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha
berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan
konsumen dan pelaku usaha tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada
10
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku
usaha.11
Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila
dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya
kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar, jelas dan
dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa.12
Dari uraian di atas, dapat di ketahui bahwa kedudukan konsumen berada
pada posisi yang lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.
Ketidakseimbangan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha inilah yang
menyebabkan pentingnya suatu perlindungan konsumen ditegakkan dan Konsumen tidak
memiliki kesempatan dan sarana yang cukup untuk mengakses berbagai informasi
yang dibutuhkan dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan suatu barang
dan/atau jasa. Hal ini dapat terjadi karena pelaku usaha sebagai pihak yang
memproduksi dan menawarkan barang dan/atau jasa tidak memberikan informasi
yang jelas mengenai keadaan, cara penggunaan atau jaminan atas barang dan/atau
jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Bahkan seringkali, pelaku usaha
memberikan informasi yang menyesatkan, mengelabui atau tidak jujur kepada
konsumen demi kepentingan sepihak untuk memperoleh keuntungan yang
semaksimal mungkin tanpa memperdulikan konsumen. Kurangnya informasi dan
akses informasi ini mempunyai dampak yang cukup besar bagi konsumen,
terutama dalam memperoleh kenyamanan, keamanan, keselamatan dan/atau
kesehatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa.
11
Zumrotin K Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, cet . I, (Jakarta : Puspa Swara, 1996), hal . 11-14.
12
29
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga konsumen berada pada
posisi yang seimbang dengan kedudukan pelaku usaha.
B. Sejarah Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya
gerakan-gerakan konsumen pada diakhir abad ke-19 yaitu saat terbentuknya Liga
Konsumen untuk pertama kalinya di New York pad atahun 1891.13
Dalam perkembangan hukum perlindungan konsumen, telah diatur
dalam resolusi PBB Nomor 39/248 tahun 1985 . Dalam resolusi ini kepentingan
konsumen yang harus dilindungi meliputi :
Dalam
perkembangannya gerakan konsumen terus bangkit, tidak hanya di negara maju
saja tetapi juga menyebar sampai ke negara dunia ketiga. Organisasi-organisasi
konsumen bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga semakin
diperhitungkan keadaannya. Mereka ikut dilibatkkan dalam
perundingan-perundingan organisasi perdagangan dunia (WTO). Kebijakan konsumen dan
proteksi kesehatan konsumen saat ini sudah terintegrasi di banyak negara,
termasuk negara dunia ketiga.
14
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanan.
b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.
13
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet. 3, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal . 12 .
14
Yusuf Shofie, Percakapan Tentang Pendidikan Konsumen Dalam Kurikulum
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan
kehendak dan kebutuhan pribadi.
d. Pendidikan konsumen.
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.
Sebelum lahirnya Undang-undang tentang perlindungan konsumen,
terdapat beberapa aturan yang berhubungan dengan konsumen namun masih
dalam pengertian konsumen secara luas, seperti Undang-undang Nomor 10 tahun
1961 tentang barang, Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok
kesehatan, Undang-undang Nomor 11 tahun 1962 tentang hygiene untuk usaha
bagi umum, Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang hygiene, dan lain-lain.
Peraturan-peraturan tersebut secara tidak langsung memberi perlindungan kepada
masyarakat termasuk pengertian konsumen tetapi belum mengatur secara khusus
dinyatakan dalam fungsinya sebagai konsumen.15
Masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun
1970-an di Indonesia y1970-ang dit1970-andai deng1970-an lahirnya Yayas1970-an Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada Mei 1973.16
15
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman (BPHN), Simposium
Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen (Jakarta : Binacipta, 1986), hal. 23
16
Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 15.
Sejak saat itu suara untuk melindungi
konsumen dan mewujudkan Undang-undang Perlindungan Konsumen makin
seminar-31
seminar serta penelitian mengenai perlindungan konsumen. Untuk mengingat
sejarahnya, beberapa di antara kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :17
a. Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
tentang Masalah Perlindungan Konsumen (15-16 Desembar 1975).
