BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil pencarian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, baik dari perpustakaan atau website penulis menemukan kajian atau penelitian tentang :
No .
Nama Penelitian
Judul Penelitian Rumusan Masalah
Simpulan Penelitian 1. Selvina Nur
Amalia
Analisis Perlindungan Data Pribadi Nasabah pada Bank Syariah Mandiri terhadap Regulasi
1. Apa yang menjadi dasar hukum mengenai perlindungan data pribadi nasabah ? 2. Bagaimana
kesesuaian praktik perlindungan data pribadi nasabah yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri terhadap regulasi ?
1. Konsep perlindungan data pribadi nasabah berlandaskan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tahun 2013 Tentang
Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang di realisasikan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 14/SEOJK.07/2014 Tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen yang menjelaskan tentang upaya perlindungan kerahasiaan dan keamanan atas data dan/atau informasi pribadi nasabah.
2. Terdapat kesesuaian antara peraturan internal Bank Syariah Mandiri dalam hal perlindungan data pribadi nasabah terhadap regulasi pemerintah. Yaitu dengan dikeluarkannya Surat Edaran Operasi
No. 16/030/OPS Bank Syariah Mandiri perihal Revisi Standar Prosedur Operasional (SPO) Penghimpunan Dana Terikat Formulir Aplikasi Pembukaan Rekening Produk Dana Perorangan yang diberlakukan mulai tanggal 25 Juli 2014 yang salah satunya mengubah atau merevisi dengan menambahkan surat persetujuan pemberian informasi data nasabah dan pemasaran
program/produk oleh bank.
2. Sinta Dewi Rosadi
Implikasi Penerapan
Program E-Health Dihubungkan dengan Perlindungan Data Pribadi
1. Bagaimana implikasi program E- Health terhadap perlindungan data pribadi.
1. Program e-health sangat diperlukan di Indonesia mengingat belum meratanya pemberian layanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun swasta dikarenakan kendala wilayah Indonesia yang tersebar di berbagai provinsi sehingga program e- health dapat menyediakan jasa pelayanan yang lebih efisien karena melalui TIK dapat menjangkau daerah terpencil dan masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan secara efisien dan efektif. Tetapi dalam konteks perlindungan privasi atas data pribadi pasien belum sepenuhnya terjamin karena belum pahamnya masyarakat Indonesia akan haknya dan belum merata pemahaman baik pihak pemerintah akan
pentingnya perlindungan data pribadi pasien sehingga diperlukan pengaturan yang khusus tentang perlindungan data pribadi pasien dalam program e-health walaupun telah diatur di dalam beberapa undang- undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri seperti dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/
Menkes/Per/III/2008, Peraturan Pemerintah No.
82 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik namun pengaturannya sangat umum dan belum menerapkan prinsip- prinsip perlindungan data pribadi yang spesifik sehingga belum dapat memberikan
perlindungan yang maksimal dan akibatnya masih adanya data pribadi atau rekam medis milik pasien yang dapat dengan mudah diakses oleh pihak lain tanpa adanya persetujuan dengan pemilik data yang bersangkutan.
Berdasarkan tabel hasil penelitian terdahulu di atas, memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ringkasan kedua penelitian tersebut secara umum sama-sama membahas tentang perlindungan data pribadi. Adapun perbedaan penelitian pertama yaitu ada pada subjeknya nasabah perbankan, sedangkan pada penelitian yang kedua yaitu subjeknya pasien.
Persamaan dari kedua penelitian terdahulu dengan skripsi ini yaitu sama-sama membahas tentang perlindungan data. Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu pertama dengan skripsi ini yaitu pada penelitian terdahulu membahas mengenai praktik dan ketentuan perlindungan data pribadi nasabah perbankan, sedangkan skripsi ini membahas mengenai urgensi perlindungan data konsumen e-commerce. Dan perbedaan penelitian terdahulu kedua dengan skripsi ini yaitu pada penelitian terdahulu membahas implikasi e-health dengan pengaruh instrumen internasional, sedangkan skripsi ini membahas ketentuan platform bagi konsumen e-commerce terhadap peraturan di Indonesia.
