PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DI KOTA MEDAN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
907/MENKES/SK/VII/2002 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN PENGAWASAN KUALITAS AIR MINUM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
KARTINI ELISABET PURBA NIM : 070200188
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DI KOTA MEDAN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
907/MENKES/SK/VII/2002 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN PENGAWASAN KUALITAS AIR MINUM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
KARTINI ELISABET PURBA NIM : 070200188
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Disetujui oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Dr. HASIM PURBA, S.H., M.Hum. NIP. 19660303 198508 1 004
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
PROF. Dr. TAN KAMELLO, S.H., M.Sc. NIP. 19620421 198803 1 004
Dr. DEDI HARIANTO, S.H., M.Hum. NIP. 19690820 199512 1 001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
memberikan Penulis kekuatan dan kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam
Mengkonsumsi Air Minum Depot Isi Ulang Di Kota Medan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum”.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib untuk meraih
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis
menyadari bahwa ide-ide yang Penulis tuangkan dalam penulisan skripsi ini
tidaklah datang dengan begitu saja, tetapi melalui proses pembelajaran yang
panjang yang Penulis telah lewati pada bangku perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, perkenankanlah Penulis
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh dosen atau
staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memandu
jalan Penulis di dalam hukum yang serba abstrak ini. Selain itu Penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih secara khusus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) , selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
3. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Departemen
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I;
5. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II;
6. Bapak Mulhadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali selama Penulis menjadi
mahasiswa di Fakultas Hukum USU;
7. Bapak Edy Ikhsan, S.H selaku Dosen yang selama ini memberikan wejangan
dan nasehat-nasehat yang membangun dalam menjalani perkuliahan.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen beserta staf di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara;
9. Kedua orang tua Penulis, Ayahanda Digdo P. Siboro dan Ibunda Emilia
Korniati,S.Pd., yang tak henti-hentinya mencurahkan segala perhatian dan
kasih sayang kepada Penulis hingga saat ini. Semoga mereka selalu diberikan
kesehatan dan kemurahan dalam segala hal oleh Bapa di Surga;
10.Kakak Penulis yang berada jauh dari Penulis saat ini, Desi Arisanti P. Siboro,
S.E. berserta suaminya Bang Mekson Simatupang, serta adik-adik Penulis
tersayang, Bernardus Saud P. Siboro, Eldo Immanuel Siboro, dan Kristian
Jossi Dominanda Siboro;
11.Rekan-rekan di Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI)
Cabang Medan, seperti Bang Hamdani Parinduri,S.H., Bang Jontri Situmorang
S.H., Kiki Fitri, S.H., Theresia Simanjuntak,S.H., Lestari Sinaga,S.H, Sarah
Simanjuntak,S.H., Arif Iskandar, Nawir Hasibuan, Alboin Pasaribu, dan
sebutkan satu per satu. Biarlah PERMAHI Cabang Medan menjadi kenangan
dan pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hidup. Hidup PERMAHI!!
Jaya PERMAHI!!!;
12.Teman spesial Penulis, Andres Willy Simanjuntak, S.H., yang selalu
memberikan dorongan, masukan, dan menemani hari-hari Penulis selama
pengerjaan skripsi ini dalam suka dan duka;
13.Rekan-rekan stambuk 2007, yang merupakan teman kuliah, teman berbagi dan
teman seperjuangan Penulis selama berada di Kampus, yakni Steffi Seline M.
Ginting, Chairani Putri “Mak Etek”, Diannovi Opi, Syahnida Maharani
Chacha, Indi Fandaya Nasution, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat
Penulis sebutkan satu-persatu;
Penulis tidak dapat membalas segala kebaikan pihak-pihak yang telah
membantu Penulis selama Penulis mengecap pendidikan di Fakultas Hukum USU
ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat membalas budi baik mereka.
Semoga ilmu yang telah Penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat,
bermakna, serta dapat Penulis terapkan dalam kehidupan bemasyarakat.
Medan, Januari 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK .... vi
BAB I PENDAHULUAN ...... 1
A. Latar Belakang Penulisan ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12
D. Keaslian Penulisan ... 14
E. Tinjauan Kepustakaan ... 14
F. Metode Penelitian ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II PENGATURAN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG ... 24
A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ... 29
B. Jalinan Transaksi Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha 34 C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 45
D. Pengaturan dan Persyaratan Air Minum Isi Ulang ... 52
1. Pengaturan Air Minum Depot Isi Ulang Dalam Rangka Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 54
2. Pengaturan Air Minum Depot Isi Ulang Dalam Berbagai Peraturan Perundang-undang lainnya ... 57
3. Penetapan Persyaratan Kualitas Air Minum ... 59
E. Permasalahan Yang Dihadapi Konsumen Air Minum Depot Isi Ulang ... 68
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG SERTA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH, INSTANSI TERKAIT TERHADAP PENGELOLAAN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG ... 77
A. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 77
B. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Air Minum Depot Isi Ulang ... 88
1. Menyediakan Produk Peraturan Hukum yang Mampu Melindungi Konsumen Air Minum Depot Isi Ulang... 88 2. Meningkatkan Kesadaran Hukum Konsumen Akan Hak
Depot Isi Ulang... 92
3. Mendorong Pelaku Usaha Air Minum Depot Isi Ulang Untuk Menjaga Kualitas Air Minum Depot Isi Ulang .... 94
4. Pengenaan Sanksi Bagi Pelaku Usaha Air Minum Depot Isi Ulang Yang Melakukan Pelanggaran ... 96
C. Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah dan Instansi terkait Terhadap Pengelolaan Air Minum Depot Isi Ulang ... 98
1. Pembinaan dan Pengawasan Yang Dilaksanakan Oleh Kementerian Perdagangan dan Kementrian Kesehatan .. 100
2. Pengawasan Yang Dilaksanakan Oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 103
3. Keterlibatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dalam Mengawasi Bisnis Air Minum Depot Isi Ulang ... 105
4. Upaya Pengawasan Yang dilakukan Oleh Asosiasi Pengusaha Air Minum Isi Ulang ... 109
BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ... 112
A. Pengertian Sengketa Konsumen ... 112
B. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 115
1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai ... 117
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 118
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan ... 128
1. Penyelesaian Melalui Mekanisme Hukum Keperdataan.. 129
2. Penyelesaian Melalui Hukum Pidana ... 138
3. Penyelesaian Secara hukum Administrasi Negara ... 146
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 150
A. Kesimpulan ... 150
B. Saran ... 153
ABSTRAK Kartini Elisabet Purba *)
Tan Kamello **) Dedi Harianto ***)
Kebutuhan masyarakat akan air minum layak dan aman untuk dikonsumsi semakin meningkat setiap hari sedangkan ketersediaan air layak minum yang berkualitas dan terjamin dari segi kesehatan semakin sulit diperoleh. Tingginya kebutuhan air minum bersih dan sehat serta cukup mahalnya harga produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) memunculkan inovasi baru dengan munculnya usaha air minum depot (AMD) isi ulang yang harganya jauh lebih terjangkau yang mulai booming mulai tahun 2000-an. Skripsi ini membahas beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan air minum depot isi ulang dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia serta apakah permasalahan yang dialami oleh konsumen dalam rangka mengkonsumsi air minum depot isi ulang, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen air minum ulang serta pembinaan dan perngawasan pemerintah dan instansi terkait terhadap pengelolaan depot air minum isi ulang, serta bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran air minum isi ulang di Kota Medan.
Penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian normatif yuridis, yakni penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data dalam penulisan skripsi juga berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan lain.
Perlindungan terhadap konsumen AMD isi ulang diatur di Indonesia dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 651/MPP/Kep/10/2004 dan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995. Bentuk perlindungan lainnya dapat dilakukan dengan peningkatan kesadaran hukum konsumen, mendorong pelaku usaha untuk menjaga kualitas air minum dan pengenaan sanksi terhadap terjadinya pelanggaran. Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen air minum dapat dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan secara damai dan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sehubungan dengan skripsi ini ada beberapa hal yang dijadikan saran yaitu dengan memberikan perhatian yang serius terhadap permasalahan mengenai keberadaan dan kualitas air minum dengan mengefektivitaskan pengawasan dan evaluasi secara periodik, membuat Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemerintah Kota Medan terkait dengan keberadaan dan maraknya usaha depot tersebut sehingga dapat memberi perlindungan dan menjamin kesehatan bagi masyarakat serta menciptakan penyelesaian sengketa yang bersifat cepat, sederhana dan murah.
*)
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***)
ABSTRAK Kartini Elisabet Purba *)
Tan Kamello **) Dedi Harianto ***)
Kebutuhan masyarakat akan air minum layak dan aman untuk dikonsumsi semakin meningkat setiap hari sedangkan ketersediaan air layak minum yang berkualitas dan terjamin dari segi kesehatan semakin sulit diperoleh. Tingginya kebutuhan air minum bersih dan sehat serta cukup mahalnya harga produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) memunculkan inovasi baru dengan munculnya usaha air minum depot (AMD) isi ulang yang harganya jauh lebih terjangkau yang mulai booming mulai tahun 2000-an. Skripsi ini membahas beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan air minum depot isi ulang dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia serta apakah permasalahan yang dialami oleh konsumen dalam rangka mengkonsumsi air minum depot isi ulang, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen air minum ulang serta pembinaan dan perngawasan pemerintah dan instansi terkait terhadap pengelolaan depot air minum isi ulang, serta bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran air minum isi ulang di Kota Medan.
Penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian normatif yuridis, yakni penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data dalam penulisan skripsi juga berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan lain.
Perlindungan terhadap konsumen AMD isi ulang diatur di Indonesia dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 651/MPP/Kep/10/2004 dan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995. Bentuk perlindungan lainnya dapat dilakukan dengan peningkatan kesadaran hukum konsumen, mendorong pelaku usaha untuk menjaga kualitas air minum dan pengenaan sanksi terhadap terjadinya pelanggaran. Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen air minum dapat dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan secara damai dan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sehubungan dengan skripsi ini ada beberapa hal yang dijadikan saran yaitu dengan memberikan perhatian yang serius terhadap permasalahan mengenai keberadaan dan kualitas air minum dengan mengefektivitaskan pengawasan dan evaluasi secara periodik, membuat Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemerintah Kota Medan terkait dengan keberadaan dan maraknya usaha depot tersebut sehingga dapat memberi perlindungan dan menjamin kesehatan bagi masyarakat serta menciptakan penyelesaian sengketa yang bersifat cepat, sederhana dan murah.
*)
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang dan/atau jasa
untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam
dan dapat dibedakan atas berbagai macam kebutuhan. Jika dilihat dari
tingkatannya, maka kebutuhan konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu
kebutuhan primer, sekunder, dan tertier. Selain itu kebutuhan manusia juga
dapat dibagi menjadi kebutuhan jasmani dan rohani. Dengan adanya
bermacam-macam dan berbagai jenis kebutuhan tersebut maka setiap manusia
akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.1
Air merupakan salah satu dari sekian banyak zat yang ada di alam
yang penting bagi kehidupan manusia. Air adalah kebutuhan dasar (primer)
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang menduduki urutan
kedua setelah udara. Kebutuhan masyarakat akan air minum layak dan aman
untuk dikonsumsi semakin meningkat setiap hari sedangkan ketersediaan air
layak minum yang berkualitas dan terjamin dari segi kesehatan semakin sulit
diperoleh. Hal ini juga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk yang
meningkat sangat cepat serta kuantitas dan kualitas air tanah yang mengalami
penurunan yang cukup tajam yang dapat disebabkan adanya kerusakan alam
dan resiko pencemaran yang semakin tinggi.
1
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
Semakin lama kesadaran masyarakat semakin tinggi tentang
pentingnya air minum yang sehat sebagai salah satu kebutuhan yang esensial
untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan masyarakat akan
air yang layak dan aman untuk dikonsumsi itupun setiap hari semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Adanya peningkatan konsumsi air terutama air
minum oleh masyarakat ini tidak diimbangi dengan Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) sebagai perusahaan air minum yang belum dapat
menyediakan air bersih bagi masyarakat.
