• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP JATUHNYA BENDA ANTARIKSA DI INDONESIA

N/A
N/A
Farhan Syarif

Academic year: 2024

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP JATUHNYA BENDA ANTARIKSA DI INDONESIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP JATUHNYA BENDA ANTARIKSA DIINDONESIA

Erra Fazira1, Muhammad Teguh Syuhada Lubis S.H.,M.H.2 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Jl. Kapten Muchtar Basri No.3 Telp. 061(6624576) Medan, Sumatera Utara

Hp. 0821-6787-2173, Email: errafazira09@gmail.com Abstrak

Eksplorasi ruang angkasa dimulai oleh Rusia dengan meluncurkan satelit untuk pertama kalinya yang dinamakan dengan Sputnik 1. Hal ini memicu Negara-negara untuk melakukan eksplorasi ruang angkasa. Meningkatnya aktivitas eksplorasi ruang antariksa menimbulkan akibat yang harus dialami, yaitu meningkatnya sampah antariksa. Indonesia sendiri merupakan negara yang pernah mengalami kejatuhan sampah antariksa ini di beberapa daerah. Satu dari sekian banyak sampah ruang angkasa yang jatuh ke wilayah Indonesia terjadi pada hari Selasa 18 Juli 2017, di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan hukum antariksa, tanggung jawab terkait jatuhnya Space Debris di Indonesia dan pertanggungjawaban pidana korporasi terkait jatuhnya Space Debris di Indonesia. Jenis Penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah aturan hukum internasional dan aturan hukum Indonesia yang berkaitan dengan Hukum Ruang Angkasa.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan hukum antariksa dimulai saat disepakatinya The Outer Space Treaty 1967, diikuti dengan disepakatinya 4 traktat terkait hukum antariksa yaitu The Rescue Agreement 1968, Liability Convention 1972, Registration Convention 1976 dan Moon Agreement 1984. Pertanggungjawaban terkait jatuhnya benda antariksa di suatu wilayah diatur dalam Liability Convention. Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Liability Convention melalui Keputusan Presiden No.20 Tahun 1996. Terkait benda antariksa yang jatuh di Indonesia, dapat dituntut pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul kepada Negara peluncur sesuai dengan Pasal II, Pasal III dan Pasal IV Liabiity Convention. Terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi terkait jatuhnya benda antariksa di Indonesia diatur dalam Pasal 94 sampai dengan Pasal 100 Undang-Undang No.

21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.

Kata Kunci : Space Debris, Liability Convention, Korporasi

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

(2)

Abstract

Space exploration was started by Russia by launching a satellite for the first time called Sputnik 1. This triggered countries to carry out space exploration. The increase in space exploration activities has consequences that must be experienced, namely the increase in space debris. Indonesia itself is a country that has experienced the fallout of space debris in several areas. One of the many pieces of space debris that fell into Indonesian territory occurred on Tuesday 18 July 2017, in Agam Regency, West Sumatra Province. This research aims to find out how space law has developed, responsibility related to the fall of Space Debris in Indonesia and corporate criminal liability related to the fall of Space Debris in Indonesia. This type of research is normative juridical with a descriptive approach. The sources of legal material used are international legal rules and Indonesian legal rules relating to Space Law. Research results show that the development of space law began when the 1967 Outer Space Treaty was agreed, followed by the agreement of 4 treaties related to space law, namely the 1968 Rescue Agreement, 1972 Liability Convention, 1976 Registration Convention and 1984 Moon Agreement. Liability related to the fall of space objects in an area regulated in the Liability Convention. Indonesia ratified the Liability Convention through Presidential Decree No. 20 of 1996. Regarding space objects that fall in Indonesia, the launching country can be held responsible for losses incurred in accordance with Article II, Article III and Article IV of the Liability Convention. Regarding corporate criminal liability related to the fall of space objects in Indonesia, it is regulated in Articles 94 to 100 of Law no. 21 of 2013 concerning Space.

Keyword: Space Debris, Liability Convention, Corporation I. PENDAHULUAN

Korporasi tidak terlepas dari perkembangan modernisasi dalam rangka untuk mempermudah memenuhi kebutuhan manusia dalam bermasyarakat.

Pada awalnya orang lebih mengenal badan hukum dibandingkan korporasi. Korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum.

