Secara umum pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada pencapaian sasaran materi ajar dibandingkan peningkatan dan pengembangan karakter, etika, dan moral peserta didik. Di antara faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan perilaku siswa, seperti tawuran antar siswa, pelecehan seksual dan lain sebagainya, adalah akibat dari kegagalan pendidikan dalam menanamkan dan menumbuhkan karakter etika dan moral dalam jiwa siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap nilai-nilai filosofis pendidikan karakter yang terkandung dalam kisah Nabi Musa dan Khidir dalam surat al-Kahfi, diperkaya dengan kajian sumber referensi dari karya-karya ulama klasik dan kontemporer.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pengembangan pola pendidikan karakter pada lembaga pendidikan di Indonesia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan deskriptif.Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer berupa Al-Quran dan Tafsirnya, seperti Tafsir Tafsir al-Munir, dan Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Tafsir al-Kabir atau Tafsir Mafatih al-Ghaib yang khusus membahas tentang Surat al- Kahfi ayat 60-82.
Dialog Musa-Khidi dalam Surat Al-Kahfi mengandung nilai-nilai filosofis yang sangat relevan dalam membangun pendidikan karakter khususnya di kalangan pendidik dan guru serta peserta didik dan santri.
Surat al-Kahfi berada pada urutan ke-18 (delapan belas), sesuai urutan yang terdapat dalam Muṣḥaf Utsmânî, dan urutan ke-69 (enam puluh sembilan) sesuai urutan turunnya. Isi surat al-Kahfi didominasi cerita; yaitu kisah Aṣḥâb al-Kahfi (penghuni gua). Salah satu kisah dalam Surat al-Kahfi adalah kisah perjalanan Nabi Musa (as) mencari guru spiritualnya, Khidir (as).
Penelitian ini hanya terbatas pada kajian nilai-nilai pendidikan karakter dalam perspektif kisah Musa dan Khidir yang terdapat pada ayat 60-80 Surah al-Kahfi, tetapi tidak kepada surat-surat lain yang terdapat dalam Al-Qur’an, Dengan tujuan untuk mengetahui nilai-nilai nilai pembinaan karakter guru dan murid yang terdapat dalam kisah Musa dan Khidir serta hikmah yang terkandung dalam cerita tersebut. Sehubungan itu, kisah Nabi Musa dan Khidhir yang tercatat dalam al-Qur'an surat al-Kahfi memberi kesan yang unik kepada pembacanya. Kajian nilai-nilai pendidikan karakter hubungan guru-murid dari perspektif kisah Musa dan Khidir dalam ayat 60-80 Surah al-Kahfi, melalui tinjauan literatur yang dilakukan oleh pengkaji, belum pernah ada yang mengkaji. sebagai perbincangan yang lengkap dan menyeluruh.
Sedangkan penelitian lain yang membahas tema ini lebih merupakan sub pembahasan dari tema tertentu yang dikaji sepintas lalu, dengan gaya terminologi yang sama sekali tidak menyentuh nilai-nilai pendidikan karakter, hubungan antara guru dan guru. . santri dilihat dari dialog Musa dan Khidir dalam surah al-Kahfi ayat 60 – 82.
Jika pendapat tersebut benar, maka pendidikan karakter tidak ada gunanya, karena tidak akan mungkin mengubah karakter manusia yang selama ini dianggap remeh. Sedangkan kelompok masyarakat yang lain mempunyai pendapat berbeda yaitu karakter dapat dibentuk dan digarap, sehingga pendidikan karakter sangat penting baginya. Secara filosofis, pendidikan karakter merupakan kajian ilmiah yang paling rasional dan modern karena berkaitan dengan perilaku manusia yang tidak lekang oleh waktu seiring dengan perubahan zaman.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter mempunyai landasan filosofis dan normatif sebagai landasan penyelenggaraannya. Haedar Nashir menambahkan, pendidikan karakter harus ditempatkan secara utuh dengan pembangunan bangsa dan karakter dan dalam hal ini lembaga pendidikan mempunyai peranan penting sebagai bagian dari pembangunan bangsa15. Fungsi dan tujuan pendidikan karakter mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan arah dan sebagai pedoman internalisasi karakter.