Air yang berasal dari PDAM tidak setiap hari mengalir dan
terkadang tidak bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
mandi, mencuci dan memasak bahkan untuk minum. Ditambah lagi dengan
banyaknya keluhan masyarakat mengenai air yang berasal dari PDAM mulai
dari soal kualitas dan kuantitas seperti halnya air yang mengandung timbal
atau kasinogenik, air berwarna kecoklat-coklatan atau keruh, air berbau larutan
zat kimia atau berasa aneh hingga debit air yang kerap kali tidak mengalir
sama sekali atau sangat kecil keluarnya.2
Oleh karena itu, PDAM dinilai tidak memiliki kapasitas untuk bisa
menyediakan air bersih yang cukup bagi masyarakat. Padahal air bersih
merupakan salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi manusia sehingga air
bersih menjadi syarat utama untuk bisa hidup sehat. Berkaitan dengan
ketidakmampuan PDAM menyediakan air bersih yang berkualitas, menurut
data yang berasal dari Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air menyebutkan dari
2
353 (tiga ratus lima puluh tiga) jumlah PDAM di seluruh Indonesia, hanya 275
(dua ratus tujuh puluh lima) PDAM yang beroperasi dan hanya bisa melayani
sekitar 38% (tiga puluh delapa persen) penduduk Indonesia yang tinggal di
perkotaan.3
Rendahnya kualitas dan kuantitas air yang berasal dari PDAM
khususnya di kota Medan diakibatkan karena air yang selama ini dipenuhi
dengan sumber air sumur atau sumber air dalam tanah semakin menipis,
kerusakan alam dan percemaran serta kepercayaan masyarakat terhadap
jumlah dan kualitas air yang baik yang berasal dari PDAM. Kendala-kendala
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal meningkatnya prospek usaha air
minum dalam kemasan (AMDK) yang memasukkan produk air minum
sehingga menjadi alternatif bagi masyarakat terutama dalam memenuhi
kebutuhan akan air bersih yang layak dan aman untuk dikonsumsi setiap hari.
Untuk saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak
asing lagi dengan AMDK dan mengkonsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari
sebagai air minum. Pada saat itu, seakan-akan kehidupan manusia tidak lepas
dari AMDK. AMDK ini dikenal berbagai macam jenis kemasan. Mulai dari
kemasan 240 (dua ratus empat puluh) ml, 600 (enam ratus) ml, 1 (satu) liter
hingga galonan. Hal ini dianggap sangat wajar karena selain praktis dan
efisien, produk AMDK terjaga kebersihan dan keamanannya yang ditunjukkan
dengan label Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terdapat dalam kemasan.
Pemerintah mewajibkan label SNI produk AMDK tersebut dan telah tertuang
3
dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 69 tahun 2009
tertanggal 3 Juli 2009 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia
(SNI) AMDK secara wajib yang berlaku sejak 6 bulan ditetapkan. Adapun
untuk produk AMDK yakni SNI No. 01.3553.2006. Tujuannya adalah
melindungi masyarakat dan juga untuk mendorong peningkatan persaingan
usaha yang sehat, keselamatan konsumen dan melestarikan fungsi lingkungan
hidup.4 Oleh karena itu AMDK merupakan produk yang aman untuk
dikonsumsi dan telah sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Menurut data dari Indonesian Bottled Drinking Water Association,
perkembangan produksi AMDK dalam kurun waktu tahun 1994 hingga tahun
2002 mencapai pertumbuhan sebesar 24% (dua puluh empat persen) pertahun
(lihat tabel 1) diringi juga dengan perkembangan konsumsinya yang semakin
meningkat (lihat tabel 2).
Tabel 1
Perkembangan Produksi AMDK (1997-2002) 5
No Tahun Produksi
(Liter Pertahun)
Pertumbuhan (%)
1 2002 6,693,671,000 18.91
2 2001 5,629,173,000 37.39
3 2000 4,097,356,000 29.36
4
Faizal, “AMDK Wajib SNI, Melanggar Kena Sanksi”, dikutip dari <http://klm-micro.com/blog/air%20minum/amdk-wajib-sni-melanggar-kena-sanksi>, pada tanggal 2 September 2010.
5
4 1999 3,167,474,000 48.96
5 1998 2,126,393,000 12.68
6 1997 2,435,062,000 -
Rata-Rata 4,024,854,833
Sumber : Deperindag (2003)
Dari tabel di atas, dapat dilihat perkembangan produksi AMDK dari
tahun 1998 hingga tahun 1999 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu
sebesar 36,28% (tiga puluh enam koma dua puluh delapan persen). Sedangkan
mulai pada tahun 2000 hingga tahun 2002 mengalami dinamika kenaikan dan
penurunan rata-rata 15% (lima belas persen) setiap tahunnya.
Tabel 2
Perkembangan Konsumsi AMDK di Indonesia Tahun 1997-2004 6
Tahun Konsumsi
(Kilo Ltr/tahun)
Konsumsi Perkapita (Liter) 2004 10,200,000* 47.66
2003 8,200,000* 38.86
2002 6,435,705 31.47
2001 5,600,555 27.16
2000 4,068,963 20.04
1999 3,142,845 15.64
1998 2,124,907 10.71
1997 2,417,342 12.31
Sumber : Riset Frontier dalam Irawan (2005)
6
Dari tabel perkembangan konsumsi AMDK diatas, dapat dilihat
bahwa selalu terjadi kenaikan tingkat konsumsi setiap tahunnya yang
mencapai angka rata-rata 5% (lima persen) per tahun. Penurunan konsumsi
terdapat pada tahun 1997 ke tahun 1998 dimana terjadi penurunan sebesar
1,6% (satu koma enam persen). Angka penurunan ini tidak terlalu besar
dibandingkan kenaikan di tahun-tahun berikutnya ditambah lagi dengan faktor
krisis moneter yang terjadi pada saat itu.
Produksi AMDK untuk sepanjang tahun ini diperkirakan mencapai
13,7 (tiga belas koma tujuh) miliar liter atau tumbuh 7,03% (tujuh koma nol
tiga persen) dibandingkan dengan produksi pada 2009 sebesar 12,8 (dua belas
koma delapan) miliar liter. Menurut Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam
Kemasan (Aspadin), peluang usaha air kemasan ini pun terus tumbuh setiap
tahun. 7
Perubahan perekonomian bangsa dan meningkatnya harga kebutuhan
pokok karena krisis moneter yang berkepanjangan berimbas pada naiknya
harga AMDK. Hal ini juga berkaitan dengan biaya produksinya yang semakin
tinggi terutama untuk produksi kemasan sehingga AMDK mulai tidak dapat
terjangkau oleh sebagian konsumen. Hal ini dapat terlihat dari grafik
perkembangan volume penjualan AMDK mulai dari tahun 1999 hingga tahun
2005 yang menurun sampai pada angka 11% (sebelas persen).8
7
“Produksi AMDK Tahun 2010 diperkirakan tumbuh 7,03%”, dikutip dari <http://www.airminumisiulang.com/news/63/Produksi-AMDK-tahun-2010-diperkirakan-tumbuh-7-03> pada tanggal 3 September 2010.