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian
tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek tahun 1979-1980).
c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan
Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (proyek tahun 1980-1981).
d. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia,
suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-undang Perlindungan
Konsumen (tahun 1981)
e. Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen (tahun 1992).
f. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, rancangan Undang-undang
Perlindungan Konsumen (tahun 1997).
g. DPR – RI, Rancangan undang Usul Inisiatif DPR tentang
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Desember 1998.
Selain pembahasan-pembahasan yang telah disebutkan di atas, juga
terdapat berbagai seminar, ceramah-ceramah dan penyuluhan yang berkaitan
dengan masalah perlindungan konsumen. Sayangnya usaha-usaha yang dilakukan
YLKI kurang mendapat dukungan dari masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah
di masa orde baru. Pemerintah orde baru lebih cenderung pada pemberdayaan
17
pelaku usaha dan mengabaikan pemberdayaan konsumen. Namun setelah
pemerintahan berganti, usaha memperjuangkan hak konsumen mulai
menampakkan hasil. Akhirnya, konsumen Indonesia boleh bangga karena mulai
20 April 2000 hak mereka mulai diakui secara legal seiring dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan
Konsumen. Bagi aktivis gerakan konsumen, ini adalah sebuah babak baru dari
perjuangan mereka setelah 25 tahun memperjuangkannya.18
Dalam memberikan pengertian dan batasan hukum perlindungan
konsumen, terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen. Pengertian hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah
penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan
penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.
Undang-undang
Perlindungan Konsumen diharapkan dapat menjadi landasan yang kuat bagi
konsumen untuk menuntut hak-haknya.
C. Pengertian Dan Batasan Hukum Perlindungan Konsumen
19
Sedangkan batasan hukum perlindungan konsumen sebagai bagian
khusus dari hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah
penyediaan dan pengunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya,
dalam kehidupuan bermasyarakat.20
18
Az. Nasution I, Op. Cit., hal. 9. 19
Ibid., hal. 23. 20
33
Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional memberikan defenisi perlindungan konsumen, yaitu segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.21
a. Dapat ditanggulanginya hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah
yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia produk konsumen.
Setelah diterbitkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, hukum umum (general law) masih tetap
digunakan dalam mengatasi masalah perlindungan konsumen. Penerbitan hukum
umum, tidak ditujukan khusus untuk perlindungan konsumen namun dapat
digunakan dan memiliki segi-segi positif dan negatif. Segi positif dari penggunaan
peraturan-peraturan yang ada adalah :
b. Berarti kedudukan konsumen dan penyedia produk konsumen adalah sama di
depan hukum.
Sedangkan segi negatifnya adalah :
a. Pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan
Perundang-undangan yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen.
b. Kedudukan hukum yang sama antara konsumen dan penyedia produk
konsumen (pengusaha) menjadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen
tidak seimbang, lemah dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar,
dibandingkan dengan pengusaha.
c. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya, belum mudah, cepat dan biayanya
murah sebagaimana dikehendaki perundang-undangan yang berlaku.22
21
Peraturan Pemerintah Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, PP No. 57 tahun 2001, LN No. 102, Pasal 1.
22
Asas-asas dan kaidah-kaidah tersebut termuat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan umum yang berlaku. Seperti dalam hukum pidana yang
termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) “asas praduga tak
bersalah” dan juga pada hukum perdata seperti asas keterbukaan, sepanjang tidak
diatur secara khusus atau tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 64.
Jadi, dalam pembahasan tentang hukum perlindungan konsumen
terdapat beberapa istilah dan para pihak yang terkait dengan perlindungan
konsumen yaitu barang dan/atau jasa, konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.
D. Pihak-Pihak Dan Istilah Yang Terkait Dengan Hukum
Perlindungan Konsumen
1. Konsumen
Dalam hukum positif, masih sangat sedikit peraturan
perundang-undangan yang menyebutkan tentang konsumen. Salah satunya adalah
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang menyebutkan kata konsumen
dalam ketentuan pidananya. Namun demikian, tidak diberikan defenisi/batasan
yang jelas mengenai konsumen.
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau
consument/konsument (Belanda).23
23
Ibid., hal. 3 .
Secara harfiah arti kata consumer adalah
35
menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “pemakai atau
konsumen”.24
Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.
Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 mendefenisikan
konsumen sebagai berikut :
25
a. Setiap orang
Bila dilihat dari pengertian di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur utama
yang membentuk pengertian tentang konsumen yaitu :
Yang dimaksud dengan setiap orang yaitu perseorangan dan bukan badan
hukum atau pribadi hukum.
b. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.
Barang dan/atau jasa yaitu dapat diperoleh di tempat umum, misalnya pasar,
supermarket dan toko.
c. Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau makhluk hidup lain.
Barang dan/atau jasa yang digunakan, dipakai, dimanfaatkan untuk
kepentingan konsumen dan keluarga konsumen, orang lain (teman) dan
makhluk hidup (binatang peliharaan).
24
John M Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia 1986), hal. 124
25
d. Tidak untuk diperdagangkan.
Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk tujuan
komersil.
Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian,
terdiri atas :
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau jasa
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk
memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersil.
c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau
rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Selanjutnya, istilah konsumen yang digunakan dalam bab ini dan
bab-bab selanjutnya adalah konsumen dalam pengertian konsumen akhir.
1. Hak-Hak Konsumen
Hak-hak konsumen dalam praktek sehari-hari sering diabaikan dan tidak
diterapkan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan atau
keengganan konsumen untuk memanfaatkannya. Di lain pihak, masih banyak
produsen yang bertindak semena-mena dibalik ketidakberdayaan dan
ketidaktahuan konsumen tersebut.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hak adalah kekuasaan untuk
37
benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Sedangkan Soerjono Soekanto,
dan Purnadi Purwacaraka, dalam bukunya “Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum”, hak adalah peranan atau role yang bersifat fakultatif karena boleh tidak
dilaksanakan.26
Hak-hak yang dapat melindungi konsumen tersebut diperjuangkan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dikenal dengan nama Panca
Hak Konsumen yang terdiri atas :27
26
Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Op.Cit., hal . 41. 27
Susilo, Op.Cit., hal. 8 .
a. Hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan
Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan
dan keselamatan dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu
apabila terjadi suatu hal yang dapat membahayakan kesehatan dan
keamanan tubuh, serta keselamatan jiwanya.
b. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur
serta lengkap dari suatu produk barang atau jasa. Hak ini merupakan
perlindungan bagi konsumen terhadap informasi yang mengelabui,
menyesatkan, atau menipu.
c. Hak untuk memilih barang atau jasa yang dibutuhkan
Konsumen memiliki hak untuk memilih barang atau jasa sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingannya, namun konsumen tetap mendapatkan
jaminan mutu dan pelayanan yang memuaskan. Dengan pemenuhan hak ini
d. Hak untuk didengar pendapatnya
Konsumen berhak untuk menyampaikan pendapat dan masalahnya secara
pribadi atau bersama-sama, baik mengenai hal-hal yang merugikan mereka
maupun hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan kerugian bagi diri
mereka.
e. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan
sehat, yang menjamin ketenangan, kenyamanan, dan kesehatan hidupnya
beserta keluarga. Konsumen harus dilindungi apabila lingkungan tempat ia
tinggal atau melakukan aktivitasnya tercemar oleh kegiatan Industri yang
dilakukan oleh produsen atau pengusaha tertentu.
Dalam perkembangan kemudian, hak-hak konsumen berkembang lebih
lanjut dari Panca Hak Konsumen dengan penambahan satu hak konsumen yang
tak kalah pentingnya, yaitu :
f. Hak untuk mendapatkan ganti rugi
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila ia berada
pada posisi yang dirugikan oleh produsen atau pengusaha. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa hubungan antara produsen dan konsumen
merupakan hubungan yang saling menguntungkan sehingga tidak
seharusnya kedudukan salah satu pihak justru dirugikan dengan adanya
hubungan tersebut.
Selain itu, mengenai hak-hak konsumen juga diatur dalam Pasal 4
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain
39
dan/atau jasa, hak memilih barang dan/atau jasa, memperoleh informasi yang
benar dan jujur, mendapatkan perlindungan serta mendapatkan ganti rugi atau
kompensasi.
