• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM JATUHNYA BENDA ANTARIKSA DI INDONESIA

N/A
N/A
Farhan Syarif

Academic year: 2024

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM JATUHNYA BENDA ANTARIKSA DI INDONESIA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM JATUHNYA BENDA ANTARIKSA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : ERRA FAZIRA

19062000164

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN

2023

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Korporasi tidak terlepas dari perkembangan modernisasi dalam rangka untuk mempermudah memenuhi kebutuhan manusia dalam bermasyarakat. Pada awalnya orang lebih mengenal badan hukum dibandingkan korporasi. Korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum.

Pada masa kini perkembangan korporasi nampak semakin pesat baik dari segi kualitas, kuantitas maupun bidang usaha yang dijalaninya.

Korporasi bergerak diberbagai bidang seperti bidang perbankan, bidang transportasi, komunikasi, pertanian, kehutanan, kelautan, otomotif, elektronik, bidang hiburan dan lain sebagainya. Hampir tidak ada bidang kehidupan kita yang terlepas dari jaringan korporasi. Adanya korporasi memang banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan negara, seperti adanya kenaikan pemasukan kas negara dari pajak dan devisa, membuka lapangan pekerjaan, peningkatan alih teknologi dan lain sebagainya. Namun di samping ada keuntungan atau dampak positif seperti tersebut di atas, adanya korporasi juga dapat mendatangkan dampak negatif dan melakukan kejahatan dalam kegiatannya mencari keuntungan.

Kejahatan korporasi sering juga disebut “kejahatan bayangan”

karena masyarakat luas seringkali tidak mengetahui atau tidak sadar bahwa dirinya merupakan korban dari tindak pidana korporasi. Dalam tindak pidana

(3)

korporasi juga telah terjadi penyebaran tanggung jawab, sehingga ketika tindak pidana korporasi disadari, pihak yang berwenang menjadi bingung untuk menentukan pihak mana yang seharusnya bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut. Berdasarkan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, korporasi dinilai sudah layak untuk ditetapkan sebagai subjek hukum pidana dan ditentukan takaran pemidanaannya secara normatif.

Penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat dan diatur di luar KUHP.

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana pada dasarnya dapat digolongkan dalam dua kategori pengaturan, yaitu yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, akan tetapi pertanggungjawaban pidananya dibebankan terhadap anggota atau pengurus korporasi. Serta yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara tegas dapat dipertanggungjawabkan pidana secara langsung.1

Tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut.

Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.2

Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak hanya menyangkut hal hal yang bersifat nasional saja, tetapi juga termasuk menyangkut hal hal yang bersifat internasional seperti hal hal yang berkaitan dengan keantariksaan, seperti contoh jatuhnya benda antariksa yang pernah terjadi di Indonesia, dari

1Budi Suhariyanto, “Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi”, dalam Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 16 No.

2, Juni 2016, hal.205.

2Ibid.,

(4)

jatuhnya benda langit tersebut siapakah yang dapat bertanggungjawab atas insiden jatuhnya benda langit tersebut, apakah negara yang bersangkutan, atau perusahaan (korporasi) yang bersangkutan yang dapat bertanggungjawab.

Langit yang luasnya tak terjangkau oleh perhitungan akal manusia itu ternyata bukanlah ruang kosong, tetapi berisi bermacam macam benda, baik yang besar seperti bintang-bintang, planet-planet, satelit-satelit, meteor dan lain sebagainya. Di sana juga terdapat benda-benda yang kecil dan rumit, seperti atom-atom, mulekulmulekul, partikel-partikel, proton, elektron, positron dan sebagainya. Benda-benda itupun tidak hanya diam dan tenang, tetapi semuanya beredar pada orbit masing-masing secara seimbang dan serasi sesuai dengan qadar Allah sampai pada waktu yang ditentukan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an yang berbunyi :

َۙناَزْيِمْلا َعَض َو َو اَهَعَفَر َءۤاَمّسلا َو

”Dan langit telah ditinggikan-Nya dan dia ciptakan keseimbangan.”(QS. Ar- Rahman : 7).

