• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

A. Umum

memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.29

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sedangkan pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :

30

a. Setiap orang perseorangan atau badan usaha.

Bila dilihat dari pengertian di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam pengertian pelaku usaha yaitu :

Yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum.

b. Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian. Beberapa macam pelaku usaha yaitu :

29

Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Perjanjian baku (Standar), Kertas Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta : 1980), hal . 57 .

30

1. Orang perorangan 2. Badan usaha

3. Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain 4. Orang perseorangan dengan badan usaha

5. Badan usaha dengan badan usaha

yang termasuk kegiatan usaha melalui perjanjian adalah huruf c sampai dengan e.

c. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi

Terdapat batasan yang membedakan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha kegiatan lain, yaitu yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

d. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.

Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum tersebut berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Khusus badan usaha, tidak harus didirikan dan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebutkan tiga kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut terdiri dari :

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan usaha. Seperti perbankan, penyedian dana dan lain sebagainya. b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau

43

bahan-bahan lainnya). Seperti badan usaha/perorangan yang berkaitan dengan pangan, sandang, obat-obatan dan lain sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang retail, toko, supermarket, pedagang kaki lima dan lain sebagainya.

Pelaku usaha dan konsumen merupakan para pihak yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pelaku usaha menyadari bahwa kelangsungan hidup usahanya tergantung pada konsumen. Demikian juga halnya konsumen yang tergantung pada pelaku usaha dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, keseimbangan dalam berbagai segi menyangkut kepentingan kedua belah pihak merupakan hal yang ideal.

a. Hak-Hak Pelaku Usaha

Dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha memiliki hak untuk memproduksi suatu barang dan/atau jasa sesuai dengan keahlian dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selaku konsumen.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, dalam Pasal 6 diatur mengenai hak-hak pelaku usaha, antara lain hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan, mendapatkan perlindungan hukum, melakukan pembelaan diri dan rehabilitasi nama baik serta hak-hak lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Dalam memproduksi barang dan/atau jasa, pelaku usaha tidak hanya semata-mata mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tetapi juga harus

memperhatikan kepentingan konsumen. Oleh karena itu, selain memiliki hak, pelaku usaha juga dituntut akan tanggung jawabnya. Pelaku usaha bertanggung jawab atas hasil produksinya baik berupa barang maupun jasa.

Dewasa ini, dari pelaku usaha juga dituntut mengenai tanggung jawab sosial (social responsibility) atas masalah-masalah sosial (social problems). Artinya, selain ia harus bertanggung jawab terhadap perusahaan, ia juga harus bertanggung jawab atas masalah-masalah yang timbul di masyarakat sehubungan dengan hasil produksi, cara produksi serta pemasaran produk-produknya.

Tanggung jawab sosial yang dibebankan kepada pelaku usaha ini berkaitan dengan prinsip ekonomi yang diterapkan oleh pelaku usaha, yaitu “dengan pengorbanan yang seminimal mungkin berusaha memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin”. Karena pelaku usaha dalam menjalankan usahanya berdasarkan motif dan kepentingan ekonomi dengan menggunakan prinsip di atas, maka terdapat kecenderungan pelaku usaha untuk menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperhatikan hak-hak konsumen. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut perlu diimbangi dengan tanggung jawab sosil pelaku usaha.

Secara konkrit, tanggung jawab sosial dari pelaku usaha dapat diwujudkan dalam produksi barang dan/atau jasa berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diterapkan oleh pemerintah. Antara lain dengan mengikuti ketentuan-ketentuan berproduksi yang telah diatur dalam Undang-undang, maupun mengenai standarisasi mutu barang produksi dan industri yang dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah yang terkait lainnya.

45

Pasal 7 diatur mengenai kewajiban pelaku usaha. Antara lain adalah beritikad baik dalam menjalankan usahanya, memberi informasi yang benar, jelas dan jujur kepada konsumen, melayani konsumen tanpa diskriminasi, menjamin mutu barang dan/atau jasa hasil produksinya, memberi jaminan garansi serta memberi kompensasi atau ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan.

3. Pemerintah

Pemerintah memiliki peranan yang penting dalam upaya melindungi konsumen. Dalam hal ini, peranan pemerintah dapat berupa pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen dan juga melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan.

Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen, maka akan memberikan jaminan adanya kepastian hukum terhadap segala kepentingan konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhannya.

Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Sedangkan pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.31

31

Ratio dari adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah : a. Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha.

b. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.