2. Tanggung Jawab Konsumen
Selain memiliki hak, sebagi subjek hukum konsumen juga memiliki
tanggung jawab yang harus dilaksanakannya. Dalam melaksanakan tanggung
jawabnya, terkandung pemenuhan kewajiban bagi konsumen yang harus
dilaksanakannya sebelum menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
Kewajiban konsumen yaitu untuk membayar harga barang dan/atau jasa
yang telah dibelinya dalam setiap transaksi sesuai dengan kesepakatan antara
konsumen dengan produsen atau pengusaha. 5 (lima) hal yang merupakan
tanggung jawab konsumen sebagai ikhtiar tercapainya perlindungan konsumen
adalah :28
Keberanian konsumen bertindak atas dasar kesadaran diri sendiri, bertujuan a). Bersikap kritis
Sikap kritis dalam berkonsumsi merupakan suatu sikap hidup yang baik
untuk menghindarkan kerugian serta penyesalan yang mungkin timbul di
kemudian hari. Konsumen sangat diharapkan dapat bertanggung jawab
untuk bertindak lebih waspada dan kritis, baik terhadap harga maupun mutu
barang atau jasa yang digunakan, serta akibat lain yang mungkin
ditimbulkan.
b). Berani bertindak
28
untuk memperkuat posisi konsumen agar konsumen diperlakukan secara adil
oleh produsen atau pengusaha, serta mendapat perhatian lebih dari
pemerintah.
c). Memiliki kepedulian sosial
Perilaku berkonsumsi konsumen hendaknya tidak berlebihan agar tidak
menimbulkan kecemburuan sosial. Konsumen perlu mempertimbangkan
sikap berkonsumsinya, terutama akibatnya terhadap masyarakat sekitar.
d). Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup
Dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa, khususnya yang mempunyai
akses bagi pencemaran alam sekitar, hendaknya konsumen
mempertimbangkan dan memperhitungkan pula dampaknya terhadap
lingkungan hidup.
e). Memiliki rasa setia kawan
Rasa setia kawan diperlukan dalam rangka menggalang kekuatan guna
mempengaruhi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan konsumen.
Tujuannya agar produsen atau pedagang tidak lagi dapat berbuat seenaknya
terhadap konsumen, sehingga diharapkan hak-hak konsumen dapat lebih
terlindungi dan kerugian konsumen dapat diminimalisasi.
Selain itu, mengenai kewajiban konsumen juga diatur dalam Pasal 5
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain
mengikuti petunjuk pemakaian barang dan/atau jasa, beritikad baik dalam
melakukan transaksi, membayar sesuai nilai tukar yang disepakati serta mengikuti
41
2. Pelaku Usaha
Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.
Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha
memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk
kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas,
tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau
pengusaha.29
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Sedangkan pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka (3)
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
30
a. Setiap orang perseorangan atau badan usaha.
Bila dilihat dari pengertian di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur yang
terkandung dalam pengertian pelaku usaha yaitu :
Yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan usaha yang
berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum.
b. Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.
Beberapa macam pelaku usaha yaitu :
29
Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Perjanjian baku (Standar), Kertas Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta : 1980), hal . 57 .
30
1. Orang perorangan
2. Badan usaha
3. Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain
4. Orang perseorangan dengan badan usaha
5. Badan usaha dengan badan usaha
yang termasuk kegiatan usaha melalui perjanjian adalah huruf c sampai
dengan e.
c. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi
Terdapat batasan yang membedakan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha
kegiatan lain, yaitu yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah mereka yang
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
d. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia.
Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum tersebut
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia. Khusus badan usaha, tidak harus didirikan dan
berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebutkan tiga kelompok
pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku
usaha tersebut terdiri dari :
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai
kepentingan usaha. Seperti perbankan, penyedian dana dan lain sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau
43
bahan-bahan lainnya). Seperti badan usaha/perorangan yang berkaitan dengan
pangan, sandang, obat-obatan dan lain sebagainya.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang retail, toko,
supermarket, pedagang kaki lima dan lain sebagainya.
Pelaku usaha dan konsumen merupakan para pihak yang saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pelaku usaha menyadari bahwa
kelangsungan hidup usahanya tergantung pada konsumen. Demikian juga halnya
konsumen yang tergantung pada pelaku usaha dalam pemenuhan kebutuhannya.
