Pendahuluan
Latar Belakang
Hukum humaniter mengatur permasalahan terkait penangkapan atau penghilangan jurnalis pada saat perang, atau penahanan jurnalis pada saat konflik bersenjata. Mengapa perlindungan jurnalis di wilayah konflik bersenjata menjadi isu penting? Oleh karena itu, perlindungan yang diberikan kepada jurnalis sama dengan perlindungan yang diberikan kepada warga sipil di wilayah konflik bersenjata.
Pokok Permasalahan
Bagaimana hukum humaniter internasional mengatur perlindungan jurnalis di wilayah konflik bersenjata internasional. Selain itu, bab ini akan membahas tentang perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional berdasarkan hukum humaniter internasional. Perlindungan Jurnalis Perang dalam Konflik Bersenjata dalam Perspektif Hukum Humaniter (Studi Kasus Jurnalis Perang di Irak)” (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia, 2005).
Tujuan Penulisan
- Tujuan Umum
- Tujuan Khusus
Kerangka Konsepsional
In addition to the provisions to be carried out in time of peace, the present Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by a of them. International Committee of the Red Cross, "How is the term 'armed conflict' defined in international humanitarian law?", Asosiasi jurnalis mempunyai peran yang sangat besar dalam mencari perlindungan bagi jurnalis dalam konflik bersenjata internasional. Korea Selatan belum meratifikasi AP I, namun ketentuan terkait perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata masih dipatuhi. Hukum humaniter sebenarnya mempunyai aturan yang cukup memadai untuk melindungi jurnalis dalam konflik bersenjata internasional. Sistematika Penulisan Lauterpacht secara singkat menyatakan: “Hukum perang adalah aturan hukum internasional yang berkaitan dengan peperangan.”28. Selain itu, ketentuan mengenai konflik bersenjata juga dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian multilateral. Setiap perbedaan pendapat yang timbul antara dua negara dan berujung pada intervensi anggota angkatan bersenjata merupakan konflik bersenjata dalam arti seni. 56 Dinda Retno Kanti, Perlindungan Jurnalis Perang dalam Konflik Bersenjata Berkaitan dengan Hukum Humaniter (Studi Kasus Jurnalis Perang di Irak), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia, 2005), hal. Hukum humaniter internasional mengatur tentang perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional khususnya pada GC III tentang Perlindungan Tawanan Perang dan Protokol I. Beberapa negara yang memasukkan ketentuan mengenai perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata dalam manual militernya adalah sebagai berikut. Peraturan mengenai perlindungan jurnalis di wilayah konflik bersenjata dapat ditemukan dalam French Handbook on the Law on Armed Conflict. Ketentuan perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional dalam manual militer Belanda membagi jurnalis menjadi jurnalis independen dan jurnalis perang. Irlandia mengatur perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional dalam Undang-Undang Konvensi Jenewa Irlandia yang menyatakan hal itu. Norwegia mengatur perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional dalam KUHP Militer Norwegia yang menyatakan bahwa,. Di bawah ini adalah contoh negara yang belum meratifikasi AP I, namun tetap menghormati ketentuan mengenai perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional. Hal-hal yang dapat dilakukan ICRC untuk menjamin perlindungan bagi jurnalis dalam konflik bersenjata adalah: 105. Pertama, hukum humaniter internasional memberikan perlindungan terhadap jurnalis dalam konflik bersenjata internasional berdasarkan dua ketentuan, yaitu perlindungan terhadap koresponden perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa III dan perlindungan terhadap jurnalis yang terlibat dalam misi profesional berbahaya (jurnalis yang terlibat dalam misi profesional berbahaya). SAYA. Pengaturan dalam Additional Protocol I Di luar ketentuan hukum humaniter internasional, upaya perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata dapat ditemukan dalam praktik nasional yang diterapkan oleh negara (national practice). Salah satu upaya negara untuk menjamin perlindungan jurnalis di wilayah konflik bersenjata adalah dengan memasukkan ketentuan dalam pedoman militer. Pedoman Militer Selandia Baru menyatakan bahwa “jurnalis yang melakukan misi profesional berbahaya di wilayah konflik bersenjata dianggap warga sipil. Penangkapan, penahanan, intimidasi dan pembunuhan terhadap jurnalis di wilayah konflik bersenjata internasional telah menjadi peristiwa yang sering diberitakan. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana negara-negara yang meratifikasi AP I mengatur perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional. Meski belum semua negara meratifikasi AP I, namun perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional telah diterima sebagai hukum kebiasaan internasional. Meskipun Amerika Serikat belum meratifikasi Protokol I, namun Amerika tetap menghormati ketentuan mengenai perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Protokol. Upaya tersebut diwujudkan dengan dirancangnya Pasal 79 Protokol Tambahan I Tahun 1977 yang mengatur tentang perlindungan jurnalis yang melakukan tugas profesional berbahaya di wilayah konflik bersenjata. Selain itu, perlindungan bagi jurnalis dalam konflik bersenjata internasional dapat ditemukan dalam yurisprudensi dan praktik nasional negara lainnya. Upaya asosiasi jurnalis untuk menjamin terselenggaranya perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata juga dilakukan melalui kampanye media untuk meningkatkan dukungan terhadap jurnalis yang mengalami penyerangan. Praktek Non-Negara (Non-State Practice) Praktik jurnalisme tertanam tidak mengubah status jurnalis dalam konflik bersenjata internasional atau zona perang berdasarkan hukum humaniter. Berdasarkan Pasal 79 AP I, jurnalis yang menjalankan misi profesional berbahaya di wilayah konflik bersenjata harus dianggap sebagai warga sipil sepanjang mereka tidak berpartisipasi langsung dalam permusuhan. Meskipun perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional diatur dalam hukum humaniter internasional, namun dalam praktiknya pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata seringkali tidak mematuhi ketentuan hukum humaniter internasional. Dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi jurnalis, komunitas internasional berupaya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik terhadap jurnalis di wilayah konflik bersenjata internasional. PBB berupaya memberikan perlindungan lebih bagi jurnalis dalam konflik bersenjata dengan mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk semua tindakan kekerasan dan serangan yang ditujukan terhadap jurnalis dan pekerja media di zona konflik. Upaya internasional lainnya untuk menjamin perlindungan jurnalis di wilayah konflik bersenjata internasional dilakukan oleh asosiasi jurnalis, seperti Reporters Without Borders (RSF) dan Committee to Protect Journalists (CPJ). Ketiga, untuk mengetahui penerapan hukum humaniter internasional dalam hal perlindungan jurnalis dalam konflik bersenjata internasional digunakan kasus penyerangan terhadap jurnalis, yaitu serangan NATO terhadap gedung radio televisi Serbia dan penyerangan terhadap jurnalis pada Perang Irak (2003). ). Meskipun hukum humaniter dengan jelas menyatakan bahwa jurnalis yang berada di wilayah konflik bersenjata internasional adalah warga sipil dan harus dilindungi sama seperti warga sipil, dalam praktiknya jurnalis masih menjadi sasaran serangan. Dengan demikian, pihak-pihak yang berkonflik bersenjata mengetahui ketentuan-ketentuan yang harus dihormati dan menyadari kewajiban masing-masing yang timbul dari hukum humaniter internasional. Dengan berbagai cara, komunitas internasional telah berupaya menjamin perlindungan yang lebih baik bagi jurnalis yang menjalankan tugas profesionalnya di wilayah konflik bersenjata internasional. Hal ini dapat dicapai dengan mendidik jurnalis yang akan bekerja di wilayah konflik bersenjata internasional mengenai hukum humaniter. Dengan cara ini, jurnalis mengetahui perlindungan apa yang bisa mereka peroleh ketika berada di wilayah konflik bersenjata internasional. Isu perlindungan jurnalis telah lama menjadi perhatian dalam hukum humaniter internasional. Dalam GC III, jurnalis perang yang jatuh ke tangan pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata tidak diwajibkan memiliki bukti akreditasi dari angkatan bersenjata yang mereka ikuti untuk mendapatkan status tawanan perang. Oleh karena itu, komunitas internasional berupaya mengatur ketentuan yang dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi jurnalis yang melakukan misi berbahaya. Jurnalis yang melakukan tugas profesi berbahaya di wilayah konflik bersenjata dianggap sebagai warga sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 50 AP I dan mendapat perlindungan sebagai warga sipil berdasarkan ketentuan hukum humaniter internasional, sepanjang tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan status sipil. Serangan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, atau dengan kata lain, kejahatan perang. Kasus-kasus penyerangan terhadap jurnalis seringkali tidak terselesaikan, dan para pelaku kejahatan ini nampaknya kebal. Upaya negara dalam memberikan perlindungan terhadap jurnalis dalam konflik bersenjata antara lain dengan mengatur perlindungan jurnalis dalam buku pedoman militer atau peraturan perundang-undangan nasional. Meskipun ICRC bukan organisasi jurnalis, namun perannya dalam memberikan jaminan perlindungan kepada jurnalis dalam konflik bersenjata internasional sangatlah penting. Salah satu upaya ICRC untuk menjamin terselenggaranya perlindungan jurnalis adalah dengan membentuk Hotline ICRC. Dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa dalam praktiknya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata internasional seringkali tidak menghormati ketentuan yang mengatur tentang perlindungan jurnalis. Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977. The Protection of Journalists and News Media Personnel in Armed Conflict,” International Review of the Red Cross, Vol. The International Protection of Journalists in Armed Conflict and Other Violent Situations,” The Australian Journal of Human Rights Volume. Final Report to the Prosecutor by the Committee Established to Review the NATO Bombing Campaign Against the Federal Republic of Yugoslavia,” Bodyguard of CNN crew fires automatic weapons as crews come under fire, April 13, 2003 Press Release, " States Parties to the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977," Metode Penelitian
Perlindungan terhadap Wartawan dalam Hukum Humaniter
Hukum Humaniter Internasional Secara Umum
Pengaturan dalam Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai
Upaya-Upaya Internasional dalam Menjamin Terlaksananya
Praktek Nasional
Studi Kasus tentang Perlindungan terhadap Wartawan dalam
Serangan NATO terhadap Radio Televisi Serbia (Radio Televisja
Penutup
Kesimpulan
Saran