Perkembangan potensi ruang angkasa dimulai oleh negara-negara adikuasa. Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah negara-negara yang terus- menerus mengeksplorasi ruang angkasa dan menciptakan satelit.3 Satelit pertama kali diluncurkan oleh Uni Soviet. Satelit tersebut dinamakan sputnik, Melalui keberhasilannya dalam meluncurkan satelit, Rusia terus mempelajari tata surya dan bumi. Hal tersebut membuat negara-negara lainnya berusaha

3 M.Lach dalam Vivy Julianty, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Sampah Antariksa yang Disebabkan

oleh Ekplorasi dan Ekploitasi Ruang Angkasa Ditinjau dari Liability Convention 1972, Sumatera Utara Medan, 2020, hal 2

(5)

untuk memperbaiki dan

segera meluncurkan satelit-satelit yang dimiliki4.

Hakikatnya peluncuran benda angkasa merupakan bentuk kemajuan teknologi dalam memanfaatkan ruang angkasa, yang memberikan dampak positif bagi kualitas kehidupan manusia. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari peningkatan kualitas dan taraf hidup manusia, adanya berbagai penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan pencarian sumber- sumber alam baru dengan menggunakan berbagai jenis benda-benda angkasa.5

Berkembangnya teknologi berpengaruh pada intensitas aktivitas negara di luar angkasa6. Dampak positif yang dapat dirasakan ialah terbukanya kesempatan bagi negara- negara yang ingin memajukan kemampuan negaranya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa. Misalnya, dengan berkembangnya teknologi dan ditemukannya produk ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa, yaitu remote sensing, atau penginderaan jauh yang berfungsi untuk pengelolaan sumber alam, untuk pembinaan lingkungan hidup, untuk peningkatan produksi pangan seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta perencanaan pemukiman dan tata guna tanah, pemetaan dan lain-lain Namun, hal tersebut juga menyebutkan bahwa aktivitas pemanfaat ruang angkasa guna peningkatan kualitas hidup manusia juga dapat menimbulkan berbagai kerugian baik didarat,ruang udara, dan di ruang angkasa itu sendiri.

Aktivitas yang diadakan pada luar angkasa menimbulkan akibat yang

4 Ibid.,

5Yusvitasari Devi, “STATE RESPONSIBILITY DARI ADANYA SPACE DEBRIS LUAR ANGKASA”, jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 2, Nomor 1 April 2020.

6 Calvin Renaldi, Museum Luar Angkasa, Jurnal e-Dimensi Arsitektur, Vol. 5 No. 1, 2017, hlm. 17.

(6)

harus dialami7. Salah satu konsekuensi dari aktivitas yang terjadi pada ruang angkasa adalah makin banyaknya satelit yang dioperasikan di atas wilayah udara suatu negara. Satelit-satelit ini memiliki masa hidup, namun tetap berada dalam wilayah udara yang disebut dengan sampah ruang angkasa, baik dari kegiatan itu sendiri juga objek angkasa yang sebelumnya telah dipakai tetapi umurnya telah habis sehingga tetap dibiarkan mengudara begitu saja pada ruang angkasa.8

Gambar 1.1. Sampah ruang angkasa (Sumber: nasa.gov)

Eksplorasi manusia ke luar angkasa menyebabkan ruang angkasa menjadi penuh dengan sampah antariksa (Space Derbis). Indonesia sendiri merupakan negara yang pernah mengalami kejatuhan sampah antariksa ini di beberapa daerah. Salah satu dari sekian banyak sampah ruang angkasa tersebut, terdapat beberapa yang jatuh ke wilayah Indonesia, antara lain kasus terakhir yang terjadi pada hari Selasa 18 Juli 2017, di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.

7 8Selvie Ruthyarodh, Pengaturan Komersialisasi Ruang Angkasa dalam Hukum Internasional (Skripsi), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001, hlm. 1-2.

8 Ibid.,

(7)

Gambar 1.2. Satelit yang jatuh di Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumber ; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)

Hal ini kemudian membuat Indonesia terancam akan peristiwa- peristiwa serupa yang mungkin akan terjadi. Jatuhnya objek luar angkasa seperti tersebut di atas menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab. Oleh sebab itu, diperlukan upaya dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Space Debris akibat sampah luar angkasa di wilayah udara Indonesia.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) akan memulai pembangunan pusat peluncuran roket atau bandar antariksa di Biak, Papua, sebagai langkah awal membangun Bandar Antariksa Internasional. Rencana tersebut akan dilaksanakan tahunini karena telah masuk kedalam rancangan strategi LAPAN, juga merupakan amanat Undang Undang No. 21 tahun 2013 tentang keantariksaan.

Mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara khatulistiwa, dimana negara khatulistiwaadalah negara yang memiliki jalur GSO (Geostationary orbit).

Hal ini dapat berdampak pada Indonesia sebagai negara kolong, dimana satelit tersebut mengorbit tepat di atas wilayah negara Indonesia.

Perlunya pengaturan yang mengatur mengenai benda antariksa yang jatuh ke wilayah bumi baik hukum nasional khusus nya di Indonesia maupun hukum Internasional sebagai bentuk kepastian hukum kepada masyarakat Indonesia yang

(8)

mengalami kerugian secara langsung sebagai akibat jatuhnya Benda Antariksa di Indonesia. Dalam hal ini bahwa keberadaan hukum harus selalu bisa beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi, sehingga dengan demikian proses pembangunan masyarakat secara berkesinambungan yang memang menjadi tujuan utama diberlakukannya hukum di negeri ini akan dapat terlaksana dengan baik serta bersifat dinamis mengikuti berbagai perubahan yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menulis skripsi dengan judul : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Jatuhnya Benda Antariksa di Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam terhadap jatuhnya benda antariksa di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban negara pemilik sampah antariksa yang jatuh di Indonesia berdasarkan Liability Convention 1972?

3. Bagaimanakah implementasi dan tanggungjawab negara peluncur benda antariksa dalam hukum nasional Indoneisa?

1.3. Tujuan Penelitian

Maka sesuai dengan rumusan masalah penulis, tujuan dari penelitian ini diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana

(9)

korporasi terhadap jatuhnya benda antariksa di Indonesia.

2. Untuk mengetahui sepertiapa bentuk pertanggungjawaban negara pemilik sampah antariksa yang jatuh di Indonesia berdasarkan Liability Convention 1972.

3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi dan tanggungjawab negara peluncur benda antariksa dalam hukum nasiona Indoneisa.

4.1. Manfaat Penelitian

Faedah Penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:

4.1.1. Secara Teoritis

Diharapkan penelitian ini mampu memberikan sumbangan akademis baik kepada ilmu pengetahuan pada umumnya maupun kepada ilmu hukum pada khususnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum pidana.

4.1.2. Secara Praktis

Penelitian ini berisi mengenai penjelasan manfaat yang berguna untuk memecahkan masalah yang ada dalam penelitian tersebut secara praktis dalam beragam keperluan masyarakat kehidupan sehari-hari.

5.1. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil karya asli peneliti sendiribukan plagiat dari penelitian-penelitain terdahulu. Berdasarkan berbagai literature seperti buku-buku, jurnal, peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini layak untuk dikaji karena penulis menyakinin bahwa objek dan subjek

(10)

penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnnya. Sebagai perbandingan beberapa hasil peneliti sebelumnya yang judulnya hampir mirip dengan judul penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. HAFIZ HIDAYAT LUBIS. NPM 1706200069 Mahasiswa fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ( UMSU) tahun 2017, yang berjudul, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUANGAN LIMBAH TANPA IZIN (Analisis Putusan Nomor 1291/Pid.B/LH/2019/PN.Bdg) penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pembuangan limbah tanpa izin berdasarkan Putusan No. 1291/Pid.B/LH/2019/PN.Bdg, serta analisis Putusan No. 1291/Pid.B/LH/2019/PN.Bdg tentang tindak pidana pembuangan limbah tanpa izin yang dilakukan oleh korporasi.

(11)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pertanggungjawaban Pidana

2.1.1. Defenisi Pertanggung Jawaban Pidana

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pengertian tanggungjawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Hak fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.

Pidana secara etimologi berasal dari kata straf (Belanda) yang sering di definisikan dalam istilah “Hukuman” pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Larangan dalam hukum pidana secara khusus disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).

Dalam bahasa inggris pertanggungjawaban pidana disebut sebagai responsibility, atau criminal liability. Konsep pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata melaikan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, hal ini dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapi dengan memenuhi keadilan9. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak

9 Hanafi, Mahrus, Sisitem Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan pertama, Jakarta, Rajawali Pers, 2015, hlm-16

(12)

pidana yang telah terjadi.