Adanya korporasi memang banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan Negara, namun di samping ada keuntungan atau dampak positif seperti tersebut di atas, adanya korporasi juga dapat mendatangkan dampak negatif

dan melakukan kejahatan dalam kegiatannya mencari keuntungan.

Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak hanya menyangkut hal hal yang bersifat nasional saja, tetapi juga termasuk menyangkut hal hal yang bersifat internasional , seperti hal hal yang berkaitan dengan keantariksaan, seperti contoh jatuhnya benda antariksa yang pernah terjadi di Indonesia, dari jatuhnya benda langit tersebut siapakah yang dapat bertanggungjawab atas insiden jatuhnya benda langit tersebut, apakah negara yang bersangkutan, atau perusahaan (korporasi) yang dapat bertanggung jawab.

Berkembangnya teknologi berpengaruh pada intensitas aktivitas negara di luar angkasa. Aktivitas yang diadakan pada luar angkasa menimbulkan akibat yang

(3)

harus dialami. Salah satu konsekuensi dari aktivitas yang terjadi pada ruang angkasa adalah semakin banyaknya satelit yang dioperasikan di atas wilayah udara suatu negara. Satelit-satelit ini memiliki masa hidup, namun tetap berada dalam wilayah udara yang disebut dengan sampah ruang angkasa, baik dari kegiatan itu sendiri juga objek angkasa yang sebelumnya telah dipakai tetapi umurnya telah habis sehingga tetap dibiarkan mengudara begitu saja pada ruang angkasa. Objek luar angkasa tersebut dinamakan sampah antariksa atau space debris.

Indonesia sendiri merupakan negara yang pernah mengalami kejatuhan sampah antariksa ini di beberapa daerah.

Salah satu yang terjadi pada hari Selasa 18 Juli 2017, di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Jatuhnya objek luar angkasa seperti tersebut di atas menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab. Indonesia sebagai Negara yang memiliki jalur Geostationary Orbit berdampak pada Indonesia sebagai negara kolong, dimana satelit tersebut mengorbit tepat di atas wilayah negara Indonesia.Oleh sebab itu, diperlukan upaya dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Space Debris akibat sampah luar angkasa di wilayah udara Indonesia.

Perlunya pengaturan yang mengatur mengenai benda antariksa yang jatuh ke wilayah bumi baik hukum nasional khususnya di Indonesia maupun hukum Internasional sebagai bentuk kepastian hukum kepada masyarakat Indonesia yang mengalami kerugian secara langsung sebagai akibat jatuhnya Benda Antariksa di Indonesia. Dalam hal ini bahwa keberadaan hukum harus selalu bisa beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi, sehingga

dengan demikian proses pembangunan masyarakat secara berkesinambungan yang memang menjadi tujuan utama diberlakukannya hukum di negeri ini akan dapat terlaksana dengan baik serta bersifat dinamis mengikuti berbagai perubahan yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan penelitian yurudis normatif.

Penelitian yuridis normatif didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu dengan melakukan analisis.

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mempelajari masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi- situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, pengaruh dari suatu fenomena masyarakat. Peneliti mengembangkan konsep, menghimpun fakta, tapi tidak menguji hipotesis , yang berkaitan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap terhadap jatuhnya benda antariksa di Indonesia.

Penelitiaan menggunakan sumber data sekunder dimana data-data yang telah dikumpulkan, dipublikasikan oleh pihak yang melakukan penelitian dari sumber- sumber data sekunder yang telah ada sebelumnya. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian melalui Studi kepustakaan, dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari internet, jurnal dan ensiklopedia guna menghimpun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

(4)

A. Perkembangan Hukum Benda Antariksa

Perkembangan Hukum Antariksa dimulai dengan peluncuran Sputnik 1 milik Uni soviet yang mengorbit mengelilingi bumi pada 4 Oktober 1957.

Satu bulan setelah peluncura Sputnik I, Majelis Umum PBB sadar akan peranan yang harus di mainkannya dalam mendorong perkembangan progresif hukum internasional.

Majelis Umum PBB melalui resolusinya tanggal 13 Desember 1958, membentuk Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space dan setahun kemudian tanggal 12 Desember 1959 Committee on the Peaceful Uses of Outer Space. Pembentukan komite ini menandai di mulainya proses perumusan ketentuan- ketentuan hukum yang di siapkan oleh Komite tersebut yang ditindak lanjuti oleh dua Konferensi PBB mengenai eksplorasi dan penggunaan untuk maksud-maksud damai ruang angkasa yang di selenggarakan di Wina tahun 1968 dan 1982.