B. Landasan Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan.
Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen
hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikan pada hukum positif.11 Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
“Undang-undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.12 Pasal 36 UUPK yang mana menyebutkan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri dari unsur-unsur yaitu pemerintah, pelaku usaha, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akademisi dan tenaga ahli.13
2. Perkembangan Ekonomi Digital
Dengan semakin kritisnya masyarakat, terbukanya era globalisasi dan kecanggihan teknologi serta kompetisi antar pelaku usaha yang semakin ketat, mulai terlihat kecenderungan pelaku usaha untuk
11 Aufa Indriana, 2020, Penyimpangan Terhadap Asas Forum Rei Sitae Berdasarkan Perjanjian Akta Notaril (Analisis Putusan Nomor 242/Pdt.G/2018/PN.Smn), Skripsi, Purwokerto : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, hal 16.
12 Ibid, hal 16-17.
13 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti, hal 14.
menyelaraskan produknya dengan keinginan konsumen, meski ada sebagian dari mereka yang masih mempertahankan kultur “dengan modal minimal untuk meraih laba sebesar-besarnya”. Mereka meninggalkan paradigma product out, yaitu memproduksi barang dan jasa sebanyak-banyaknya tanpa diimbangi quality control memadai.14 Era teknologi informasi saat ini memberikan kemudahan dalam melakukan segala hal. Banyak manfaat yang diperoleh dari kemajuan teknologi informasi. Tentunya penggunaan teknologi informasi pun ikut mengalami berkembang pesat, salah satunya terjadi pada bidang komunikasi. Saat ini, komunikasi beralih menjadi suatu hal yang kompleks dan mengubah perilaku manusia. Dahulu manusia berkomunikasi dengan cara bertemu, namun kini dengan adanya teknologi, tersedia media baru dalam berkomunikasi yaitu melalui jejaring social. Jejaring sosial ini membuat manusia terhubung satu sama lain tanpa harus bertatap muka. Selain itu, dengan media baru ini informasi dapat disebarluaskan dengan cepat.15
Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih populer dengan istilah digital economic atau ekonomi digital. Keberadaannya ditandai dengan semakin maraknya kegiatan perekonomian yang memanfaatkan internet sebagai media komunikasi.
14 Firman Tumantara Endipradja, 2016, Hukum Perlindungan Konsumen Filosofi Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Politik Hukum Negara Kesejahteraan, Malang : Setara Press, hal 121.
15 Imam Teguh Islamy, Sisca Threecya Agatha, Rezky Ameron, Berry Humaidi Fuad, Evan, Nur Aini Rakhmawati, 2018, Pentingnya Memahami Penerapan Privasi di Era Teknologi Informasi, Jurnal Teknologi Informasi dan Pendidikan Vol. 11 No. 2, hal 22.
Perdagangan misalnya, semakin banyak mengandalkan perdagangan elektronik atau electronic commerce (e-commerce) sebagai media transaksi. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi yaitu meningkatnya permintaan atas produk-produk teknologi itu sendiri dan kemudahan untuk melakukan transaksi perdagangan. Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem digital ini memungkinkan dunia usaha melakukan suatu transaksi dengan menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi. Sistem perdagangan yang dipakai dalam e- commerce dirancang untuk menandatangani kesepakatan secara elektronik. Penandatanganan elektronik ini dirancang mulai dari saat pembelian, pemeriksaan dan pengiriman.16
3. Pengertian Data
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik yaitu
“data perseorangan tertentu adalah setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat diidentifikasi, baik langsung maupun tidak langsung, pada masing-masing individu yang
16 Ainul Masruroh, 2019, Perlindungan Hukum bagi Konsumen dalam Jual Beli secara Online Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Humanis, Vol. 11 No. 1, hal 54.
pemanfaatannya sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan”.
4. Tinjauan Umum Mengenai Konsumen a. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
Penjelasan mengenai pengertian konsumen termuat dalam Pasal 1 angka 2 UUPK menyebutkan
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Sedangkan Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).17 Penjelasan mengenai pengertian pelaku usaha termuat dalam Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
17 Nurul Tika Pratiwi dan Aprina Chintya, 2017, Studi Komperatif Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam, Fikri, Vol. 2, No. 1, hal 146.
b. Hak konsumen termuat dalam undang-undang perlindungan konsumen antara lain18 :
1) Hak asas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau di layani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.