Oleh karena itu, keseimbangan dalam berbagai segi menyangkut kepentingan
kedua belah pihak merupakan hal yang ideal.
a. Hak-Hak Pelaku Usaha
Dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha memiliki hak untuk
memproduksi suatu barang dan/atau jasa sesuai dengan keahlian dan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selaku konsumen.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, dalam Pasal 6 diatur
mengenai hak-hak pelaku usaha, antara lain hak untuk menerima pembayaran
sesuai dengan kesepakatan, mendapatkan perlindungan hukum, melakukan
pembelaan diri dan rehabilitasi nama baik serta hak-hak lainnya yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Dalam memproduksi barang dan/atau jasa, pelaku usaha tidak hanya
memperhatikan kepentingan konsumen. Oleh karena itu, selain memiliki hak,
pelaku usaha juga dituntut akan tanggung jawabnya. Pelaku usaha bertanggung
jawab atas hasil produksinya baik berupa barang maupun jasa.
Dewasa ini, dari pelaku usaha juga dituntut mengenai tanggung jawab
sosial (social responsibility) atas masalah-masalah sosial (social problems).
Artinya, selain ia harus bertanggung jawab terhadap perusahaan, ia juga harus
bertanggung jawab atas masalah-masalah yang timbul di masyarakat sehubungan
dengan hasil produksi, cara produksi serta pemasaran produk-produknya.
Tanggung jawab sosial yang dibebankan kepada pelaku usaha ini
berkaitan dengan prinsip ekonomi yang diterapkan oleh pelaku usaha, yaitu
“dengan pengorbanan yang seminimal mungkin berusaha memperoleh
keuntungan yang semaksimal mungkin”. Karena pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya berdasarkan motif dan kepentingan ekonomi dengan menggunakan
prinsip di atas, maka terdapat kecenderungan pelaku usaha untuk menghalalkan
segala cara untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin tanpa
memperhatikan hak-hak konsumen. Oleh karena itu, untuk menghindari hal
tersebut perlu diimbangi dengan tanggung jawab sosil pelaku usaha.
Secara konkrit, tanggung jawab sosial dari pelaku usaha dapat
diwujudkan dalam produksi barang dan/atau jasa berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang telah diterapkan oleh pemerintah. Antara lain dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan berproduksi yang telah diatur dalam Undang-undang, maupun
mengenai standarisasi mutu barang produksi dan industri yang dikeluarkan oleh
instansi-instansi pemerintah yang terkait lainnya.
45
Pasal 7 diatur mengenai kewajiban pelaku usaha. Antara lain adalah beritikad baik
dalam menjalankan usahanya, memberi informasi yang benar, jelas dan jujur
kepada konsumen, melayani konsumen tanpa diskriminasi, menjamin mutu
barang dan/atau jasa hasil produksinya, memberi jaminan garansi serta memberi
kompensasi atau ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan.
3. Pemerintah
Pemerintah memiliki peranan yang penting dalam upaya melindungi
konsumen. Dalam hal ini, peranan pemerintah dapat berupa pembentukan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan usaha untuk melindungi
kepentingan konsumen dan juga melaksanakan fungsi pembinaan dan
pengawasan.
Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen, maka akan
memberikan jaminan adanya kepastian hukum terhadap segala kepentingan
konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhannya.
Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya
apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen
tersebut. Sedangkan pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga
mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai
ekses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
kebutuhannya.31
31
Ratio dari adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha.
b. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam
menjalankan kegiatannya.
Diharapkan, pemerintah dapat berperan serta dalam upaya melindungi
konsumen dengan menjalankan fungsi pengawasan terhadap Undang-undang yang
ada agar dapat berjalan efektif. Selain itu, peranan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) juga sangat diperlukan yaitu dalam rangka melindungi kepentingan
konsumen dan juga pengawasan terhadap pelaku usaha yang beritikad tidak baik.
Selain ketiga pihak di atas yang terkait erat dengan hukum perlindungan
konsumen, masih terdapat satu istilah yang cukup penting berkaitan dengan
perlindungan konsumen yaitu :
4. Barang dan/atau Jasa
Istilah barang dan/atau jasa merupakan pengganti dari kata produk.
Sedangkan kata produk itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu “product”.