Majelis Umum PBB pada tanggal 19 Desember 1966 menerima Traktat mengenai prinsip-prinsip yang mengatur Kegiatan Negara-negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, termasuk Bulan dan Benda-benda Langit Lainnya.

Traktat ini kemudian dinamakan Treaty on Principle Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestial Bodies (Outer Space Treaty).

Komite ini membahas tentang kesepakatan penggunaan antariksa dalam hal :

1) Kegiatan, sumber PBB, Badan Khusus dan Badan Internasional lainnya mengenai penggunaan ruang angkasa secara damai.

2) Kerjasama internasional dan program di bidang antariksa yang dapat di lakukan di bawah naungan PBB.

3) Pengaturan organisasi untuk kerjasama internasional dalam kerangka PBB.

4) Masalah hukum yang dapat muncul dalam kegiatan eksplorasi antariksa.

Selanjutnya pada tahun 1959 Majelis Umum menjadikan Komite tersebut sebagai Badan tetap dan memperkuat mandatnya dalam Res. 1472 (XIV) A, tanggal 12 Desember 1959.

Komite mempunyai 2 sub komite yaitu The Scientific and Technical Sub Committee dan Legal Sub Comitte. Komite ini merupakan satu-satunya forum untuk pengembangan hukum internasional ruang angkasa. Semenjak didirikan, komite telah menyiapkan 5 instrumen hukum yaitu:

1) Treaty on Principles Governing the Activites of State in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Outer Celestial Bodies (Outer Space Treaty), mulai berlaku tanggal 10 Oktober 1967.

2) The Agreement on the Rescue of Astronaut, the Return of Astronauts, and the Return of Object Launched into Outer Space (Rescue Agreement), mulai berlaku tanggal 3 Desember 1968.

3) The Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object (Liability Convention), mulai berlaku pada tanggal 1 September 1972.

4) The Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space, mulai berlaku pada tanggal 15 September 1976.

(5)

5) The Agreement Governing the Activities of State in the Moon and Outer Celestial Bodies (the Moon Agreement), mulai berlaku tanggal 11 Juli 1984.

Indonesia memahami kedudukan Outer Space Treaty 1967 sebagai induk perjanjian keantariksaan lainnya yang tidak bertentangan dengan pancasila dan undang-undang dasar 1945, serta sejalan dengan konsepsi kedirgantraan nasional untuk memantapkan dukungan bagi kepastian hukum, baik secara nasional maupun internasional.

Indonesia sebagai negara yang telah aktif melaksanakan kegiatan keantariksaan, telah melakukan ratifikasi terhadap 3 (tiga) perjanjian internasional di bidang keantariksaan yaitu Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space, 1968 (Rescue Agreement, 1968), melalui Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1999, tanggal 8 Januari 1999, Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects, 1972 (Liability Convention, 1972), melalui Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1996, tanggal 27 Februari 1996 dan Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space, 1975 (Registration Convetion, 1975), melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1997, tanggal 12 Maret 1997

B. Pertanggungjawaban Negara Pemilik Sampah Antariksa Berdasarkan Liability Convention 1972.

Hukum internasional menjelaskan persoalan-persoalan mengenai tanggung jawab negara bahwa suatu negara berhak menuntut ganti rugi apabila tuntutannya telah dibenarkan, kerugian yang dimaksud

ialah kerugian berupa material maupun keuangan. Aktivitas yang dilakukan di ruang angkasa sangatlah beresiko tinggi sehingga setiap negara yang melakukan aktivitas di ruang angkasa hendaklah bertanggung jawab secara absolut atau mutlak, namun apabila kerugian tersebut terjadi di ruang angkasa maka prinsip tanggung jawab yang digunakan ialah based on fault principle atau tanggung jawab berdasarkan kelalaian.

Tanggung Jawab Internasional (International Responsibility) diartikan sebagai suatu negara yang berhak meminta pertanggung jawaban suatu negara karena kesalahan atau kelalian suatu negara tersebut sehingga menimbulkan dampak terhadap negara lain sehingga menimbulkan tanggung jawab dalam hukum internasional.

Berdasarkan Registry Convention dijelaskan dalam Pasal I Huruf (b) bahwa benda antariksa adalah segala benda mencakup komponen dan bagian- bagiannya serta kendaraan peluncurannya dan komponen-komponennya. Undang- Undang No. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan menjelaskan bahwa benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan Keantariksaan.