2.2.2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah bentuk untuk menenutukan dipidana atau tidak atas tindak pidana yang telah terjadi, dalam hal ini bahwa seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana yang memiliki unsur yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa seseorang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana menurut Sudarto, yaitu10 :

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;

Unsur perbuatan merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggungjawaban pidana, karena seseornag tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan dimana perbuatan yang dilakukan merupan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang hal itu sesuai dengan asas legalitas yang kita anut.

2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;

Rumusan pasal-pasal yang ada didalam KUHP terutama buku ke dua KUHP, tampak dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Berikut ini akan dikutipkan rumusan pasal KUHP tersebut.

Dengan sengaja Misalnya, Pasal 338 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam pidana karena pembunuhan”.

Karena kealpaan Misalnya, Pasal 359 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana.”

3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab;

10 Ibid, Hal.22.

(13)

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk11 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampumenentukan kehendaknya12 Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggunjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak.

Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkn kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.13

4. Tidak ada alasan pemaaf.

Keadaan tertentu seseorang pelaku tindak pidana, tidak dapat melakukan tindakan lain selain melakukan perbuatan tindak pidana, meskipun hal itu tidak di inginkan. Sehingga dengan perbuatan tersebut pelaku nya harus menghadi jalur hukum. Hal itu tidak dihindari oleh pelaku meskipun hal itu tidak diinginkan oleh dirinya sendiri. Hal itu dilakukan oleh seseorang karena faktor-faktor dari luar dirinya.

Apabila unsur-unsur tersebut diatas terpenuhi maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung- jawaban pidana, sehingga bisa dipidana. Sekalipun kesalahan telah diterima

11 Ibid, Hal.74 12 Ibid, Hal.171.

13 Ibid.

(14)

sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban tindak pidana, tetapi bagaimana makna kesalahan masih terjadi perdebatan diantara para ahli.

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenaran atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindakan yang akibat dari tindakan tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan hukum pidana diluar KUHP yang telah memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan.

Apabila seseorang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana dengan cara berbuat atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh atau tindak pidana dengan tidak melakukan atau berbuat sesuatu, maka seseorang itu telah melanggar kewajibannya berdasarkan ketentuan pidana dan dianggap telah melakukan kesalahan dalam hukum pidana. Oleh karena itu, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, dan dapat dipidana.

Asas legalitas hukum pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana apabila perbuatan tersebut sesuai dengan rumusan dalam hukum pidana.

(15)

2.2. Korporasi dalam Hukum Pidana

Secara etimologi korporasi (corporatie, Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin.

Seperti halnya dengan kata kata lain yang berakhir dengan “tio”, “corporatio”

sebagai kata benda (substantivum) berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu.

“corporare” sendiri berasal dari kata “corpus”(Indonesia=badan) yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, “corporatio” itu berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam14.

Moh. Soleh Djindang memberikan defenisi Korporasi sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersamasama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.15

Rudi Prasetyo memberikan defenisi korporasi sebagai sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.16

Secara istilah korporasi diartikan sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama sama sebagai subjek hukum

14 Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:

Kencana. Hal.23 15 Ibid, Hal.25.

16 Ibid, Hal.210

(16)

tersendiri atau suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota serta memiliki hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing masing. Satjipto Rahardjo mendefinisikan korporasi sebagai suatu badan hasl ciptaan hukum. Badan hukum yang diciptakannya itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan hukum itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, kecuali penciptaannya kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.

Korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur atau karyawan juga merupakan entitias hukum yang berbeda dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggungjawaban pengganti. Pemikiran ini berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang – orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasilah yang bisa melakukan kejahatan.

Intinya, suatu korporasi dapat dianggap melakukan tindak pidana ketika pengurus korporasi atau direksi bertindak untuk dan atas nama korporasi.

Selain itu, tindakan bawahan atau tenaga – tenaga pelaksana biasa, yang dalam lingkup kewenangannya bertindak atas nama korporasi maka korporasi adaah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban pidananya. Dalam hal ini berhubungan dengan teori pertanggungjawaban pidana korporasi, misalnya teori identifikasi dalam teori agregasi.

(17)

Bentuk bentuk tindak pidana atau kejahatan korporasi juga dapat ditemukan dalam berbagai konvensi internasional yang mengatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Dalam berbagai konvensi internasional yang mengatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dimintakan terhadap suatu korporasi apabila korporasi tersebut melakukan tindak pidana atau kejahatan sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut.