18 Syahruddin Nawi, 2018, Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pleno De Jure, Vol. 7 No. 1, hal 3-4
c. Kewajiban konsumen termuat dalam undang-undang perlindungan konsumen antara lain :
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2) Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
d. Hak pelaku usaha menurut undang-undang perlindungan konsumen antara lain:
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.
e. Kewajiban pelaku usaha sesuai dengan undang-undang perlindungan konsumen antara lain19 :
1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
19 Ibid, hal 3-4.
7) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
f. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.
Tanggungjawab pelaku usaha dalam melakukan praktik bisnis yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian (Pasal 7 g UUPK), serta pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku atau perjanjian standar yang menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha (Pasal 18 ayat 1 a UUPK). Sanksi untuk pelaku usaha yang melanggar pasal 18 ini adalah pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.20 UUPK ini merupakan standar hukum yang berpijak bila konsumen dirugikan, karena bila konsumen merasa dirugikan ia dapat menuntut pelaku usaha.
20 Firman Tumantara Endipradja, Op. cit, hal 74-75.
Pertimbangan atau konsiderans yang terdapat di dalam UUPK dapat dirumuskan sekurang-kurangnya ada 6 (enam) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi antara lain21:
1) Melindungi konsumen berarti melindungi seluruh warga negara.
2) Menjaga kesinambungan pembangunan nasional.
3) Menjamin sumber dana pembangunan.
4) Menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi.
5) Mencegah perilaku curang dari pelaku usaha.
6) Meningkatkan pemberdayaan konsumen, khususnya penanaman kesadaran akan hak dan kewajibannya.
g. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Asas-Asas antara lain22 :
1) Asas manfaat, yaitu pengaturan mengenai perlindungan konsumen akan dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pembangunan pribadi setiap negara.
2) Asas keadilan, yaitu pengaturan mengenai perlindungan konsumen akan dapat memberikan rasa keadilan bagi setiap masyarakat konsumen pada umumnya.
21 Janus Sidabalok, 2021, Mencari Sistem Penyelesaian Sengketa Konsumen yang Ideal Dalam Rangka Meningkatkan Perlindungan terhadap Konsumen, Fiat Iustitia : Jurnal Hukum, Vol. 2 No. 1, hal 11.
22 Ardiana Hidayah, Marsitiningsih, 2020, Aspek Hukum Perlindungan Data Konsumen E- Commerce, Kosmik Hukum, Vol. 20 No. 1, hal 58-59.
3) Asas keseimbangan, yaitu pengaturan mengenai perlindungan konsumen akan dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan konsumen dan kepentingan produsen.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu pengaturan mengenai perlindungan konsumen akan dapat memberikan suasana kondusif bagi konsumen dalam rangka penggunaan hasil produk dari produsen.
5) Asas kepastian hukum, yaitu pengaturan mengenai perlindungan konsumen akan dapat memberikan suatu kepastian hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban antara konsumen dan produsen.
h. Hukum Perlindungan konsumen
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah. Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara menurut N.H.T Siahaan dalam bukunya “Hukum Konsumen” beranggapan tidak
perlu membedakan kedua istilah hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen itu merupakan satu kesatuan, sebagaimana dikatakan : “Serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang dan atau jasa yang berdasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen dan kepastian hukum”. 23
i. Penyelesaian Sengketa24
1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan a) Penyelesaian sengketa damai oleh para pihak
b) Penyelesaian melalui lembaga yang berwenang yaitu BPSK dengan menggunakan mekanisme konsiliasi, mediasi, atau arbitrase
2) Penyelesaian sengketa di pengadilan (litigasi)
Merupakan penyelesaian sengketa terakhir yang melibatkan pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan, apabila timbul sengketa. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) atau diluar pengadilan (non litigasi).
23Firman Tumantara Endipradja, Op. cit, hal 49-51.
24 Ria Sintha Devi, Feryanti Simarsoit, 2020, Perlindungan Hukum bagi Konsumen E-Commerce Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal Rectum, Vol. 2 No. 2, hal 125-126.