Subjek Hukum benda antariksa dalam Liability Convention disebut sebagai Negara Peluncur.. Penjelasan mengenai negara peluncur dalam Liability Convention 1972, yaitu Negara yang meluncurkan atau menjalankan peluncuran benda antariksa dan Negara atau wilayah yang fasilitasnya digunakan untuk melakukan peluncuran benda antariksa.

Liability Convention menjelaskan mengenai pihak yang dapat dituntut pertanggungjawaban terkait jatuhnya benda antariksa. Negara peluncur mempunyai tanggung jawab mutlak untuk membayar kompensasi ganti rugi atas

(6)

kerusakan yang diakibatkan oleh benda antariksa dipermukaan bumi atau terhadap pesawat udara yang terbang. Apabila suatu benda antariksa dari suatu Negara peluncur lain menimbulkan kerugian di tempat lain selain di permukaan bumi, atau terhadap orang-orang atau harta benda yang berada di atas benda antariksa tersebut oleh suatu benda antariksa dari Negara peluncur lainnya, maka negara peluncur tersebut hanya akan bertanggung jawab jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kesalahannya atau kesalahan orang yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh benda antariksa suatu Negara peluncur di tempat lain selain di permukaan bumi, atau terhadap orang-orang atau harta benda yang berada di atas benda antariksa tersebut oleh benda antariksa Negara peluncur lain, dan kerugian yang ditimbulkannya pada benda antariksa tersebut Negara ketiga atau kepada perorangan atau badan hukumnya, kedua Negara pertama secara tanggung renteng bertanggung jawab kepada Negara ketiga.

Dalam semua kasus tanggung jawab bersama dan beberapa orang, beban ganti rugi atas kerugian akan dibagi antara kedua Negara pertama sesuai dengan sejauh mana kesalahan mereka; apabila tingkat kesalahan masing-masing Negara tidak dapat ditentukan, maka beban ganti rugi akan dibagi secara merata di antara mereka.

Terkait dengan kerusakan akibat jatuhnya benda antariksa di wilayah suatu negara yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan pertanggung jawaban dijelaskan dalam Liability Convention sebagai hilangnya nyawa seseorang, cedera diri atau gangguan kesehatan lainnya; atau kehilangan atau kerusakan terhadap harta benda Negara atau orang, perorangan atau badan hukum, atau harta benda organisasi antar pemerintah internasional.

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Jatuhnya

Benda Antariksa di Indonesia

Terkait dengan jatuhnya sampah antariksa di wilayah Indonesia, Indonesia sendiri memiliki lembaga khusus untuuk menangani kegiatan penginderaan jarak jauh dan berkaitan dengan antariksa.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. LAPAN mempublikasikan data mengenai jatuhnya sampah luar angkasa ke Indonesia

Space Debris pertama di Indonesia, dalam penelitian LAPAN, jatuh di Gorontalo pada tanggal 26 Maret 1981.

Space Debris yang jatuh di Gorontalo merupakan tabung bahan bakar dari motor roket roket Cosmos-3M/Space Launcher 8 (SL-8)/11K65M milik Rusia). Space Debris jatuh di Lampung pada tanggal 13 Oktober 1988. Space Debris yang jatuh merupakan salah satu bagian roket Soyuz A-2 Launcher 4 milik Rusia. Bagian dari roket yang jatuh adalah tabung bahan bakar yang berfungsi untuk meluncurkan Soyuz A2. Sampah antariksa kembali jatuh ke wilayah Indonesia, tepatnya di Bengkulu pada 14 Oktober 2003. Pecahan roket milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) jatuh di kebun karet di Desa Bukit Harapan IV, Kecamatan Ketahun , Kabupaten, Bengkulu Utara, Bengkulu.

Jatuhnya Space Debris di Flores dilaporkan terjadi pada tanggal 23 Februari 2007. Space Debris yang jatuh merupakan pecahan satelit Okean 3 (Okean 3 deb) milik Rusia. Dampak dari jatuhanya pecahan satelit ini adalah terdengarnya suara ledakan. Pecahan satelit tersebut berukuran kecil sebesar kepalan tangan.

Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan terkait kejadian ini. Kasus terbaru dan terbesar terkait jatuhnya Space Debris di Indonesia ialah ketika jatuhnya Space Debris di Sumenep Madura pada tanggal 26 September 2016 yang merupakan bagian roket Falcon 9 milik Space-X Amerika Serikat untuk meluncurkan satelit komunikasi JCSAT 16 milik Jepang.