Diharapkan, pemerintah dapat berperan serta dalam upaya melindungi konsumen dengan menjalankan fungsi pengawasan terhadap Undang-undang yang ada agar dapat berjalan efektif. Selain itu, peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga sangat diperlukan yaitu dalam rangka melindungi kepentingan konsumen dan juga pengawasan terhadap pelaku usaha yang beritikad tidak baik.

Selain ketiga pihak di atas yang terkait erat dengan hukum perlindungan konsumen, masih terdapat satu istilah yang cukup penting berkaitan dengan perlindungan konsumen yaitu :

4. Barang dan/atau Jasa

Istilah barang dan/atau jasa merupakan pengganti dari kata produk. Sedangkan kata produk itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu “product”.

Menurut Philip Kotler, yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau suatu kebutuhan.32

Philip Kotler juga menyatakan bahwa produk terdiri dari dua macam, yaitu berupa produk fisik (atau barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk

32

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan

Pengendalian (Marketing Management; Analysis, Planning, Implementation, and Control),

diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol . II, (Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI, 1993), hal . 194 .

47

jasa). Dalam hal ini, Philip Kotler memberikan pengertian tersendiri mengenai jasa, yaitu :33

Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

“……..berbagai tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada yang lain yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hak milik terhadap sesuatu. Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah produk fisik ataupun tidak”.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan barang adalah :

34

Setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Sedangkan yang dimaksud dengan jasa adalah :

35

33

Ibid., hal. 229 . 34

Indonesia I, Op.Cit., Pasal. 1 angka 4 . 35

Ibid., Pasal 1 angka 5 .

Dalam penulisan ini, istilah yang akan digunakan adalah barang dan/atau jasa sebagai pengganti kata produk, yaitu seperti yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

E. Kondisi Perlindungan Hukum Konsumen di Indonesia

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kepentingan konsumen sering kali terabaikan karena posisinya yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka kepentingan konsumen mulai dapat terlindungi dengan jaminan kepastian hukum.

Mengenai kondisi perlindungan hukum konsumen di Indonesia, masih terdapat kelemahan-kelemahan yang harus terus diperbaiki. Posisi konsumen di Indonesia masih sangat lemah apabila dibandingkan dengan pelaku usaha. Alasan utamanya adalah karena belum adanya hukum yang memadai untuk melindungi konsumen. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun dalam Pasal-Pasalnya masih terdapat beberapa kelemahan sehingga kepentingan konsumen belum dapat terlindungi sepenuhnya.

Selain itu, sifat masa bodoh konsumen dan ketidakpeduliannya terhadap hak-hak yang dimilikinya juga masih terjadi di Indonesia. Kondisi ini terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :

a. Hukum belum menjamin kepentingan dan perlindungan atas konsumen. b. Aparat penegak hukum belum mampu melaksanakan ketentuan

perundang-undangan yang ada.

c. Tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah

d. Masih kuatnya sistem nilai yang tidak mendukung pelaksanaan upaya perlindungan konsumen secara efektif.36

36

49

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka walaupun telah lahir Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun pada pelaksanaannya belum berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan yang diharapkan. Kelemahan-kelemahan ini sudah seharusnya terus diperbaiki sehingga hukum positif Indonesia dapat ditegakkan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat luas, khususnya konsumen.

F. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Asas mengandung arti dasar, dasar cita-cita atau hukum dasar. Sedangkan tujuan berarti arah, haluan atau maksud.37

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional. Lima asas yang terkandung dalam perlindungan konsumen yaitu:38

37

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, cet. IV, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 52 dan 965.

38

Indonesia I, Op.Cit., Pasal. 2 dan penjelasannya.

1. Asas manfaat

Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan

Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan

Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sedangkan yang menjadi tujuan dari perlindungan konsumen adalah :39

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

39

51

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

G. Sistem Pembuktian Terbalik

Dengan lahirnya UUPK diharapkan dapat melindungi kedudukan konsumen yang lebih lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha, khususnya dalam menghadapi sengketa. Az. Nasution memberikan batasan atau pengertian tentang sengketa konsumen adalah setiap perselisihan antara konsumen dan penyedia produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu.40

1. Sengketa konsumen timbul sebagai akibat dari atau dalam suatu hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen.

Dari batasan-batasan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan sengketa konsumen. Adapun hala-hal tersebut antara lain adalah :

2. Sengketa atau perselisihan tersebut mengenai suatu barang dan/atau jasa. Sengketa konsumen timbul apabila terdapat subjek dan objek yang menjadi sengketa. Subjek dalam sengketa konsumen yaitu konsumen sebagai penggugat dan pelaku usaha sebagai tergugat. Sedangkan yang menjadi objek

40

Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, Cet . 1 (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal . 178.

dalam sengketa konsumen adalah produk konsumen yang dihasilkan oleh pelaku usaha baik berupa barang dan/atau jasa.

