BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
2. Penyelesaian Melalui Hukum Pidana
Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dalam kerangka hukum
150
konsumen dan/atau hukum perlindungan hukum konsumen diantaranya adalah hukum administrasi negara dan hukum pidana. 151
Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku atas unifikasi sejak 1918. Karena perkembangan politik, dengan Undang-Undang No. 73 tahun 1958 tujuan unifikasi tersebut baru dicapai.
Hukum pidana sendiri termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administrasi negara, hukum acara, dan hukum internasional. Di antara semua aspek hukum publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara.
Pasal 45 ayat (3) UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tdak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Sebagaimana juga diketahui bahwa tiap aturan pidana berlaku terhadap setiap orang atau badan usaha yang melakukan tindak pidana di Indonesia.
Dalam KUHP tidak disebut kata “konsumen” secara spesifik. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain :
1. Pasal 204 : Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak
151
Mr. N.E. Algra (voorzitter), poly yuridisch Zakboekje, Kon, PBNA, Arnhen 1987, hBI/110 dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 79
diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
2. Pasal 205 : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling lama satu tahun.
3. Pasal 359 : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (LN 1906 No. 1).
4. Pasal 360 : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah (LN 1960 No. 1). 5. Pasal 382 bis : Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau
memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian konkiren-konkirennya atau konkiren-konkiren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
6. Pasal 383 : Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.
7. Pasal 386 : Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman, atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Bahan makanan, minuman, atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain.
8. Pasal 390 : Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan
kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Selain pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut di atas, masih ada bentuk-bentuk tindak pidana tradisional dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen. Yang sering terjadi adalah perbuatan curang yang diatur dalam Pasal 378 sampai Pasal 395 KUHP. Pasal-pasal tersebut mengatur seluruh perbuatan yang merugikan pihak penjual atau pembeli atau pihak ketiga dalam kerangka hubungan hukum jual beli, hutang piutang di bidang asuransi, bidang farmasi, bidang konstruksi bangunan dan bahan-bahan bangunan untuk keperluan tersebut, bidang perdagangan bursa efek dan bidang kepengacaraan.152
Dalam hukum pidana juga konsumen sering diidentikkan dengan “korban”. Masalah korban bukanlah masalah yang sama sekali baru dalam dunia akademik dan praktek penegakan hukum. 153 Di bidang perlindungan konsumen, tidak jarang sulit menemukan siapa sebenarnya yang menjadi korban pelanggaran norma-norma UUPK, belum lagi penentuan akibat-akibat kebijakan hukum yang ditempuh pada setiap tingkat proses pemeriksaan.
152
Romli Atmasasmita, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Produsen
pada Era Perdagangan Bebas, Suatu Antisipasif Preventif dan Repsesif dalam Hukum Perlindungan Konsumen, disunting oleh Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyatu, (Mandar Maju,
2000), hal. 83.
153
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal. 60.
Benjamin Mendelson membuat kategori korban ditinjau dari derajat kesalahan yang dibuat, yaitu : 154
1. Korban yang sama sekali tidak bersalah
2. Korban yang menjadi korban karena kelalaiannya 3. Korban yang sama salahnya dengan pelaku 4. Korban yang lebih bersalah daripada pelaku
5. Korban yang satu-satunya bersalah dalam hal pelaku dibebaskan. Dalam ketentuan Pasal 99 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) berbunyi “Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum yang tetap”.
Pasal ini memberi arti bahwa jika terdakwa dalam hal ini yang dituntut pelaku usaha, jika dijatuhi putusan bebas oleh pengadilan, maka tidak akan mendapat ganti kerugian apa-apa. Jadi, nasib tuntutan ganti kerugian korban tindak pidana sangat bergantung pada putusan perkara pidana terdakwa. Ganti kerugian yang dikabulkan hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak ketiga (termasuk saksi korban) yang dirugikan.
Namun setelah berlakunya UUPK, paradigma dan peraturannya berubah. Dengan paradigma baru ini, tanpa diajukannya tuntutan ganti kerugian oleh saksi korban dan/atau pihak ketiga lainnya yang dirugikan
154
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan
Karangan Buku Kedua), (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal. 73 dalam Yusuf Shofie, Penyelesaian
Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori & Penegakan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 117.
akibat tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, Penuntut Umum ketika mengajukan tuntutan pidana dipersidangan dapat mengajukan tuntutan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi. Hal ini juga termuat jelas dalam Pasal 63 huruf c UUPK.
Dalam hal pemberlakuan sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap UUPK, khusus mengenai sanksi pidananya termuat dalam Pasal 62 dan 63. Sanksi dapat berupa pidana penjara atau denda membayar uang. Pasal 62 ayat (1) mengatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, 9, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a,b,c, dan e, Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Sedangkan Pasal 62 ayat (2) menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, 12, 13 ayat (1), Pasal 14, 16, 17 ayat (1) huruf d dan f dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sedangkan pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Oleh karena itu terhadap pelanggaran yang belum diatur dalam UUPK maupun undang-undang lain dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan dalam KUHP.
Di luar KUHP terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan. Ketentuan-ketentuan di lapangan hukum kesehatan dapat dikatakan
merupakan instrumen hukum yang paling luas namun tidak berarti memadai dalam mengatur hak-hak konsumen dibandingkan dengan lapangan hukum lainnya. 155 Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang berlaku sejak 4 November 1996. selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual (intellectual
property rights), seperti hak cipta, paten, hak atas merek yang belakangan ini
perhatiannya cukup besar dari sudut penerapan sanksinya.
Pengakomodasian ini penting karena berbeda dengan lapangan hukum perdata, dalam hukum pidana dikenal larangan melakukan analogi. Konsekuensi lainnya adalah dalam mengartikan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke daad) di lapangan hukum pidana tidak seluas di hukum perdata. Dalam hukum pidana, upaya konsumen sangat terbatas untuk menuntut hak-haknya jika belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sandaran. Dengan demikian, kembali pihak konsumen ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.