2.3. Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana

Pada mulanya hukum pidana di Indonesia hanya mengenal orang sebagai subjek hukum pidana. KUHP telah mengatur yang hanya mengenal manusia sebagai pelaku tindak pidana. “Seiring dengan perkembangan, undang- undang pidana diluar KUHP (Undang-Undang Pidana Khusus) telah memperluas subjek hukum pidana, yaitu tidak hanya terbatas kepada manusia saja akan tetapi juga kepada korporasi”17.

Pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana dan dapat didasarkan pada beberapa hal berikut:

a. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan social;

b. Atas dasar kekeluargaan sebagai mana tertuang dalam Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945;

c. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan)

17 Sutan Remy Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan Tindak Pidana Korporasi dan Seluk- beluknya, Cet.1. (Jakarta: Kencana, 2017). Hal.20.

(18)

d. Untuk perlindungan konsumen e. Untuk kemajuan teknologi

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi juga dapat di kenal dengan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi itu sendiri merupakan salah satu bentuk White Collar Crime. Dalam arti cukup luas kejahatan korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi oleh karena kombinasi diantara keduanya sering terjadi. Istilah white collar crime pertama kali di temukan oleh seorang kriminologi yang bernama Edwin H.S pada tahun 1939 yang di tuliskan dalam bukunya yang berjudul Principle of Criminology. Konsep white collar crime ini di kembangkan untuk menunjukan sekumpulan tindak pidana yang melibatkan tindakan moneter dan ekonomi dalam arti luas yang pada masa-masa sebelum Sutherland tidak lazim terkait dengan istilah kriminalitas.18

Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang kompleks baik itu dalam perencanaan maupun penyelenggaraannya, oleh karena itu dalam hal menghadapi masalah mengenai kejahatan korporasi tidak cukup hanya menggunakan hukum pidana saja akan tetapi diperlukan suatu pengkajian hukum yang lebih mendalam berkaitan dengan masalah kejahatan korporasi. Nilai-nilai, norma-norma, sikap, motif rasionalisasi dan kepercayaan yang ada dalam jaringan di antara penjahat, membentuk kultur criminal yang dinamakan subkultur criminal atau kebudayaan khusus criminal.19

Awal dibentuknya hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia belum mengatur tentang Korporasi sebagai subjek hukum pidana karena KUHP sebagai hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia hanya menentukan bahwa subjek hukum pidana hanya orang pribadi (alami). Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan KUHP yang pada saat itu banyak dipengaruhi doktrin atau pandangan

18 Hanafi, Mahrus, Op.cit, Hal.20.

19 Ibid, Hal. 25

(19)

yang berpegang teguh pada adagium bahwa badan hukum tidak dapat dipidana (Univesitas Delinquere Nonprotest) dengan anggapan bahwa:20

a. Korporasi tidak mempunyai mens rea (keinginan berbuat jahat).

b. Korporasi bukan seorang pribadi meskipun korporasi dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang pribadi.

c. Korporasi tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan aktual (no soul to be damned and no body kicked)

d. Korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu korporasi, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan di luar anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan, sehingga dalam hal seperti itu maka yang bertanggungjawab adalah direksinya secara pribadi atau secara bersama-sama dengan direksi lain, tetapi bukan korporasi yang harus bertanggungjawab (doktrin ultra vires).21

Di Indonesia Korporasi sebagai subjek hukum pidana mulai dikenal sejak tahun 1951 yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang yang kemudian dikenal lebih luas dalam UU No. 7 Tahun 1955 tentang Tidak Pidana Ekonomi. Menurut Sutan Remy Syahdeini bahwa Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun1951 tentang Penimbunan Barang-Barang merupakan Undang-Undang positif pertama yang secara resmi berpendirian bahwa suatu korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana.22

Korporasi diakui sebagai subjek hukum pidana berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara

20 Rufinus Hotmaulana Hutauruk; . Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif : Suatu Terobosan Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2013. Hal. 21.

21 Ibid, Hal.22 22 Ibid,.

(20)

Tindak Pidana oleh Korporasi pasal 4 ayat (2):23

“Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain dengan parameter sebagai berikut:”

1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;

2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

2.4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pertanggungjawaban korporasi sama seperti konsep pertanggungjawaban pidana secara umum. Dalam hukum pidana dikenal dengan konsep liability atau

“pertanggungjawaban” dan merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea.

Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea)24. Mengenai pertanggungjawaban korporasi, Prof. Sutan Remy Sjahdeini menegaskan bahwa pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 4 (empat)

23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi pasal 4 ayat (2)

24 Yudi Krismen, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum, Jl. Kartama, Marpoyan Damai, Pekanbaru, Volume 4 N0. 1 Tahun 2013, hlm 15

(21)

sistem yaitu ;25

1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;

2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggung jawaban pidana;

3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggung-jawaban pidana;

4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggung-jawaban pidana.

Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran- ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan doctrine of vicarious liability.26

2.5. Benda Antariksa

Berdasarkan Outer Space Treaty Including Moon and other Celestial Bodies 1967 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2013 tentang keantariksaan menjelaskan bahwa benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan Keantariksaan.

NASA mendefinisikan space debris atau sampah antariksa sebagai

“segala jenis benda luar angkasa yang dibuat oleh manusia, tidak lagi digunakan secara aktif, dan berada di orbit Bumi”27. Contohnya termasuk pesawat ruang angkasa terlantar, tahapan kendaraan peluncuran ruang angkasa yang ditinggalkan, puing-puing terkait misi, dan fragmen yang dibuat sebagai hasil ledakan atau 25 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm 105-107

26 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, , Asas-Asas Hukum Pidana Di. Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Storia Grafika. 2012. Hal.249

27 Habimana Sylvestrea & V R Ramakrishna Paramab, Space debris: Reasons, types, impacts and management, indian Journal of Radio & Space Physics, Vol 46, 2017, hlm 20

(22)

tabrakan28.

Inter-Agency Space Debris Coordination Committee (IADC) menjelaskan sampah antariksa adalah semua benda buatan manusia, termasuk unsur dan bagian yang melekat padanya, yang berada di orbit bumi atau memasuki atmosfer, yang sudah tidak aktif lagi. Defenisi space debris menurut IADC tersebut kemudian menjadi rujukan dalam pembahasan isu space debris pada sidang sub komite ilmiah dan teknik United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS)29.

The United Nations Space Debris Reduction Guidelines menyatakan bahwa sumber utama sampah antariksa di orbit Bumi meliputi:

a. Pelepasan serpihan ke orbit bumi disengaja dan tidak disengaja. Hal ini kemudian dapat mengakibatkan pembentukan space debris dalam jangka waktu yang lama;

b. Space debris sengaja dilepaskan selama operasi pesawat ruang angkasa saat pesawat ruang angkasa itu meluncur ke orbit.

Menurut data, Space debris terdiri dari satelit non-fungsional (23%), orbit stage wahana peluncur (18%) sampah fungsional seperti baut, belt (14%), dan sampah yang berasal dari akibat tabrakan, ledakan wahana antariksa (45%). Semua space debris menurut data bergerak dengan kecepatan 17.500 mph. Space debris yang memiliki ukuran bola softball memiliki kecepetan 17.500 mph berakibat dapat merusak satelit maupun wahana antariksa.30

Menurut U.S. Space Surveillance Network, yakni sistem pelacakan objek luar angkasa terkemuka di dunia melacak lebih dari 23.000 objek dengan diameter 10 cm atau lebih besar di orbit mengelilingi bumi. Dari jumlah tersebut, hanya 28 https://orbitaldebris.jsc.nasa.gov/ diakses 5 Desember 2023. Pukul 1:59 WIB

29 Agus Pramono, Dasar-Dasar Hukum Uudara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal. 54.

30 Riza Amelia, Tanggung jawab negara mengenai space debris berdasarkan hukum internasional, 2020 hal 3

(23)

sekitar 1.100 (5%) yang merupakan satelit aktif. Sisanya adalah puing orbital atau space debris. Selain puing-puing yang dilacak oleh U.S. Space Surveillance Network, ada ratusan ribu puing kurang dari 10 cm dan dianggap terlalu kecil untuk dilacak atau dikatalogkan, tetapi masih mampu merusak satelit dan Stasiun ruang angkasa internasional.31