8
Gambar 1
Sumber : Riset Frontier dalam Irawan (2005)
Tingginya kebutuhan air minum bersih dan sehat serta cukup
mahalnya harga produk AMDK memunculkan inovasi-inovasi baru. Atau
dengan kata lain, hal ini mendatangkan peluang usaha baru di masa krisis yang
belum menampakkan adanya perbaikan. Peluang usaha tersebut adalah
munculnya usaha air minum depot (AMD) isi ulang yang mulai booming
mulai tahun 2000-an yang hingga kini terus tumbuh dan berkembang pesat di
berbagai daerah.
Peranan air minum isi ulang semakin besar, hal ini terlihat dengan
semakin bertambahnya jumlah air minum isi ulang dimana-mana. Masyarakat
diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya untuk memilih dan
menggunakan AMD isi ulang karena sesuai dengan keinginan dan
kemampuan sebagian konsumen. Para pelaku usaha kemudian melihat peluang
yaitu Air Minum Depot (AMD) isi ulang yang pertumbuhannya semakin
menjamur karena dapat dijangkau dengan harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan AMDK. Hal inilah yang kemudian menjadikan AMD isi
ulang lebih populer dan berkembang lebih pesat daripada AMDK.
Seiring dengan semakin populer dan menjamurnya usaha AMD isi
ulang ini, timbul beberapa permasalahan terutama mengenai kualitas AMD isi
ulang. Kualitas dari AMD isi ulang ini yang menjadi tolak ukur apakah air
minum yang berasal dari AMD isi ulang layak dikonsumsi atau tidak. Selain
itu juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atau yang dilakukan
oleh depot-depot air minum isi ulang khususnya di kota Medan. Pelanggaran
tersebut sebagian besar mengenai perizinan serta pelaporan secara berkala
(enam bulan sekali) mengenai kualitas terkait higienitas serta sanitasi
lingkungan depot air isi ulang yang akan dijual ke masyarakat. 9
Permasalahan-permasalahan lain yang muncul pada umumnya
berkaitan dengan pemberian label merk serta segel pada kemasan produksi air
minum isi ulang, pemasangan label SNI pada kemasan padahal kenyataannya
belum mendapatkan SNI, tidak memenuhi standar sanitasi yang baik dalam
proses produksinya, 10 serta penjualan keliling air minum isi ulang dengan
mobil terbuka karena rentan terhadap pencemaran kimia. Khusus mengenai
larangan dengan mobil terbuka dengan rasionalisasi bahwa jika terkena
matahari dalam waktu lama maka akan terjadi pemanasan zat kimia yang
9
“Masih Banyak Pengusaha Depot Air Isi Ulang di Deli Serdang Belum Taat Uji Kelayakan”, Harian SIB Medan 17 Juli 2009.
10
terkandung oleh galon (yang terbuat dari plastik) sehingga menyebabkan air
minum tercemar. 11
Permasalahan mengenai AMD isi ulang ini terkait dengan
perlindungan konsumen karena masyarakat sebagai konsumen merupakan
elemen yang paling erat dengan konsumsi AMD isi ulang yang harus
diperhatikan oleh para pihak yang terkait baik oleh pelaku usaha maupun
pemerintah. Upaya perlindungan konsumen yang dapat dilakukan adalah
dengan memperhatikan dan menjamin keselamatan dan keamanan dalam
mengkonsumsi AMD isi ulang tersebut.
Konsumen dalam berbagai kondisi seringkali ditempatkan pada
posisi yang lemah, bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Kedudukan
konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang dimana konsumen menjadi objek
aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar
yang merugikan konsumen. 12 Hal tersebut menyebabkan hukum perlindungan
konsumen dianggap penting keberadaannya. 13 Sudah menjadi hal yang umum
pada saat sekarang hak-hak konsumen sering kali terabaikan. Banyak orang
yang tidak menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen yang
dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen cenderung mengambil sikap
“diam”. Hukum perjanjian yang seharusnya dapat diasumsikan berlaku
11
“Dinkes Solok Selatan Tetapkan Regulasi Air Minum Isi Ulang”, Harian Antara Sumbar 7 Agustus 2009.
12
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.12
13
seimbang dalam kenyataannya terkadang sulit untuk disamakan karena posisi
tawar konsumen biasanya selalu lebih rendah daripada pelaku usaha.
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan.
Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan
perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan,
masalah tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan
konsumen perlu diperhatikan. Permasalahan mengenai perlindungan
konsumen mengenai hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta jalinan
transaksi antara konsumen dan pelaku usaha akan dikaji lebih mendalam
terutama kaitannya dengan perlindungan konsumen terhadap usaha AMD isi
ulang. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana Undang-Undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan peraturan lain yang
terkait berpengaruh dalam rangka melindungi masyarakat yang mengkonsumsi
AMD isi ulang.
Selain itu, permasalahan-permasalahan tersebut dapat juga
disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hak-haknya sebagai
konsumen.14 Minimnya pengetahuan konsumen sering dimanfaatkan oleh
pelaku usaha sebagai celah untuk mengelabui konsumen. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu landasan hukum untuk melindungi konsumen sehingga
hak-haknya dapat dilindungi dan tidak diabaikan oleh pelaku usaha. UUPK
merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan perlindungan konsumen di
Indonesia.
14
Sebagai konsumen, masyarakat juga harus mengerti benar bagaimana
AMD isi ulang yang dikonsumsinya, apakah depot air minum isi ulang
tersebut telah menggunakan sanitasi yang baik, apakah air tersebut telah
memenuhi syarat dan kualitas air sesuai dengan peraturan yang berkaitan yaitu
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum serta peranan pemerintah dalam
rangka pengawasan untuk melindungi konsumen dan pembinaan terhadap
depot-depot air minum isi ulang yang dinyatakan melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut khususnya depot-depot air
minum isi ulang yang ada di Kota Medan.
