• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban ahli waris yang menolak warisan terhadap hutang pewaris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Pertanggungjawaban ahli waris yang menolak warisan terhadap hutang pewaris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

59 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Ahli waris masih tetap dapat menolak warisan sekalipun pada saat meninggal, pewaris meninggalkan perjanjian yang mengikatkan diri ahli waris untuk membayar hutang-hutang dari si pewaris. Hal ini terjadi karena kedudukan ahli waris untuk menolak warisan merupakan hal yang diatur pada buku II KUHPerdata, sedangkan kewajiban yang ada pada perjanjian, diatur pada buku III KUHPerdata. Kedua buku ini baik buku II dan buku III memiliki sifat yang berbeda yaitu buku II yang bersifat dwingendrechts dan buku III yang bersifat aanvulenrechts.

Karena buku II KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan ahli waris bersifat dwingenrechts, dan buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perjanjian bersifat aanvulenrechts, maka dapat dikatakan bahwa buku II memiliki sifat yang lebih memaksa dan tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak. Maka dari itu, karena buku II sifatnya lebih kuat dibanding buku III, maka sekalipun ada perjanjian yang mengikat para pihak, perjanjian tersebut tidak akan meniadakan hak ahli waris untuk menolak warisan.

2. Kreditur dapat mengajukan gugatan wanprestasi kepada ahli waris yang menolak warisan atas dasar klausul dalam perjanjian yang berbunyi apabila debitur meniggal dunia, maka hutang-hutang debitur yang ada dalam perjanjian tersebut akan dibayarkan oleh ahli warisnya. Hal ini dapat dilakukan karena pada dasarnya apabila melihat syarat sahnya perjanjian, 4 buah syarat yang diperlukan untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian sudah terpenuhi semua. Akibatnya, karena syarat sahnya perjanjian sudah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur tentang asas pacta sunt servanda, maka perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, dan harus dijalankan. Kewajiban untuk menjalankan perjanjian ini tidak semata-mata berlaku bagi debitur dan kreditur saja, melainkan bagi ahli waris dalam debitur yang diikatkan pada perjanjian tersebut.

(2)

60

Maka dari itu, apabila ahli waris menolak warisan, kreditur tetap dapat memintakan pertanggungjawaban atas dasar perjanjian yang ada tersebut, apabila ahli waris tidak ingin melaksanakan perjanjian dengan alasan karena ahli waris telah menolak harta warisan, maka kreditur dapat menggugat ahli waris atas dasar wanprestasi.

5.2 Saran

Hukum Waris tidak semata-mata mengatur mengenai bagaimana cara seseorang dapat memperoleh hak kebendaan yang diatur pada buku II. Di dalam Hukum Waris terdapat pula mengenai hal-hal mengenai suatu perikatan misalnya seperti pewarisan dengan sistem testamenter / wasiat yang lebih condong kepada buku III. Agar tidak terjadi pertentangan antara buku II dan buku III yang dapat menyebabkan adanya perbedaan pendapat, maka ada baiknya Indonesia turut mengikuti perkembangan hukum seperti pada peraturan di negara Belanda yang memperbaharui KUHPerdata yang berlaku di sana. Pada KUHPerdata baru yang diberlaku di Belanda, di dalamnya hukum waris terdapat pada bab tersendiri karena memang pada kenyataannya hukum waris merupakan campuran dari buku II tentang kebendaan dan buku III tentang perikatan.

(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur

Hartanto Andy, Hukum Waris Kedudukan dan Hak Waris Anak Luar Kawin menurut “Burgerlijk Wetboek” Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, LaksBang Justitia, Surabaya, 2015.

Hadikusuma, H. Hilman, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995.

H.S Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, 2006.

Khairandy Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, FH UII Press, Yogyakarta, 2013.

Komari, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia: Antara Adat dan Syariat, Asy- Syari’ah Vol.17 No. 2, Agustus 2015

Meliala, Djaja S., Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Edisi Revisi Keempat, Bandung, 2014.

S. Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistim Hukum, CV Pionir Jaya, Bandung, 1987.

Satrio J., Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993 Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1986

Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1984.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 1984.

Suparman Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, PT Refika Aditama, Bandung, 2014.

(4)

Pitlo A, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, PT Intermasa, Jakarta, 1979.

B. Perundang-undangan

Subekti, R dan R. Tjirtosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, 2014.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

C. Jurnal dan Kamus

Aisah Nur“Tinjauan Hukum Tentang Kedudukan Janda Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata”. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Edisi 4., Volume 2., Tahun 2014.

Hasanah Uswatun, “Tinjauan Yuridis Ahli Waris Ab Intestato Menurut Hukum Perdata”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Universitas Taduloko, Volume 4, Nomor 5, Tahun 2016.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan hak masing- masing ahli waris dalam pembagian warisan, mendeskripsikan pertimbangan hakim dalam

Kesimpulan dari hasil pembahasan mengenai kedudukan dan pembagian waris bagi ahli waris dzawil arham, dalam hukum waris Islam dzawil arham adalah kerabat pewaris

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas mengenai perlindungan hukum bagi ahli waris atas gugatan yang dilakukan oleh pembeli sebagai akibat wanprestasi

kedudukan ahli waris pengganti menurut hukum Islam dan hukum perdata. Mengetahui, memahami dan menganalisa mengenai penyelesaian

”KEDUDUKAN AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA DENGAN PEWARIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM. ISLAM” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali

Perbedaan ahli waris pengganti menurut Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata salah satunya adalah hak yang diperoleh ahli waris pengganti itu belum

tersebut bersifat normatif, adalah keharusan ahli waris atau orang lain yang ikut menyelesaikan pembagian warisan untuk mangikuti norma yang telah ditetapkan

Dalam hal untuk menghitung legitieme portie harus diperhatikan para ahli waris yang menjadi ahli waris karena kematian tetapi bukan legitimaris (ahli waris menurut undang-undang),