Sebelum tahun 2007, sumber utama puing-puing luar angkasa adalah ledakan bagian atas kendaraan 7 peluncur yang tersisa di orbit dengan sumber energi yang tidak terpakai. Ledakan jenis ini adalah lazim pada 1970-an dan 1980- an tetapi sejak itu melambat karena peningkatan teknik mitigasi dipraktikkan di seluruh dunia. Sejak 2007, terdapat peristiwa peristiwa destruktif 2007 yakni pemerintah China melancarkan sebuah rudal pencegat dalam uji senjata anti-satelit yang menghancurkan mereka yang dinonaktifkan. Fenomena ini yang kemudian menciptakan space debris orbital paling parah dalam sejarah penerbangan luar angkasa, yakni menghasilkan lebih dari 3.000 potongan puing berukuran lebih dari 10 cm dan tambahan 150.000 buah lebih besar dari 1 cm. Mayoritas partikel puing terlempar ke dalam orbit berdurasi panjang, dan sisa-sisa peristiwa ini kemungkinan besar akan tetap berada di orbit setidaknya selama satu abad dan puing-puing dari tes ASAT China telah merusak enam satelit kecil Rusia pada tahun 2013.32

BAB III

31 https://www.nasa.gov/smallsat-institute/sst-soa/identification-and-tracking-systems/ diakses 5 Desember 2023.

32 ASM-135 ASAT adalah sebuah peluru kendali / rudal anti-satelit multistage udara diluncurkan yang dikembangkan oleh divisi Ling-Temco-Vought's LTV Aerospace. ASM-135 dilakukan secara eksklusif oleh pesawat tempur F-15 Eagle Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF)

(24)

METODE PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian mengenai pelaksanaan penelitian. Pengertian metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya. Sedangkan pengertian penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

2. Jenis dan pendekatan penelitian

Metode atau metodelogi adalah logika dari penelitian ilmiah, studi terhadapprosedur dan teknik penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif, Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan.

Dinamakan penelitian hukum doktriner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada perpustakaan karena akan membutuhkan data- data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.

Penelitian hukum pada dasarnya juga merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didaarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan

(25)

pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebutuntuk kemudian mengusahakan suatupemecahan atas permasalahan – permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan. 33

3. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha memelajari masalah dalam masyarakat, tata cara yangberlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, pengaruh dari suatu fenomena;

pengukuran yang cermat tentang fenomena dalam masyarakat. Peneliti mengembangkan konsep, menghimpun fakta, tapi tidak menguji hipotesis,yang berkaitan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana lingkungan hidup terhadap jatuhnya benda antariksa di Indonesia.

4. Sumber data

Data Sekunder yaitu adalah data pustaka yang mencakup dokumen- dokumen atau bahan-bahan hukum yang terdiri dari buku, jurnal, artikel, dan tulisan-tulisan yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang diteliti.

5. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data merupakan suatu proses dimana peneliti mencari data dan informasi yang dibutuhkan, guna menunjang penelitian yang akan dikerjakan. Kegiatan pengumpulan data ini

33Sunggono Bambang. 2016. Metode penelitian hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 38.

(26)

penting sekali karena bertujuan mencari data dari berbagai sumber yang dianggap berkompeten untuk menunjang hasil penelitian yang dikehendaki dan menghasilkan data yang valid dan akurat serta dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian dapat dilakukan melalui cara : Studi kepustakaan (library research), yaitu Studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari internet, jurnal dan ensiklopedia guna menghimpun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian.

1. Offline, yaitu menghimpun data kepustakaan (library research) secara langsung dengan mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan (baik dalam maupun luar Kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) guna menghimpun data sekunder yang dibutuhkan pada penelitian.

2. Online, yaitu studi kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara searching melalui media internet guna menghimpun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian dimaksud.

6. Analisis Data

Analisis data adalah kegiatan memfokuskan, mengabstraksikan, mengorganisasikan data secara sitematis dan rasional untuk memberikan bahan jawaban terhadap permasalahan. Analisis data menguraikan tentang bagaimana memanfaatkan data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan permasalahan penelitian.

7. Tahapan Penelitian

(27)

Penelitian ini dilakukan dengan cara bertahap guna mendapatkan kelencara dalam penelitian dan hasil yang memuaskan dan relevan serta hasil penelitian yang baik. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :

1. Tahap persiapan, merupakan langkah awal dari suatu penelitian.

Dalam tahap ini penulis melakukan beberapa kegiatan seperti persiapan pengajual judul kepada kepala bagian hukum pidana, menetapkan waktu penelitian berdasarkan materi yang akan diteliti serta mencarireferensi seperti buku – buku, jurnal, dan juga undang – undang.