Secara umum pendidikan karakter merupakan suatu cara untuk mewujudkan masyarakat beriman dan bertakwa yang senantiasa berjalan pada kebenaran dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, kehati-hatian, dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Berdasarkan berbagai pandangan di atas, pendidikan karakter mempunyai peranan strategis dalam membentuk karakter peserta didik, menanamkan dan memahami perilaku yang baik dan terpuji. Mengingat perlunya peran tersebut, maka model pendidikan karakter harus ditujukan tidak hanya memperkenalkan berbagai kaidah dan definisi, namun lebih menekankan pada sikap, sikap dan tanggung jawab.
Peran pendidikan karakter dapat terlaksana dengan baik dan maksimal apabila didukung oleh seluruh komponen terutama keluarga sebagai tempat pertama dan utama pendidikan anak. Dalam bentuk operasional pendidikan formal, berdasarkan identifikasi sejumlah nilai-nilai pembentukan karakter yang merupakan kajian empiris Pusat Kurikulum, untuk memantapkan implementasi pendidikan karakter dirumuskan menjadi 18 nilai yang bersumber dari keyakinan. , Pancasila, budaya dan. Keberhasilan pendidikan karakter tergantung pada seluruh unsur pendidikan, baik pada individu, keluarga, seluruh pekerja sekolah, dan masyarakat.
Standarnya, prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan mulia pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai budaya, misalnya berupa budi pekerti, Pancasila, apresiasi sastra, tokoh sejarah yang patut diteladani dan lain-lain; Pembentukan karakter didasarkan pada potensi pribadi, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran penguatan potensi diri yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan (konservasi humanistik).
Pembagian jenis-jenis pendidikan karakter mengandung arti bahwa pendidikan selalu hidup pada tataran individu, kelompok, sosial, lingkungan, peradaban, dan agama.
Bukankah semua ini satu keistimewaan yang boleh dibanggakan oleh Nabi Musa?1 Pernyataan inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk menuntut ilmu daripada guru yang mempunyai sifat-sifat seperti yang disebutkan dalam surat al-Kahfi ayat 65, pada majmaʻ al-bahrayn (pertemuan dua lautan)2 sebagaimana tersebut dalam surat al-Kahfi ayat 60. Setelah Nabi Musa menemui orang yang dimaksudkan itu di tempat yang ditentukan Allah dengan sifat-sifatnya. Sungguhpun begitu, guru tersebut tidak serta merta menerima kehendak Nabi Musa, tetapi beliau melakukan ujian penilaian awal untuk mengetahui tahap kesungguhan Nabi Musa dalam menuntut ilmu, seperti yang disebutkan dalam ayat 67 dan 68.
Keseriusan Nabi Musa ditunjukkan dengan tindakan nyata beliau yang mengikuti jejak gurunya kemanapun beliau pergi tanpa merasa lelah dan lapar. Tentu saja perjalanannya cukup panjang dan melelahkan, serta materi yang disampaikan benar-benar di luar pengetahuan Nabi Musa sebagai muridnya. Menanggapi jawaban Nabi Musa, Khidir kembali mengingatkan Nabi Musa agar tidak bersabar menghadapinya.
Penjelasan tentang beberapa masalah yang dihadapi oleh Nabi Musa as seperti berikut; Adapun dada yang hancur itu adalah kepunyaan orang-orang fakir yang bekerja di laut, sebagai tulang belakang pendapatan dan penghidupan keluarga mereka, dan aku bermaksud untuk menghancurkan dada itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap peti yang baik. yang belayar. Ketundukan orang mulia kepada orang di bawahnya, kerana kedudukan Nabi Musa lebih tinggi daripada Khidhir. Tiga peristiwa yang Nabi Musa alami bersama Khidhir adalah takdir Allah yang murni melalui syafaat hambaNya yang soleh.