Menurut Philip Kotler, yang dimaksud dengan produk adalah segala
sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki,
dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau suatu
kebutuhan.32
Philip Kotler juga menyatakan bahwa produk terdiri dari dua macam,
yaitu berupa produk fisik (atau barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk
32
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan
Pengendalian (Marketing Management; Analysis, Planning, Implementation, and Control),
47
jasa). Dalam hal ini, Philip Kotler memberikan pengertian tersendiri mengenai
jasa, yaitu :33
Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
“……..berbagai tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak
kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan
hak milik terhadap sesuatu. Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah produk
fisik ataupun tidak”.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang dimaksud dengan barang adalah :
34
Setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa adalah :
35
33
Ibid., hal. 229 . 34
Indonesia I, Op.Cit., Pasal. 1 angka 4 . 35
Ibid., Pasal 1 angka 5 .
Dalam penulisan ini, istilah yang akan digunakan adalah barang dan/atau
jasa sebagai pengganti kata produk, yaitu seperti yang digunakan dalam
E. Kondisi Perlindungan Hukum Konsumen di Indonesia
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, kepentingan konsumen sering kali terabaikan karena
posisinya yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Setelah lahirnya
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka
kepentingan konsumen mulai dapat terlindungi dengan jaminan kepastian hukum.
Mengenai kondisi perlindungan hukum konsumen di Indonesia, masih
terdapat kelemahan-kelemahan yang harus terus diperbaiki. Posisi konsumen di
Indonesia masih sangat lemah apabila dibandingkan dengan pelaku usaha. Alasan
utamanya adalah karena belum adanya hukum yang memadai untuk melindungi
konsumen. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun dalam Pasal-Pasalnya masih
terdapat beberapa kelemahan sehingga kepentingan konsumen belum dapat
terlindungi sepenuhnya.
Selain itu, sifat masa bodoh konsumen dan ketidakpeduliannya
terhadap hak-hak yang dimilikinya juga masih terjadi di Indonesia. Kondisi ini
terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Hukum belum menjamin kepentingan dan perlindungan atas konsumen.
b. Aparat penegak hukum belum mampu melaksanakan ketentuan
perundang-undangan yang ada.
c. Tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah
d. Masih kuatnya sistem nilai yang tidak mendukung pelaksanaan upaya
perlindungan konsumen secara efektif.36
36
49
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka walaupun telah lahir
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun pada
pelaksanaannya belum berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan yang
diharapkan. Kelemahan-kelemahan ini sudah seharusnya terus diperbaiki sehingga
hukum positif Indonesia dapat ditegakkan dan memberikan jaminan kepastian
hukum kepada masyarakat luas, khususnya konsumen.
F. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Asas mengandung arti dasar, dasar cita-cita atau hukum dasar.
Sedangkan tujuan berarti arah, haluan atau maksud.37
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional. Lima asas
yang terkandung dalam perlindungan konsumen yaitu:38
37
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, cet. IV, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 52 dan 965.
38
Indonesia I, Op.Cit., Pasal. 2 dan penjelasannya.
1. Asas manfaat
Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
3. Asas keseimbangan
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan yang menjadi tujuan dari perlindungan konsumen adalah
:39
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
39
51
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
G. Sistem Pembuktian Terbalik
Dengan lahirnya UUPK diharapkan dapat melindungi kedudukan
konsumen yang lebih lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha, khususnya
dalam menghadapi sengketa. Az. Nasution memberikan batasan atau pengertian
tentang sengketa konsumen adalah setiap perselisihan antara konsumen dan
penyedia produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) dalam hubungan
hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu.40
1. Sengketa konsumen timbul sebagai akibat dari atau dalam suatu hubungan
hukum antara pelaku usaha dan konsumen.
Dari batasan-batasan tersebut, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan sengketa konsumen. Adapun hala-hal tersebut
antara lain adalah :
2. Sengketa atau perselisihan tersebut mengenai suatu barang dan/atau jasa.
Sengketa konsumen timbul apabila terdapat subjek dan objek yang
menjadi sengketa. Subjek dalam sengketa konsumen yaitu konsumen sebagai
penggugat dan pelaku usaha sebagai tergugat. Sedangkan yang menjadi objek
40