Tulisan ini akan menyajikan pembahasan tentang bagaimana
sebenarnya perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi air
minum isi ulang di depot-depot yang ada di Kota Medan ditinjau dari
aturan-aturan yang telah berlaku dan berkaitan dengan air minum isi ulang. Oleh
karena itu, penulisan skripsi ini diberi judul “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen dalam Mengkonsumsi Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang di Kota
Medan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang penulisan dan judul skripsi ini
yaitu, maka yang jadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan air minum depot isi ulang dalam hukum
perlindungan konsumen di Indonesia serta apakah permasalahan yang
dialami oleh konsumen dalam rangka mengkonsumsi air minum depot isi
ulang?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen air minum
isi ulang serta pembinaan dan pengawasan pemerintah dan instansi terkait
terhadap pengelolaan depot air minum isi ulang?
3. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran air minum depot isi
ulang di Kota Medan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan
yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta dapat
mengenai sasarannya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan air minum depot isi ulang dalam hukum
perlindungan konsumen di Indonesia serta permasalahan yang dialami
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen air
minum isi ulang serta pembinaan dan pengawasan pemerintah dan instansi
terkait terhadap pengelolaan depot air minum isi ulang.
3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran air minum
depot isi ulang di Kota Medan.
Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan juga dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoretis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,
masukan atau tambahan dokumentasi karya tulis dalam bidang hukum
perdata pada umumnya. Secara khusus, skripsi ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan terutama bagi penyempurnaan perangkat ketentuan
perlindungan konsumen dalam kaitannya dengan usaha AMD isi ulang.
2. Secara praktis
Bagi penulis secara pribadi, hal ini merupakan salah satu bentuk latihan
menyusun suatu karya ilmiah walaupun masih sangat sederhana. Skripsi
ini ditujukan kepada kalangan penegak hukum dan masyarakat untuk lebih
mengetahui bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap konsumen
dalam kaitannya dengan usaha air AMD isi ulang serta memberi informasi
dan masukan kepada para praktisi, civitas akademik, dan pemerintah
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Perlindungan
Hukum Terhadap Konsumen dalam Mengkonsumsi Air Minum Depot Isi
Ulang di Kota Medan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air Minum belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan
demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya
sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang diperoleh
melalui pemikiran, referensi buku-buku, makalah-makalah, media elektronik
yaitu internet serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan azas-azas keilmuan
yang jujur, rasional, serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari
proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Penulisan skripsi ini berkisar tentang masalah Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen dalam Mengkonsumsi Air Minum Depot Isi Ulang di
Kota Medan Ditinjau dari UUPK dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan
Berbicara mengenai perlindungan konsumen tentunya tidak terlepas
dari peraturan-peraturan yang berlaku dalam hukum positif. Perlindungan
hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang
membutuhkan peraturan-peraturan berupa ancaman kepada si pelanggar. Hal
ini tercermin dalam UUPK yang merupakan suatu perundangan di Indonesia
dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan konsumen menyangkut banyak aspek dan salah
satunya adalah aspek hukum. Dalam berbagai kajian hukum, perlindungan
konsumen seolah-olah mengambang dan masih mengabaikan kepentingan
konsumen. Isu perlindungan hukum hanya terdengar sepintas lalu tertutup
oleh pembangunan ekonomi lainnya sementara telah banyak terjadi
pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini dapat terlihat dengan belum berlaku
efektifnya UUPK sejak disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April 1999
hingga setahun berikutnya. 15
Dalam hal perlindungan hukum kepada konsumen ini dikatakan oleh
Munir Fuady bahwa “apabila suatu hukum telah ditegakkan terhadap
seseorang, berarti suatu langkah untuk merealisasi kebahagiaan masyarakat
luas telah diambil, sekaligus pula terwujudnya suatu langkah kesengsaraan
(penggerogotan kebahagiaan) terhadap pihak melanggar ketentuan hukum”.16
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
15
Op.Cit. hal. 52. 16
konsumen itu sendiri.17
Munculnya istilah perlindungan konsumen ini adalah
disebabkan adanya aktivitas-aktivitas perekonomian. Kesenjangan ekonomi
merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Konsumen
merupakan pelaku ekonomi yang paling sering dirugikan.
Secara harfiah, konsumen diartikan sebagai seseorang yang membeli
barang atau menggunakan jasa atau seseorang yang membeli barang tertentu
atau menggunakan jasa tertentu, juga seseorang atau sesuatu yang
menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. 18
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para
ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai
produksi terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en
diensten). Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen
bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. 19
Dalam peraturan perundang-undangan, tidak ada pasal yang
memberikan definisi maupun pengertian mengenai AMD isi ulang. Namun
dari beberapa bahan bacaan, diperoleh beberapa definisi mengenai pengertian
usaha AMD isi ulang. Antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
usaha AMD isi ulang adalah usaha industri yang melakukan proses
pengolahan air bersih menjadi air minum dan menjual secara langsung kepada
konsumen di lokasi pengolahan. Sedangkan Suprihatin, ketua tim peneliti
laboratorium teknologi dan manajeman lingkungan, Institut Pertanian Bogor
17
Janus Sidabalok, Loc.Cit
18
John Sinclair (ed), Collins Cobuild English Language Dictionary, (Glasgow : William Collins Suns&Co, 1998), hal.303.
19
dan R. Hening Darpito, direktur penyehatan air dan sanitasi, Dirjen PPM-PL
Departemen Kesehatan, memberikan definisi depot air minum adalah
penjualan air minum kepada masyarakat yang dilakukan secara perorangan,
dimana konsumen harus membawa wadah galon sendiri, baru mengisinya di
depot tersebut.20
Selain konsumen, pihak lain yang berkaitan dengan hukum
perlindungan konsumen adalah pelaku usaha dan pemerintah. Istilah pelaku
usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah
setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi,
menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada
masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak
semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau
pengusaha. 21
Pemerintah memiliki peranan yang penting dalam upaya melindungi
konsumen. Dalam hal ini, peranan pemerintah dapat berupa pembentukan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan usaha untuk melindungi
kepentingan konsumen dan juga melaksanakan fungsi pembinaan dan
pengawasan. Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen, maka
akan memberikan jaminan adanya kepastian hukum terhadap segala
kepentingan konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhannya. Dalam
praktek perdagangan yang merugikan konsumen yang marak belakangan ini
20
Suprihatin dan Hening Darpito, “Air Minum Isi Ulang Layakkah Dikonsumsi”, Femina, Maret 2004, hal.83.