5. Tinjauan Umum Mengenai E-Commerce a. Pengertian Electronic Commerce25
Electronic Commerce atau yang disingkat dengan E- Commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services providers dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer network) internet. Penggunaan sarana internet merupakan suatu kemajuan teknologi yang dapat dikatakan menunjang secara keseluruhan spektrum kegiatan komersial. E-commerce juga dapat diartikan sebagai suatu proses berbisnis dengan memakai teknologi elektronik yang menghubungkan antara perusahaan, konsumen dan masyarakat dalam bentuk transaksi elektronik dan pertukaran/
penjualan barang, servis, dan informasi secara elektronik.
b. Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di Cyberspace antara lain yaitu 26:
1) Pendekatan teknologi.
2) Pendekatan sosial budaya-etika.
3) Pendekatan hukum.
25 Abdul Halim Barkatullah. 2017. Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia (Sebagai Pedoman dalam Menghadapi Era Digital Bisnis e-Commerce di Indonesia). Bandung: Penerbit Nusa Media, hal 22.
26 Ibid, hal 19.
c. Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu:
1) Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
2) Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
3) Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4) Passive Nationality, yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
5) Protective Principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
6) Universality, asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan.
Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara, dan lain-lain.
Meskipun asas yurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan pada perkembangan dalam hukum internasional.
d. Peristilahan dan Pengertian Informasi Elektronik
Istilah informasi elektronik pada dasarnya dibentuk dari dua kata yaitu kata informasi dan kata elektronik. Istilah informasi dalam bahasa Inggris yaitu information. Menurut Shanon dan Weaver sebagaimana terpetik dalam Edmon Makarim mengemukakan Information adalah the amount of uncertainty that is reduced when a received. GordonB, Davis mendefenisikannya sebagai Information is data that has been processed into a form that is meaningful to the recipient and is used of real or proceived value in current or prospective action or decision. Bertumpu pada peristilahan dan dari kedua tokoh tersebut dapat dikemukakan bahwa informasi adalah suatu data atau keterangan dan pesan yang diterima atau diperoleh tentang segala sesuatu baik menyangkut data pribadi seseorang, keluarga, masyarakat maupun suatu lembaga tertentu baik yang disampaikan secara lisan maupun
tertulis atau tersimpan dalam suatu dokumen tertentu yang telah ditata, diolah dan diproses secara sistematik serta disimpan secara nyaman dan dijamin kerahasiaannya sebagai dasar dalam pengambilan suatu tindakan atau keputusan.27
6. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian a. Dasar Hukum Keabsahan Perjanjian28
Perjanjian adalah salah satu upaya dari masyarakat untuk mengikatkan dirinya kepada orang lain demi memenuhi kebutuhannya. Perjanjian sangat penting walaupun banyak masyarakat padat pada umumnya tidak mengetahui arti penting dari perjanjian. Perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang mana dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan hal itu dapat timbul suatu hubungan hukum yang melibatkan dua orang atau lebih dalam sebuah kesepakatan, yang mana akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihaknya. Hak dan kewajiban tersebut senantiasa harus dipenuhi agar tercipta. Sebuah perjanjian yang sempurna, baik itu secara lisan maupun tulisan.
b. Syarat Sahnya Perjanjian29
27 Ibid, hal 24-25
28 Lukman Santoso Az. 2019. Aspek Hukum Perjanjian Kajian Komprehensif Teori dan Perkembangnnya. Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, hal 48.
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain. Adapun yang menjadi indikator „sesuai‟ itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain.
Pernyataan kesepakatan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan tegas dapat berupa lisan, tertulis atau dengan tanda/isyarat. Pernyataan diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita.
2) Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Subjek hukum ada dua yaitu orang dan badan hukum. Orang sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan hak yang dijamin oleh hukum yang berlaku. Selain manusia badan hukum juga termasuk sebagai subjek hukum. Badan hukum merupakan badan-badan atau perkumpulan. Badan hukum yakni orang yang diciptakan oleh hukum. Oleh karena itu, badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia. Dengan demikian, badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki
29 Ibid, hal 50-54.
kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota- anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum dapat bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu orang yang sudah dewasa.
3) Adanya objek perjanjian (suatu hal tertentu)
Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah kewajiban debitur dan hak kreditur. Prestasi terdiri atas perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:
1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu ( pasal 1234 KUHPerdata)
4) Adanya kausa yang halal Hoge Raad mengartikan orzaak (kausa yang halal) sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Sebab yang halal mempunyai arti bahwa isi yang menjadi perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan- ketentuan perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan.
c. Akibat Hukum Perjanjian Sah30
30Ibid, hal 59.