Walaupun kita tahu bahawa Nabi Musa adalah nabi Ulul Azmi yang berbual dengan Tuhan dan. Lalu Nabi Musa berkata "Supaya kamu mengajarku ilmu yang benar." Ia menunjukkan keperibadiannya yang mulia dan sifat merendah diri untuk mengakui kebodohan dirinya di hadapan guru. Dan Nabi Musa menggambarkan betapa walaupun baginda adalah seorang nabi pilihan (ulul azmi) yang juga seorang pemimpin, namun baginda bersedia menempuh perjalanan untuk mencari ilmu.
Bahwa Nabi Musa (tentunya lebih alim dari kita) ditegur Allah karena merasa dirinya lebih unggul dari orang lain, apalagi kita. Terlihat pada kisah di atas, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur'an, surat al-Kahfi, betapa antusiasnya Nabi Musa dalam mencari ilmu. Antusiasme Nabi Musa dibuktikan dengan kesabarannya dalam mendapatkan domisili gurunya, meski untuk itu ia menempuh perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan.
Di hadapan sang guru, Nabi Musa rela merendahkan diri karena rasa hormat, karena ilmu mempunyai tempat yang sangat tinggi dalam Islam.
Karena dengan karakter dan nilai-nilai seperti itu, ilmu yang diperoleh tidak hanya mencerahkan kesadaran kognitif siswa dan peserta didik, tetapi juga mencerahkan kemampuan afektif dan psikomotoriknya. Bahwa ilmu yang dimiliki seorang guru bukan berasal dari kemampuan nalar dan nalarnya sendiri, bukan dari ego dan kehebatannya, melainkan berasal dari anugerah dan limpahan ilmu yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Dari sisi ini dialog Musa-Khidir menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan manusia sangatlah sedikit dan terbatas, oleh karena itu tidak pantas kita bersikap sombong dan angkuh terhadap ilmu yang dimiliki seseorang yang sangat sedikit dan terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya.
Abd al-Dâim, Ebu al-‘Abbâs Syiḥâb al-Dîn al-Ṣamad bin Yûsuf, el-Dâr al-Maṣûn fî ‘Ulum al-Kitâb al-Maknûn, (Dîmasyqa: Dâr al-Qalam, 2000). El-Esqelanî, Ehmed bin ‘Elî bin Ĥecer Feth el-Bârî Şerh Şahîḥ el-Buxârî, juz 1 (Beyrût: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988). El-Dimasyqî, Ebû el-Fida' Isma'îl bin Kethîr el-Qureysî, Tefsîr el-Qur'an el-.
Al-Maulâ, Muḥammad Aḥmad Jad, dkk, Qaṣaṣ al-Qur’ân (Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyah al-Kurâ, tt). Al-Qaṭṭân, Mannâʻ Khalîl, Mabâḥith fî 'Ulûm al-Qur'ân (Bairut: Maktabat al-Maʻârif, 2000). Al-Qazwînî, Abû ʻAbdillah Muḥammad bin Yazîd Sunan Ibnu Mâjah, bind 1, (Bairut: Maṭbaʻah Dâr Ihyâ' al-Kutub al-'Arabiyyah, tt).
Al-Kur'ani dhe Terjemahannya, (Medinah Munawwarah: Mujammaʻ al-Malik Fahd Li al-Ṭibâʻat al-Muṣḥaf Al-Syarîf, 1993). El-Suyûtî, El-Ḥâfidh Xhelal el-Dîn, Syarḥ Sunen el-Nasâî, vëll 3, (Bairut: el- Maktabah el-‘Ilmiyyah, tt). El-Uahidi, Ebû el-Hasan ‘Ali bin Ahmed, Asbâb Nuzul el-Kur’an (Bairut: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah, tt).
Kesuma, Dharma, Cepi Triatna en Johar Permana, karaktereducatiestudie van theorie en praktijk op scholen, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011). Umar, Muḥammad al-Râzî bin Ḍiyâ' al-Dîn, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî al-Musytaḥar bi al-Tafsîr al-Kabir Mafâtîḥ al-Ghayb (Bairut: Dâr al-Fikr, 1981).