21
Mariam Darus, Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar), Kertas
dituntut konsistensi pemerintah yang berpihak kepada masyarakat yang
kebanyakan beperan sebagai konsumen.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal utama dalam upaya mencapai
tujuan hukum tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, yakni penelitian yang
dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan
referensi lainnya. Penelitian yuridis membahas doktrin-doktrin atau
asas-asas dalam ilmu hukum. 22 Penelitian terhadap asas hukum merupakan
suatu penelitian hukum yang bertujuan untuk menemukan asas hukum atau
doktrin hukum positis yang berlaku.23
Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum
doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi
dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau
bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi
dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data
yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian perpustakaan
22
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 118.
23
demikian dapat dikatakan pula sebagai lawan dari penelitian empiris
(penelitian lapangan).
Termasuk dalam data sekunder meliputi buku-buku, buku-buku harian,
surat-surat pribadi dan dokumen-dokumen resmi dari pemerintah. Data
sekunder ini dapat bersifat pribadi dan bersifat publik. Yang bersifat
pribadi misalnya surat-surat, sejarah, kehidupan seseorang, buku-buku
harian dan lain-lain. Sedang yang bersifat publik meliputi data resmi pada
instansi pemerintah, data arsip, yurisprudensi Mahkamah Agung, dan
sebagainya. Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai
sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 24 Adapun bahan hukum primer
misalnya Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang
dan lain-lain. Bahan hukum sekunder, misalnya karya-karya ilmiah,
rancangan undang-undang dan juga hasil-hasil dari suatu penelitian.
Sedangkan bahan hukum tertier, misalnya bibliografi, kamus dan lain-lain.
2. Data dan Sumber Data
Pada umumnya, data dibagi dalam dua jenis data yakni data primer dan
data sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh
peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau
masyarakat. Untuk memperoleh data primer, perlu dilakukan pengumpulan
data langsung kepada masyarakat dengan cara wawancara,
quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara pastisipatif maupun
24
nonpastisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari
sumber pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar,
makalah, dan lain sebagainya. 25
Dalam penulisan skripsi ini, menggunakan data sekunder yaitu sebagai
materi dalam skripsi ini adalah dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, serta Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan
Kualitas Air Minum. Selain itu, data sekunder diperoleh dari
dokumen-dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang air minum
depot (AMD) isi ulang seperti buku, majalah, artikel-artikel,
makalah-makalah, koran dan sumber dari internet yang berkaitan serta bahan
lainnya
3. Alat Pengumpul Data
Dalam skripsi ini menggunakan dua alat pengumpul data yaitu studi
pustaka dan wawancara. Yang dimaksud dengan studi pustaka adalah
pengumpulan data dari berbagai sumber bacaan atau data-data sekunder
dengan menggunakan metode content analysis.26 Sedangkan wawancara
adalah komunikasi verbal antara peneliti dengan responden dan/atau
informan dimana dalam hal ini responden adalah masyarakat yang
25
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, “Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan Hukum”, Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 29.
26
mengkonsumsi air minum depot isi ulang dan informan adalah pemilik
usaha depot air minum isi ulang di kota Medan
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah disusun
secara sistematis kemudian dianalisa secara persfektif dengan
menggunakan metode kualitatif karena penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan yang menggunakan data sekunder. Metode kualitatif adalah
cara penelitian yang menghasilkan penelitian yang bersifat deskriptif
analitis.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan skripsi sangatlah diperlukan suatu sistematika
penulisan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam melakukan
penulisan ini, dan juga untuk memudahkan pembaca untuk mengerti dan
memahami isi dari skripsi ini. Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang terdiri
dari pendahuluan, kendala-kendala atau permasalahan-permasalahan
konsumen dalam mengkonsumsi AMD isi ulang, bentuk perlindungan
konsumen yang mengkonsumsi AMD isi ulang serta peranan dan tanggung
jawab pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam melindungi konsumen
dalam mengkonsumsi AMD isi ulang khususnya di kota Medan. Sistematika
penulisan ini adalah :
Bab I yaitu pendahuluan diuraikan latar belakang masalah yang
tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab ini juga
menjelaskan tentang keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan pembahasan mengenai pengaturan mengenai
AMD isi ulang dan permasalahan yang dihadapi konsumen dalam
mengkonsumsi air minum depot isi ulang. Dalam bab ini akan dibahas
mengenai pengertian konsumen dan pelaku usaha, hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha, pengaturan dan persyaratan air minum depot isi
ulang serta permasalahan yang dihadapi konsumen air minum depot isi ulang.
Bab III merupakan pembahasan mengenai bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen yang mengkonsumsi AMD isi ulang serta pembinaan
dan pengawasan pemerintah dan instansi terkait terhadap pengelolaan depot
air minum isi ulang. Dalam bab ini ditinjau lebih jauh mengenai pengertian
perlindungan konsumen, upaya-upaya perlindungan hukum yang dapat
dilakukan bagi konsumen AMD isi ulang serta pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah dan instansi terkait terhadap pengelolaan air
minum depot isi ulang.
Bab IV merupakan pembahasan mengenai mekanisme penyelesaian
sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai
perlanggaran air minum depot isi ulang. Mekanisme tersebut dijelaskan lebih
rinci mengenai penjelasan pengertian sengketa konsumen, penyelesaian
sengketa di luar pengadilan baik secara damai maupun melalui Badan
melalui pengadilan melalui mekanisme hukum perdata, pidana dan
administrasi negara.
Bab V yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan
dari bab-bab terdahulu. Sedangkan saran-saran merupakan usul dari penulis
BAB II
PENGATURAN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KONSUMEN DALAM
MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG
A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, istilah
“konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK yang
menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 27
Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna
dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.28 Istilah
konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau
consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu
tergantung dari posisi mana ia berada. Istilah lain yang agak dekat dengan
konsumen adalah “pembeli”. Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada
pembeli. Luasnya pengertian konsumen secara sederhana oleh mantan
27
Pasal 1 Angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
28
Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan mengatakan, “Consumers
by definition include us all.” 29
Berdasarkan pengertian di atas, subyek yang disebut konsumen
berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah
“orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual
yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum
(rechts person). Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah :
“Orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia”.30
Secara harfiah arti kata konsumen itu adalah “(lawan dari pelaku
usaha) setiap orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan;
pemakai atau pembutuh”.31 Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti
menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu
pula kamus Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai
atau konsumen.32
Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari
produk yang diserahkan kepada mereka oleh pelaku usaha, yaitu setiap orang
yang mendapatkan barang untuk dipakai dan untuk tidak di perdagangkan atau
diperjualbelikan lagi.