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak.
Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
d. Asas-asas Hukum Perjanjian31
31 Ibid, hal 67-72.
1) Asas Konsensualisme, bahwa perjanjian telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontak.
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut, ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
2) Asas Kebebasan Berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas tentang yang diperjanjikan, bebas pula tentang menentukan bentuk kontraknya. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyebutkan,
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
3) Asas Itikad Baik, asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
4) Asas Kekuatan Mengikat, asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berlakunya akan mengikat dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak.
Artinya, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
5) Asas Kepribadian, yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 menegaskan, “Pada umumnya, seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian, selain untuk dirinya sendiri”. Sedangkan Pasal 1340 KUH Perdata menyebutkan,
“perjanjian hanya berlaku pada pihak yang membuatnya‟.
6) Asas Persamaan Hukum, asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama yang lainnya, walaupun subjek hukum tersebut berbeda warna kulit, agama dan ras.
7) Asas Kepercayaan (Vertrouwens Beginsel), yaitu kedua belah pihak harus saling mempercayai satu sama lain. Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI, menjelaskan bahwa asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka pada kemudian hari.
8) Asas keseimbangan, asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Akan tetapi, debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
9) Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana selayaknya sebuah undang-undang.
10)Asas Moral, artinya perjanjian tersebut tidak sampai melebihi batas moral (tingkah laku) pada suatu lingkungan.
11)Asas Kepatutan, artinya hanya tindakan yang patut atau pantas yang harus dilakukan.
C. Kerangka Pemikiran
Sektor informasi dan komunikasi menjadi sektor yang paling menonjol akibat pandemi Covid-19 terutama dalam ekonomi digital, e-commerce di Indonesia seperti Shopee, Jd.id, Blibli mendapatkan banyak keuntungan namun terdapatnya kasus seperti kebocoran data konsumen e-commerce menimbulkan rasa cemas kepada konsumen terkait data yang dibagikan kepada platform. Tanpa koordinasi yang kuat dari berbagai aspek implementasi dan pengawasan perlindungan konsumen akan sulit dipastikan. Pasal 40 UU ITE mengenai muatan informasi elektronik yang dilarang dan konsekuensi pemutus akses pada informasi elektronik tersebut dan aturan turunan yang termuat dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat yaitu terkait pemutusan akses pada konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Center For Indonesian Policy Studies meminta pemerintah memastikan platform bertanggungjawab mengelola data pengguna e-commerce.
1. Teori kepastian hukum
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
5. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020
6. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
8. KUHPer (Burgerlijk Wetboek)
9. Ketentuan dari e-commerce (Jd.id, Blibli, Shopee)
1. Apa urgensi
perlindungan data bagi konsumen e-commerce dalam menghadapi pertumbuhan ekonomi digital ditinjau dari UU Informasi dan
Transaksi Elektronik ?
2. Bagaimana ketentuan platform dalam
memberikan perlindungan data bagi konsumen e- commerce terhadap peraturan di Indonesia?
Dianalisis dengan metode yuridis normatif serta identifikasi dan klarifikasi fakta hukum diterapkan menggunakan teori dan undang-undang terkait dengan penelitian
Dianalisis dengan metode yuridis normatif serta identifikasi dan klarifikasi fakta hukum diterapkan
menggunakan teori dan undang-undang terkait dengan penelitian
Hasil penelitian :
Pentingnya perlindungan data di UU ITE termuat dalam Pasal 26 ayat (1), (2), (4), dan (5), Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE diterapkan ketika data dicuri atau jika terjadi perlakuan terhadap data yang tidak benar atau disalahgunakan. Namun belum terperinci sehingga dibuat aturan turunan dalam Pasal 1 angka 6,7, dan 19 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 mengenai penyelenggara sistem elektronik lingkup privat.
Ketentuan dari e-commerce, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. UU perlindungan konsumen yang menjelaskan hak yang harus dilindungi yaitu kenyamanan, keamanan, dan keselamatan serta hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur. Dengan berbagai koordinasi dan pengawasan baik dari pemerintah, pribadi, dan pihak ketiga dalam hal ini penyelenggara sistem elektronik dapat memberikan perlindungan data bagi konsumen e-commerce.