Dampak dari jatuhnya bagian roket ini

(7)

adalah kerusakan kandang ternak milik warga. Dilansir dari CNN Indonesia, tidak ada laporan jika sampah antariksa ini melukai warga dan dapat di pastikan tidak mengandung radiasi dan nuklir. Benda yang jatuh di sumenep ini berbentuk seperti tabung silinder sepanjang 1.5 meter dan diameter 60 sentimeter, terdapat tiga tanki dan satu panel listrik bagian dari bekas roket. Selasa 18 Juli 2017, Space Debris di Sungai Batang, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Setelah diidentifikasi oleh Lapan bahwa benda tersebut adalah bagian dari roket Chang Zheng 3-A yang digunakan untuk meluncurkan Beidou M1, satelit navigasi milik China yang dilucurkan pada 13 April 2007.

Upaya untuk memperkenalkan pertanggungjawaban pidana korporasi di tingkat internasional menemui hambatan, sebagian besar disebabkan oleh adanya perbedaan pendekatan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi di antara yurisdiksi nasional. Khususnya, pada Konferensi Roma untuk Pembentukan Pengadilan Kriminal Internasional tahun 1998, upaya untuk memasukkan perusahaan dan badan hukum lainnya ke dalam yurisdiksi rasionale personae pengadilan gagal mendapatkan dukungan yang diperlukan dari perwakilan negara.

Terhadap Korporasi hukum pidana internasional belum mengakui tanggung jawab pidana korporasi. Meskipun saat ini model pertanggungjawaban pidana korporasi dapat ditemukan di sebagian besar yurisdiksi domestik, sistem pidana internasional masih beroperasi berdasarkan premis pertanggungjawaban pidana individu. Saat ini, tidak ada satu pun undang-undang pengadilan pidana internasional, yang paling terkenal adalah Pengadilan Kriminal Internasional, yang mengakui korporasi sebagai tersangka atas

tuduhan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.

KUHP sebagai dasar hukum pidana di Indonesia tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Konsep tanggungjawab Korporasi dalam hukum pidana hanya didasarkan pada Pasal 59 dalam buku I KUHP yang menyatakan

“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus, atau komisari, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungannya”. Pasal tersebut tidak mengancamkan pidana kepada orang yang tidak melakukan tindak pidana. Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau badan hukum tersebut, korporasi tidak dapat dikenakan pidana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tim Rekonstruksi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Perundang-Undangan di Indonesia dijelaskan bahwa berdasarkan perbandingan terhadap pengaturan pertanggungjawaban pidana di beberapa negara common law dan civil, serta konvensi international hal-hal yang dapat diatur dalam peraturan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi adalah:

1) Korporasi dianggap melakukan tindak pidana apabila:

a) siapapun di dalam korporasi (baik individu maupun sebagai bagian dari organ korporasi)

melakukan perbuatan

(pelanggaran hukum), baik yang disengaja atau tidak disengaja, maupun sebuah kelalaian, yang termasuk dalam kegiatan usaha korporasi tersebut.

(8)

b) korporasi (baik individu maupun sebagai bagian dari organ korporasi) melakukan perbuatan (pelanggaran hukum) yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi korporasi itu sendiri.

2) Pihak yang dapat bertanggung jawab dalam tindak pidana korporasi ialah korporasi itu sendiri, diwakili oleh pegawai atau perwakilan dari korporasi atau individu yang melakukan tindak pidana tersebut.

3) Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tidak menghilangkan proses pidana terhadap pelaku penyuruh atau pembantu dalam pelanggaran yang terjadi.

4) Sanksi bagi korporasi dapat berupa denda, penyitaan aset korporasi, dan juga sanksi perdata

Perkembangan pengaturan hukum keantariksaan memaksa pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk melakukan penertiban hukum demi kesejahterahan dan ketertiban masyarakat.

Sebagai usaha melakukan penertiban hukum keantariksaan, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan.

Peraturan ini menjadi pedoman hukum kegiatan keantariksaan Indonesia. Terkait dengan pertanggungjawaban negara peluncur atas sampah antariksa yang jatuh diwilayah Indonesia diatur dalam Pasal 76 hingga Pasal 82 Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.