29
Shidarta, Op.Cit., hal. 2.
30
Ibid., hal. 31
31
N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen (Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk), (Jakarta : Pantai Rei, 2005), hal. 22. 32
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para
ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai
produksi terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en
diensten). Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen
bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir.33
Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen
dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.
Pengertian konsumen antar negara yang satu dengan yang lain tidak
sama, sebagai contoh di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya invidu
(orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai
terakhir. Dan yang menarik, konsumen tidak harus terikat dalam jual beli,
sehingga dengan sendirinya, konsumen tidak identik dengan pembeli. 34
Namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW Buku IV, Pasal
236), konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya ketika
mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang mejalankan profesi
perusahaan. 35
Dalam naskah-naskah akademik dan/atau berbagai naskah
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas
dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup
33
Shidarta,Op.Cit., hal. 5.
34
Shidarta,Op.Cit., hal. 3.
35
perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu, yang patut
mendapat perhatian, antara lain : 36
1. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan.
2. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia :
Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
3. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE), kata “konsumen” yang berasal dari consumer
sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini diartikan
lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban
tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang
bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh
korban yang bukan pemakai. 37
Dalam hukum positif terlihat untuk pengertian konsumen digunakan
istilah-istilah antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
36
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hal. 9-10.
37
Konsumen menurut undang-undang ini adalah setiap pemakai atau
pengguna barang dan jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun
kepentingan orang lain.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa istilah tentang konsumen
antara lain : pembeli (koper Pasal 1457), penyewa (huurdeer Pasal Pasal
1548), penerima hibah (Pasal 1666), penitip barang (berwaargever, Pasal
1694), peminjam pakai (Pasal 1743 jo. Pasal 1740), peminjam
(verbruiklener Pasal 1744) dan sebagainya. 38
3. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
disebutkan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Dari definisi konsumen menurut Undang-Undang perlindungan
Konsumen diatas dapat diperoleh unsur-unsur konsumen antara lain39:
1. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut
natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).
Yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas
38
Az. Nasution, Op.Cit., hal. 43.
39
pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan
usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK, kata pemakai
menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).
Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan
tersebut sekalipun menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak
serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai
konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara
membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa. Dengan kata
lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu
harus kontraktual (the privity of contract). Konsumen memang tidak
sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau
badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa, termasuk
peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Mengartikan konsumen
seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual
pribadi (in privity of contract) dengan produsen atau penjual adalah cara
pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Tetapi dalam
perkembangannya konsumen bukan hanya diartikan sebagai pembeli dari
suatu barang dan/atau jasa melainkan bukan pemakai langsung, asalkan ia
3. Barang dan/atau jasa
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak
menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan. Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai
pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk yang sekarang ini
sudah berkonotasi dengan barang dan/atau jasa. Kata produk itu sendiri
berasal dari bahasa Inggris yaitu “product”. Menurut Philip Kotler, bahwa
produk terdiri dari dua macam, yaitu berupa produk fisik (atau barang) dan
jasa (kadang-kadang disebut produk jasa). Yang dimaksud dengan produk
adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk
diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat
memuaskan suatu keinginan atau kebutuhan.40 Dalam penulisan ini, istilah
produk yang digunakan adalah barang dan/atau jasa yang terdapat dalam
UUPK.
Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa
itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, pihak yang ditawarkan
40
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran ; Analisis, Perencanaan, Implementasi dan
Pengendalian (Marketing Management ; Analysis, Planning Implementation, and Control),
harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat
khusus (tertutup) dan individual, tidak temasuk dalam pengertian tersebut.
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa
ini syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa
mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi ini
mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak
sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau
jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan
keluarganya).
6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Berpijak dari pengertian yang dimaksud sebagai konsumen adalah
pemakai terakhir, maka barang dan atau jasa yang digunakan, dipakai,
dimanfaatkan tidak untuk tujuan komersil.
Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian,
terdiri atas : 41
41
a) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna barang dan/atau
jasa pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;
b) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk diproduksi (pelaku usaha) menjadi barang dan/atau
jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan
komersil;
c) Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna barang dan/atau jasa,
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,
keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Selanjutnya, istilah konsumen yang digunakan dalam bab ini dan
bab-bab selanjutnya adalah konsumen dalam pengertian konsumen akhir.
Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan
pengusaha. Pengusaha adalah “setiap orang atau badan usaha yang
menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau
mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen”.
Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku
usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha. 42 Sedangkan pengertian
pelaku usaha menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah
“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
42
Mariam Darus, Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar, Kertas
Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta :
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.43
Bila dilihat dari pengertian di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur
yang terkandung dalam pengertian pelaku usaha yaitu :
1) Setiap orang perseorangan atau badan usaha
Yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan
usaha yang berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum.
2) Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.
Beberapa macam pelaku usaha yaitu :
a) Orang perorangan
b) Badan usaha
c) Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain
d) Orang perseorangan dengan badan usaha
e) Badan usaha dengan badan usaha
3) Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi
Terdapat batasan yang membedakan antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha kegiatan lain, yaitu yang dimaksud dengan pelaku
usaha adalah mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.
4) Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia
Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum tersebut
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
43
negara Republik Indonesia. Khusus badan usaha, tidak harus
didirikan dan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.
Pelaku usaha dan konsumen merupakan para pihak yang saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pelaku usaha menyadari bahwa
kelangsungan hidup usahanya tergatung pada konsumen. Demikian juga
halnya konsumen yang tergantung pada pelaku usaha dalam pemenuhan
kebutuhannya. Oleh karena itu, keseimbangan dalam berbagai segi
menyangkut kepentingan kedua belah pihak merupakan hal yang ideal.