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dapat diajukan melalui dua cara, yaitu :41

1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilaksanakan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang mengacu pada ketentuan peradilan umum.

Dengan demikian, bila konsumen merasa dirugikan dan hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha, maka dapat mengajukan gugatan sengketa konsumen baik melalui BPSK maupun pengadilan umum.

Selain itu, karena kedudukan konsumen yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, maka UUPK juga menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam sidang pengadilan sengketa konsumen. Hal ini bertujuan untuk memberikan keringanan dan kemudahan bagi konsumen dalam mengajukan gugatan melalui pengadilan. Tentang pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 22 jo 28 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999. Dengan sistem pembuktian terbalik ini maka gugatan yang diajukan oleh konsumen kepada pelaku usaha, kewajiban terhadap beban pembuktiannya ada pada pelaku usaha sebagai tergugat. Hal ini berbeda dengan sistem pembuktian yang diterapkan dalam pengadilan umum dimana beban pembuktian ada pada penggugat, yaitu berdasarkan Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi :

41

53

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.42

Dalam sengketa konsumen, gugatan dapat diajukan melalui BPSK atau badan peradilan umum di tempat kedudukan konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mengenai tempat gugatan yang diajukan di daerah kedudukan konsumen, bertujuan untuk memberikan kemudahan pada konsumen dalam mengajukan gugatan karena kedudukan konsumen yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.

42

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet . 8, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1976), Pasal. 1865 .

Gatot Efdi Saputra : Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (Amd) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2007.

USU Repository © 2009

SEBAGAI SALAH SATU INDUSTRI AIR MINUM

A. Umum

Kebutuhan masyarakat akan air yang layak dan aman untuk diminum terus meningkat dari tahun ke tahun karena berlangsungnya pencemaran lingkungan yang menurunkan mutu air tanah dan air permukaan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan air minum, industri air minum dalam kemasan (AMDK) terus berkembang disertai dengan berkembangnya pengusaha air minum lainnya yang tidak termasuk kategori AMDK. Salah satu kategori perusahaan air minum yang sedang marak bermunculan di masyarakat adalah air minum depot (AMD) isi ulang. Bila dilihat dari satu sisi, maraknya usaha AMD isi ulang berdampak positif karena menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air minumnya. Namun disisi lain, perkembangan yang terlalu cepat dan mungkin lepas kendali dapat berdampak negatif karena berisiko menurunnya kelayakan dan keamanan air minum yang dibutuhkan masyarakat.

Air merupakan senyawa kimia (H2O) yang selalu harus ada dan sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di dunia ini untuk melangsungkan kehidupannya. Kalimat yang mengatakan “tidak ada kehidupan di dunia tanpa ada air” adalah sangat tepat karena air merupakan sumber kehidupan, baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya.

Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi manusia, terutama untuk memasak dan untuk minum. Pada umumnya manusia memahami bahwa air

55

minum itu penting, tetapi bagaimana air minum berperan bagi kehidupan manusia? Tanpa air manusia tidak akan dapat bertahan hidup.

Sebagaimana halnya pangan, pada umumnya air dapat menjadi tidak aman untuk diminum jika tercemar oleh cemaran biologis berupa mikroba pathogen (E. Coli) , cemaran kimia berupa senyawa yang membahayakan tubuh, misalnya air raksa dan cemaran fisik berupa benda-benda asing yang dapat menimbulkan kecelakaan, misalnya residu pestisida yang mencemari air dapat menimbulkan masalah kesehatan.

Bahaya atau risiko kesehatan yang berhubungan dengan pencemaran air secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) , yaitu pencemaran air yang dapat mengakibatkan bahaya langsung dan bahaya tidak langsung.43 Bahaya langsung terhadap kesehatan manusia atau masyarakat dapat terjadi akibat mengkonsumsi air yang telah tercemar atau air dengan kualitas buruk, baik yang secara langsung diminum atau melalui makanan dan akibat penggunaan air yang tercemar untuk berbagai kegiatan sehari-hari, seperti untuk mencuci peralatan makan dan lain sebagainya. Sedangkan bahaya tidak langsung dapat terjadi misalnya akibat mengkonsumsi hasil perikanan yang telah terakumulasi dengan zat-zat polutan berbahaya.44

43

Addy Susilobudi, “Ketersediaan Air Bersih dan Sehat Bagi Masyarakat, ” Link (15 September 2000) hal. 13.

44

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, cet . 9, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), hal . 781.

Dokumen terkait