2. Tahap pengumpulan data, tahap ini penulis melakukan pengumpulan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut.

3. Tahap penulisan laporan, pada tahap ini penulis memulai membuat proposal, dan pada tahap ini dimana data hasil penelitian berisi

keseluruhan proses dan pengalaman penelitian didalam bentuk laporan penelitian.

(28)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Amirudin A. DajaanImami, dkk. 2019. AsasSubsidiaritas:

KedudukandanImplementasidalam PenegakanHukumLingkungan. Bandung:

PP-PSL FH UNPAD danBestari, halaman 32.

H. Joni, 2016, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, hlm. 28

Hariman Satria, 2020, Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, hlm. 73

Ine Ventyrina danSitiKotijah. 2020. Penghantar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, hlm.1

Iriana Bambang. 1991. Hukum udara dan Hukum ruang angkasa. Jakarta: SINAR GRAFIKA hlm. 7

Mahrus Ali, 2015, Asas asas hukum pidana korporasi, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 1-3

Kristian, 2016, Kejahatan korporasi di era modern & sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, Bandung: PT.Refika, hlm. 101

Ruslan Renggong, 2018,Hukum Pidana Lingkungan, Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, hlm. 10-12

Sunggono Bambang. 2016. Metode penelitian hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 38.

Suparto Wijoyo dan A’anEfendi. 2017.Hukum Lingkungan Internasional.

Jakarta: Sinar Grafika, hlm.1

Tofik Yanuar Chandra, 2022,HukumPidana, Cetakanpertama, PT. Sangir multi usaha, hlm. 37

B. Jurnal

Amin Idi, 2018, “pertanggungjawaba korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup”, jurnal IUS,Vol. VI No.2, hlm. 261.

(29)

Budi Suhariyanto, 2016, “Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi” , dalam jurnal penelitian hukumDE JURE, ISSN 1410-5632, Vol. 16 No. 2, hlm. 205.

Yusvitasari Devi, 2020, “STATE RESPONSIBILITY DARI ADANYA SPACE DEBRIS LUAR ANGKASA”, jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume 2, No. 1.

C. Internet

Arif Budianti, “Pengertian benda langit,lengkap dengan contohnya”

https://lifestyle.kontan.co.id/news/pengertian-benda-langit-lengkap- dengan-contohnya bagian-pertama?page=all , diakses pada 14 Juli 2023, pukul 20:30 WIB.

Humas BRIN, “Intip benda langit di

Antariksa”https://brin.go.id/reviews/110267/yuk-intip benda-langit-di- antariksa , diakses pada Jum’at 25 Agustus 2023 pukul 15.23 WIB.

Wikipedia, “Tindak Pidana”https://id.wikipedia.org/wiki/Tindak_pidana , diakses pada Jum’at 25 Agustus 2023 pukul 16.35 WIB.

D. Peraturan perundang – undangan

BAB IX UUPLH yang terdiri dari pasal 41 sampai pasal 48

Keputusan Presiden Republin Indonesia Nomor 20 Tahun 1996 Tentang Pengesahan tentang tanggungjawab Internasional terhadap kerugian yang disebabkan oleh benda – benda Antariksa.

Pasal 1 ayat (1) KUHP

Gambar

Gambar 1.1. Sampah ruang angkasa (Sumber: nasa.gov)
Gambar 1.2. Satelit yang jatuh di Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumber ; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)

Referensi

Dokumen terkait

“hubungan lain”. c) Pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan oleh : korporasi, pengurus

Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai: (1) ketentuan mengenai kapan suatu tindak

DIAJUKAN OLEH PEMBUAT YANG BERTINDAK UNTUK DAN/ATAU ATAS NAMA KORPORASI, DAPAT DIAJUKAN OLEH KORPORASI SEPANJANG ALASAN TERSEBUT LANGSUNG BERHUBUNGAN DENGAN PERBUATAN YANG

Jika dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sudah mengatur tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana namun yang dapat dimintai pertanggungjawaban

Menurut pendekatan ini, suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan apabila pada perbuatan pelaku

Ibid, hal.. 1) Untuk menentukan pertanggungjawaban korporasi dalam hukuk pidana, maka persyaratan pada umumnya menyangkut segi perbuatan dan segi orang (sebagai pelaku atau

Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai: (1) ketentuan mengenai kapan suatu tindak