Pengaturan pokok terkait penuntutan pertanggungjawaban atas jatuhnya benda antariksa di Indonesia yang terdapat didalam Undang-Undang No.21

tahun 2013 tentang Keantariksaan adalah sebagai berikut :

1) Indonesia memberikan pandangan terkait pertanggungjawaban atas jatuhnya benda antariksa di Indonesia bersifat mutlak (absolute) . 2) Pertanggungjawaban terkait jatuhnya benda antariksa di Indonesia dapat dimintakan kepada Negara peluncur atau Negara yang menyelenggarakan kegiatan antariksa;

3) Tuntutan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme hukum internasional yang berlaku, baik melalui jalur diplomatik, Komisi Penuntutan, maupun badan peradilan nasional;

4) Pertanggungjawaban terkait benda antariksa yang jatuh di Indonesia hanya dapat dituntut apabila terdapat kerusakan yang bersifat fisik dan langsung .

5) Terkait daluarsa penuntutan, Undang-Undang Keantariksaan mengatur sebagai berikut:

a) penuntutan pertanggungjawaban Negara peluncur dapat dituntut selambat-lambatnya 1 tahun setelah timbulnya kerugian;

b) dalam hal timbul Kerugian, tetapi pihak yang menuntut tidak mengetahui bahwa Kerugian tersebut telah terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah pihak yang menuntut:

 Mengetahui adanya

Kerugian; atau

 akan mengetahui adanya Kerugian;

6) Dalam hal terjadi Kerugian yang diderita oleh badan dan/atau warga negara Indonesia akibat kegiatan Keantariksaan, gugatan dapat diajukan kepada pihak pelaku kegiatan Keantariksaan melalui lembaga peradilan, lembaga arbitrase, dan/atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa.

(9)

Pemerintah Indonesia memberikan kepastian hukum terkait korporasi yang mengadakan kegiatan antariksa melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan Indonesia terkait pertanggungjawaban pidana korporasi akibat jatuhnya benda antariksa adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan hasil penelitian yang bersifat sensitif dan dapat berdampak luas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terganggunya kepentingan keamanan nasional atau kepentingan pemerintah, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

3) Setiap orang yang melaksanakan kegiatan peluncuran Wahana Antariksa yang dengan sengaja tidak memenuhi persyaratan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).

4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hilangnya nyawa orang, pelaku dipidana dengan

pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).

5) Setiap orang yang menghilangkan atau mengubah letak dan mengambil bagian benda jatuh Antariksa yang jatuh di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (1), yang sudah diberi tanda batas larangan masuk dalam area benda jatuh tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau

denda paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

6) Setiap orang yang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, yang mengakibatkan tercemar atau terkontaminasinya lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

7) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian bagi barang atau orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

8) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan salah satu atau lebih kegiatan Keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda

(10)

paling banyak Rp.5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).

9) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99 dilakukan oleh korporasi atau badan hukum, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi atau badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkembangan Hukum Antariksa Internasional diawali dengan dibentuknya Komite Penggunan Antariksa secara Damai oleh Majelis Umum PBB diikuti dengan pengesahan tambahan Liability Convention, Registry Convention, Moon Agreement dan Rescue Agreement. Perkembangan Hukum Antariksa di Indonesia diawali dengan di ratifikasinya Liability Convention melalui Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1996, diikuti dengan ratifikasi Outer Space Treaty 1976 melalui Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2002.

Indonesia kemudian mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.

2. Negara yang dapat dimintakan pertanggungjawaban terkait jatuhnya benda antariksa (launching state) diatur dalam Pasal II, Pasal III, dan

Pasal IV Liablity Convention.

Negara yang dapat menuntut pertanggungjawaban terkait jatuhnya benda antariksa (claimant state) diatur dalam Pasal VIII Liability Convention. Penuntutan terkait kerugian atas jatuhnya benda antariksa dilakukan melalui jalur diplomatik. Apabila kedua pihak tidak memiliki hubungan diplomatik, maka tuntutan dapat diajukan kepada Sekertaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa.

3. Pertanggungjawban Pidana Korporasi terkait kerugian yang ditimbulkan oleh jatuhnya benda antariksa di wilayah Indonesia dilaksanakan dalam bentuk ganti rugi.

B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis terkait pertanggungjawban pidana korporasi terkait jatuhnya benda antariksa di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Indonesia meratifikasi hukum internasional terkait keantariksaan pada tahun 1997 atau 32 tahun setelah Space Treaty disepakati.