B. Jalinan Transaksi Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha
Transaksi konsumen di sini adalah proses terjadinya peralihan
kepemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari penyedia barang atau
penyelenggara jasa kepada konsumen.44 Peralihan hak terjadi karena adanya
suatu hubungan tertentu sebagaimana diatur dalam KUHPerdata atau
peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan peralihan hak
atau penikmatan barang atau jasa. Peralihan hak dapat terjadi antara lain
karena adanya jual beli atau sewa menyewa barang seperti rumah, mebel,
mobil, perlengkapan dapur dan sebagainya, atau penyelenggaraan jasa
asuransi, konstruksi, perbankan, pariwisata dan sebagainya. 45
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan
hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut
44
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal.37 45
terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat
ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.
Purba dalam menguraikan konsep hubungan pelaku usaha dan
konsumen mengemukakaan sebagai berikut : 46
“Kunci pokok perlindungan hukum bagi konsumen adalah bahwa konsumen dan pelaku usaha saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pelaku usaha”
Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di
Indonesia membagi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hubungan antara
konsumen dan pelaku usaha ke dalam 3 (tiga) tahapan, yakni tahap pra
transaksi, tahap transaksi yang sesungguhnya dan tahap purna transaksi.
Adapun tahap-tahap tersebut diuraikan sebagai berikut : 47
1. Tahap Pra Transaksi
Adalah tahapan yang terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk
membeli dan memakai produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Pada tahap ini, pelaku usaha melakukan penawaran (offer) kepada
konsumen. Penawaran ini dapat dilakukan secara langsung kepada
konsumen (misalnya sales door to door), maupun dengan
memanfaatkan berbagai sarana, seperti brosur, spanduk, maupun iklan
di media cetak dan elektronik. Dalam proses penawaran ini, pelaku
46
A. Zen Umar Purba, “Perlindungan Konsumen : Sendi-sendi Pokok Pengaturan”,
Hukum dan Pembangunan, Tahun XXII, Agustus 1992 dalam Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010) hal. 14.
47
usaha menyediakan informasi agar konsumen tertarik untuk
menggunakan barang dan/atau jasa. Informasi yang diberikan tersebut
harus dilandasi itikad baik dan tidak disertai dengan kebohongan,
sehingga konsumen tidak merasa diperdaya atau ditipu oleh pelaku
usaha. Bila dikemudian hari terbukti bahwa konsumen membeli karena
paksaa, kekhilafan atau penipuan, konsumen memiliki hak untuk
memmbatalkan transaksi (Pasal 1321 KUH Perdata).
2. Tahap Transaksi yang Sesungguhnya
Bila calon konsumen menerima penawaran, maka terjadilah transaksi,
atau menurut bahasa hukum terjadi perjanjian. Syarat terjadinya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah :
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. kecakapan untuk membuat perikatan
3. ada suatu hal tertentu 4. suatu sebab yang halal
Pada tahap ini para pihak menyepakati apa yang menjadi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Kesepakatan ini kemudian dapat
dituangkan ke dalam suatu perjanjian tertulis. Kata “dapat” berarti
kesepakatan tidak harus dituangkan ke dalam bentuk tertulis, kecuali
dikehendaki oleh para pihak atau diwajibkan oleh peraturan yang
berlaku (misalnya jual beli tanah harus dibuat secara tertulis oleh
Perjabat Pembuat Akta Tanah). Keunggulan dari kesepakatan yang
dibuat tertulis terletak pada pembuktiannya. Bila nantinya terjadi
dibuktikan dibanding kesepakatan yang tidak dibuat secara tidak
tertulis.
3. Tahap Purnatransaksi
Tahap ini merupakan realisasi dari tahap transaksi. Pada tahap ini para
pihak harus melaksanakan semua kewajiban yang telah disepakati
sebelumnya. Menurut bahasa hukum, kewajiban yang harus dipenuhi
adalah prestasi, dan pihak yang tidak memenuhi kewajibannya
dianggap melakukan wanprestasi. Dengan adanya wanprestasi, pihak
yang telah memenuhi kewajibannya memiliki hak untuk menuntut
pihak yang melakukan wanprestasi agar melakukan prestasinya.
Seringkali pihak memiliki pemahaman berbeda mengenai isi
perjanjian. Adanya perbedaan pemahaman akan menimbulkan
perbedaan penafsiran, yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik.
Penyebab konflik biasanya menyangkut tiga hal, yakni harga, kualitas
dan kegunaan produk, serta layanan purna jual.
Selain harga, kualitas dan kegunaan barang juga dapat memicu konflik.
Pemicu konflik ini terbagi menjadi tiga kategori :
a. Produk tidak cocok dengan kegunaan dan manfaat yang
diharapkan konsumen. Hal ini seringkali disebabkan karena
pelaku usaha melakukan tipu daya kepada konsumen.
b. Produk menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan dan
keselamatan pada konsumen. Penyebabnya adalah adanya cacat
dengan bahan yang terkandung di dalam produk (sering
terdapat pada produk obat-obatan atau makanan yang
mengandung seafood).
c. Kualitas produk tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan.
Konflik ini kerap dikaitkan dengan monopoli atau pemalsuan
barang. Sehingga barang yang dibeli nilainya sangat mahal
dibanding nilai sebenarnya.
Pemicu konflik yang terakhir adalah layanan purna jual, yang sering
dikaitkan dengan hadiah dan garansi. Pemicu konflik ini pun dapat
dibedakan menjadi : apa yang dijanjikan tidak ada karena pelaku usaha
tidak jujur, tidak sesuai dengan harapan konsumen karena janji pelaku
usaha yang terlalu berlebihan serta halangan di luar kekuasaan pelaku
usaha yang menyebabkan janji tidak dapat terpenuhi walaupun pelaku
usaha telah berusaha memenuhi apa yang dijanjikannya tersebut
(peristiwa ini sering disebut force majeur).
Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung pada
dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak
mungkin pelaku usaha dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.
Sebaliknya kebutuhan konsumen sangat bergantung dari hasil produksi pelaku
usaha.
Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang berkelanjutan
terjadi sejak proses produksi, distribusi pada pemasaran hingga penawaran.
mempunyai akibat hukum, baik terhadap semua pihak maupun hanya kepada
pihak tertentu saja.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam suatu sistem
distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai suatu tingkat
produktifitas dan efektifitas tertentu dalam rangka mencapai sasaran usaha.
Pada tahap hubungan penyaluran dan distribusi tersebut menghasilkan suatu
hubungan yang sifatnya massal. 48
Pelaku usaha memiliki kecenderungan “melecehkan