Kedepannya pemerintah untuk tidak ketinggalan perkembangan hukum keantariksaan guna memaksimalkan keantariksaan Indonesia.

2. Sebagai bentuk penyesuaian terkait

berkembangnya teknologi

keantariksaan dan meningkatnya aktivitas komersialisasi keantariksaan, diharapkan pemerintah dapat mengeluarkan produk hukum sebagai pengaturan lebih lanjut terkait Hukum Keantariksaan di Indonesia.

3. Pemerintah diharapkan dapat

mengikuti perkembangan

keantariksaan sebagai bagian dari

(11)

berkembangnya teknologi yang memau aktivitas antariksa yang dilakukan oleh pihak non pemerintah atau pihak swasta sehingga dapat menjamin kepentingan warga negara apabila timbul kerugian atas jatuhnya benda antariksa milik pihak asing.

DAFTAR PUSTAKA

Berita Satu. "Sampah Antariksa Empat Kali

Jatuh di Indonesia”, melalui

https://www.beritasatu.com/news/391871/sam pah-antariksa-empat-kali-jatuh-di-indonesia diakses 10 Desember 2023.

Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung: PT. Alumni, 2013). Hal.439

CNN. "Bagian Roket Falcon 9 yang Jatuh di Sumenep Tidak Beracun" melalui https://www.cnnindonesia.com/teknologi/2016 0927092957-199-161365/bagian-roket-falcon- 9-yang-jatuh-di-sumenep-tidak-beracun , diakses 10 Desember 2023.

Dewi Enggriyeni, Pengaturan

Pertanggungjawaban Swasta Dalam Kecelakaan Benda Angkasa’, UNES Law Review, 5.4 (2023), 2194–2206.

I Putu Destra Markandeya and Putu Devi Yustitia Utami, ‘Komersialisasi Ruang Angkasa Oleh Perusahaan Swasta Dalam Perspektif Hukum Internasional’, Jurnal Kertha Semaya, 9.6 (2021), 973–85.

Ismail Navianto and Alfons Zakaria, Rekontruksi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Perundang- Undangan Di Indonesia, 2014.

JPNN. "Pecahan Roket RRT Jatuh di Kampungnya Buya Hamka dan Bekas Ibu

Kota RI" melalui

https://m.jpnn.com/news/pecahan-roket-rrt- jatuh-di-kampungnya-buya-hamka-dan-bekas- ibu-kota-ri#google_vignette diakses 10 Desember 2023

Natalia Yeti Puspita, ‘Space Debris: Realita Dan Upaya Pengaturannya Di Dalam Hukum Antariksa’, Gloria Juris, 6.3 (2006), 237–50.

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Pengesahan Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip Prinsip Yang Mengatur Kegiatan Negara- Negara Dalam Eksplorasi Dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan Dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967.

Syahmin AK, Meria Utama, and Akhmad Idris, ‘Hukum Udara Dan Luar Angkasa’,

2012, 60

<http://eprints.unsri.ac.id/3241/1/Buku_Huku m_Udara_dan_Luar_Angkasa.pdf>.

Tanggung Jawab Pidana Korporasi Berdasarkan Hukum Internasional’, The Law

of Nation, melalui

https://lawofnationsblog.com/2018/03/13/corp orate-criminal-liability-international-law/

diakses 1 Januari 2024.

Tinjauan Umum Teori Dasar Tanggung jawab Negara dan Teori Hukum Lingkungan Internasional, Repository Unpas hal 1 di akses pada tanggal 29 maret 2022

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan berisi ringkasan pembahasan permasalahan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perdagangan orang dan saran yang dapat diberikan

“hubungan lain”. c) Pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan oleh : korporasi, pengurus

Korporasi asing sebagai pelaku tindak pidana illegal fishing belum diatur dalam Undang-Undang perikanan di Indonesia, dalam hal kapal asing melakukan pencurian ikan di

(1) Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997: (a) telah secara jelas mengatur

Sehingga, jika pertanggungjawaban pidana juga dibebankan kepada korporasi dalam hal ini PT.ARA, maka sanksi pidana pokok yang dapat diterapkan adalah pidana denda

Tidak dikategorikannya sebuah korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam Undang- Undang Hak Cipta ini, berakibat korporasi tidak dapat dituntut bertanggungjawab

Barda Nawawi Arief menyimpulkan 11 a: Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam. undang- undang khusus;

Dasar hukum pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan terdapat dalam Pasal 116 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009